"Ranum, kamu dengarkan aku baik-baik. Kamu tidak akan bisa memenjarakanku dengan tuduhan perzinahan. Kenapa? Karena aku sudah menikah dengan Mawar. Aku dan dia tidak zinah. Hubungan kami sah, secara agama." "Aku tahu itu," ujarku masih santai. Kedua kaki aku lipat, kemudian sebelah tangan mengeluarkan uang dari dalam amplop berwarna cokelat. Aku tersenyum, melihat jumlahnya yang lebih dari tiga puluh lembar berwarna merah. "Kalau tahu, kenapa harus melaporkanku dengan tuduhan itu?" ujar Mas Sandi lagi terdengar kesal. "Kamu menikah baru enam bulan, 'kan? Sedangkan dari pernyataan kamu, kalian sudah menjalin hubungan gelap selama satu tahun. Kamu pikir, enam bulan sebelum menikah kalian mondok bareng di pesantren, gitu? Pasti hotel tujuan kalian!" Aku berujar lantang. Rumah yang kosong, membuatku leluasa untuk berteriak bicara kerasa pada calon mantan suami itu. Mas Sandi mengerang. Mungkin dia tidak menyangka jika aku akan melangkah sejauh ini. Untuk beberapa saat kami saling di
Melihat wajah itu, membuatku semakin merasa bersalah. Namun, semuanya sudah terlanjur. Dan untuk mengobati rasa rindu dia pada ayahnya, kali ini aku akan membawa Shanum bertemu dengan Mas Sandi. Mudah-mudahan, itu bisa membuat hati Shanum merasa bahagia. "Bunda, kita akan ke mana?" tanya Shanum saat tahu jalan yang aki lewati bukan ke arah rumah. "Kita ke taman sebentar, ya? Tadi, Bunda beli makanan dari supermarket buat kita nikmati di sana.""Wah ... apa makanan itu ice cream, Bunda?" "He'em. Rasa strawberry!" ujarku semakin membuat mata Shanum berbinar bahagia. Beberapa menit berkendara, kini aku dan Shanum sudah sampai di taman. Suasana sangat sejuk dengan banyak pepohonan besar di sekelilingnya. Namun, belum kulihat sosok ayah dari putriku ada di sini. Aku masih memindai sekitar sampai akhirnya mataku jatuh pada pria yang duduk di bangku panjang seorang diri. Ke mana istrinya? Ah, bodoh amatlah ke mana pun wanita itu, bukan urusanku. "Yuk, kita turun, Sayang." Shanum be
Aku sedikit melebarkan mata, kemudian menggelengkan kepala seraya menyunggingkan senyum manis kepada suamiku itu. Iya, suami. Sampai detik ini, dia masih suamiku. Belum ada kata talak yang keluar dari bibirnya. Namun, tetap saja aku enggan berperan sebagai istri yang harus melayani suami. Rasanya sudah beda. Hambar. Tidak ada lagi cinta ketika menatap wajahnya. Yang aku lihat hanyalah pengkhianatan dia dengan Mawar. Mas Sandi manggut-manggut. Dia menegakkan tubuh seraya menarik napas dalam-dalam. "Yah, sudah aku duga kamu tidak akan menginginkannya. Aku cukup tahu diri akan kesalahanku. Tapi ... bolehkah aku mengucapkan sesal?" Aku sedikit tersentak dengan ucapannya. Namun, kembali aku tersenyum dengan mata menatap pada sepasang netra yang begitu mirip dengan Shanum itu. "Sesal? Apa yang kamu sesalkan, Mas?" tanyaku. "Entahlah. Ada sesuatu yang terasa hilang dariku." Aku tidak lagi bicara. Jujur, ada rasa pongah dalam diri ini ketika Mas Sandi berkata demikian. Secara tidak l
"Akhir-akhir ini kakak sering ngamuk, Sayang. Shanum, kan tahu sendiri kalau kakak sudah ngamuk, dia jadi hilang kendali. Makanya, Shanum tinggal di rumah nenek dulu. Nanti pun akan ada waktunya, kok Shanum main sama kakak. Sekarang, kita pulang dulu, yah? Biarkan ayah kerja," kataku membujuk Shanum yang malah memeluk Mas Sandi. Gadisku menempelkan kepalanya di dada pria itu.Lama, aku dan Mas Sandi membujuk Shanum hingga akhirnya anak itu mau pulang juga dengan syarat, Mas Sandi harus menggendong dia sampai kami masuk ke mobil. Dan Mas Sandi menurutinya. "Pake sabuk pengamannya, ya?" ujar Mas Sandi memakaikan seat belt. Shanum mengangguk, kemudian Mas Sandi menutup pintu mobil setelah mencium ubun-ubun putrinya itu. Aku mulai melajukan mobil meninggalkan Mas Sandi yang masih berdiri melihat kepergianku dengan Shanum. Sepanjang jalan pulang, putriku diam. Keceriaan yang tadi mampir, kini hilang. Dia bahkan enggan menoleh ketika aku memanggilnya. "Sha, lihat, deh ada Om Soni, tuh
