“Ghalib?” ulang Kenan.
Lea mengangguk sambil tersenyum. Wajahnya terlihat ceria bahkan Kenan melihat mata istrinya terus berbinar indah. Kenan mendengkus sambil memalingkan wajah.
“Dalam rangka apa dia memberi ini semua?”
“Aku gak tahu. Aku dari tadi belum bisa menghubunginya.”
Kenan terdiam. Wajahnya terlihat muram bahkan Lea melihat tangan Kenan sudah mengepal seolah sedang menahan amarah.
“Gak usah hubungi dia. Biar aku temui langsung saja.”
Sebuah senyuman samar terlihat jelas di raut wajah Lea. Sedangkan Lisa sudah memasang tampang cemberut saat melihat reaksi Kenan pagi ini.
Selang beberapa saat Lea sudah tiba di toko bunganya. Baru saja Lea masuk toko, ponselnya sudah berdering nyaring. Lea terdiam dan melihat nama Ghalib di sana. Mungkin gara-gara Lea mengirim pesan padanya tadi pagi, Ghalib jadi tahu nomornya.
“Iya, Ghalib,” sapa Lea dengan ramah.
&ldqu
“Kamu akan pulang hari ini, Ghalib?” tanya Nyonya Emilia pagi itu.Hari ini mereka tampak sarapan bersama di ruang makan. Tidak ada bekas pernik pesta semalam yang tersisa. Bahkan hiasan balon dan bunga yang memenuhi ruangan sudah dibersihkan.Ghalib yang duduk berhadapan dengan neneknya tersenyum sambil mengangguk.“Iya, Nek. Aku harus mempersiapkan launching produk baru.”Nyonya Emilia mengangguk sambil menatap Ghalib dengan sendu.“Lalu kapan kamu akan mengenalkan Lea?”Ghalib tersenyum lagi sambil menundukkan kepala. Hingga saat ini Ghalib belum menceritakan siapa Lea sebenarnya. Selain karena belum mendapat kepastian dari Lea. Ghalib juga harus melihat keadaan neneknya.Tentunya status Lea sebagai janda dari Kenan akan menjadi pertimbangan neneknya juga. Namun, apa pun yang terjadi Ghalib akan memperjuangkan Lea.“Nanti ya, Nek. Kalau aku sedikit senggang. Lea juga sedang sibuk bel
“Apa hasil testnya?” tanya Nyonya Emilia.Ia tidak sabar saat Tuan Fandi membacanya. Tuan Fandi hanya diam, tidak bersuara, tapi sudah menyerahkan hasil test itu ke Nyonya Emilia.Nyonya Emilia langsung tercengang usai membaca hasil test tersebut.“Kamu bukan cucuku dan beraninya kamu berbohong selama ini!!!”Wajah Nyonya Emilia yang tadinya lembut dan teduh, serta merta berubah menjadi garang. Bahkan sudah menatap Lisa penuh amarah.Lisa ketakutan, berulang menggelengkan kepala sambil menyeka air matanya.“Enggak, Nek. Aku minta maaf. Aku tidak sengaja melakukan ini. Tolong, maafkan aku, Nek.”“Berani kamu panggil aku ‘Nenek’?”Lisa ketakutan saat Nyonya Emilia bangkit dari kursinya hendak memukul Lisa dengan tangannya. Serta merta Tuan Fandi menahan amarah ibunya.“Ma, aku yang salah. Aku harusnya menyelidiki lebih dulu dan juga melakukan t
Mata Tuan Fandi langsung berkaca-kaca usai mendengar kalimat terakhir Ghalib. Baru ini dia mendengar putra semata wayangnya memanggilnya ‘ayah’.Hal yang sama juga terjadi pada Nyonya Emilia. Wanita itu tersenyum dengan mata yang berkabut. Kemudian dengan lembut Nyonya Emilia menyentuh bahu Ghalib.“Ayahmu tidak pernah melupakanmu, Ghalib. Nanti biar Nenek yang membagi bagian ayahmu menjadi sama rata. Untuk kamu dan Lisa.”Ghalib hanya diam, ia sudah memalingkan wajah dari tatapan penuh cinta Tuan Fandi. Sementara Lisa hanya meliriknya dengan sinis. Ia kesal. Gara-gara Ghalib, bagian untuknya berkurang.“Sekarang kita lanjut makan saja, ya!!”Nyonya Emilia sudah mengambil alih pembicaraan lagi, tapi Ghalib tiba-tiba berdiri.“Sebenarnya … aku sudah menyiapkan kejutan untuk Nenek malam ini. Bukan, bukan untuk Nenek saja, tapi untuk semua yang hadir di sini.”“Kejutan apa yang
