Aisyah mencoba memejamkan mata, namun tak kunjung mampu menapak alam mimpi. Pikirannya terus melayang pada Ilyas dan teman perempuannya itu.
Kring kring kringTelepon Aisyah berdering lagi. Ia menatap layar handphonenya ragu-ragu. Hati kecilnya meminta ia mengangkat telepon itu dan membicarakan semuanya dengan jelas. Tapi egonya tak ingin kalah, ia ingin setidaknya Ilyas menyadari kesalahannya. Apa sulitnya jika ia mengirim pesan "maaf" begitu?Aisyah akhirnya tak merespon telepon Ilyas, namun handphonenya berdering lagi. Aisyah terpaksa mengangkatnya. Mendengar sapaan suara Ilyas di seberang sana, hati Aisyah bekecamuk."Aisyah dimana? Mas cariin dari tadi tapi kata orang-orang di sekitar RS ngelihat Aisyah udah pulang...""Aku di rumah bunda, Mas. Jangan cari aku, nanti aku pasti pulang.""Ais. .. Kenapa? Kamu tiba-tiba pulang duluan, kondisi kamu masih lemas. Aku khawatir... ""Khawatir? Memang ada ya mas orang khawatir tapi malah makan berduaan sama perempuan lain?"Hening, Ilyas terkejut dengan kalimat yang istrinya lontarkan itu, "Ais....""Aku dari pagi belum makan dan langsung periksa ke RS, kondisiku lemas, tapi kamu malah makan berdua sama perempuan lain. Apa itu yang namanya khawatir?""Sayang... Dengerin mas dulu... ""Apa mas? Dengerin apa? Mas kira aku gak tau kalau mas berduaan sama perempun lain, huh?" Perempuan itu mulai menangis lagi. Suaranya parau dan sesenggukan. Hatinya masih kecewa ketika mengingat suaminya yang tertawa bahagia dengan perempuan selain dirinya."Ais, sayangnya mas.. Maafin mas karena terlalu lama jemput Ais. Sekarang mas minta Ais tenang dulu ya? Ndak baik, sayang, kalau berpikir dalam keadaan marah. Ais mau tenang dulu?" Ujar Ilyas lembut.Aisyah menggigit bibirnya sembari mengucap istighfar. Perkataan suaminya begitu lembut, dan ia mengatakan kebenaran. Berpikir dalam keadaan marah memang tidak baik."Mas akan jelasin semuanya. Kapan mas boleh nemuin Ais?""Ais yang akan menemui mas kalau hati ais udah tenang.""Hmm, mas bakalan kangen berat dong nihh... " Goda Ilyas.Aisyah tak menjawab apapun, ia langsung mematikan sambungan telepon suaminya. Hatinya sedikit tenang usai berbicara dengan Ilyas. Meski tak bisa dipungkiri, kekecewaan dalam hati Aisyah juga melekat begitu erat.Usai percakapan itu, Aisyah bisa memejamkan mata. Meski tidak setelah biasanya, tapi setidaknya.. perempuan itu bisa mengistirahatkan dirinya.***Dua hari berlalu, kondisi Aisyah perlahan pulih. Hari ini ia berencana pulang menemui suaminya. Ia ingin tahu penjelasan apa yang Ilyas siapkan untuknya."Bunda, Aisyah pulang dulu ya.. Bunda baik-baik di sini. Ayah hari ini pulang kan?""Iya, katanya sih nanti sore baru sampai bandara.""Hmm, Aisyah titip salam buat ayah ya, Bun," wajah Aisyah jauh lebih cerah dari sebelumnya. Selama dua hari terakhir, perempuan itu melatih hati dan pikirannya untuk bisa lebih tenang."Aisyah.... ""iya, Bun?""Jangan lupa dzikrullah ya, Nak. Biar hati Aisyah selalu tenang... "Aisyah tersenyum damai mendengar nasihat itu, bundanya selalu saja mampu membuat hati tenang."insyaAllah, Bunda. Aisyah pulang ya, Bun? Assalamu'alaikum," pamit Aisyah sembari mencium punggu tangan