"Pak, bagaimana ini?" ujar Ibu menoleh pada Bapak. Bapak menganggukkan kepala seraya menghampiriku yang tersedu di pelukan Ibu. "Ranum, pasrah saja dulu, daripada nanti kamu diarak keliling pasar. Bukan hanya kamu yang malu, tapi kami juga. Ingat, anakmu akan mendengar cerita ini dari orang-orang jika besar nanti. Ikhlas, Nak. Bapak akan menikahkan kalian."Aku semakin terisak menolak ucapan Bapak, tapi tidak memilki kuasa untuk menyela. Pasrah, adalah satu-satunya cara untuk meredam amarah warga. Beberapa saat saling bicara satu sama lain antara Bapak dan Soni, akhirnya pria dengan status waliku itu menjabat tangan Soni dan pernikahan pun terjadi. Dua saksi yang tak lain Pak Haji Darmin dan satu rekan Bapak, mengatakan sah atas ijab qobul yang diucapkan Soni. Semua orang bersorak seperti mendapatkan hadiah atas pernikahan dadakan ini. Sedangkan aku, aku semakin tergugu dengan nasib diri yang selalu diliputi kesedihan ini. "Yuk, bubar-bubar! Sekarang waktunya makan-makan!" ujar
Wanita yang masih memakai piyama satin di atas lutut masuk ke dapur, lalu berkacak pinggang dengan bibir bergerak. Mungkin dia tengah memarahi gadis yang tak lain putrinya sendiri. Mawar. Dia mengambil mie instan dari bufet atas, lalu merebusnya. Satu mangkuk mie dia sajikan di depan Cahaya yang tengah kelaparan. "Kakak, gak boleh makan mie," kataku ingin menghentikan waktu. Di sana, Cahaya diam. Dia bersidekap dada seraya menggelengkan kepala menolak makanan yang disajikan ibunya. Namun ... tanganku terkepal kuat ketika Mawar memaksa anak itu untuk makan. Dia mencengkram kedua pipi Cahaya dengan sebelah tangan menyuapkan mie instan dengan kasar. Gagal. Cahaya menutup mulutnya rapat-rapat, dan itu membuat si ibu naik darah. "Ya Allah ...!" Aku menutup mulut melihat Mawar menekan kepala Cahaya pada mangkuk berisikan mie yang aku yakini masih panas. Cahaya berontak. Dia melawan ibunya dengan tangan yang bergerak tidak beraturan. Namun, Mawar pun tidak tinggal diam. Manusia seteng
Setengah berlari aku masuk menyusuri koridor rumah sakit dengan senyum tak lepas dari bibir. Lelah tak kurasa, yang ada bahagia dengan bayangan wajah Cahaya di pelupuk mata. Semakin dekat dengan ruangan di mana Cahaya berada, dadaku semakin berdegup kencang. Apalagi, setelah mata ini melihat Mama yang tengah duduk di depan kamar Cahaya. "Mah, mana Aya?" tanyaku seraya mengatur napas.Mama berdiri, melangkah mendekatiku dan ....Plak!Aku bergeming. Tidak mengerti kenapa tiba-tiba Mama menamparku dengan air matanya yang menganak sungai. "Mah—""Ke mana saja, kamu? Kenapa baru datang sekarang? Katanya kamu sayang pada Cahaya, katanya kamu menganggap dia anakmu sendiri, tapi kenapa baru datang?!" jerit Mama, kemudian tubuh itu kembali duduk dengan kedua tangan menutupi wajah tuanya. Aku masih diam di tempat tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Mulutku tertutup rapat tidak sama sekali bisa berkata-kata saat Mama kembali berucap. "Tadi, Cahaya bangun, Ranum. Dia mencarimu. Dia memi
"Cahaya! Kenapa secepat ini kamu pergi, Nak?" "Bangun, Sayang. Ini Nenek datang untukmu, huhuhu ...!"Aku tersenyum masam melihat aktris-aktris yang tengah beradu akting di sana. Pantas saja Mawar pandai sekali bersandiwara, karena ibunya pun sama. Di depan semua orang yang datang memberikan ucapan belasungkawa, mereka menangis seolah-olah merasa sangat kehilangan. Di sini, aku hanya jadi penonton mereka seraya duduk bersandar pada tembok. Air mataku sudah hilang. Kering dan tak lagi turun seperti di rumah sakit tadi. Bukan karena aku sudah tidak sedih, tapi diri ini sedang berdamai dengan takdir. Belajar merelakan meskipun teramat berat. "Bunda ...."Aku menoleh ke samping di mana Shanum duduk di pangkuan ayahnya. Sejak datang bersama Ibu dan Bapak, anak itu tak mau jauh dari Mas Sandi. Sesekali dia mengusap kepala kakaknya yang tertutup kain kafan. "Apa, Nak?" tanyaku. "Kakak, kok tidak bangun-bangun, ya Bunda ...." Aku memaksakan tersenyum, tapi enggan untuk menjawab. Tub
