"Tidak ada, Ranum ... Ibu tidak bermaksud apa-apa," tutur Ibu mendesah. Aku bangun, duduk bersila di samping ibu yang memandang lurus pada putriku. Tidak mungkin tidak ada apa-apa, jika tadi jawaban Ibu seperti itu.Apa mungkin Bapak telah berkhianat dari Ibu sewaktu dulu? Rasanya tidak mungkin jika Bapak melakukan itu. "Ibu ... Bapak pernah melakukan apa yang Mas Sandi lakukan?" tanyaku ingin mendapatkan jawaban pasti. Ibu memandangku dalam diam. Hingga akhirnya, anggukan kepala Ibu menjadi sebuah jawaban. "Kapan, Bu?" "Dulu. Duluuu sekali. Saat kamu masih bayi merah. Dan alasan kita pindah dari Bandung ke Jakarta, ya itu. Meninggalkan kepedihan." "Kok, Ibu kuat bertahan hingga sekarang? Kenapa Ibu tidak bercerai seperti apa yang aku lakukan?" tanyaku kembali. Ibu menarik napas panjang. Wajah tua itu mengadah ke atas mengingat masa-masa yang tidak pernah aku tahu. "Ada beberapa hal yang membuat Ibu, bertahan kala itu. Satu, kamu masih bayi. Butuh nutrisi dan asupan gizi. Se
Aku melihat jam dinding yang menempel di atas foto Ibu dan Bapak. Masih pukul dua siang. Dan aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. [Bisa, Fir. Di mana?] [Di kafe Magnolia.] Aku langsung pergi ke kamar. Membawa beberapa berkas yang mungkin akan ditanyakan pengacara itu. Setelah semuanya siap, aku bicara pada Ibu, sekaligus memintanya untuk menjaga Shanum yang sedang tidur siang. Tanpa menunggu nanti, aku pun langsung berangkat ke tempat yang Safira sebutkan tadi. Aku harus bergerak cepat untuk menyelesaikan masalah ini. Tidak ingin berlarut-larut hingga nanti malah membuat masalah bertambah rumit. "Di mana Safira?" ujarku setelah berada di kawasan kafe Magnolia. Mata ini menelisik ke seluruh ruangan hingga lambaian tangan seorang wanita yang ada di meja paling belakang membuatku tersenyum ke arahnya. Aku berjalan cepat, dan berdiri tepat di belakang pria yang duduk satu meja dengan temanku itu. "Mas, ini Ranum temanku," ucap Safira membuat pria itu menoleh ke belakang
"Kenapa bisa kabur, Soni ...?" ujarku seraya mengurut kening. Aku mengambil ponsel dari Safira, langsung bicara pada Soni mengenai Cahaya. "Aku juga tidak tahu, Mbak. Aku dan Mama baru sampai rumah, tiba-tiba dapat kabar itu dari Mas Sandi. Sekarang aku lagi nyari, nih di sekitar kompleks. Nanya-nanya sama tetangga juga, kiranya ada yang lihat. Mbak bantu doa, ya agar Cahaya bisa segera ditemukan." "Doa, sih doa, Son. Tapi, hatiku jadi tidak tenang ini. Yasudah, deh aku ikut nyari juga," ujarku mengakhiri panggilan. Aku menoleh pada Safira yang mengedikkan bahu. Sepertinya memang sulit untukku lepas dari anak itu. Yang jadi pertanyaan aku, ke mana orang tuanya sampai anak itu bisa pergi tanpa mereka ketahui? Tidak mengunci pintu kah? Tidak diawasi? Mereka asik dengan dunianya? Dasar tidak becus. Ponsel kembali berbunyi saat aku hendak melajukan mobil. Dan kali ini dari Mawar Berduri. "Ap—""Cahaya kabur! Dia mencarimu! Puas, kamu sekarang karena sudah membuat anak itu jadi
Wajahku terasa memanas melihat dia yang tersenyum seraya menelengkan kepala. "Vano? Kamu ngapain di sini?" tanyaku sembari menegakkan tubuh, menutupi rasa kaget. "Habis beli perhiasan buat Mama. Eh, kebetulan ketemu klien sekaligus mantan pacar. Bagiamana kabar Mantan Pacar?" Aku meremas kertas nota dengan pandangan ke sembarang arah. Rasanya aku ingin lari dan masuk ke dalam mobil untuk bisa terbebas dari rasa canggung ini. Ah, menyebalkan. Jika dia keluar dari dalam toko perhiasan yang sama, itu artinya dia tahu, dong aku menjual perhiasan? Astaga ... mana tadi aku ngakunya belum ngambil uang, eh sekarang malah ketahuan jual perhiasan. Sial banget hari ini. Ketemu mantan, bukannya dalam keadaan suka cita, malah penuh dengan derita. Cerai, lagi kasusnya. "Kok, malah bengong?" ujar Devano mengibaskan tangan di depan wajahku. Aku mengerjapkan mata beberapa kali, lalu memaksakan tersenyum. "Tidak apa-apa, aku hanya sedikit haus saja." "Haus? Ada kafe yang estetik di sekitar s
