Share

4. Mereka Pergi.

Penulis: Lefayesme
last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-31 18:43:32

"Apa?!" Lillian sontak menegakkan tubuhnya saat menerima panggilan di ponselnya.

Jack, sekretaris ayahnya. Tiba-tiba menghubunginya di tengah malam. "Jangan bercanda, Jack! Kau tahu itu tidak lucu!"

raut wajah Lillian seketika terlihat kosong. "Baiklah, aku akan segera ke sana." 

sambungan diputus.

Dalam sekejap, semua informasi yang baru saja ia dapatkan dari Jack, berhasil membuat tubuhnya terasa kebas. Detak jantungnya tak beraturan. Ia bahkan harus mencengkeram sisi-sisi selimutnya; meredam perasaan yang membuatnya ingin berteriak.

Kematian orang tuanya karena kecelakaan tidak ada dalam kemungkinan buruk hidupnya selama ini. Bahkan, Lillian selalu membayangkan akan terus bersama dengan mereka, setidaknya sampai 30 tahun lagi. 

Namun kenyataannya?

Lilian menyeka air mata yang berkumpul di titik sudut matanya dengan kasar. Tidak, ia tidak boleh menangis. Atau lebih tepatnya, ia tidak tahu bagaimana menangis dengan benar saat ini. Mungkin karena rasa sakit yang teramat dalam, membuatnya lupa bagaimana caranya untuk meraung. Saat ini, ia hanya merasakan hampa.

“Jayde!” seru Lillian, setelah menyadari bahwa dirinya sendirian di dalam kamar. 

Mungkinkah Jayde kembali tidur di kamar lain? Lillian turun dari kasur. Bergegas keluar kamar dan mempercepat langkahnya, membuka semua pintu ruangan yang memungkinkan keberadaan pria tersebut. Namun tampaknya pria itu sedang tidak berada di rumah.

Saat Lillian melongok ke carport depan, mobil Jayde tak terlihat. Beberapa kali ia mencoba untuk menghubungi suaminya tersebut, tapi tidak ada satu pun yang tersambung. Hah! Persetan dengan kelakuan Jayde yang pasti saat ini sedang bersama dengan Nathalie. 

Lillian kembali berlari ke dalam kamar, menyambar kunci mobil yang berada di atas nakas, dan bergegas menuju ke rumah sakit.

***

Jack, menatap penuh sesal pada Lillian. Ia meminta maaf, bahkan ketika sebuah kematian bukan menjadi kesalahannya. Hanya sekilas saat melihat tubuh kedua orang tuanya yang terbujur kaku di kamar mayat, Lillian hanya bisa mengatur apasnya agar tetap normal. 

Emosi yang terus menjejal seakan menggerogoti dadanya. Menekan keras sampai membuat tubuhnya gemetar. Sekali lagi, ia mencoba untuk menghubungi Jayde, tapi tetap tidak ada satu pun yang dijawab. 

Di mana pria itu sekrang berada?

Sekali lagi, tapi tetap tidak ada jawaban sema sekali. oh God, Rasanya seperti mau gila!

Di saat kehidupan pribadinya sedang tidak baik-baik saja, kenapa Tuhan justru mengajaknya bercanda dengan mengambil kedua orang tuanya secara tragis? Tidakkah Lillian juga berhak untuk bahagia?

Di saat semuanya menjadi gelap, Lillian menghubungi Noam dengan air matanya yang mulai menggenang.

Noam,” panggil Lillian, begitu panggilannya diterima oleh Noam di dering kedua.

Lilly?? Are you okay?” 

No, orang tuaku meninggal, Noam.”

What? Oh my God! Kau di mana sekarang?

Rumah Sakit Saint Luis.” Suara Lillian bergetar, menahan untuk tidak menangis.

Tunggu, aku akan segera ke sana!”

Sambungan telepon terputus. Bersamaan dengan itu, Lillian merosot ke lantai. Bersimpuh dengan pandangan menatap ke lantai, terlihat kosong tak bernyawa. Di belakangnya, Jack tidak berani untuk berbuat apa-apa. 

Memori tentang orang tuanya kembali memutar pelan. Saat mereka merayakan natal bersama, saat berdebat tentang tujuan liburan setiap tahunnya. Bahkan saat ibunya memaksa untuk minum obat saat ia sakit. Semuanya terasa menyesakkan. 

Entah sudah berapa lama Lillian berada di posisinya saat ini. Ia tak mempedulikan tatapan orang yang melihatnya. Ia bahkan tak mendengarkan panggilan Jack yang terdengar samar di telinganya. 

Sampai akhirnya, sepasang tangan merengkuhnya dalam pelukan. Lillian mendongak, matanya berbayang. Tangisnya yang dari tadi teredam, kini berubah menjadi raungan saat melihat Noam di depannya. 

