"Apa?!" Lillian sontak menegakkan tubuhnya saat menerima panggilan di ponselnya.
Jack, sekretaris ayahnya. Tiba-tiba menghubunginya di tengah malam. "Jangan bercanda, Jack! Kau tahu itu tidak lucu!"
raut wajah Lillian seketika terlihat kosong. "Baiklah, aku akan segera ke sana."
sambungan diputus.
Dalam sekejap, semua informasi yang baru saja ia dapatkan dari Jack, berhasil membuat tubuhnya terasa kebas. Detak jantungnya tak beraturan. Ia bahkan harus mencengkeram sisi-sisi selimutnya; meredam perasaan yang membuatnya ingin berteriak.
Kematian orang tuanya karena kecelakaan tidak ada dalam kemungkinan buruk hidupnya selama ini. Bahkan, Lillian selalu membayangkan akan terus bersama dengan mereka, setidaknya sampai 30 tahun lagi.
Namun kenyataannya?
Lilian menyeka air mata yang berkumpul di titik sudut matanya dengan kasar. Tidak, ia tidak boleh menangis. Atau lebih tepatnya, ia tidak tahu bagaimana menangis dengan benar saat ini. Mungkin karena rasa sakit yang teramat dalam, membuatnya lupa bagaimana caranya untuk meraung. Saat ini, ia hanya merasakan hampa.
“Jayde!” seru Lillian, setelah menyadari bahwa dirinya sendirian di dalam kamar.
Mungkinkah Jayde kembali tidur di kamar lain? Lillian turun dari kasur. Bergegas keluar kamar dan mempercepat langkahnya, membuka semua pintu ruangan yang memungkinkan keberadaan pria tersebut. Namun tampaknya pria itu sedang tidak berada di rumah.
Saat Lillian melongok ke carport depan, mobil Jayde tak terlihat. Beberapa kali ia mencoba untuk menghubungi suaminya tersebut, tapi tidak ada satu pun yang tersambung. Hah! Persetan dengan kelakuan Jayde yang pasti saat ini sedang bersama dengan Nathalie.
Lillian kembali berlari ke dalam kamar, menyambar kunci mobil yang berada di atas nakas, dan bergegas menuju ke rumah sakit.
***
Jack, menatap penuh sesal pada Lillian. Ia meminta maaf, bahkan ketika sebuah kematian bukan menjadi kesalahannya. Hanya sekilas saat melihat tubuh kedua orang tuanya yang terbujur kaku di kamar mayat, Lillian hanya bisa mengatur apasnya agar tetap normal.
Emosi yang terus menjejal seakan menggerogoti dadanya. Menekan keras sampai membuat tubuhnya gemetar. Sekali lagi, ia mencoba untuk menghubungi Jayde, tapi tetap tidak ada satu pun yang dijawab.
Di mana pria itu sekrang berada?
Sekali lagi, tapi tetap tidak ada jawaban sema sekali. oh God, Rasanya seperti mau gila!
Di saat kehidupan pribadinya sedang tidak baik-baik saja, kenapa Tuhan justru mengajaknya bercanda dengan mengambil kedua orang tuanya secara tragis? Tidakkah Lillian juga berhak untuk bahagia?
Di saat semuanya menjadi gelap, Lillian menghubungi Noam dengan air matanya yang mulai menggenang.
“Noam,” panggil Lillian, begitu panggilannya diterima oleh Noam di dering kedua.
“Lilly?? Are you okay?”
“No, orang tuaku meninggal, Noam.”
“What? Oh my God! Kau di mana sekarang?”
“Rumah Sakit Saint Luis.” Suara Lillian bergetar, menahan untuk tidak menangis.
“Tunggu, aku akan segera ke sana!”
Sambungan telepon terputus. Bersamaan dengan itu, Lillian merosot ke lantai. Bersimpuh dengan pandangan menatap ke lantai, terlihat kosong tak bernyawa. Di belakangnya, Jack tidak berani untuk berbuat apa-apa.
Memori tentang orang tuanya kembali memutar pelan. Saat mereka merayakan natal bersama, saat berdebat tentang tujuan liburan setiap tahunnya. Bahkan saat ibunya memaksa untuk minum obat saat ia sakit. Semuanya terasa menyesakkan.
