Angin musim semi berbisik lembut di antara pepohonan pinus yang menjulang tinggi, membawa aroma tanah basah dan dedaunan segar. Matahari pagi menyelinap melalui celah-celah dahan, menciptakan pola cahaya yang menari-nari di atas jalanan berbatu menuju desa kecil bernama Qingyun. Terletak di kaki pegunungan Xuanwu yang curam, desa ini adalah tempat yang hampir tak tersentuh oleh dunia luar. Rumah-rumah kayu sederhana dengan atap jerami tersebar di sepanjang lereng bukit, dikelilingi oleh ladang-ladang kecil yang subur dan sungai kecil yang mengalir deras.
Li Zhen, seorang pemuda berusia tujuh belas tahun, berdiri di depan kuil tua yang terletak di ujung desa. Kuil itu sudah lama ditinggalkan, namun tetap menjadi bagian dari tradisi lokal. Setiap awal musim semi, penduduk desa akan berkumpul untuk membersihkan kuil sebagai bentuk penghormatan kepada para leluhur mereka. Pada hari itu, tugas membersihkan kuil jatuh kepadanya—sebuah tugas yang tidak pernah ia keluhkan, meskipun ia lebih suka menghabiskan waktunya memancing di sungai atau menjelajahi hutan. Kuil itu tampak seperti bangunan yang terlupakan oleh waktu. Dinding-dindingnya yang dulunya kokoh kini retak dan ditumbuhi lumut hijau tebal. Atapnya yang terbuat dari genting tanah liat telah runtuh di beberapa bagian, memperlihatkan langit biru yang cerah. Di dalam kuil, patung-patung batu yang menggambarkan dewa-dewa kuno berdiri diam, tertutup debu dan sarang laba-laba. Patung utama, yang diyakini sebagai representasi dari Dewa Langit Timur, masih tegak meskipun satu lengannya telah patah dan hilang entah ke mana. Li Zhen menghela napas panjang saat ia mulai bekerja. Ia mengambil sapu bambu yang dibawanya dari rumah dan mulai menyapu lantai kuil yang dipenuhi daun-daun kering dan serpihan kayu lapuk. Suara sapu bergesekan dengan lantai batu menciptakan irama monoton yang membuat pikirannya melayang. Ia memikirkan tentang masa depannya—tentang apakah ia akan tetap tinggal di desa ini sepanjang hidupnya atau meninggalkannya untuk menjelajahi dunia yang lebih luas. Namun, setiap kali ia mempertimbangkan untuk pergi, kenangan tentang orangtuanya yang meninggal ketika ia masih kecil selalu menahannya. Mereka adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki, dan meskipun mereka sudah tiada, desa ini tetap menjadi satu-satunya tempat yang ia anggap rumah. Setelah beberapa saat, Li Zhen berhenti menyapu dan berjongkok di dekat salah satu sudut kuil. Matanya tertuju pada sebuah batu besar yang tergeletak di bawah patung Dewa Langit Timur. Batu itu tampak tidak biasa; permukaannya halus dan berkilauan meskipun tertutup debu tipis. Rasa penasaran menguasainya, dan ia mulai membersihkan batu itu dengan tangannya. Saat debu mulai hilang, ia menyadari bahwa batu itu bukanlah batu biasa—melainkan sebuah kotak batu kecil dengan ukiran-ukiran aneh di permukaannya. Jantung Li Zhen berdebar kencang saat ia mencoba membuka kotak itu. Awalnya, tutupnya terasa sangat rapat, seolah-olah telah disegel selama ratusan tahun. Namun, setelah beberapa upaya keras, kotak itu akhirnya terbuka dengan bunyi klik pelan. Di dalamnya, ia menemukan gulungan kertas tua yang rapuh, hampir robek karena usianya. Gulungan itu tampak sangat berharga, dengan huruf-huruf kuno yang tertulis menggunakan tinta emas yang samar namun masih bisa terbaca. Li Zhen memandangi gulungan itu dengan mata terbelalak. Ia tidak mengerti apa arti