“Aku di sini, Lilly. Aku sudah di sini,” ujar Noam, sambil menepuk-nepuk pundak wanita itu.

“Mereka sudah pergi, Noam,” racau Lillian. “Aku bahkan belum meminta maaf pada mereka. Masih banyak hal yang ingin kulakukan bersama mereka, tapi kenapa berakhir seperti ini?” 

Tangis Lillian kembali pecah. Wajahnya memerah, sementara kelopaknya telah membengkak. 

It’s okay, Lilly. Ini semua bukan salahmu. Aku di sini bersamamu.” 

Noam terus memberikan kalimat positifnya, meskipun ia tahu kalau semua itu tidak ada artinya bagi Lillian sekarang. Ratusan kalimat positif tidak akan pernah bisa melawan rasa sedih yang mendalam.

“Di mana Jayde?” tanya Noam, saat menyadari bahwa sosok yang sangat dibencinya itu tidak ada di sana.

Lillian menggeleng pelan. “I don’t know. Aku sudah mencoba menghubunginya, tapi tidak ada satu pun panggilanku yang dijawab.”

Noam menghela napasnya dalam-dalam. Ia kembali mengeratkan pelukannya pada Lillian yang sesekali masih terisak.

Sementara itu, di ujung lorong, tampak Jayde yang berdiri dengan menatap Noam dan Lillian yang sedang berpelukan. 

“Lagi?” gumam Jayde.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kinanty Prihasto
udh minta Noam sewa lawyer buat urus divorcemu.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Silakan Tanda Tangani Surat Cerainya, Suamiku   46. Epilog: Semua Berakhir Pada Tempatnya

    Epilog.Langit pagi itu biru bersih, seperti kain sutra yang baru dibentangkan. Tak ada awan, tak ada angin kencang. Hanya sinar matahari lembut yang menyinari taman belakang rumah keluarga Waverly, tempat semuanya dimulai… dan kini dimulai kembali.Tenda putih sederhana berdiri anggun di bawah pohon mapel tua yang kini rimbun. Meja-meja kecil dihiasi rangkaian bunga segar buatan tangan Rexy sendiri—kombinasi mawar putih, baby breath, eucalyptus, dan lavender. Aroma lembut itu memenuhi udara, menenangkan siapa pun yang menghirupnya.Lillian berdiri di ruang belakang rumah, mengenakan gaun yang telah dicoba dengan Rexy waktu itu. Tidak ada ekor panjang. Hanya veil tipis yang jatuh dari sanggul kepang rendah, dan senyuman di wajahnya.Rexy muncul dari pintu, mengelus lengan sahabatnya. “Kau siap?”Lillian mengangguk. “Lebih dari siap.”***Di taman, Noam berdiri di bawah lengkungan bunga yang dibentuk dari ranting kering dan bunga musim semi. Jasnya hitamnya tampak gagah, dasinya lembut

  • Silakan Tanda Tangani Surat Cerainya, Suamiku   45. Perpisahan

    Sudah hampir dua bulan sejak Lillian kembali memegang kendali W&B Group. Namun pikirannya kini tak lagi dipenuhi laporan keuangan dan rapat strategis.Pikirannya dipenuhi bunga lavender, kartu undangan berwarna krem, dan lagu jazz yang dimainkan lembut saat mencoba gaun di ruang belakang toko bunga miliknya.“Berbalik sedikit. Ya, tahan. Jangan bergerak dulu,” perintah Rexy sambil menggigit ujung pensil. “Kau terlihat seperti... hmm, bukan CEO. Tapi calon istri yang deg-degan dan pura-pura tenang.”Lillian tertawa. “Karena memang aku sedang deg-degan. Tapi bukan karena takut menikah. Aku hanya belum percaya akhirnya semua ini benar-benar terjadi.”Gaun yang ia kenakan bukan hasil rancangan rumah mode besar. Itu buatan lokal, ringan, dan lembut. Tidak ada mutiara berlebihan, tidak ada renda dramatis. Hanya pita satin di pinggang dan kain yang jatuh elegan di pergelangan kaki. Seperti dirinya yang sekarang—tenang, sederhana, tapi penuh isi.“Aku suka versi Lillian yang ini,” komentar Re

