"Merajuk. Tali tasnya mau putus, tadi minta sama ayahnya, gak dikasih. Aku janji mau memperbaiki, tapi tadi keburu banyak pembeli. Akhirnya, begitulah. Nangis, ngunci diri di kamar," ujarku menjelaskan pada Soni. Soni mengetuk pintu kamar Shanum. Dia membujuk keponakannya itu agar mau keluar. Namun, tidak berhasil. Hingga akhirnya, Soni menjanjikan untuk membelikan tas baru pada Shanum, hingga pintu pun terbuka menampilkan wajah sembab penuh air mata. "Uh ... jelek banget ini muka. Apus air matanya, ah. Om, gak mau beliin kalau masih ada air mata kayak gitu. Malu, udah gede masih nangis. Anak sekolah mah gak boleh nangisan," ujar Soni seraya mengusap sisa air mata di wajah putriku. Setelah dipastikan Shanum tidak menangis lagi, Soni mengajak putriku untuk pergi. Katanya jalan-jalan sore sambil mencari tas baru. Aku mengikuti langkah kaki mereka dan berhenti di depan ruko. Aku menarik folding gate, untuk menyudahi mencari rezeki di hari ini."Sudah, Mbak? Ayo, kita berangkat!" "Ka
"Kamu, kok di sini?" "Karena kamu di sini, Mbak," jawabnya dengan seulas senyum. Aku berdiri, berjalan berdampingan dengan Soni yang masih setia memayungi kami menggunakan jaketnya. "Deketan dikit, Mbak, bahumu kehujanan.""Gak apa-apa," kataku. Namun, Soni tidak mengizinkan tubuhku terkena air hujan. Dia menarik bahuku, hingga refleks tanganku melingkar di pinggangnya. Aku mendongak, melirik ke sebelah kiri di mana pria yang usianya lebih muda lima tahun dariku tengah tersenyum senang dengan pandangan lurus ke depan. Tatapan kualihkan pada kaki kami yang berjalan bersamaan. Rintik air hujan mengiring detak jantung yang tiba-tiba berpacu lebih kencang. Apakah arti dari semua ini? Aku tidak tahu. "Kita neduh dulu, Mbak." Soni berujar ketika kami sampai di pos kecil di pinggir TPU. Aku menarik napas dalam-dalam, seraya melepaskan tangan yang sedari tadi melingkar pada pinggangnya. "Kamu tahu dari mana aku di sini?" tanyaku kemudian. "Feeling aja, Mbak. Ternyata, benar ada di
Aku kembali ke tempat pengambil kopi, lalu membawa minuman hangat yang sama ke meja yang berbeda. "Mbak, karyawan baru?" tanya seorang pria pemesan kopi."Iya," ujarku singkat, lalu kembali. Hampir dua jam aku menjadi pelayan di kedai kopi ini. Sesekali aku melirik Soni yang tengah meracik kopi bersama satu temannya. Dan dua teman lainnya bertugas sebagai pengantar pesanan. Kakiku sudah lumayan pegal, tanganku pun demikian. Pengunjung yang sudah mulai berkurang, membuatku kembali disuruh duduk oleh Soni. Namun, aku tidak mendengarkan apa kata dia. Aku tetap bekerja, dan akan berhenti ketika benar-benar sudah lelah. "Mbak, Mbak ini istrinya atau kakaknya si Soni, sih? Perasaan tiap manggil, pake kata 'Mbak' terus?" tanya seorang wanita berjilbab itu padaku. Aku tersenyum seraya menundukkan pandangan. Kemudian mata ini melirik Soni yang terlihat malu-malu dengan pertanyaan kawannya itu. "Panggilan sayang, Mirandah!" tutur pria di samping Soni. Wanita yang dipanggil Miranda itu m
"Tuh, yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Ke mana aja, kamu ini, Num?" Ibu nyerocos dengan bibir yang bergoyang ke sana kemari. Namun, dengan santainya aku membuka helm, menyimpannya di atas motor, tanpa menjawab pertanyaan Ibu. Kemudian menyalami kedua orang tuaku itu satu persatu, dan berulah duduk di bale-bale bersama mereka. Di sana pun ada Shanum yang tengah bermain kasir-kasiran seorang diri. "Dari mana?" tanya Ibu untuk yang kedua kali. "Dari ....""Dari kedai kopi dulu, Bu. Tadi, aku yang minta Ranum ke sana. Maaf, harusnya aku tidak libatkan Ranum dalam pekerjaanku," ujar Soni menjawab pertanyaan Ibu. Padahal, bukan itu jawaban yang hendak aku ucapkan. Namun, pria itu malah bicara demikian."Oh, yasudah." Aku mengerutkan kening melihat Ibu yang hanya menjawab singkat seraya berlalu. Biasanya tidak seperti itu. Ibu biasanya selalu nyerocos, jika ada yang tidak sepaham dengannya. Namun, kali ini dia berbeda. Meskipun aku datang telat, juga bersama Soni, tidak aku
