“LEA!!!” seru Ghalib.
Pak Hadi menoleh dengan tatapan bertanya ke Ghalib. Ghalib tidak menghiraukannya dan langsung menjawab panggilan itu.
“Lea, Lea kamu di mana?” Suara Ghalib langsung bertanya.
“Ghalib … bisa bantu aku. Aku tersangkut di pagar.”
Suara Lea terdengar lirih seperti orang kesakitan. Ghalib langsung celinggukan memperhatikan sekitar.
“Pak, pinjam senter!!!” pinta Ghalib ke Pak Hadi.
Pria paruh baya itu menurut dan langsung menyerahkan senternya ke Ghalib.
“Pagar mana maksudmu, Lea?” Ghalib bersuara sambil mengarahkan senternya ke segala arah. Namun, tidak ada jawaban dari Lea. Malah ponselnya sudah mati.
Ghalib berdecak, kemudian dengan cepat dia melakukan panggilan ulang. Ghalib menajamkan pendengarannya sambil berjalan ke sana kemari. Tak lama ia mendengar suara dering ponsel Lea. Ghalib berlarian mencari sambil terus mengarahkan senter ke segal
BRUK!!!Tubuh Arifin langsung tumbang di dekat pintu. Seorang pria tersenyum menyeringai sambil menyeret tubuh Arifin yang tak berdaya ke dalam salah satu kamar.Setelahnya pria itu sudah keluar dari kamar usai mengamankan Arifin.“Apa sudah beres?” tanya Anthony yang baru tiba di rumah tersebut.“Iya, Bos. Pak Arifin sudah saya amankan. Tangan dan kakinya saya ikat. Mulutnya saya lakban. Dia tidak akan bisa kabur dari sini.”Anthony manggut-manggut sambil tersenyum.“Bagus. Pertahankan seperti itu sampai pesta pertunangan Tuan Ghalib. Aku tidak mau semua rencana Nona Deasy berantakan.”“Satu lagi, singkirkan mobil dan ponselnya. Buang GPS-nya. Aku tidak mau ulah kita terendus.”Pria itu menganggukkan kepala beberapa kali seolah paham apa yang diinginkan Anthony. Selanjutnya Anthony sudah keluar dari rumah dan berjalan menuju mobilnya.Ia tidak langsung meninggalkan lokasi
“Mungkin lebih baik Bapak datang langsung saja.”Arifin mendengkus kesal saat mendengar jawaban anak buahnya. Padahal dia sudah janji akan datang ke tempat Ghea. Namun, informasi ini lebih penting dari segalanya.“Baik, aku ke kantor pusat sekarang.”Arifin sudah bersiap mengubah arah mobilnya, tapi tiba-tiba terdengar suara interupsi dari seberang sana.“Pak, saya tidak sedang ada di kantor pusat. Sangat riskan jika membicarakan hal ini di sana.”Arifin terdiam, mata kecilnya di balik kacamata minus tampak berkilatan mengandung rasa penasaran.“Ya sudah, share saja lokasimu sekarang.”Panggilan terputus, selanjutnya Arifin mendapat pesan sebuah share lokasi ke ponselnya. Ia terdiam beberapa saat membaca lokasi yang dikirim.Kalau tidak salah, letaknya berada sedikit jauh dari kantornya juga pusat kota. Arifin jadi bertanya, mengapa anak buahnya memintanya bertemu di sana. Bahkan
Ghalib mendengkus sambil menatap Deasy dengan tajam.“Sudah kuduga, kamu memang licik. Jadi berapa nomor rekeningmu, biar aku transfer jumlah yang kau sebutkan.”Deasy langsung terkekeh mendengar jawaban Ghalib. Selama ini Deasy selalu takut dan penurut kepada Ghalib. Ia takut Ghalib tidak akan menyukainya jika dia menunjukkan sifat aslinya.Namun, sejak ia membuat kesepakatan dengan Nyonya Emilia, Deasy tidak sungkan menunjukkan ke Ghalib siapa sejatinya dia.“Aku tidak perlu uang. Cukup cium aku saja, maka aku anggap pertolonganku hari ini lunas.”Seketika Ghalib geram, tangannya mengepal dengan wajah yang menegang menatap Deasy.“Ternyata kamu murahan. Aku yakin tidak hanya aku saja yang kau beri penawaran seperti itu.”Bibir Deasy langsung terkatup usai mendengar ucapan Ghalib. Ia tidak menduga Ghalib akan berkata seperti ini. Jangan-jangan Ghalib tahu tentang dia dan Kenan.Bahu Deasy na