Nisa."Wa'alaykumussalam wa rahmatullah. Hati-hati di jalan ya bidadarinya bunda," Nisa mengecup kening Aisyah."InsyaAllah, bunda," jawab Aisyah lalu melambaikan tangannya.Setelah masuk ke ojek mobil yang ia pesan secara online, Aisyah menghela napas panjang. Ia telah mempersiapkan hati dan pikirannya untuk mendengarkan penjelasan dari Ilyas. Hari ini, ia berharap Ilyas bisa memberikan alasan yang melegakan hatinya. Ia tidak lagi ingin dihantui beragam kekhawatiran seperti dua hari terakhir.***Setelah sampai di rumah, Aisyah tidak melihat keberadaan Ilyas. Ia mengucap salam, memanggil nama Ilyas, tapi tak ada satupun jawaban. Padahal ini hari libur, harusnya Ilyas tidak sedang pergi bekerja."Atau mungkin dia sedang olahraga pagi?" Batin Aisyah."Tapi kan dia biasanya dia males olahraga pagi kecuali aku paksa dulu.. " Lanjutnya lagi.Aisyah mencoba membuka handphonenya, ia menelpon Ilyas. Tapi tak ada jawaban. Ia mengirim pesan padanya, tetap tak ada jawaban. Perempuan ituu menghela napas berat."Yasudahlah, mungkin keluar sebentar. Aku masak dulu kalau gitu," Batinnya sembari melangkah ke dapur.Aisyah mengeluarkan beberapa bahan yang tersisa di kulkas untuk diolah. Meski ia udah sarapan di rumah Nisa, ia memikirkan suaminya yang barangkali belum sarapan.Selama memasak, pikiran Nisa melayang pada pertanyaan-pertanyaan tentang kondisi Ilyas selama jauh darinya. Siapa yang memasak untuknya? Apakah makannya terpenuhi tiga kali sehari? Lalu siapa yang membuat cemilan untuknya? Ia paham betul suaminya itu suka sekali cemilan sehat yang dibuat Aisyah.Pikiran-pikiran itu hanya sekadar lewat saja di benaknya. Ia bahkan juga tak bisa menjawab semua pertanyaan itu. Setelah satu jam memasak, seorang lelaki berusia dua puluh lima tahun mengucap salam. Aisyah kenal betul suara itu."Wa'alaykumussalam... " Jawab Aisyah sembari mendekati sang suami. Ada rindu yang ingin ia hempaskan, namun juga ada kecewa yang masih bersarang di hatinya."Aisyah? Kapan kamu datang, Ais?" Ujar Ilyas sembari mengecup kening istrinya."Barusan, Mas. Kamu dari mana?""Mas tadi olahraga bentar. Lari pagi.. " Jawab Ilyas sembari mengusap keringat di dahinya dengan handuk kecil yang ia bawa.Aisyah mengangguk kecil, "Ais barusan masak, mas mau sarapan dulu atau mandi dulu?" Aisyah mencoba ramah, meski banyak pertanyaan berdatangan ketika ia melihat Ilyas, tapi ia mencari waktu terbaik untuk bicara serius dengan suaminya."Aku akan mandi dulu, sayang. Bisa tolong siapkan baju untukku?"Aisyah mengangguk patuh, Ilyas langsung menuju kamar mandi untuk bersih diri. Sedangkan Aisyah menyiapkan pakaian santai untuk suaminya di kamar.Ketika ia mengambil baju di tumpukan kaus suaminya, sebuah foto terjatuh dari sana. Itu foto lama, terlihat dari warnanya yang masih hitam putih. Ketika mengambil foto itu, Aisyah dibuat kaget. Itu foto suaminya dan seorang perempuan dengan rambut panjang bergelombang."Perempuan ini kan.... "Aisyah mengingat kembali wajah yang ada dalam foto itu. Mirip sekali dengan perempuan yang makan bersama Ilyas beberapa hari lalu. Perempuan bermata cokelat itu menggigit bibirnya, kekhawatiran itu kembali muncul.Pintu kamar mandi terdengar