Adzan maghrib berkumandang. Beda dengan saat di ruko, di sini Soni salat ke mesjid bersama Bapak. Kedua lelaki itu sudah pergi, dan di sini pun para wanita mulai menunaikan ibadah salat berjamaah.Tiga rakaat sudah kami tunaikan, sekarang aku dan Ibu tengah duduk bersila masih dengan menggunakan mukena. Sedangkan Shanum, dia berguling di atas ranjang Ibu yang lebih besar dari kasur milik kami di ruko. "Num. Boleh, Ibu bicara padamu?" tanya Ibu setelah beberapa saat diam. "Tentu, Bu. Ibu, mau bicara apa?" "Ini tentang pernikahanmu dan Soni. Sudah kalian daftarkan ke KUA?" Aku menggelengkan kepala. "Rencananya besok, Bu. Apa, Ibu keberatan?" Kini giliran Ibu yang Menggelengkan kepala. Dia mengambil tanganku, lalu menepuk-nepuknya pelan. "Tidak, Num. Justru, Ibu mendukung keputusan kamu ini. Maaf, ya jika ada kata-kata Ibu yang mungkin melukai perasaan kalian. Terutama Soni. Harus Ibu akui, Ibu keliru. Ibu berdosa pernah menyuruh kamu bercerai dari dia.""Sudah kami maafkan. Kalau
"Ranum, Soni, Bapak mau ngomong jujur sama kalian. Ini tentang rahasia yang tadinya Bapak pendam sendiri, tapi kali ini akan Bapak bicarakan pada kalian. Bapak takut tidak ada umur, jika tidak bicara sekarang."Suasana mendadak tegang ketika Bapak berucap demikian. Aku menatap lekat pria cinta pertamaku itu. Begitu pun dengan Soni dan Ibu. Kecuali Shanum. Putriku itu masih bermain di kamar. Terdengar dari suara dia yang bernyanyi di dalam sana. Hari masih pagi, tapi kami dibuat penasaran dengan apa yang akan Bapak sampaikan sekarang ini. "Tentang apa, Pak?" tanyaku tidak sabar. "Tentang ... uang."Aku lebih tidak mengerti. "Sebenarnya, uang yang Bapak berikan padamu saat itu, juga yang Bapak belikan pada beberapa rak di rukomu, itu bukan tabungan Bapak dan Ibu. Melainkan, dikasih Ibu Utami, ibunya Soni."Mama?Aku dan Soni saling pandang. Tidak pernah menyangka jika modal yang kudapat dari ibu mertua. Ibu pun demikian. Wanita itu menatap tak percaya pada suaminya. "Kapan?" tanya
Kuembuskan napas kasar seraya masuk ke dapur. Beberapa saat aku duduk merenung memikirkan perkataanku tadi. Ada rasa tidak enak karena telah membuat Soni kecewa. Aku pun tidak tahu dengan perasaan ini. Tadi, aku menggebu mengatakan tentang dia yang terlibat dalam uang sogokan itu. Tapi, sekarang justru aku merasa menyesal mengucapkan kata yang mungkin menyakiti hatinya."Bunda, iketin rambut aku," pinta putriku yang sudah memakai seragam sekolahnya. "Mau iket berapa?" tanyaku menyuruh dia duduk di kursi kosong di sampingku. "Satu aja, biar cepet."Aku pun mulai menyisir rambut Shanum dan mengikatnya. Saat tengah memasangkan pita, Soni datang dan menghampiri kompor. Dia bertanya pada putriku ingin membawa bekal apa hari ini ke sekolah. Dia hanya bicara pada putriku, dan mengabaikan diriku."Mau susu kotak sama biskuit aja, Om," ujar Shanum singkat. "Apa lagi?" tanya Soni kembali. "Emh ... buah anggur, kalau ada!" Putriku menutup mulut, karena tahu sebenarnya tidak ada buah itu di
"Mah, Mama, kok gak bilang sama Ranum, kalau Soni cuti kuliah. Aku juga tidak tahu jika Soni punya usaha dengan teman-temannya."Mama mengulas senyum manis seraya menyesap teh manis yang aku buatkan. Dia duduk di kursi plastik seraya memegang gelas. Sesaat setelah Soni berangkat, Mama datang seraya membawa tas bergambar kuda poni untuk putriku. Katanya, Mas Sandi cerita jika Shanum minta dibelikan tas baru. Bukannya dia yang datang, malah menyuruh Mama. Ayah macam apa, Mas Sandi itu? Sekarang, aku sedang membicarakan Soni dengan wanita yang melahirkannya ini. "Iya, Num. Waktu itu dia mohon-mohon sama Mama, buat ngijinin cuti kuliah. Sekaligus, minta modal untuk usaha. Tadinya, Mama pun tidak setuju. Mama mau, dia tetap kuliah sambil bekerja. Tapi, Mama bisa apa kalau Soni memang sudah niat banget berhenti," ujar Mama menjawab pertanyaanku. Aku manggut-manggut. Sebenarnya, aku pun ingin mempertanyakan tentang uang yang sudah dia berikan pada Bapak. Namun, kurasa tidak perlu. Aku