Tiga bulan sebelum pengungkapan
Senja telah pamit undur diri, langit gelap mulai menyapa bumi pertiwi. Perempuan cantik berusia dua puluh tiga tahun itu terbaring lemas di atas kasurnya. Sudah tiga hari dia demam tinggi."Sayang, kita periksa ke dokter, ya?" Bujuk lelaki gagah yang selalu setia menemani di sisi perempuan itu."Gak usah, Mas. Besok pasti sembuh," jawab si perempuan dengan tubuh menggigil."Sayang, please.. Ini udah tiga hari tapi demam kamu belum turun juga. Kali ini nurut ya? Jangan keras kepala terus. Aku khawatir, sayang," Bujuk lelaki yang kerap dipanggil Ilyas itu."Yaudah, kalau besok aku gak baikan, kamu boleh antar aku periksa," ujar sang perempuan imenyerah.Perempuan dengan mata indah itu, Aisyah, memang tidak suka pergi ke dokter, ia takut hasilnya malah aneh-aneh dan membuat pikirannya makin tidak tenang. Tapi kali ini, badannya sudah terasa sangat lemas. Kepalanya terasa sakit. Sepertinya memang sudah waktunya ia pergi memeriksakan diri jika esok tak kunjung sembuh."Sekarang makan dulu ya, Ais. Habis itu minum obat..""Ah gak mau makan, Mas. Rasanya mual...""Tapi kamu gak boleh ngebiarin perut kamu kosong, Ais..""Tapi mual, mas. Atau aku bakal makan deh, tapi bubur aja, ya? Tolong kamu beliin bubur di depan kompleks rumah," pinta Aisyah dengan nada lemah."Ngidam yah ceritanya?" Goda sang suami."Ih enggak, Mas. Cuma lebih enak aja makan bubur gitu..."Ilyas terkekeh dengan wajah kesal Aisyah, "Ngidam juga gak papa. Katanya sih kalau demam bisa jadi tanda hamil, Ais.." Lanjutnya sembari mengelus perut Aisyah."Hmm.. Aamiin deh, Mas. Tapi yah aku juga pernah sakit gini tapi bukan karena hamil kok. Mungkin aku kecapean aja," jawab Aisyah tak ingin berharap."Yaudah, yaudah.. Kamu jangan mikir aneh-aneh dulu ya. Terpenting kamu sehat dulu, oke?"Aisyah mengangguk perlahan, ia sebenarnya juga sangat menginginkan kehadiran seorang putri atau putra kecil di keluarga kecilnya. Namun, Allah belum berkehendak untuk itu."Sesungguhnya hanya pada Allah aku berharap, hanya pada Allah aku berserah.. " Batin Aisyah, ia tidak mau keadaannya saat ini membuatnya berharap melebihi batas."Aku berangkat dulu beliin kamu bubur. Tunggu sebentar ya, Sayang."Perilaku manis Ilyas selalu bisa menentramkan hati Aisyah. Meski mereka belum dikarunuai keturunan, namun Ilyas selalu memperlakukannya dengan baik. Aisyah merasa menjadi perempuan paling beruntung atas pemberian indah itu.Setelah menunggu sekitar dua puluh menit, Ilyas belum juga datang. Padahal jarak rumahnya ke depan kompleks cukup dekat. Biasanya juga Ilyas tidak pernah mampir ke tempat lain kecuali ia akan memberi tahu sang istri lebih dulu.Aisyah langsung memeriksa handphonenya, tidak ada satu pun pesan dari Ilyas. Ia mencoba mengirim pesan."Mas, buburnya ada kah? Kok lama banget?" Tulis Aisyah. Ia kirimkan pesan itu pada Ilyas melalui aplikasi chat, namun tak kunjung centang biru.Aisyah mulai khawatir, apa mungkin ada hal buruk yang terjadi pada suaminya? Maka dengan sekuat tenaga, Aisyah mencoba bangun. Ia berjalan tertatih ke teras untuk memeriksa barangkali Ilyas sudah datang