Hayo loh, Kenan!!! Bakal ngelak atau gimana nih si Kenan. Penasaran reaksi Lea, pantengin bab berikutnya, ya!!! Terima kasih juga yang udah kasih gift, diamond dan reviewnya. Love you, guys.
“Aah … .” Helaan napas panjang baru saja lolos keluar dari bibir Lea. Wanita cantik itu tampak berdiri bersandar di belakang pintu sambil menyenderkan kepalanya. Ia terdiam dan kini matanya melihat perutnya. Lea tahu apa yang hendak dikatakan Lisa tadi. Sayangnya, dia lebih dulu mengakhirinya. Lea tidak mau basa basi dengannya. Wanita yang dulu akan dia jadikan adik ternyata ular berbisa. Kemudian Lea teringat sesuatu, ia mengeluarkan ponsel dan terlihat sibuk sedang melakukan panggilan. Sementara Lisa sudah kembali ke kamar dan kini tampak menangis tersedu. “Akh … Kak Kenan bohong. Katanya Mbak Lea gak bisa hamil, tapi ternyata ---” Lisa tidak meneruskan kalimat, malah sibuk menyeka air matanya. Perlahan Lisa mengelus perutnya yang sudah mulai buncit. “Aku harus bagaimana. Aku yakin Kak Kenan lebih mengutamakan Mbak Lea dari pada aku. Pantas saja sikapnya sangat manis saat di rumah sakit kemarin, belum lagi mobil milyaran rupiah itu. Pasti itu hadiah atas kehamilan Mbak Lea.” L
Lea hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala. Ghalib memperhatikan dengan alis mengernyit. Hingga tiba-tiba Pak Jonas datang menghampiri.“Tuan, pesawat Nyonya Emilia sudah landing,” ujar pria paruh baya itu.Ghalib menoleh, menganggukkan kepala memberi jawaban ke Pak Jonas.“Aku harus pergi. Nenekku tidak suka jika aku terlambat datang.”Lea mengangguk. Ghalib segera berbalik dan siap berlalu pergi. Namun, baru dua langkah ia sudah berhenti dan kembali membalikkan badan.“Aku belum membayarnya.”Lea tersenyum sambil menggeleng.“Khusus hari ini gratis. Anggap saja itu hadiah untuk nenekmu.”Ghalib terkejut, kedua alisnya terangkat menatap Lea dengan bertanya.“Hei!! Kamu jualan, Lea. Mana mungkin aku menerimanya dengan gratis.”“Bukankah selama ini kamu juga sudah banyak membantuku. Jadi kita impas.”Ghalib berdecak sambil mengacak
“Kita pulang, Pak!!” titah Nyonya Eliana.Beliau sudah berada di dalam mobil dan langsung meminta sopirnya untuk pulang. Pria paruh baya yang duduk di belakang kemudi langsung menoleh padanya.“Kita tidak jadi ke rumah Nona Deasy, Nyonya?”“GAK!! Kita pulang!!”Nyonya Eliana sudah bersuara keras. Ia kini duduk terkulai sambil bersandar ke kursi. Sesekali Nyonya Eliana memijat keningnya. Ia tidak menduga jika menantu yang dianggapnya mandul ternyata tidak, bahkan katanya sedang mengandung cucunya.“Sial. Kenapa juga aku bersedia menerima tantangannya kemarin?” geram Nyonya Eliana.Nyonya Eliana terdiam dan tanpa sadar teringat dengan pembicaraan bersama Lea di rumah sakit tadi.“Besok kita akan bertemu di kantor notaris untuk mengurus proses ganti kepemilikannya ya, Ma?”Nyonya Eliana tidak menggubris dan bersiap hendak pergi. Namun, tiba-tiba Lea mencekal lengannya.
Lea terjingkat saat sebuah tangan memeluknya dari belakang disertai deru panas memburu yang bertiup di tengkuknya. Lea membuka mata dan menoleh. Ia melihat Kenan sedang terlelap di belakangnya. Lea mengerjapkan mata dan melihat Kenan masih mengenakan baju kerjanya langsung tertidur di sampingnya. Aroma rokok menguar di seluruh tubuhnya. Lea melepas pelukan Kenan dan bergegas bangun. “Sayang … mau kemana?” Lea menggerakkan tangan ke udara sambil menutup hidungnya. “Kenapa kamu gak ganti baju? Bau rokok semua, Mas.” Kenan mengubah posisi tubuhnya menjadi tidur terlentang. Matanya sudah terkatup, tapi bibirnya masih bisa menjawab pertanyaan Lea. “Aku capek, Lea. Biarkan aku tidur begini saja.” Lea terdiam memperhatikan suaminya. Ia tidak tahu suaminya dari mana, tapi dilihat dari bajunya sepertinya ia baru saja menyelesaikan urusan kerja. Lea menghela napas kemudian membuka sepatu Kenan, melepas kaos kakinya dan mengganti bajunya. Kepala Lea semakin pusing jika di kamarnya dipenuh
BRAK!!!Spontan Nyonya Eliana menggebrak meja di depannya. Lea tidak tampak terkejut hanya diam sambil mengulum senyum datar.“Mantu kurang ajar!!! Ternyata tepat dugaanku. Tujuanmu menikah dengan putraku memang menginginkan harta kami, bukan?”Lea menatap Nyonya Eliana dengan sendu, menyeka mulutnya kemudian bangkit dari duduknya. Sepertinya ia menyudahi makan malamnya kali ini.“Ma … jangan begitu. Aku sama sekali tidak pernah berniat menginginkan harta kalian. Aku hanya berkata sewajarnya.”Nyonya Eliana terdiam, bahunya naik turun dengan kilatan mata penuh amarah melihat Lea. Tidak ia sangka menantu yang biasanya hanya diam saja menerima omelannya kini sudah pandai bersuara.Lea mendekat hingga berdiri sejajar di depan Nyonya Eliana. Kemudian Lea mengelus perutnya dengan lembut.“Ini demi cucu di dalam kandunganku. Jadi apa salahnya jika aku memastikan putraku mendapatkan haknya.”