tulisan-tulisan tersebut—mereka menggunakan aksara yang bahkan tidak pernah ia lihat sebelumnya. Namun, ada sesuatu tentang gulungan itu yang membuatnya merasa aneh. Seolah-olah gulungan itu memiliki kehidupan sendiri, seolah-olah ia sedang menunggu seseorang untuk menemukannya. Ia membawa gulungan itu ke luar kuil dan duduk di bawah sinar matahari. Sambil memegang gulungan itu dengan hati-hati, ia mencoba memahami makna dari simbol-simbol yang tertulis di atasnya. Beberapa di antaranya tampak seperti gambar binatang—naga, burung, dan ular—sedangkan yang lainnya tampak seperti peta atau diagram. Meskipun ia tidak dapat membacanya sepenuhnya, ada satu kalimat yang tertulis dalam aksara modern di bagian bawah gulungan: "Hanya mereka yang layak akan menemukan jalan menuju Silsilah Naga Emas." Kalimat itu membuat Li Zhen merenung. Apa itu Silsilah Naga Emas? Mengapa gulungan ini ada di kuil tua ini? Dan mengapa ia yang menemukannya? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di benaknya, namun ia tidak mendapatkan jawaban apa pun. Yang ia tahu adalah bahwa gulungan ini bukanlah barang biasa. Ada sesuatu yang istimewa tentangnya, sesuatu yang mungkin bisa mengubah hidupnya selamanya. Saat sore mulai tiba, Li Zhen memutuskan untuk membawa gulungan itu pulang. Ia membungkusnya dengan kain bersih dan menyimpannya di dalam tas kecil yang biasa ia gunakan untuk membawa alat-alat pertanian. Sepanjang perjalanan pulang, ia tidak bisa berhenti memikirkan tentang gulungan itu. Pikirannya dipenuhi oleh berbagai kemungkinan—mungkin gulungan itu adalah petunjuk menuju harta karun kuno, atau mungkin itu adalah artefak magis yang bisa memberikan kekuatan luar biasa. Apapun itu, ia yakin bahwa penemuannya ini adalah awal dari sesuatu yang besar. Ketika ia sampai di rumahnya, matahari sudah mulai tenggelam di balik pegunungan. Cahaya oranye memenuhi langit, menciptakan pemandangan yang indah namun juga sedikit suram. Li Zhen duduk di meja kayu sederhana di ruang tengahnya, menyalakan lampu minyak kecil, dan mulai memeriksa gulungan itu lagi. Kali ini, ia mencoba mencocokkan simbol-simbol kuno dengan buku-buku tua yang ia temukan di loteng rumahnya. Buku-buku itu adalah warisan dari orangtuanya, dan meskipun banyak di antaranya sudah rusak karena dimakan waktu, beberapa halaman masih bisa dibaca. Setelah beberapa jam, ia berhasil memahami sebagian kecil dari tulisan-tulisan itu. Ternyata, gulungan itu adalah bagian dari rangkaian petunjuk yang mengarah pada lokasi Silsilah Naga Emas. Namun, petunjuknya sangat rumit dan membutuhkan pengetahuan tentang sejarah kuno serta mitologi. Li Zhen menyadari bahwa ia tidak bisa memecahkan kode ini sendirian. Ia membutuhkan bantuan seseorang yang lebih berpengalaman—seseorang yang mungkin tahu lebih banyak tentang legenda-legenda kuno. Namun, malam itu, ia memutuskan untuk tidak memberi tahu siapa pun tentang penemuannya. Ia merasa bahwa gulungan ini adalah rahasia yang harus ia jaga sendiri, setidaknya untuk saat ini. Ia menyimpan gulungan itu di bawah kasurnya, berharap bahwa esok hari akan membawa jawaban atas semua pertanyaannya. Malam itu, Li Zhen tidur dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa gembira karena telah menemukan sesuatu yang begitu istimewa. Namun, di sisi lain, ia juga merasa cemas—seolah-olah ia baru saja membuka pintu menuju dunia yang tidak ia kenal, dunia yang penuh dengan misteri dan