"Bisa, gak kalau sudah menggambar, bekasnya beresin lagi?" ujar Mawar berteriak seraya memungut kertas dan pensil yang berserakan di lantai. Pemandangan ini sudah tidak asing lagi bagiku. Hal yang tidak pernah aku lihat sebelum Ranum pergi dari rumah ini. Teriakan Mawar, marahnya dia, sudah jadi makanan yang setiap hari aku dengar. Rumah menjadi sangat rame dan berisik. Namun, di sini. Di dalam hati ini ada yang hilang. "Mandi! Astaga Cahaya .... mandi! Dari tadi di suruh mandi, susahnya minta ampun. Apalagi disuruh mati!""Hey! Apaan, sih kamu ini kalau ngomong gak pernah dijaga. Bisa, kan bicara dengan pelan dan lembut? Kupingku, tuh sakit dengar kamu teriak terus," ujarku keluar dari ruang makan. Baru beberapa suap nasi yang masuk, rasanya laparku sudah hilang. Bagiamana mau makan tenang, kalau di rumah penuh dengan makian dan teriakan. Mawar. Wanita itu beda sekali dengan Ranum. Dia tidak bisa membujuk Cahaya, meskipun hanya untuk menyuruhnya pergi membersihkan diri. Sepulan
Seperti yang telah aku bahas dengan Ranum, akhir pekan aku boleh datang menjemput Shanum, putri keduaku. Dan ini yang menjadi sumber energi tersendiri, karena bisa melihat dia di pagi hari. Aku bersiul seraya menyisir rambut. Mawar belum bangun dari tidurnya meskipun matahari sudah tinggi. Alasan apa lagi kalau bukan lelah mengurus Rumah. Selalu seperti itu. Sebelum pergi, aku akan mengirimkan pesan pada mantan istriku itu. Memastikan jika Shanum siap untuk aku bawa. [Num, sekarang aku jemput Shanum, ya?] tulisku, lalu mengirimkannya. Centang dua berwana biru sudah nampak. Aku tersenyum. [Silahkan, Mas. Dia pun sudah siap,] ujar Ranum seraya mengirimkan foto Shanum yang tengah duduk di teras rumah. Buru-buru aku keluar dari kamar tanpa membangunkan Mawar. Cahaya pun belum tahu jika hari ini Shanum akan datang. Biasanya, aku akan membawa mereka jalan-jalan ke taman. Tapi, sekarang aku ingin di rumah saja seraya melihat keakraban mereka. Sampai di mobil, aku tak langsung pergi.
[Num, bisa jemput Shanum, gak? Dia minta pulang, tapi aku sedang rapot dengan Cahaya. Dia gak mau ditinggal pergi.] Aku mengetuk-ngetuk jari pada pinggiran ponsel. Tidak biasanya Shanum minta pulang cepat. Padahal waktu masih pukul sepuluh pagi. Masih jauh banget dari jam pulang Shanum yang seharusnya diantar Mas Sandi pukul tiga sore. "Hey, kok ngelamun?" Aku terkejut saat pundakku ditepuk dari belakang. Buru-buru ponsel kumasukkan ke dalam saku celana, kemudian melihat siapa yang menegurku itu. "Sita?" ucapku seraya mengurut dada. "Kenapa, Mbak?" Dia balik bertanya. "Mantan suamiku nyuruh aku buat jemput Shanum, tapi kan aku masih kerja," kataku lesu. Ini hari minggu. Hari libur untuk mereka yang bekerja di kantoran, tapi tidak denganku. Aku tidak punya jam libur. Satu minggu tujuh hari, selalu diwajibkan masuk kerja. Justru akhir pekan seperti ini, pengunjung akan lebih banyak dari biasanya. Dan kami para karyawan akan semakin sibuk dengan pelanggan yang tidak ada habisnya.
"Minta tolong apa?" "Gantiin aku kerja, Mbak. Bayiku sakit, aku mau bawa dia ke rumah sakit sekarang. Tapi, enggak dikasih izin kalau gak ada yang gantiin, resto lagi rame banget." Aku melihat wajah Shanum yang anteng dengan makanannya. Mataku juga menatap wajah Ibu dan Bapak, yang sesekali mencuri pandang ke arahku. Tadi, Sita memang mengambil kerja lembur. Dia mencari uang tambahan untuk membeli susu anaknya yang masih bayi. Sita juga cerita kalau bayinya tengah demam. Sekarang, aku malah mendengar kabar buruk. Bayi Sita semakin parah dan harus dibawa ke rumah sakit. "Mbak, gimana?" tanya Sita lagi. "Iya, aku ke sana sekarang.""Ke mana?" Ibu bertanya seraya mengerutkan kening. Aku mengakhiri panggilan dengan Sita setelah meyakinkan dia jika aku akan datang ke restoran sekarang. Namun, tatapan kedua orang tuaku masih menanti penjelasan. "Bu, Ranum harus ke restoran. Sita anaknya sakit, dia memintaku menggantikan dia.""Emang gak ada karyawan lain, selain kamu? Ini udah malam,