"Aisyah... Loh, Nduk, kok sendiri? Ilyas mana?" ujar sang bunda kala melihat putrinya datang dengan kondisi lemas.
"Mas Ilyas masih ada kerjaan, Bun. Aisyah udah kangen banget jadi ke sini deh.. " ujar Aisyah mencoba menutupi remuk hatinya.Sang bunda hanya mengernyitkan dahi. Ia kenal betul dengan putrinya. Aisyah bukan tipekal orang yang mau keluar sendirian ketika kondisinya sakit. Seluruh orang yang mengenalnya dengan baik sangat paham betapa manjanya Aisyah ketika sedang sakit."Yaudah, sekarang kamu tiduran dulu di kamar, gih. Badanmu demam gitu. Sudah makan belum?" ujar sang Bunda yang memilih tidak mengorek masalah keluarga yang Aisyah alami hingga berani datang ke rumah dalam keadaan sakit."Hehehe, belum bun. Aisyah kangen masakan bunda jadi gak makan dulu sebelum ke sini.. " kilah gadis cantik itu."Kalau gitu kebetulan banget. Bunda lagi masak soto kesukaan kamu. Bunda ambilin dulu ya? Abis makan bunda antar ke kamar."Aisyah mengangguk pelan, perlakuan sang bunda selalu mampu meredam kekacauan dalam hatinya. Bundanya Aisyah, yang biasa dipanggil Bunda Nisa, tak pernah memaksakan anak-anaknya untuk bercerita banyak hal. Ia paham betul, jika suatu saat nanti anaknya akan bercerita di waktu yang tepat. Meski tak dipungkiri jika hati sang bunda juga risau melihat putrinya pulang ke rumah sendirian dalam keadaan lemas, tapi Nisa lebih memilih tidak ikut campur dengan urusan keluarga putrinya.Setelah masuk kamar, Aisyah tak tahan untuk menampung air matanya lagi. Ia menangis setiap mengingat suaminya yang memilih makan bersama wanita lain daripada bersegera menjemput dirinya yang sedang sakit.Ting!Suara handphone Aisyah berbunyi, pertanda pesan masuk. Itu dari suaminya, Ilyas. Ia bertanya tentang keberadaan Aisyah. Perempuan itu tak menggubris pesannya.Beberapa menit kemudian ada telepon masuk, Aisyah juga tidak mengangkatnya. Hatinya begitu kecewa dengan perbuatan Ilyas.Tok Tok Tok"Nak, bunda boleh masuk?" ujar sang bunda dari luar pintu kamar putrinya."Boleh, Bunda. Pintunya ndak Aisyah kunci kok.. "Nisa pun masuk ke dalam kamar Aisyah, ditatapnya wajah sang putri yang pucat dengan penuh kasih sayang."Nih... soto kesukaan kamu. Masih hangat, bunda suapin atau mau makan sendiri?" lembut tutur Nisa menggetarkan hati Aisyah, membuat nanar matanya. Perempuan muda itu ingin sekali menangis di pelukan sang bunda. Tapi ia tahan, ia tidak mau bundanya khawatir berlebihan atas masalah yang ia sendiri belum jelas.Tepat ketika Nisa memberikan suapan pertama pada Aisyah, telepon Aisyah kembung berdering. Ilyas kembali menelpon, tapi Aisyah tetap mengabaikankannya.Nisa yang melihat itu hanya bisa menghela napas berat, dugaannya benar, putrinya sedang mengalami masalah dengan suaminya."Nak.. Bunda tidak akan ikut campur dengan urusan rumah tanggamu. Hanya saja, apapun masalahnya, Aisyah tidak boleh menghindar. Aisyah harus membicarakan semuanya dengan baik-baik dengan Ilyas." ujar Nisa lembut.Aisyah diam, hatinya kacau. Rasanya ia tidak ingin berbicara apapun pada Ilyas. Tapi nuraninya selalu menuntut kejelasan atas sikap Ilyas itu."Terimakasih, Bunda. Aisyah izin menginap di sini untuk beberapa hari ya, Bun?"Nisa mengangguk, "Jangan lupa, kamu harus tetap mengabari suamimu, ya," jelas Nisa.Aisyah mengangguk dengan memaksakan senyumnya, Nisa kembali menyuapi Aisyah sampai tak ada satu nasi pun yang tersisa di piringnya."Aisyah, putri kecintaan bunda, bidadarinya bunda... Jangan pernah merasa sendiri