bahaya. Saat Li Zhen terbaring di atas kasur tipisnya, matanya terbuka lebar menatap langit-langit kayu yang remang-remang. Suara jangkrik malam dari luar jendela kecil rumahnya terdengar seperti bisikan misterius, mengiringi pikirannya yang semakin gelisah. Gulungan tua itu, yang ia simpan dengan hati-hati di bawah kasurnya, seolah memiliki kehidupan sendiri. Ia bisa merasakan getaran samar-samar dari gulungan itu—sebuah energi halus yang membuat bulu kuduknya berdiri. Apakah ini hanya imajinasinya? Ataukah gulungan itu benar-benar menyimpan sesuatu yang lebih besar daripada sekadar petunjuk biasa? Tiba-tiba, suara aneh terdengar dari arah hutan di belakang rumahnya. Itu bukan suara angin atau binatang liar—melainkan derap langkah cepat yang teratur, seolah-olah ada seseorang atau sesuatu yang mendekat dengan tujuan tertentu. Langkah-langkah itu semakin dekat, dan Li Zhen bisa merasakan denyut jantungnya semakin cepat. Ia bangkit dari tempat tidur dengan ragu-ragu, mencoba memastikan apakah ia hanya berhalusinasi. Namun, suara itu semakin jelas—dan semakin mengancam. Ia melangkah pelan menuju jendela kecil, berusaha melihat kegelapan malam di luar. Hanya ada bayangan pohon-pohon yang bergoyang tertiup angin, namun sesuatu terasa tidak beres. Udara di sekitarnya terasa lebih dingin, seolah-olah seluruh desa diselimuti oleh awan kelabu yang tak terlihat. Kemudian, ia melihatnya—sekilas bayangan hitam yang bergerak cepat di antara pepohonan. Bayangan itu tidak seperti manusia biasa; bentuknya lebih ramping, lebih gesit, dan sepertinya bergerak tanpa suara sama sekali. Siapa mereka? Apa yang mereka cari? Li Zhen mundur beberapa langkah dari jendela, napasnya tersengal-sengal. Matanya beralih ke sudut ruangan, ke tempat ia menyembunyikan gulungan itu. Apakah mereka datang untuk gulungan tersebut? Bagaimana mereka bisa tahu tentang keberadaannya? Pikiran-pikiran itu berkecamuk dalam benaknya, membuatnya semakin panik. Ia harus bertindak cepat, tetapi apa yang harus dilakukan? Jika ia keluar rumah, ia mungkin akan langsung bertemu dengan makhluk-makhluk misterius itu. Namun, jika ia tetap tinggal di sini, mereka mungkin akan menemukan gulungan itu juga. Sebelum ia sempat memutuskan, pintu depan rumahnya tiba-tiba bergetar keras, seolah-olah seseorang sedang mencoba mendobraknya. Suara itu membuat tubuhnya membeku. Tidak ada orang lain di rumah ini selain dirinya. Ia adalah satu-satunya yang tinggal di sini sejak orangtuanya meninggal. Lalu siapa yang berani masuk ke rumahnya di tengah malam begini? Dengan tangan gemetar, ia meraih sapu bambu yang biasa ia gunakan untuk membersihkan kuil sebagai senjata seadanya. Ia berdiri di dekat pintu, siap menghadapi apa pun yang akan masuk. Namun, saat pintu mulai retak karena dorongan kuat dari luar, ia mendengar suara aneh—seperti bisikan yang tak terdengar jelas, namun menusuk langsung ke dalam pikirannya. "Serahkan gulungannya," ujar suara itu, rendah dan dingin, seolah-olah berasal dari alam lain. "Jangan coba-coba melawan kami." Li Zhen terperangah. Mereka benar-benar datang untuk gulungan itu! Tapi bagaimana mereka bisa tahu? Ia belum memberi tahu siapa pun tentang penemuannya, bahkan kepada tetua desa sekalipun. Apakah gulungan itu memiliki cara tersendiri untuk memanggil mereka yang haus kekuasaan? Ataukah ada mata-mata di desa ini yang telah mengamati setiap gerak-geriknya? Tanpa pikir panjang lagi, ia meraih