tapi belum ke kamar Aisyah. Namun nihil, Aisyah tidak menemukan apapun di teras rumahnya."Mbak Aisyah? Cari siapa?" Sapa seorang anak yang lewat di depan rumah Aisyah. Ia merasa heran dengan sikap Aisyah yang memeriksa kanan kiri jalan."Eh, Dik Lisa. Ini loh dek, cari Mas Ilyas. Hehehe belum pulang juga padahal tadi bilangnya cuma mau beli bubur. Mbak jadi khawatir...""Loh, tadi Lisa habis beli bubur depan kompleks, Mbak. Tapi Lisa gak lihat ada Mas Ilyas," ujar Lisa sembari menunjukkan sebungkus makanan yang baru ia beli."Loalah gitu ya... Yaudah dek, mungkin mas Ilyas cari di tempat lain kali ya," Aisyah mencoba tersenyum meski hatinya porak-poranda penuh kekhawatiran."Yaudah mbak, kalau gitu aku pamit ya!" Ujar Lisa sembari melambaikan tangannya.Lisa masih berusia tiga belas tahun. Ia dikenal banyak orang karena kepintaran dan keramahannya. Wajahnya yang dibalut jilbab setiap hari membuat bentuk mukanya makin terlihat imutTak lama setelah Lisa pergi, handphone Aisyah berbunyi. Itu balasan dari suaminya. Dia bilang akan segera pulang. Ia terlambat karena bertemu teman lamanya dan mengajaknya ngobrol sebentar.Hati Aisyah merasa lega sebab keterlambatan Ilyas bukan karena perihal yang tidak baik. Dia memilih terus duduk di teras sembari menunggu sang suami datangTak menunggu lama, Ilyas pun tiba di rumah dengan sekotak makanan. Aisyah menyambut kedatangan Ilyas dengan sumringah."Kok nunggu di luar sayang? Dingin loh.. ""Habisnya mas gak pulang-pulang, Aisyah khawatir!" Jawabnya dengan nada sedikit kesal."Maaf, sayang.. Tadi mas ketemu teman lama. Dia ngajak ngobrol banyak banget jadinya mas ketahan deh," jelas Ilyas sembari memapah Aisyah berjalan perlahan."Emang siapa sih teman lama kamu itu? Aku kenal enggak?""Emm.. Eng.. Enggak, kok. Kamu gak kenal. Itu.. Itu cuma teman lama, sayang," Ilyas menjawab pertanyaan Aisyah dengan terbata. Hati Aisyah langsung merasa tak nyaman, selama dua tahun pernikahan, sikap yang seperti ini biasanya muncul ketika suaminya menyembunyikan sesuatu darinya."Kamu kok jawabnya terbata sih, Mas? Kamu bohong sma aku?"Ilyas menelan ludahnya, "Sayang... Istri aku lagi sakit, masak aku berani bohong? Itu teman lama aku di SMA, tadi dia beli lontong sayur di sebelah toko bubur. Jadi tadi kami ngobrol dulu sampai aku lupa waktu. Maafin aku ya?" Ujar Ilyas sembari mencoba bersikap sebisa mungkin."Beneran?""Ais, mas gak suka loh ya kalau Ais suudzon gini.. Mas mana mungkin bohong saat Ais sakit begini. Percaya sama mas, ya?"Jawaban itu membuat hati Aisyah luluh, ia memberi senyum sembari meminta maaf pada Ilyas atas kecurigaannya yang tak berdasar. Ia sebenarnya juga tidak ingin menaruh curiga, tapi ia hafal betul sikap Ilyas.Namun kali ini, Ais merasa tidak perlu diperpanjang. Ia merasa dirinya terlalu overthinking karena kondisi sakitnya sehingga suaminya juga terkena imbasnya."Lagian ketemu teman lama doang.. Ngapain aku harus overthinking?" Batin Aisyah."Jangan bengong, Ais. Ayo kita ke kamar. Kamu minum obat terus langsung istirahat ya..""Ya mas, kita shalat dulu ya. Baru Ais minum obat dan istirahat."Ilyas hanya memberi anggukan kecil. Dipeluknya tubuh mungil sang istri, sembari mengucap ribuan maaf di hatinya. Ilyas memang telah bertemu teman lama, namun teman lama itulah yang kelak akan menghancurkan rumah tangganya.