ya, Nduk? Bunda yakin, segala hal yang terjadi di dunia ini adalah atas kehendak Allah. Ketika ada ujian yang menimpa Aisyah, Bunda haqqul yakin, Aisyah mampu melewatinya atas izin Allah." Nisa mengelus lembut kepala Aisyah. Sang putri tak lagi tahan membendung air matanya. Ia menangis tersedu lalu memeluk sang bunda."Bunda.. do'ain Aisyah dan Mas Ilyas ya, Bun. Aisyah hanya butuh istirahat sebentar untuk menenangkan hati Aisyah," ujar perempuan berusia dua puluh tiga tahun itu sesenggukan."Iya, Nak. Gak papa. Bunda akan selalu menerima Aisyah di sini. Sekarang Aisyah istirahat dulu, ya," Nisa mengecup dahi putrinya lembut. Ia menghapus air mata putrinya dengan penuh kasih. Ibu mana yang tega melihat putrinya menangis? Hati Nisa ikut remuk, ia ingin ikut menangis. Tapi jika ia menangis, maka kekuatan Aisyah juga akan semakin lemah. Ia harus kuat untuk bisa lebih menguatkan putrinya bahwa semua masalah akan berakhir baik-baik saja.***Ilyas datang ke rumah Rana tepat ketika senja mulai tenggelam. Di tangannya kini penuh dengan barang-barang bermerk yang sengaja ia beli untuk membuat Rana senang.Ilyas memarkir sepeda motornya di garasi samping rumah Rana. Selain memberi barang, Ilyas juga membelikan beberapa makanan kesukaan Rana.Bi Rumi dengan sigap membantu Ilyas membawa barang-barang itu. Melihat kedatangan Ilyas dengan seluruh bawaannya membuat hati Rana senang."Kamu gak naik mobil, Yas?" tanya Rana penasaran."Dibawa Aisyah, Ran. Ck, dia masih marah sama aku gegara masalah kemarin.. " ujar Ilyas lalu mendekati Rana, ia duduk di depan perempuan cantik itu.Rana mengangguk, "Ini kamu bawa apa aja sih kok banyak banget?" ia mengalihkan pembicaraan."Kemarin kan aku janji mau beliin baju-baju buat kamu. Coba kamu lihat dulu deh, suka gak?"Rana pun membuka satu per satu bingkisan yang Ilyas bawa. Dia suka semua barang-barang itu. Ilyas memang selalu bisa memahami kesukaan Rana.Keriangan Rana membuat Ilyas begit
Usai mendapat telepon dari Rana, pagi Ilyas dipenuhi rasa semangat. Berbeda dengan Aisyah yang memulai pagi masih dengan rasa pilu.Meski begitu, Aisyah tetap melakukan kewajibannya. Dia menyiapkan sarapan untuk Ilyas sebelum berangkat sekolah. Bedanya, ia tidak sedikit pun memulai pembicaraan.Ilyas yang melihat Aisyah menyiapkan makanan, senyumnya mengembang begitu sumringah. Ia mendekati sang istri laiknya tak terjadi apapun."Hai cantik.. masak apa nih?" ujarnya sembari mendekati Aisyah.Perempuan bermata cokelat itu merasa tak nyaman, risih dengan perilaku Ilyas. Bukankah harusnya dia berkata "Sayang? maafin aku... " begitu?Aisyah tak menjawab ucapan Ilyas, ia tak berminat untuk berbicara pada lelaki yang membuat perasaannya gundah itu.Menyadari sikap Aisyah yang berbeda, Ilyas langsung menghembuskan napas berat. Ia tidak ingin memperpanjang persoalan, terlebih ketika hatinya sedang bahagia pagi itu.Maka Ilyas hanya mengecup pipi Aisyah, lalu bergegas ke meja makan tanpa menga
Ilyas mendengus kesal, segala ucapannya tak ada yang mendapat respon dari sang istri. Ia bingung harus melakukan apa lagi untuk membuat sang istri mempercayainya kembali?"Kalau kamu diam gini, aku bingung harus apa, Ais.." ujar Ilyas penuh penekanan.Aisyah hanya menangis, ia makin terisak. Sakit hati yang ditorehkan Ilyas begitu memilukan. Ilyas tak tahan lagi, dia akhirnya melontarkan satu kata yang membuat istrinya makin pilu."Yaudah, Ais. Terserah kamu aja," tukas Ilyas sembari meninggalkan kamar.Ilyas yang biasanya tidak akan pernah menyerah untuk membujuk Aisyah saat marah, kini telah berbeda sebab ada pembanding yang ia anggap lebih baik.Aisyah meringkuk dalam tangis dan kesalnya. Kali ini, ia akan membiarkan dirinya sendiri. Tenggelam dalam tiap air mata yang mengalir deras. Membiarkan seluruh kejadian malam ini berjalan laiknya air mengalir."Aku akan membiarkan kamu untuk kali ini, Mas. Biasanya, kamu akan terus memelukku sampai aku selesai menangis dan mau menceritakan