hendak dibuka, Aisyah segera menaruh foto itu ke dalam sakunya. Ia akan menanyakan foto itu nanti. Aisyah kemudian memgambil satu kaus untuk Ilyas, beserta celana pendek untuk digunakan di rumah.Ilyas keluar kamar mandi dalam keadaan tertutup handuk dari perut hingga pahanya. Ketika melihat sang istri di kamarnya, Ilyas mendekati Aisyah dengan senyum manis.Jika sudah begini, Aisyah paham betul apa maksud Ilyas. Hatinya dibuat risau kali ini. Ia yakin betul Ilyas pasti akan meminta haknya sebab Aisyah tak pernah di dekatnya dua hari terakhir. Tapi Aisyah masih merasa enggan, dalam benaknya masih terlintas foto yang baru ia temui itu."Ais... Mas boleh.... ""Mas, mas gak capek kah? Kan habis olahraga?" Ujar Aisyah mencoba mengurungkan niat Ilyas."Bisa sarapan nanti. Mas udah kangen banget sama Ais," Ujar Ilyas sembari mengecup pipi istrinya."Aisyah ke kamar mandi dulu ya?" Perempuan itu mencoba menjernihkan pikirannya lebih dulu. Ia tidak mau menunaikan kewajiban sebagai istri dengan setengah kemauan.Ilyas tersenyum, mengizinkan Aisyah ke kamar mandi. Pikirnya, istrinya itu akan mempersiapkan diri. Aisyah bergegas ke kamar mandi sembari membawa beberapa perlengkapan yang akan ia gunakan. Setelah di kamar mandi, Ia menarik napas dalam dalam-dalam, dan menghembuskannya perlahan."Tenang, Aisyah... Tenang... Setidaknya kamu harus membuat suamimu dalam kondisi baik dan senang agar ia bisa menceritakan banyak hal padamu, kan?" Lirihnya pada dirinya sendiri.Perempuan itu lagi-lagi menarik napas panjang, dan menghembuskannya perlahan. Ia kemudian mengambil wudhu, lalu bergegas merapikan diri, mengganti pakaian terbaik agar membuat suaminya nyaman, dan menggunakan parfum khusus yang ia gunakan untuk bermain bersama suaminya di ranjang.Setelah Aisyah siap, ia keluar dari kamar mandi dan menemui suaminya. Kecantikan Aisyah dengan pakaian mininya membuat darah Ilyas bedesir hebat. Ia menarik Aisyah dalam pelukannya.Ditatapnya wajah Aisyah yang begitu merona, kecantikannya memang luar biasa. Namun dalam benak Ilyas, wajah perempuan dari masa lalunya kembali mengganggu ingatannya. Sampai detik ini, meski sudah dua tahun menikahi Aisyah, hatinya tak bisa melupakan cinta masa lalunya itu."Sweety... " Lirih Ilyas sembari mengecup bibir Aisyah.Aisyah menghela napas berat, "Mas, aku kan sudah hilang.. Aku tidak begitu suka kalau kamu menggunakan panggilan itu untukku. Bagaimana jika kamu sebut namaku saja?"Ucapan Aisyah menyadarkan Ilyas, lelaki itu menepis bayang-bayang masa lalunya. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya."Kamu kenapa, Mas?" Ujar Aisyah yang melihat Ilyas tampak gusar.Lelaki itu kemudian menjauhkan tubuh Aisyah darin pelukannya. Darahnya yang berdesir tiba-toba menurun begitu saja. Aisyah merasa heran dengan sikap Ilyas. Ia melihat binar yang redup di mata suaminya itu.Tanpa pikir panjang, demi melayani suaminya dengan baik, Aisyah mengambil inisiatif. Ia mengecup bibir Ilyas dengan lembut. Setelah itu ia berbisik di telinganya, "Baiklah, kali ini aku mengalah. Panggil aku sesukamu, Mas," Lirih Aisyah dengan suara yang ia buat mendayu.Hal itu membuat Ilyas kembali mendapatkan