“Apa maksudnya, Ghalib? Kenapa kamu bicara seperti itu?”Sepertinya Nyonya Emilia menyadari ucapan Ghalib tadi dan ia jadi penasaran sehingga kembali mengajukan pertanyaan.Ghalib mengulum senyum sambil menggelengkan kepala.“Bukan apa-apa kok, Nek. Sudah, jangan dimasukkan hati. Lebih baik Nenek bersiap untuk pesta nanti malam. Aku punya banyak kejutan untuk Nenek.”Nyonya Emilia tersenyum sambil menganggukkan kepala. Kemudian keduanya sudah berjalan beriringan masuk ke bagian dalam rumah.Pukul tujuh malam, semua penghuni rumah berkumpul di ruang makan. Ada Nyonya Emilia, Tuan Fandi, Ghalib dan juga Lisa. Mereka tidak mengundang tamu lain untuk pesta ulang tahun malam ini. Nyonya Emilia tidak menginginkannya, tapi dia mengizinkan Lisa mendekor rumah dengan banyak bunga dan balon.“Jam berapa kamu datang, Ghalib? Kenapa Ayah tidak melihatmu seharian tadi?”Tuan Fandi membuka pembicaraan sambil mena
“Apa kamu sudah dengar kabar tentang Bu Lea?” tanya seorang karyawan siang itu.“Kabar apa?” tanya yang lain menyahuti.“Bu Lea kecelakaan di puncak. Katanya sih selamat, tapi aku dengar dia baru saja mendapat musibah lagi.”“Musibah apa?”“Ada yang menikam Bu Lea saat di rumah sakit. Itu sebabnya kondisi Bu Lea sekarang kritis.”“Ya Tuhan … .”Beberapa karyawan terlihat sedih, bahkan ada di antaranya yang menitikkan air mata. Lisa yang tanpa sengaja mendengar obrolan itu hanya diam.Saat ini dia memang sedang berada di kantin karyawan untuk makan siang, tidak disangka Lisa akan mendengar hal seperti ini.“Apa mungkin launching produknya akan diundur?” Kembali salah satu karyawan bertanya, sepertinya dia salah satu bagian tim Lea.“Sepertinya begitu, tapi kita tunggu Tuan Ghalib saja. Bagaimanapun dia yang berhak mengambil ke
“Lisa? Apa Anda mengenalnya?”Ghalib tidak menjawab. Ia duduk menyilangkan kaki sambil menautkan kedua tangan di atas lutut menatap tajam ke Handoko.“Sekarang, ceritakan saja siapa sebenarnya Lisa maka saya anggap Anda tidak berhutang pada saya.”Handoko tersenyum lebar, matanya yang tampak ketakutan kini kembali bersinar. Wajahnya juga tampak berseri-seri. Tidak pernah dia sesenang ini. Kalimat Ghalib barusan bagai oase di padang pasir.“Saya mulai dari mana, Tuan?” Handoko sangat antusias bahkan sudah mengubah posisi duduknya lebih nyaman berhadapan dengan Ghalib.Ghalib menarik napas tanpa sedikit pun melepas perhatiannya dari Handoko.“Ceritakan mulai dari siapa ayah dan ibunya!!”Handoko tersenyum, menganggukkan kepala sambil mulai bercerita. Ghalib hanya diam mendengarnya dan tak sedikit pun menyela penjelasan pria itu.Setelah hampir satu jam, Ghalib keluar dari kamar.