Aisyah menghela napas berat, "Kalau begitu, pulang sekarang, dan jangan pernah lagi datang ke tempat ini!" tegas Aisyah dengan hati yang masih membara.Ilyas langsung mematung, ia tidak menyangka istrinya akan meminta hal seperti itu. Bukankah biasanya istrinya berhati begitu lembut? Bagaimana pun dia membiarkan dirinya tidak lagi datang ke sini sedangkan Rana masih dalam kondisi tidak baik?Melihat suaminya yang hanya diam merenung, Aisyah menekankan kembali perkataannya, "Kamu kan yang minta aku membuat permintaan? Kamu bilang akan mengabulkan semuanya, tapi kenapa diam aja, Mas? Gak bisa menerima?!"Ilyas langsung tersedar dengan ucapan Aisyah, "Eng-enggak gitu, Ais. Aku cuma memikirkan.. kalau aku gak boleh ke sini lagi, bagaimana aku bisa menebus kesalahanku pada Rana?" tanya Ilyas memelas.Aisyah mengernyitkan dahinya, "Itu urusanmu, Mas. Kenapa kamu bertanya hal itu padaku? Kamu harus tahu, Mas. Aku gak peduli, mau kamu bisa balas budi atau enggak. Lagi pula menurut aku apa yan
Hampir seharian penuh, di hari libur itu, Ilyas mendedikasikan waktunya untuk Rana. Dia menghibur perempuannya yang sedang pilu. Semua orang di rumah besar itu tahu akan kehadiran Ilyas, termasuk Yusuf dan Arka.Anak kecil itu sempat mendatangi Rana, ia memeluk ibunya dengan kesedihan mendalam. Ilyas hanya diam, dia tidak suka Arka. Jika bukan karena menjaga hati Rana, ia pasti akan mengusir anak dari lelaki yang telah merebut kekasihnya itu.Arka lagi-lagi tertidur usai menangis di pangkuan Rana. Perempuan itu meminta bantuan Yusuf untuk menidurkan putranya di kamarnya sendiri."Maaf, Nyonya. Ini hari pertama Tuan Eza meninggalkan Anda. Saya rasa bukan hal yang sopan jika ada lelaki lain yang terus mendampingi Anda di sini," ujar Yusuf berani, dia geram melihat perilaku Rana yang membiarkan Ilyas di sisinya di hari duka suaminya.Rana berdecak kesal, "Jangan ikut campur, Suf. Urusan saja urusanmu sendiri!"Yusuf menatap Rana tajam, "Tuan Eza sangat mencintai Anda, Nyonya. Bukankah An
Prosesi pemakaman Eza berjalan lancar. Banyak orang yang datang untuk mengucap duka. Aisyah terus menemani Rana yang kini tak banyak bicara. Perempuan itu tak bisa menutupi kekacauan dirinya. Arka yang sejak tadi digendong Yusuf juga tak kalah murung. Anak kecil itu pintar, dia sudah tahu makna kata meninggal. Pergi selamanya, dan tak lagi bisa bertemu. Ia sama sekali tak mendekati Rana, sebab Yusuf memeluknya erat. Kondisi Rana saat ini juga tidak stabil, Yusuf khawatir, Arka hanya akan jadi pelampiasan emosi Rana. "Kamu pulang aja, Ais," lirih Rana sembari menatap perempuan berjilbab yang menemani Rana sejak tadi. Tatapannya kosong, kilatan harapan yang biasanya merona tak lagi ada di sana. "Aku masih ingin nemenin kamu, Rana... " ungkap Ais yang juga menatap wajah pucat Rana. "Aku ingin sendiri," Rana memalingkan wajah, ia tidak bisa mengekspresikan diri dengan bebas ketika ada Ais. Ia malu untuk menampakkan sisi buruknya di depan perempuan yang begitu sempurna di mata Rana.