gulungan itu dari bawah kasur dan memasukkannya ke dalam tas kecilnya. Ia harus pergi—sekarang juga. Ia tidak tahu ke mana harus melarikan diri, tapi ia tahu bahwa ia tidak bisa membiarkan gulungan itu jatuh ke tangan orang-orang misterius ini. Dengan napas tersengal-sengal, ia membuka jendela kecil di belakang rumahnya dan melompat keluar, berharap bahwa kegelapan malam akan menjadi perlindungannya. Namun, begitu kakinya menyentuh tanah, ia menyadari bahwa ia tidak sendirian. Bayangan-bayangan hitam itu sudah mengepungnya dari segala arah, bergerak cepat seperti hantu. Mereka tidak berbicara, tidak mengeluarkan suara apa pun, namun kehadiran mereka begitu nyata—begitu mengancam. Salah satu dari mereka melangkah maju, dan Li Zhen bisa melihat wujudnya dengan lebih jelas di bawah sinar bulan yang redup. Makhluk itu mengenakan jubah hitam panjang dengan tudung yang menutupi wajahnya. Di tangannya, ia memegang pedang pendek yang berkilauan dengan cahaya biru aneh. "Kami tidak ingin menyakitimu," kata makhluk itu dengan suara yang sama dinginnya seperti sebelumnya. "Serahkan gulungan itu, dan kami akan pergi." Li Zhen mundur beberapa langkah, tangannya masih erat memegang tas kecil yang berisi gulungan itu. "Apa yang kalian inginkan dariku?" tanyanya, suaranya bergetar. "Apa yang ada di gulungan ini?" Makhluk itu tidak menjawab. Sebagai gantinya, ia mengangkat pedangnya dan melangkah lebih dekat. Li Zhen tahu bahwa ia tidak punya pilihan lain. Dengan semua keberanian yang ia miliki, ia berbalik dan berlari secepat mungkin ke arah hutan. Napasnya terengah-engah, kakinya terpeleset beberapa kali di tanah basah, namun ia tidak berhenti. Ia mendengar suara langkah-langkah cepat di belakangnya—mereka mengejarnya. Hutan di malam hari tampak seperti labirin gelap yang tak berujung. Pohon-pohon tinggi berdiri seperti penjaga sunyi, cabang-cabangnya saling bertautan membentuk atap alami yang menutupi langit. Li Zhen berlari tanpa arah, hanya mengikuti instingnya untuk menjauh dari para pengejarnya. Namun, semakin jauh ia berlari, semakin ia merasa bahwa ia tidak sendirian. Ada sesuatu—atau seseorang—yang mengamati setiap gerakannya dari balik bayang-bayang. Tiba-tiba, ia mendengar suara lain—suara yang lebih lembut, lebih manusiawi. "Ke sini!" panggil suara itu, nyaris tak terdengar di antara deru napasnya. Li Zhen berhenti sejenak, mencoba mencari sumber suara tersebut. Di antara pepohonan, ia melihat sosok seseorang melambaikan tangan ke arahnya. Tanpa ragu, ia mengikuti arah lambaian itu, berharap bahwa orang ini adalah sekutu. Namun, ketika ia sampai di dekat sosok itu, ia menyadari bahwa ia tidak mengenalnya. Orang itu adalah seorang wanita muda dengan rambut hitam panjang yang diterpa angin malam. Matanya tajam, namun ada kelembutan di dalamnya yang membuat Li Zhen merasa sedikit tenang. "Siapa kamu?" tanyanya, suaranya masih bergetar. "Aku Mei Xiang," jawab wanita itu dengan nada tenang namun mendesak. "Dan aku tahu persis apa yang kau bawa. Sekarang, ikuti aku jika kau ingin tetap hidup." Sebelum Li Zhen sempat bertanya lebih lanjut, wanita itu berbalik dan mulai berlari ke arah yang berbeda. Tanpa banyak berpikir, ia mengikuti Mei Xiang, meninggalkan para pengejarnya jauh di belakang. Namun, pertanyaan besar masih menggelayuti pikirannya: Siapa sebenarnya wanita ini? Dan bagaimana dia tahu tentang gulungan itu? Langkah-langkah mereka semakin cepat, dan