gairahnya. Ia menarik tubuh Aisyah ke dalam pelukannya. Ruangan kamar itu terasa panas untuk beberapa menit berikutnya. Pasutri itu terlena dalam ibadah sunnah pernikahan. Namun di balik itu, ada kesenjangan yang luar biasa antar keduanya. Aisyah melayani suaminya dengan sepenuh hati. Sedangkan Ilyas, melayani sang istri laiknya ia melihat perempuan lain yang sedang ia layani. Sebuah pengkhianatan yang ia lakukan diam-diam telah menodai pernikahan suci mereka. Menyakiti hati seorang perempuan yang dengan tulus mencintainya.***Suasana pagi di rumah Aisyah tampak begitu cerah. Hati Aisyah lebih damai dari sebelumnya, begitupun dengan Ilyas. Mereka kini sedang sarapan bersama dan sesekali bercanda di meja makan."Mas, waktu liburanku udah mau habis, nih. Besok aku udah harus masuk kerja lagi," Ujar Aisyah usai menyelesaikan makannya."Bukannya kamu senang kerja ya sayang?" Jawab Ilyas yang juga selesai menyantai nasi terakhir di piringnya."Senang sih.. Cuma waktu kita bakal berkurang lagi. Kamu tahu sendiri kalau aku udah aktif kerja, pagi sampai sore aku sibuk d sekolah. Sedangkan kamu, sejak diangkat jadi manajer konstruksi, rapatnya selalu saja malam hari," Sewot Aisyah dengan wajah manja."Sayang... Kita memang terbatas waktu untuk bertemu. Tapi setiap libur kan biasanya kita selalu menyempatkan waktu untuk liburan, hm? Sehari-hari juga kita biasanya sering video call gitu.. " Ilyas menatap Aisyah dengan penuh kasih.Aisyah mengangguk kecil, tiba-tiba bayang-bayang foto itu kembali muncul di benaknya. Ia rasa, ia perlu membicarakan itu sesegera mungkin dengan Ilyas."Mas, boleh gak Aisyah bicara hal serius?""Boleh.. Tentang apa itu?"Aisyah kemudian mengeluarkan sebuah foto yang ia temukan tadi, "Ini perempuan yang makan bareng kamu, kan?"Ilyas cukup kaget dengan foto itu, ia ingat betul jika ia sudah menyimpannya dengan teramat aman di tumpukan kausnya."Kamu dapat foto ini dari mana?" Tanya Ilyas dengan tatapan curiga.Aisyah mengedikkan bahunya, "Tadi kan mas minta aku untuk nyiapin baju. Foto ini jatuh pas aku milih kaus untuk mas," Jawab Aisyah ringan.Ilyas menghela napas panjang, "Em.. Dia sahabat Mas, Ais," jawab Ilyas sembari menunduk.Aisyah mengernyitkan dahinya tak percaya, "Bukannya mas pernah cerita kalau mas gak pernah punya sahabat perempuan?""Punya satu, tapi dia sekolah ke luar negeri. Sejak lulus SMA, aku gak komunikasi lagi sama dia. Aku kira dia udah menetap di LN, jadi kukira tidak akan ada lagi sahabat perempuan karena dia tidak lagi berkabar di kejauhan sana," Jelas Ilyas sembari menatap mata Aisyah lembut."Sahabatan sejak kapan?" Aisyah masih ingin bertanya banyak, kali ini ia harus bertanya semuanya untuk membuat hatinya tenang."Sejak SMP," Singkat Ilyas."Yakin cuma sahabatan?" Aisyah masih tidak percaya, hatinya merasa hubungan Ilyas dan perempuan bernama Rana itu lebih dari sahabat."Iya, humairaku. Masak Aisyah gak percaya sih sama mas?""Aisyah cuma ingin memastikan aja.... "Hening, Ilyas tak menjawab apapun lagi."Kenapa masih nyimpen foto ini, Mas?" Aisyah memecah keheningan lagi.Hening, pertanyaan itu membuat Ilyas lagi-lagi berpikir keras. Ia perlu mencari alasan yang tidak membuat istrinya curiga. Meski ia masih mencintai masa lalunya, ia juga belum siap untuk berpisah dengan Aisyah. Bagaimana pun ia telah bersama dengan Aisyah selama dua tahun, dan Aisyah tidak pernah sedikit pun mengecewakan Ilyas. Ilyas tidak tega jika harus menyakiti hati Aisyah."Apa yang harus aku katakan padanya?" Batin Ilyas risau.