Aku bangun dari dudukku, menghampiri dia dan langsung menghadiahkan tamparan di pipi kanannya. Mama tersentak kaget dengan apa yang aku lakukan ini. Begitu pun dengan Mawar. Dia langsung berteriak memanggil suaminya seraya memegangi pipinya yang sudah memerah. "Ranum, apa-apaan kamu? Kenapa menampar Mawar?" tanya Mas Sandi tidak terima. "Ajarkan istrimu untuk lebih sopan lagi. Kalau perlu, bawa ke pesantren untuk belajar adab dan tatakrama. Menurutmu, apa pantas masuk tanpa ketuk pintu, sedangkan di dalam sini ada orang tua yang tengah bicara serius dengan anaknya? Silahkan kamu tampar aku jika ucapanku salah. Silahkan, Mas." Aku menepuk pipi sebelah kiriku. Dan Mas Sandi hanya bergeming tidak melakukan apa-apa. "Mas, tampar, dong. Dia sudah nampar aku, tadi. Masa, kamu diam saja istrinya ditampar?" ujar Mawar menggoyangkan lengan suaminya. Namun, pria itu hanya diam saja, lalu menarik tangan Mawar keluar dari kamar di mana ada Mama yang masih menanti sebuah penjelasan. Aku me
"Mari, Bu, silahkan ikut kami. Ibu jelaskan di kantor saja," ujar polisi bertubuh tegap tinggi kepada Mawar. "Tunggu, Pak. Sebenarnya istri saya ini salah apa? Kekerasan apa yang dia lakukan, dan pada siapa?" Mas Sandi kembali bertanya. Sedangkan Mawar, wanita sejuta drama itu bersembunyi di balik tubuh suaminya. Dia ketakutan, sampai kakinya ikut bergetar. "Maaf, Pak. Kami tidak bisa menjelaskan di sini. Saya hanya menjalankan perintah untuk membawa Ibu Mawar ke kantor. Ibu Mawar bisa didampingi selama pemeriksaan, Pak." Polisi itu kembali menjelaskan. Mas Sandi menatap istrinya dengan penuh tanda tanya. Namun, Mawar enggan mengangkat kepala melihat pada suaminya itu. Aku masih di sini, bersorak riang dalam hati menyaksikan momen yang tak akan Mawar lupakan selama hidupnya. Apakah aku jahat karena telah mentertawakan wanita itu? Iya. Sekarang aku yang jahat, dan akan menjadi jahat jika berhadapan dengan orang seperti dia. Pak Polisi kembali meminta Mawar untuk ikut dengan mere
Shanum mengangguk. Dia pun merebahkan tubuhnya di sampingku yang kembali melanjutkan mengaji hingga selesai. Kini semua orang sudah pulang ke rumah mereka masing-masing. Hanya ada dua wanita tetangga samping rumah yang berbaik hati ikut membantu membereskan bekas pengajian barusan. "Ibu, terima kasih sudah membantu kami hingga beres. Kami berhutang budi, loh," ujarku setelah semuanya selesai. "Ranum, jangan seperti itu. Sudah seharusnya kami sesama manusia, apalagi tetangga, saling membantu. Apalagi dalam suasana duka seperti ini."Aku mengangguk seraya kembali berterima kasih. "Oh, iya Num. Tadi, kami melihat ada dua mobil polisi yang datang. Terus, sekarang kami tidak melihat Sandi dan istrinya. Apa polisi tadi membawa mereka?" Aku tidak langsung menjawab. Menggaruk tengkuk leher terlebih dahulu yang sebenarnya tidak gatal sama sekali. "Emmhh ... saya tidak bisa jawab, Bu. Takut jadi fitnah, karena belum ada kabar selanjutnya," ujarku akhirnya. Mereka mengangguk-anggukkan kep
"Apa, Mas? Cerai?" ujar Soni.Aku yang sudah hampir masuk ke ruangan di mana putriku berada, harus mengurungkan niat setelah mendengar permintaan Mas Sandi. Soni, balik badan dan menghampiri kakaknya itu. "Iya. Kamu masih kecil, tidak akan mampu jadi kepala keluarga dan ayah dari putriku. Ceraikan Ranum. Biarkan dia bebas mendapatkan laki-laki dewasa yang akan membahagiakannya."Soni tertawa sumbang mendengar permintaan Mas Sandi. "Laki-laki dewasa seperti apa, Mas? Sepertimu, yang hobi selingkuh?""Tutup mulutmu, Soni! Aku khilaf, bukan hobi.""Maaf, Mas. Aku tidak bisa. Aku bukan laki-laki pengumbar talak. Talak sini, talak situ, balik sini, minta balik lagi ke situ. Aku, akan mempertahankan apa yang sudah menjadi milikku."Apa maksud Soni berkata demikian? Apakah dia menganggap pernikahan kami ini sungguh-sungguh? "Sudah, Sandi, Soni, jangan terus berdebat. Mama pusing liat kalian seperti ini," tutur Mama menengahi kedua putranya itu. Mas Sandi mengusap wajahnya dengan kasar.