“Man—di … bareng?”Lea mengulang kalimat Kenan. Kenan tersenyum, menganggukkan kepala sambil sesekali mengecup bibir Lea.“Hmm … kita sudah lama gak melakukannya. Aku juga kangen banget ama kamu.”Lea membisu, berulang menelan saliva sambil menatap Kenan. Kalau mau jujur, dia juga merindukan semua sentuhan Kenan. Hanya saja saat Lea teringat interaksi intim Kenan dengan Lisa, ia merasa jijik.Tubuh pria ini sudah pernah disentuh wanita lain, bukan miliknya lagi. Bukan dia satu-satunya pemilik Kenan. Tanpa diminta bayangan saat mereka bercumbu terlintas di ingatan Lea dan itu menimbulkan rasa sakit yang nyata.Sementara itu tangan Kenan sudah melepas satu persatu kancing kemeja Lea, membuat bra hitam dengan motif renda yang menggoda terlihat jelas. Kenan tersenyum, merundukkan kepala bersiap menyongsong mainan kesukaannya penuh suka cita.Bersamaan terdengar ponsel Kenan berdering nyaring. Sekali du
“Sudah sampai rumah, Bos!!” seru Lea riang.Ia baru saja memarkir mobil barunya di garasi rumah. Kenan yang duduk di sampingnya tersenyum kemudian gegas membuka seat belt.“Aku seneng kalau lihat kamu ceria gini, Sayang.”Lea hanya mengulum senyum sambil mengelus kemudinya.‘Siapa juga yang gak seneng dapat mobil sebagus ini.’“Yuk, kita turun!!”Kenan turun lebih dulu kemudian diikuti Lea. Wanita cantik itu terus mengumbar senyum manis di bibirnya. Ia berjalan sambil bergelayut manja di lengan Kenan. Kenan juga tersenyum sambil sesekali mengelus tangan Lea.Mereka terus berjalan masuk hingga saat hendak menitih tangga, langkah mereka terhenti. Ada Lisa yang menuruni tangga melihat mereka dengan tatapan iri.“Mbak Lea, selamat datang ke rumah. Selamat juga untuk mobil barunya,” sapa Lisa.Lea tersenyum lebar. “Terima kasih, Lisa. Kok kamu tahu kalau aku da
“GILA. Aku gak mau!!”Lea langsung memalingkan wajah dan melipat tangannya di depan dada. Ghea hanya terdiam, melirik Ghalib yang sudah masuk ke dalam mobil kemudian berganti melihat Lea yang duduk di depannya.“Aku baru mengenalnya. Aku tidak tahu siapa dia. Bagaimana mungkin aku dan dia bersengkokol?”Ghea mendengkus sambil menatap Lea dengan sendu.“Bukannya itu lebih baik. Lagipula ini hanya pura-pura, Lea.”“GAK!! Pokoknya aku gak mau. Dia teman Mas Kenan. Sudah pasti dia akan berpihak padanya dan tentu saja tidak akan membantuku. Apalagi kata Mas Kenan, hubungannya dengan Ghalib sangat dekat seperti saudara.”“Hmm … mungkin dulu seperti saudara, tapi sekarang kita tidak tahu. Berapa lama mereka tidak bertemu? Banyak orang berubah dalam satu hari apalagi beberapa tahun. Bukankan Kenan juga begitu.”Lea terdiam, menatap Ghea dengan ragu. Sedikit banyak ia membenark
“GHALIB!!!” seru Lea.Ia sangat terkejut saat melihat Ghalib sudah berdiri di depannya. Ghea yang duduk di depan Lea hanya bengong menatap sosok tampan itu.Ghalib tersenyum, menganggukkan kepala memberi salam kemudian langsung duduk di kursi kosong.“Lea, kamu mengenalnya?” tanya Ghea kemudian.Lea tersenyum sambil mengangguk.“Dia … dia Ghalib, temannya Mas Kenan.”Ghalib tersenyum menyapa Ghea. Sedangkan Ghea hanya mengangguk dengan mulut yang membentuk huruf ‘o’.“Syukurlah kamu sudah keluar dari rumah sakit. Tadinya aku mau menjengukmu hari ini.” Ghalib sudah membuka percakapannya seakan tak mempedulikan reaksi Ghea yang masih terkejut.“Aku baru keluar pagi ini.”“Begitu keluar langsung bekerja? Apa Kenan tidak melarangmu?”Lea berdecak sambil mengangguk. “Iya, dia melarangku. Aku yang keras kepala. Aku bosan di