***Ilyas datang ke rumah Rana tepat ketika senja mulai tenggelam. Di tangannya kini penuh dengan barang-barang bermerk yang sengaja ia beli untuk membuat Rana senang.Ilyas memarkir sepeda motornya di garasi samping rumah Rana. Selain memberi barang, Ilyas juga membelikan beberapa makanan kesukaan Rana.Bi Rumi dengan sigap membantu Ilyas membawa barang-barang itu. Melihat kedatangan Ilyas dengan seluruh bawaannya membuat hati Rana senang."Kamu gak naik mobil, Yas?" tanya Rana penasaran."Dibawa Aisyah, Ran. Ck, dia masih marah sama aku gegara masalah kemarin.. " ujar Ilyas lalu mendekati Rana, ia duduk di depan perempuan cantik itu.Rana mengangguk, "Ini kamu bawa apa aja sih kok banyak banget?" ia mengalihkan pembicaraan."Kemarin kan aku janji mau beliin baju-baju buat kamu. Coba kamu lihat dulu deh, suka gak?"Rana pun membuka satu per satu bingkisan yang Ilyas bawa. Dia suka semua barang-barang itu. Ilyas memang selalu bisa memahami kesukaan Rana.Keriangan Rana membuat Ilyas begit
Usai mendapat telepon dari Rana, pagi Ilyas dipenuhi rasa semangat. Berbeda dengan Aisyah yang memulai pagi masih dengan rasa pilu.Meski begitu, Aisyah tetap melakukan kewajibannya. Dia menyiapkan sarapan untuk Ilyas sebelum berangkat sekolah. Bedanya, ia tidak sedikit pun memulai pembicaraan.Ilyas yang melihat Aisyah menyiapkan makanan, senyumnya mengembang begitu sumringah. Ia mendekati sang istri laiknya tak terjadi apapun."Hai cantik.. masak apa nih?" ujarnya sembari mendekati Aisyah.Perempuan bermata cokelat itu merasa tak nyaman, risih dengan perilaku Ilyas. Bukankah harusnya dia berkata "Sayang? maafin aku... " begitu?Aisyah tak menjawab ucapan Ilyas, ia tak berminat untuk berbicara pada lelaki yang membuat perasaannya gundah itu.Menyadari sikap Aisyah yang berbeda, Ilyas langsung menghembuskan napas berat. Ia tidak ingin memperpanjang persoalan, terlebih ketika hatinya sedang bahagia pagi itu.Maka Ilyas hanya mengecup pipi Aisyah, lalu bergegas ke meja makan tanpa menga
Ilyas mendengus kesal, segala ucapannya tak ada yang mendapat respon dari sang istri. Ia bingung harus melakukan apa lagi untuk membuat sang istri mempercayainya kembali?"Kalau kamu diam gini, aku bingung harus apa, Ais.." ujar Ilyas penuh penekanan.Aisyah hanya menangis, ia makin terisak. Sakit hati yang ditorehkan Ilyas begitu memilukan. Ilyas tak tahan lagi, dia akhirnya melontarkan satu kata yang membuat istrinya makin pilu."Yaudah, Ais. Terserah kamu aja," tukas Ilyas sembari meninggalkan kamar.Ilyas yang biasanya tidak akan pernah menyerah untuk membujuk Aisyah saat marah, kini telah berbeda sebab ada pembanding yang ia anggap lebih baik.Aisyah meringkuk dalam tangis dan kesalnya. Kali ini, ia akan membiarkan dirinya sendiri. Tenggelam dalam tiap air mata yang mengalir deras. Membiarkan seluruh kejadian malam ini berjalan laiknya air mengalir."Aku akan membiarkan kamu untuk kali ini, Mas. Biasanya, kamu akan terus memelukku sampai aku selesai menangis dan mau menceritakan