****Ilyas datang ke rumah Rana tepat ketika senja mulai tenggelam. Di tangannya kini penuh dengan barang-barang bermerk yang sengaja ia beli untuk membuat Rana senang.Ilyas memarkir sepeda motornya di garasi samping rumah Rana. Selain memberi barang, Ilyas juga membelikan beberapa makanan kesukaan Rana.Bi Rumi dengan sigap membantu Ilyas membawa barang-barang itu. Melihat kedatangan Ilyas dengan seluruh bawaannya membuat hati Rana senang."Kamu gak naik mobil, Yas?" tanya Rana penasaran."Dibawa Aisyah, Ran. Ck, dia masih marah sama aku gegara masalah kemarin.. " ujar Ilyas lalu mendekati Rana, ia duduk di depan perempuan cantik itu.Rana mengangguk, "Ini kamu bawa apa aja sih kok banyak banget?" ia mengalihkan pembicaraan."Kemarin kan aku janji mau beliin baju-baju buat kamu. Coba kamu lihat dulu deh, suka gak?"Rana pun membuka satu per satu bingkisan yang Ilyas bawa. Dia suka semua barang-barang itu. Ilyas memang selalu bisa memahami kesukaan Rana.Keriangan Rana membuat Ilyas begit
Usai mendapat telepon dari Rana, pagi Ilyas dipenuhi rasa semangat. Berbeda dengan Aisyah yang memulai pagi masih dengan rasa pilu.Meski begitu, Aisyah tetap melakukan kewajibannya. Dia menyiapkan sarapan untuk Ilyas sebelum berangkat sekolah. Bedanya, ia tidak sedikit pun memulai pembicaraan.Ilyas yang melihat Aisyah menyiapkan makanan, senyumnya mengembang begitu sumringah. Ia mendekati sang istri laiknya tak terjadi apapun."Hai cantik.. masak apa nih?" ujarnya sembari mendekati Aisyah.Perempuan bermata cokelat itu merasa tak nyaman, risih dengan perilaku Ilyas. Bukankah harusnya dia berkata "Sayang? maafin aku... " begitu?Aisyah tak menjawab ucapan Ilyas, ia tak berminat untuk berbicara pada lelaki yang membuat perasaannya gundah itu.Menyadari sikap Aisyah yang berbeda, Ilyas langsung menghembuskan napas berat. Ia tidak ingin memperpanjang persoalan, terlebih ketika hatinya sedang bahagia pagi itu.Maka Ilyas hanya mengecup pipi Aisyah, lalu bergegas ke meja makan tanpa menga
Ilyas mendengus kesal, segala ucapannya tak ada yang mendapat respon dari sang istri. Ia bingung harus melakukan apa lagi untuk membuat sang istri mempercayainya kembali?"Kalau kamu diam gini, aku bingung harus apa, Ais.." ujar Ilyas penuh penekanan.Aisyah hanya menangis, ia makin terisak. Sakit hati yang ditorehkan Ilyas begitu memilukan. Ilyas tak tahan lagi, dia akhirnya melontarkan satu kata yang membuat istrinya makin pilu."Yaudah, Ais. Terserah kamu aja," tukas Ilyas sembari meninggalkan kamar.Ilyas yang biasanya tidak akan pernah menyerah untuk membujuk Aisyah saat marah, kini telah berbeda sebab ada pembanding yang ia anggap lebih baik.Aisyah meringkuk dalam tangis dan kesalnya. Kali ini, ia akan membiarkan dirinya sendiri. Tenggelam dalam tiap air mata yang mengalir deras. Membiarkan seluruh kejadian malam ini berjalan laiknya air mengalir."Aku akan membiarkan kamu untuk kali ini, Mas. Biasanya, kamu akan terus memelukku sampai aku selesai menangis dan mau menceritakan