"Kamu tahu, gak Num? Tadi saat aku mengantarkan Cahaya ke rumah Sandi, dia sedang marah-marah sama istrinya." "Masa, Fir? Terus terus, gimana reaksi mereka saat kamu yang bawa anaknya?" "Seneng, dong. Sampai bilang makasih beberapa kali. Oh, iya Num. Sandi minta aku buat bujuk kamu agar tidak menggugat cerai ke pengadilan. Dia bilang, dia sangat mencintai kamu. Di depan istrinya, lho dia bilang kayak gitu. Dasar tidak punya perasaan, tuh bapak-bapak," ujar Safira terkekeh. "Ah, paling juga hanya pencitraan dia mah. Mana mau aku balik lagi ke sana. Kapok."Kami tertawa bersamaan membicarakan calon mantan suamiku itu. Sepulangnya dari bertemu dengan Devano, entah kenapa pikiranku terasa ringan. Kesediaan dia untuk mendampingiku hingga sidang selesai, membuat tumpukkan beban di pundak perlahan terasa menghilang. Aku optimis, jika perceraianku akan berjalan dengan lancar. Meskipun, nanti akan ada drama penolakan dari pihak Mas Sandi. Besok pagi, aku akan berangkat ke pengadilan untuk
"Sha, yuk berangkat, yuk!" Aku berteriak dari luar memanggil gadis kecilku. Tidak lama kemudian Shanum keluar dengan Ibu di belakangnya. Gadis cantikku siap pergi ke sekolah dengan wajah yang kembali ceria. Semalam aku sempat khawatir jika pembicaraan kami akan membekas dan membuat anak itu larut dalam kesedihan. Namun, ternyata tidak. Shanum si anak manis bangun dengan wajah ceria dan semangat sekolah seperti semula. Aku bahagia melihat itu. "Nenek, mau ikut ke sekolah Shanum?" ujar anakku ketika hendak masuk ke mobil. "Ah, tidak. Nenek harus ke pasar sama Kakek. Shanum sama Bunda saja, ya? Ingat, jangan nakal di sekolah, belajar yang baik, dan harus nurut sama Ibu Guru.""Harus nurut sama Ibu Guru!" ujar Shanum mengucapkan kata yang sama dengan yang diucapkan neneknya. Setelahnya, putriku tertawa. Dia melambaikan tangan pada Ibu yang juga sudah bersiap untuk pergi ke pasar. Rencana hari ini, aku akan pergi ke kantor pengadilan agama bersama Devano. Semalam aku dan dia sudah
"Kamu ngapain di sini?" tanyaku pada pria yang sedari tadi terus melihatku dan Devano. "Kamu kenal, dia?" Devano bertanya. Aku menganggukkan kepala. Sedangkan pria yang berdiri di antara aku dan Devano, mengulurkan tangan ke arah pengacaraku seraya menyebutkan namanya. "Soni. Adik ipar Mbak Ranum." Devano manggut-manggut, lalu menerima uluran tangan adik dari suamiku itu. Keberadaan Soni di sini bukanlah rencanaku. Dia yang berinisiatif mengikutiku ketika melihat kendaraanku di jalan tadi. Devano sempat mencurigai Soni. Dia menganggap, Soni berada di pihak Mas Sandi dengan memata-mataiku. Namun, segera kujelaskan jika adik iparku itu berada di pihakku. Soni juga bersedia menjadi saksi di persidangan perceraianku nanti. "Kita harus masuk, Num," ujar Devano setelah beberapa saat kami saling bicara. Aku mengangguk, mengikuti langkah kaki Devano. Namun, pria itu berhenti saat menyadari Soni ikut bersama kami."Kamu ngapain ikut?" "Memangnya ada larangan aku tidak boleh ikut mas
"Jadi, Ranum beneran sudah menggugat cerai Sandi?" tanya Mama. Pagi ini aku kedatangan ibu mertua yang sengaja menemuiku untuk menanyakan gugatan yang aku layangkan. Mas Sandi sudah mengetahuinya, dia memberi tahu Mama, dan sekarang di sinilah aku. Duduk di samping ibu mertua yang sudah kuanggap ibu kandungku sendiri. Kasih sayang dia sama seperti ibu, saat aku masih bersama anaknya. Bahkan, bisa dikatakan lebih menyayangiku dibandingkan menantunya sekarang. "Maafkan Ranum, Mah. Bukannya tidak mau berjuang, tapi rasanya percuma jika berjuang seorang diri. Bisa Mama lihat sendiri, kan bagaimana Mas Sandi. Tidak pernah sekalipun dia datang ke sini untuk minta maaf, atau menengok Shanum." Sudah dua minggu dari kepergianku, dan sudah satu minggu gugatan aku layangkan ke pengadilan. Namun, tidak ada itikad baik dari Mas Sandi untuk memperbaiki. Sepertinya dia memang sudah pasrah berpisah dariku. Kemarin, aku hanya mendapatkan pesan ancaman dari Mawar yang katanya akan menggugat hak a