Aisyah menghela napas berat, "Kalau begitu, pulang sekarang, dan jangan pernah lagi datang ke tempat ini!" tegas Aisyah dengan hati yang masih membara.Ilyas langsung mematung, ia tidak menyangka istrinya akan meminta hal seperti itu. Bukankah biasanya istrinya berhati begitu lembut? Bagaimana pun dia membiarkan dirinya tidak lagi datang ke sini sedangkan Rana masih dalam kondisi tidak baik?Melihat suaminya yang hanya diam merenung, Aisyah menekankan kembali perkataannya, "Kamu kan yang minta aku membuat permintaan? Kamu bilang akan mengabulkan semuanya, tapi kenapa diam aja, Mas? Gak bisa menerima?!"Ilyas langsung tersedar dengan ucapan Aisyah, "Eng-enggak gitu, Ais. Aku cuma memikirkan.. kalau aku gak boleh ke sini lagi, bagaimana aku bisa menebus kesalahanku pada Rana?" tanya Ilyas memelas.Aisyah mengernyitkan dahinya, "Itu urusanmu, Mas. Kenapa kamu bertanya hal itu padaku? Kamu harus tahu, Mas. Aku gak peduli, mau kamu bisa balas budi atau enggak. Lagi pula menurut aku apa yan
Hampir seharian penuh, di hari libur itu, Ilyas mendedikasikan waktunya untuk Rana. Dia menghibur perempuannya yang sedang pilu. Semua orang di rumah besar itu tahu akan kehadiran Ilyas, termasuk Yusuf dan Arka.Anak kecil itu sempat mendatangi Rana, ia memeluk ibunya dengan kesedihan mendalam. Ilyas hanya diam, dia tidak suka Arka. Jika bukan karena menjaga hati Rana, ia pasti akan mengusir anak dari lelaki yang telah merebut kekasihnya itu.Arka lagi-lagi tertidur usai menangis di pangkuan Rana. Perempuan itu meminta bantuan Yusuf untuk menidurkan putranya di kamarnya sendiri."Maaf, Nyonya. Ini hari pertama Tuan Eza meninggalkan Anda. Saya rasa bukan hal yang sopan jika ada lelaki lain yang terus mendampingi Anda di sini," ujar Yusuf berani, dia geram melihat perilaku Rana yang membiarkan Ilyas di sisinya di hari duka suaminya.Rana berdecak kesal, "Jangan ikut campur, Suf. Urusan saja urusanmu sendiri!"Yusuf menatap Rana tajam, "Tuan Eza sangat mencintai Anda, Nyonya. Bukankah An
Prosesi pemakaman Eza berjalan lancar. Banyak orang yang datang untuk mengucap duka. Aisyah terus menemani Rana yang kini tak banyak bicara. Perempuan itu tak bisa menutupi kekacauan dirinya. Arka yang sejak tadi digendong Yusuf juga tak kalah murung. Anak kecil itu pintar, dia sudah tahu makna kata meninggal. Pergi selamanya, dan tak lagi bisa bertemu. Ia sama sekali tak mendekati Rana, sebab Yusuf memeluknya erat. Kondisi Rana saat ini juga tidak stabil, Yusuf khawatir, Arka hanya akan jadi pelampiasan emosi Rana. "Kamu pulang aja, Ais," lirih Rana sembari menatap perempuan berjilbab yang menemani Rana sejak tadi. Tatapannya kosong, kilatan harapan yang biasanya merona tak lagi ada di sana. "Aku masih ingin nemenin kamu, Rana... " ungkap Ais yang juga menatap wajah pucat Rana. "Aku ingin sendiri," Rana memalingkan wajah, ia tidak bisa mengekspresikan diri dengan bebas ketika ada Ais. Ia malu untuk menampakkan sisi buruknya di depan perempuan yang begitu sempurna di mata Rana.