Entah sudah berapa lama Lillian berada di posisinya saat ini. Ia tak mempedulikan tatapan orang yang melihatnya. Ia bahkan tak mendengarkan panggilan Jack yang terdengar samar di telinganya.
Sampai akhirnya, sepasang tangan merengkuhnya dalam pelukan. Lillian mendongak, matanya berbayang. Tangisnya yang dari tadi teredam, kini berubah menjadi raungan saat melihat Noam di depannya.
“Aku di sini, Lilly. Aku sudah di sini,” ujar Noam, sambil menepuk-nepuk pundak wanita itu.
“Mereka sudah pergi, Noam,” racau Lillian. “Aku bahkan belum meminta maaf pada mereka. Masih banyak hal yang ingin kulakukan bersama mereka, tapi kenapa berakhir seperti ini?”
Tangis Lillian kembali pecah. Wajahnya memerah, sementara kelopaknya telah membengkak.
“It’s okay, Lilly. Ini semua bukan salahmu. Aku di sini bersamamu.”
Noam terus memberikan kalimat positifnya, meskipun ia tahu kalau semua itu tidak ada artinya bagi Lillian sekarang. Ratusan kalimat positif tidak akan pernah bisa melawan rasa sedih yang mendalam.
“Di mana Jayde?” tanya Noam, saat menyadari bahwa sosok yang sangat dibencinya itu tidak ada di sana.
Lillian menggeleng pelan. “I don’t know. Aku sudah mencoba menghubunginya, tapi tidak ada satu pun panggilanku yang dijawab.”
Noam menghela napasnya dalam-dalam. Ia kembali mengeratkan pelukannya pada Lillian yang sesekali masih terisak.
Sementara itu, di ujung lorong, tampak Jayde yang berdiri dengan menatap Noam dan Lillian yang sedang berpelukan.
“Lagi?” gumam Jayde.
“Aku tahu kau dari mana.”Suara Rosalee menghentikan langkah Jayde. Bunga yang ada di genggamannya, batang-batangnya hampir patah karena genggaman yang erat. “Ternyata setelah semua hal yang telah kau lakukan, dan semua ucapan yang telah kukatakan padamu, kau masih saja tidak bisa melepaskan wanita itu??” Rosalee tampak tak bisa lagi bersabar.Sudah beberapa hari ini ia memberikan perhatian lebih pada semua gerak-gerik Jayde. Ia tahu bahwa rasa cinta Jayde tak lagi sama, tapi ia tak pernah menyangka jika semua ancaman yang ia berikan selama ini, tak lantas membuat pria itu menjauh dari Lillian.“Haruskah aku habisi nyawanya juga? Sama seperti yang telah kulakukan pada orang tuanya?” Jayde masih terdiam. Bunga yang berada di genggamannya, kini telah diletakkan di atas meja. Pembicaraan yang selama ini telah ia tunggu, pada akhirnya tersebut sendiri dari mulut Rosalee.Jayde berusaha bersikap tenang, duduk di kursi, menatap tajam pada Rosalee yang terlihat muak.“Selagi kau membicarak
Jayde berdiri begitu mengucapkan kalimat terakhirnya pada Rosalee. Langkahnya bergegas, menuju satu tempat yang baru ia ketahui alamatnya. Butuh beberapa bulan sampai ia mendapatkannya.Bukan karena ia kesulitan untuk mendapatkannya, tetapi ia memberikan ruang bagi Lillian untuk bernapas setelah kejadian yang sudah dipastikan menguras emosi.Mobilnya merapat pada garis tepi jalan, tempat parkir paralel. Sepatu mengilatnya menapak trotoar, alas merahnya menunjukkan strata sosial meskipun ia tak banyak bicara. Coat hitam selututnya melambai di bagian belalang, seiring dengan langkah. Ia tak ragu sedikit saat menuju toko bunga milik Lillian. Sementara itu, di dalam toko bunga, Lillian baru saja menyelesaikan rangkaian bunga yang ia kerjakan begitu tiba sekitar setengah jam yang lalu. Di sebelahnya, Noam duduk sambil menata pastry yang baru saja ia beli di kafe sebelah.“Setelah ini kau ada acara?” Noam menoleh sejenak, sebelum mengambil segelas cappucino panas.Lillian menggeleng. Sebe