  • Silakan Tanda Tangani Surat Cerainya, Suamiku   44. Menata Ulang Dunia

    Lillian berdiri di depan pintu kaca besar bertuliskan W&B Group. Beberapa waktu lalu, ia berjalan keluar dari gedung ini dengan reputasi yang tercabik dan nama keluarga yang dihancurkan. Kini, ia kembali—tidak untuk membalas dendam, tapi untuk mengambil kembali apa yang memang miliknya.Ketika pintu terbuka otomatis, semua mata langsung tertuju padanya.Beberapa karyawan tertegun, beberapa lainnya saling berbisik. Namun tak satu pun yang berani mengabaikannya. Ia melangkah dengan langkah tenang dan penuh kendali, mengenakan setelan warna batu safir dengan rambut terikat rapi. Di sisinya, Noam berjalan dalam diam, menyapukan pandangan teduh ke seluruh ruangan. Ia tak lagi sekadar sahabat atau kekasih. Hari itu, Noam adalah penopang dari seorang wanita yang kembali ke tahtanya.Mereka disambut oleh kepala sekretariat dan dua asisten pribadi baru yang dulu dipilih Jayde. Semuanya gugup saat berhadapan dengan Lillian.“Selamat datang kembali, Nona Waverly,” ucap salah satunya dengan nada

  • Silakan Tanda Tangani Surat Cerainya, Suamiku   43. Perpisahan

    Kantor pusat W&B Group, lantai dua puluh sembilan, masih terasa asing bagi Lillian meski dulu ia sering berada di sana. Gedung kaca megah itu berdiri kokoh di tengah distrik pusat bisnis, dengan logo emas di lobi utama yang kini kembali memuat namanya sebagai pemilik sah.Langkah Lillian bergema di lorong kosong, lantai marmer di bawah sepatunya memantulkan bayangan yang terlihat jauh lebih tegak dari sebelumnya. Tidak lagi rapuh. Tidak lagi tunduk.Ia berhenti di depan sebuah pintu dengan pelat nama yang dulunya mencantumkan Jayde Foster – CEO.Pintu itu terbuka tanpa perlu diketuk. Sudah menunggunya.Jayde berdiri di sana, berdiri di depan jendela besar yang menghadap kota, punggungnya membentuk siluet gelap di antara cahaya senja. Matanya memandang jauh, seolah mencari sesuatu yang telah lama hilang dari hidupnya.“Masuklah,” ucap Jayde tanpa menoleh.Lillian melangkah masuk. Suasana di ruangan itu begitu hening, hampir seperti ruangan seorang biarawan yang telah menanggalkan segal

  • Silakan Tanda Tangani Surat Cerainya, Suamiku   42. Semua Sudah Selesai

    Tiga hari setelah rekaman itu diserahkan, kantor polisi penuh dengan kesibukan yang tidak biasa. Wartawan sudah mulai berkeliaran, memburu kabar besar yang bocor dari dalam instansi hukum—seorang model papan atas terlibat dalam kasus pembunuhan.Lillian duduk di ruang tunggu, jari-jarinya memainkan lengan bajunya dengan gelisah. Meski suhu ruangan cukup hangat, ia merasa dingin hingga ke tulang. Di hadapannya, seorang penyidik baru saja selesai memanggil nama Rosalee Harper untuk dimintai keterangan lanjutan.“Sudah dua jam,” gumam Noam, duduk di sebelahnya. Ia telah menyentuh pundak Lillian beberapa kali, menawarkan kenyamanan, namun Lillian tetap kaku dalam diam.“Aku harus melihatnya,” ucap Lillian tiba-tiba. Suaranya lirih, tapi jelas.Noam menoleh. “Lilly… kau yakin? Kau tidak harus—”“Aku harus menatap matanya dan memastikan dia tahu… bahwa aku tahu,” sahutnya. “Aku ingin dia mendengarnya dariku. Aku ingin dia tahu bahwa wajah terakhir yang akan terus menghantuinya adalah wajah

  • Silakan Tanda Tangani Surat Cerainya, Suamiku   41. Harga Sebuah Kebenaran

    Ruangan itu terlalu sunyi.Sunyi yang tidak nyaman. Sunyi yang menyesakkan.Lillian duduk kaku di tepi sofa panjang berlapis kulit, dengan jari-jari tangan yang saling menggenggam erat. Ia bahkan tidak menyadari kuku-kukunya menekan permukaan kulitnya sendiri, meninggalkan bekas putih yang samar. Di sampingnya, Noam duduk setia, tidak berkata sepatah kata pun. Ia tahu betul, ada waktu-waktu di mana kehadiran dan keheningan lebih berarti daripada kata-kata.Seberang mereka, meja kaca dengan bingkai kayu walnut menopang berkas-berkas resmi dan sebuah flashdisk hitam kecil—tak tampak penting, tapi nyatanya menyimpan pengakuan yang bisa membakar hidup seseorang hingga jadi abu.“Rekaman ini dikirim langsung oleh Tuan Jayde Foster,” ujar pengacara mereka dengan suara hati-hati, “melalui pengacaranya, bersamaan dengan surat pernyataan dan pernyataan saksi. Sudah kami simpan salinan digital dan menyerahkannya ke penyidik.”Lillian menatap benda mungil itu seolah bisa meledak kapan saja. Sat

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status