Ghalib tidak bisa menjawab. Ia hanya diam kemudian sudah mengakhiri panggilannya. Lea yang melihatnya jadi penasaran.“Kenapa? Ada apa?”Jakun Ghalib naik turun dengan mata pekatnya yang menatap Lea.“Babe, Nenek ada di sini. Ia sedang mencariku.”Lea terdiam, alisnya terangkat dengan wajah miring menatap Ghalib.“Maksudmu di kantor ini? Sekarang?”Ghalib mengangguk. “Iya, aku sendiri tidak tahu kenapa Nenek tiba-tiba datang.”“Jangan-jangan Nenek sudah bersengkokol dengan Deasy untuk bertemu di sini hari ini.”Lea tidak menjawab. Rencana pesta pertunangan Ghalib dan Deasy memang tinggal menunggu hari saja. Mungkin itu sebabnya Nyonya Emilia datang ke sini hari ini.“Kalau begitu, temui nenekmu!! Jangan buat dia curiga.”Ghalib tidak bereaksi malah menatap Lea dengan tajam.“Aku akan pulang. Malam ini aku tidak keberatan jika kamu
“LEA!! TUNGGU!!!” Ghalib langsung berlari keluar mengejar Lea. Ia tidak menduga Lea akan datang ke kantornya dan melihatnya saat bersama Deasy. Ghalib sungguh menyesali kecerobohannya. Padahal sikapnya ke Deasy tadi tidak bermaksud apa-apa, tapi tentu saja berbeda dengan yang dilihat Lea. Sementara itu Deasy masih bergeming di posisinya melihat Ghalib yang kelabakan mengejar Lea. Sebuah senyum kemenangan terukir dengan jelas di wajah manis Deasy. “Padahal tadinya aku hanya sekedar mampir untuk melihat keadaanmu, Ghalib, tapi, aku malah disuguhkan pemandangan menyenangkan seperti ini.” Deasy berdecak sambil menggelengkan kepala berjalan keluar dari ruangan Ghalib. Sedangkan Ghalib sudah berhasil mengejar Lea. Ia menarik tangan Lea dan mengajaknya masuk ke dalam salah satu ruangan di lantai tersebut. Lea hanya diam membisu, menunduk tanpa mau melihat Ghalib. “Kamu marah padaku, Babe?” Tidak ada jawaban dari Lea dan tentu saja itu membuat Ghalib semakin khawatir. Ghalib menghela n
“Kamu lupa dengan tujuan utamaku, Ghalib?” tanya Kenan.Ghalib tidak menjawab hanya diam dengan mata pekatnya menatap Kenan. Kenan semakin mencondongkan tubuhnya ke Ghalib, kini jemarinya tampak mengetuk meja beberapa kali.“Aku hanya menginginkan milikku kembali Ghalib.”Tidak ada reaksi dari Ghalib, tapi Kenan melihat mata pria tampan berdagu belah itu berkedut sekilas seolah sedang menahan amarah.“Aku mulai dari mengambil kembali perusahaanku, kemudian bersambung ke yang lain, termasuk mengambil kembali kekasihku, Lea.”BRAK!!!Ghalib langsung menggebrak meja di depannya membuat cangkir kopi Kenan bergetar dan menumpahkan cairan kopi ke meja.“JAGA MULUTMU, KENAN!!!”“Kamu pikir Lea barang yang bisa seenaknya saja kamu buang lalu kamu ambil.”Kenan hanya tersenyum masam mendengar ucapan Ghalib.“Kamu yang mulai lebih dulu, Kenan. Kamu yang menya