Jayde masih merasakan luka dari perceraiannya dengan Lillian. Rasa bersalah karena telah memperlakukan wanita itu dengan buruk, dan juga tentang perampasan aset setelah mereka resmi bercerai.Andai saja Jayde menyadari betapa jahat dan kejamnya Rosalee dalam mengatur semua hal demi kepentingan pribadinya, semua hal ini mungkin saja tidak akan pernah terjadi. Ah tidak… andai ia tak pernah bertemu dengan Rosalee.Lebih dari itu, ia sangat menyesal karena terlambat menyadari tentang perasaannya pada Lillian. Bahwa selama ini, rasa yang dulu pernah ada saat mereka remaja, ternyata tak pernah terhapus dari dalam hatinya.Jayde menghela napasnya dalam-dalam. Enam bulan terakhir ini ia tak pernah bisa tidur dengan nyenyak. Sedikit menoleh ke arah ranjang, ia melihat Rosalee yang terlelap. Benar, meskipun kebencian telah mengakar padanya, tetapi ia tak bisa langsung melepaskan Rosalee begitu saja. Jika ia memutuskan hubungan dengan wanita itu, berarti ia menghilangkan kesempatan untuk menca
“Lalu, apa yang akan kau lakukan sekarang?” Rexy menatap Lillian, raut wajahnya terlihat cemas.Lillian menghela napasnya panjang. “Apa lagi? Tentu saja aku harus melanjutkan hidup. Kalian tahu kalau dari dulu aku ingin membuka florist, kan? Kurasa, saat ini adalah waktu yang tepat untuk memulainya.”Rexy dan Noam saling pandang. Suara tv di ruangan santai apartemennya Lillian dari tadi menjadi backsound samar yang tidak mereka hiraukan sama sekali. “Well, kalau kau memang mau melakukannya, maka kau harus melakukannya. Aku akan akan mendukungmu—kami, akan selalu mendukungmu. Ya, kan, Rex?” ucap Noam.Anggukan kecil dari Rexy menjadi tanda setuju. Banting setir menjadi florist bukan hal yang buruk. Apalagi itu adalah impian Lillian sejak awal. “Tapi…,” ucap Rexy. “Kau tetap mau membawaku untuk kerja bersama, kan? Maksudku… aku tidak mau menjadi sekretaris mantan suamimu itu.”Lillian membuka kaleng soda, lalu menyesapnya perlahan. “Aku tidak melarangmu. Tapi kau harus tahu, sepertiny
Hari yang telah ditunggu oleh Lillian pada akhirnya tiba. Sidang perceraian antara dirinya dan Jayde Foster akhirnya telah berakhir. Sejak palu hakim diketuk tiga kali, keduanya telah resmi bercerai. Lillian menghela napasnya lega sambil memejamkan kedua matanya. Ia tahu bercerai bukan hal yang patut dibanggakan, tapi untuk kali ini ia ingin merayakannya.Tidak ada interaksi dirinya dengan Jayde. Mereka tampak seperti orang asing yang tidak saling menyapa. Well, Lillian tidak merisaukannya. Bersikap seperti justru membuatnya lebih nyaman. Lagipula dirinya juga telah muak dengan Jayde.Noam tersenyum pada Lillian saat wanita itu keluar dari ruangan sidang. pelukan hangat menyambut sang kekasih yang telah mendapatkan kebebasannya. Kali ini, Noam bisa mencintai Lillian sepenuhnya. Semua hal buruk yang pernah dirasakan oleh wanita itu, dengan tekad yang kuat akan ia ganti dengan semua kebahagiaan yang bisa ia tawarkan dan akan selalu diusahakan.Namun belum sempat Lillian mengucapkan kali
Jayde melempar satu dokumen yang berhasil ia raup dari atas meja kerjanya di kantor setelah membaca sebuah surat yang baru saja diantar untuknya. Beberapa hari berlalu setelah terakhir kali ia menemui Lillian, sekarang di tangannya telah terselip panggilan sidang untuk perceraiannya dengan wanita itu.Emosinya yang membuncah seakan hampir meledak di kepala. Meskipun ia menyadari bahwa kelakuannya selama ini pada Lillian tidak bisa dibenarkan dan dinormalisasikan. Saat ini bukan tentang harga dirinya yang merasa diinjak karena keinginan Lillian untuk berpisah, melainkan tentang perasaannya yang perlahan mulai kembali lagi pada wanita itu.Benar, Jayde memang egois. Ia menyadarinya, tapi ia tidak memiliki kuasa untuk menahannya. Egonya yang terlalu besar membuatnya menjadi kerap tidak tahu diri. Surat panggilan sidang perceraian itu ia lempar begitu saja ke atas mejanya.“Sayang? Ada masalah?”Jayde menoleh cepat, sorotnya matanya terlihat tidak senang melihat Rosalee yang melenggang be