Aisyah menghela napas berat, "Kalau begitu, pulang sekarang, dan jangan pernah lagi datang ke tempat ini!" tegas Aisyah dengan hati yang masih membara.Ilyas langsung mematung, ia tidak menyangka istrinya akan meminta hal seperti itu. Bukankah biasanya istrinya berhati begitu lembut? Bagaimana pun dia membiarkan dirinya tidak lagi datang ke sini sedangkan Rana masih dalam kondisi tidak baik?Melihat suaminya yang hanya diam merenung, Aisyah menekankan kembali perkataannya, "Kamu kan yang minta aku membuat permintaan? Kamu bilang akan mengabulkan semuanya, tapi kenapa diam aja, Mas? Gak bisa menerima?!"Ilyas langsung tersedar dengan ucapan Aisyah, "Eng-enggak gitu, Ais. Aku cuma memikirkan.. kalau aku gak boleh ke sini lagi, bagaimana aku bisa menebus kesalahanku pada Rana?" tanya Ilyas memelas.Aisyah mengernyitkan dahinya, "Itu urusanmu, Mas. Kenapa kamu bertanya hal itu padaku? Kamu harus tahu, Mas. Aku gak peduli, mau kamu bisa balas budi atau enggak. Lagi pula menurut aku apa yan
Hampir seharian penuh, di hari libur itu, Ilyas mendedikasikan waktunya untuk Rana. Dia menghibur perempuannya yang sedang pilu. Semua orang di rumah besar itu tahu akan kehadiran Ilyas, termasuk Yusuf dan Arka.Anak kecil itu sempat mendatangi Rana, ia memeluk ibunya dengan kesedihan mendalam. Ilyas hanya diam, dia tidak suka Arka. Jika bukan karena menjaga hati Rana, ia pasti akan mengusir anak dari lelaki yang telah merebut kekasihnya itu.Arka lagi-lagi tertidur usai menangis di pangkuan Rana. Perempuan itu meminta bantuan Yusuf untuk menidurkan putranya di kamarnya sendiri."Maaf, Nyonya. Ini hari pertama Tuan Eza meninggalkan Anda. Saya rasa bukan hal yang sopan jika ada lelaki lain yang terus mendampingi Anda di sini," ujar Yusuf berani, dia geram melihat perilaku Rana yang membiarkan Ilyas di sisinya di hari duka suaminya.Rana berdecak kesal, "Jangan ikut campur, Suf. Urusan saja urusanmu sendiri!"Yusuf menatap Rana tajam, "Tuan Eza sangat mencintai Anda, Nyonya. Bukankah An
Prosesi pemakaman Eza berjalan lancar. Banyak orang yang datang untuk mengucap duka. Aisyah terus menemani Rana yang kini tak banyak bicara. Perempuan itu tak bisa menutupi kekacauan dirinya. Arka yang sejak tadi digendong Yusuf juga tak kalah murung. Anak kecil itu pintar, dia sudah tahu makna kata meninggal. Pergi selamanya, dan tak lagi bisa bertemu. Ia sama sekali tak mendekati Rana, sebab Yusuf memeluknya erat. Kondisi Rana saat ini juga tidak stabil, Yusuf khawatir, Arka hanya akan jadi pelampiasan emosi Rana. "Kamu pulang aja, Ais," lirih Rana sembari menatap perempuan berjilbab yang menemani Rana sejak tadi. Tatapannya kosong, kilatan harapan yang biasanya merona tak lagi ada di sana. "Aku masih ingin nemenin kamu, Rana... " ungkap Ais yang juga menatap wajah pucat Rana. "Aku ingin sendiri," Rana memalingkan wajah, ia tidak bisa mengekspresikan diri dengan bebas ketika ada Ais. Ia malu untuk menampakkan sisi buruknya di depan perempuan yang begitu sempurna di mata Rana.