Detik demi detik terasa ngilu usai kepergian Eza. Mata Aisyah sembab, Yusuf sudah mengurus pemakaman Eza. Saat ini, jenazah Eza dalam proses dimandikan.Rana terbangun, tubuhnya terasa lebih segar usai beristirahat penuh. Matanya yang mengerjap perlahan mulai menangkap keberadaan Aisyah dengan kepiluan di wajahnya."Ais... "Suara lirih Rana membuat Aisyah tersadar dari lamunannya. Ia tersenyum ketika mendapati Rana telah sadar dari tidur panjangnya."Gimana kondisi kamu, Rana? Ada yang sakit? Aku panggilkan dokter ya... " Aisyah begitu peduli pada perempuan cantik itu.Rana menggeleng, "Tubuhku terasa lebih segar, Ais," Rana tersenyum kecil, kemudian ia mengedarkan pandangannya ke tempat tidur Eza. Kosong. Tidak ada siapapun di sana."Eza dimana, Ais? Dia udah sadar belum?" Raut kekhawatiran tampak jelas di wajah Rana.Aisyah diam, ia harus berkata apa? Rana baru saja sadar, ia tidak ingin perempuan itu kembali down mendengar kabar tentang Eza."Ais?""E-eh sorry. Eza.. Em, dia udah
Pukul empat pagi, Aisyah semalaman berjaga di ruangan Eza. Jujur, matanya sudah terasa berat. Tapi itu bukan masalah, sebab bagi Aisyah, kebermanfaatan dirinya untuk orang-orang yang ia sayangi itu lebih penting dari pada dirinya sendiri.Adzan subuh berkumandang lima belas menit kemudian, Aisyah telah siap menghadap Sang Maha Esa. Sajadah yang ia gelar menjadi tempatnya merendahkan diri sembari berdzikir padaNya. Semalam penuh ia menghadirkan dirinya untuk bercerita dan meminta hal-hal baik untuk orang-orang di sekitarnya.Usai shalat subuh, Aisyah membangunkan Ilyas. Lelaki itu menggeliat, "Shalat dulu, Mas," ujar Aisyah lembut. Dengan wajah setengah mengantuk, Ilyas bangun. Ia mandi, berwudhu, dan melaksanakan shalat.Usai shalat, Ilyas langsung pamit pergi bekerja. Dua minggu terakhir selalu seperti itu. Ketika Aisyah sempat ingin meminta waktu Ilyas sebentar, ia bilang bahwa kliennya akan datang sangat pagi jadi ia tidak boleh terlambat. Tak ada waktu bagi Aisyah menanyakan perub
Aisyah dan Ilyas berjalan cepat menuju ruangan Eza dirawat. Aisyah khawatir dengan kondisi Rana yang pasti teramat sedih, meski ia juga cukup mengkhawatirkan keadaan Eza, bagaimana pun mereka berteman dekat ketika kecil.Ketika sudah sampai di ruangan Eza, Ilyas masuk lebih dulu. Dia melihat Rana yang menangis pilu, matanya sembab, wajahnya begitu sendu."Rana.. kamu gak papa?" ujar Ilyas sembari mendekati perempuan yang masih ia cintai, sementara Rana tak merespon apapun. Dia mengalihkan pandangannya pada Aisyah yang baru masuk ke dalam ruangan."Ais..... " suara Rana bergetar. Perempuan berjilbab itu langsung mendekati Rana dan memeluknya erat."Sabar ya, Rana. Aku di sini sekarang. Aku temenin kamu jagain Eza, dia pasti bakal baik-baik saja, oke?" Aisyah mengelus rambut Rana. Ilyas yang merasa tak direspon hanya bisa mundur, hatinya bergemuruh ketika melihat Rana begitu peduli pada Eza.Sementara Aisyah, meski hatinya gundah atas sikap Ilyas, ia memilih untuk tak memikirkannya saat