“Brengsek!”Tangan Jayde mengepal kencang sambil beberapa kali memukul setir mobil. Urat di pelipisnya menonjol, seiring dengan emosinya yang berusaha meledak bersama dengan geraman teredam.“Damn, Noam! Damned, Rosalee!”Jayde jelas mengutuk Noam karena pria itu berhasil merebut Lillian darinya. Mungkin lebih tepatnya, Noam mengambil kesempatan dengan cerdas saat Jayde menyia-nyiakan Lillian dengan kebodohannya. Setelah semuanya menjadi lebih terang bagi Jayde, saat itulah ia merasakan ketololan yang berhasil menggigitnya sedikit demi sedikit; mengoyak; dan menghancurkan pada akhirnya.Satu hal yang tak pernah ia bayangkan dalam hubungan sempurnanya dengan Rosalee, ternyata akan membawanya pada hal-hal yang mengerikan. Semua perlakuan buruknya pada Lillian memang tak terbantahkan. Ia mengakuinya, dan saat ini menyesalinya dengan segenap jiwa.Namun semuanya telah menjadi terlambat bagi Jayde. Semua kenangannya bersama dengan Lillian sebelum Rosalee hadir di kehidupannya kembali memba
Ponsel Lillian berdering beberapa kali saat ia masih memfokuskan pikirannya pada pekerjaan. Ada beberapa hal yang harus ia kerjakan hari ini juga, mengenai rencana penambahan armada pesawat sehubungan dengan penambahan slot yang telah disetujui oleh pihak bandara. Semakin banyak antusias warga asing untuk mengunjungi Eropa menjadi perhatiannya saat ini agar mampu menyediakan fasilitas penerbangan yang memuaskan.Wanita itu hanya melirik sebentar dan mendesah malas setelah membaca nama sang penelepon. Jayde terus berusaha untuk menghubunginya. Semenjak mengetahui ada foto-foto dirinya dengan ancaman kematian, ia berniat untuk segera Jayde dari kehidupannya. Entah Jayde atau bukan yang melakukan hal-hal buruk itu, yang jelas dirinya mendapatkan banyak masalah setelah bersama dengan Jayde.Namun ia kembali mengingat tentang pendapat Noam mengenai kemungkinan bahwa Jayde berusaha menyembunyikan itu semua agar tidak membebani pikiran Lillian. Walaupun itu adalah hal yang sangat tidak masuk
Hal-hal negatif terus bermunculan dalam pikiran Lillian selama mobil yang dikendarakan oleh Noam melaju kencang, menembus jalanan untuk membawa mereka kembali ke rumah Lillian bersama dengan Jayde. Lillian merasa harus memeriksa sekali lagi rumah itu, mungkin saja ada hal yang terlewatkan olehnya.Noam tak bisa melarangnya. Dirinya tidak berada pada posisi yang bisa untuk melarang Lillian menantang bahaya seperti ini. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan adalah mendampingi dan mendukung apa pun yang akan dilakukan oleh Lillian.“Maafkan aku, Noam,” ucap Lillian tanpa mengalih pandangannya dari jendela mobil.Noam menoleh sekilas padanya. “Maaf untuk apa?”“Karena kau jadi terlibat dalam masalah yang tidak terlihat ujungnya ini. Aku merasa bersalah padamu.” Lillian memejamkan matanya sejenak, merasakan panas yang mengakar dari bola matanya dan menyebar cepat ke kepala.“Saat ini kau adalah kekasihku, Lilly. Dan sangat wajar jika aku terlibat dalam masalahmu.” Noam merasakan kehangatan