Detik demi detik terasa ngilu usai kepergian Eza. Mata Aisyah sembab, Yusuf sudah mengurus pemakaman Eza. Saat ini, jenazah Eza dalam proses dimandikan.Rana terbangun, tubuhnya terasa lebih segar usai beristirahat penuh. Matanya yang mengerjap perlahan mulai menangkap keberadaan Aisyah dengan kepiluan di wajahnya."Ais... "Suara lirih Rana membuat Aisyah tersadar dari lamunannya. Ia tersenyum ketika mendapati Rana telah sadar dari tidur panjangnya."Gimana kondisi kamu, Rana? Ada yang sakit? Aku panggilkan dokter ya... " Aisyah begitu peduli pada perempuan cantik itu.Rana menggeleng, "Tubuhku terasa lebih segar, Ais," Rana tersenyum kecil, kemudian ia mengedarkan pandangannya ke tempat tidur Eza. Kosong. Tidak ada siapapun di sana."Eza dimana, Ais? Dia udah sadar belum?" Raut kekhawatiran tampak jelas di wajah Rana.Aisyah diam, ia harus berkata apa? Rana baru saja sadar, ia tidak ingin perempuan itu kembali down mendengar kabar tentang Eza."Ais?""E-eh sorry. Eza.. Em, dia udah
Pukul empat pagi, Aisyah semalaman berjaga di ruangan Eza. Jujur, matanya sudah terasa berat. Tapi itu bukan masalah, sebab bagi Aisyah, kebermanfaatan dirinya untuk orang-orang yang ia sayangi itu lebih penting dari pada dirinya sendiri.Adzan subuh berkumandang lima belas menit kemudian, Aisyah telah siap menghadap Sang Maha Esa. Sajadah yang ia gelar menjadi tempatnya merendahkan diri sembari berdzikir padaNya. Semalam penuh ia menghadirkan dirinya untuk bercerita dan meminta hal-hal baik untuk orang-orang di sekitarnya.Usai shalat subuh, Aisyah membangunkan Ilyas. Lelaki itu menggeliat, "Shalat dulu, Mas," ujar Aisyah lembut. Dengan wajah setengah mengantuk, Ilyas bangun. Ia mandi, berwudhu, dan melaksanakan shalat.Usai shalat, Ilyas langsung pamit pergi bekerja. Dua minggu terakhir selalu seperti itu. Ketika Aisyah sempat ingin meminta waktu Ilyas sebentar, ia bilang bahwa kliennya akan datang sangat pagi jadi ia tidak boleh terlambat. Tak ada waktu bagi Aisyah menanyakan perub
Aisyah dan Ilyas berjalan cepat menuju ruangan Eza dirawat. Aisyah khawatir dengan kondisi Rana yang pasti teramat sedih, meski ia juga cukup mengkhawatirkan keadaan Eza, bagaimana pun mereka berteman dekat ketika kecil.Ketika sudah sampai di ruangan Eza, Ilyas masuk lebih dulu. Dia melihat Rana yang menangis pilu, matanya sembab, wajahnya begitu sendu."Rana.. kamu gak papa?" ujar Ilyas sembari mendekati perempuan yang masih ia cintai, sementara Rana tak merespon apapun. Dia mengalihkan pandangannya pada Aisyah yang baru masuk ke dalam ruangan."Ais..... " suara Rana bergetar. Perempuan berjilbab itu langsung mendekati Rana dan memeluknya erat."Sabar ya, Rana. Aku di sini sekarang. Aku temenin kamu jagain Eza, dia pasti bakal baik-baik saja, oke?" Aisyah mengelus rambut Rana. Ilyas yang merasa tak direspon hanya bisa mundur, hatinya bergemuruh ketika melihat Rana begitu peduli pada Eza.Sementara Aisyah, meski hatinya gundah atas sikap Ilyas, ia memilih untuk tak memikirkannya saat