Li Zhen merasa bahwa mereka semakin dekat dengan sesuatu yang besar—sesuatu yang mungkin akan mengubah hidupnya selamanya.Matahari mulai tenggelam, mengecat langit dengan sapuan warna jingga keemasan yang memukau. Di bawah cahaya senja yang lembut, desa Qingyun tampak seperti lukisan kuno yang tenang—sebuah potret kehidupan sederhana yang tersembunyi dari hiruk-pikuk dunia luar. Namun, bagi Li Zhen, ketenangan itu hanya ilusi semu. Setelah peristiwa malam sebelumnya, ia merasa seolah-olah bayang-bayang gelap telah merayap masuk ke dalam hidupnya, mengubah segalanya menjadi sesuatu yang asing dan mengancam. Pagi itu, ia bangun lebih awal dari biasanya. Tubuhnya masih terasa lelah setelah semalaman berlari melintasi hutan untuk melarikan diri dari makhluk-makhluk misterius yang mengejarnya. Ia tidak tahu siapa mereka atau apa tujuan mereka, namun satu hal yang pasti: mereka datang untuk gulungan tua yang kini disimpannya dengan hati-hati di dalam tas kecil di sisinya. Gulungan itu, meskipun rapuh dan usang, terasa seperti beban yang sangat berat—seakan-akan nasib seluruh dunia bergantung padanya. Li Zhen
Kegelapan yang menyelimuti lorong bawah tanah itu terasa seperti selimut tebal yang menekan dada. Udara dingin dan lembap memenuhi paru-paru Li Zhen, membuatnya merasa sesak sekaligus gugup. Makhluk raksasa yang terbuat dari batu masih berdiri di hadapan mereka, matanya yang menyala merah seperti bara api menatap tajam, seolah-olah bisa membaca setiap pikiran yang melintas di benak mereka. Suaranya bergema keras, menggetarkan dinding-dinding batu yang rapuh. "Kalian datang mencari Silsilah Naga Emas," kata makhluk itu dengan suara yang dalam dan mengguncang. "Namun, hanya mereka yang layak dapat melanjutkan perjalanan ini. Jika kalian tidak mampu melewati ujian, maka nyawa kalian akan menjadi milikku." Li Zhen menelan ludah, tangannya gemetar saat ia memegang tas kecil yang berisi gulungan tua itu. Ia ingin bertanya apa ujian yang dimaksud, namun Mei Xiang lebih dulu melangkah maju, pedang pendeknya siap di tangan. "Kami siap menghadapi apapun yang kau berikan," katanya dengan nada
Udara dingin yang menyelimuti hutan kecil itu tiba-tiba terasa lebih berat, seolah-olah alam itu sendiri sedang menahan napas. Li Zhen dan Mei Xiang berdiri berdampingan, menghadapi Bayangan Hitam yang semakin mendekat dengan gerakan cepat dan gesit. Mata mereka memantulkan cahaya merah dari bola kristal yang dipegang pria berjubah abu-abu—cahaya yang tampak seperti api yang siap melahap apa pun yang ada di depannya. Mei Xiang memegang pedang pendeknya dengan erat, sementara Li Zhen mencoba mempersiapkan diri meskipun ia tidak memiliki senjata selain sapu bambu tua yang ia bawa sejak awal perjalanan ini. Ia tahu bahwa pertempuran ini tidak akan mudah. Namun, ada sesuatu dalam tatapan mata Mei Xiang yang membuatnya merasa sedikit lebih tenang—seolah-olah wanita itu sudah memikirkan rencana untuk keluar dari situasi ini. "Jangan panik," bisik Mei Xiang pelan, suaranya nyaris tak terdengar di antara desiran angin malam. "Aku akan menyerang dari depan, dan kau harus mencari celah untuk
Kegelapan di dalam lorong bawah tanah itu terasa seperti selimut tebal yang menekan dada. Li Zhen dan Mei Xiang berdiri diam, napas mereka tersengal-sengal setelah melarikan diri dari Bayangan Hitam. Di hadapan mereka, makhluk raksasa dengan tubuh batu dan mata merah menyala masih berdiri kokoh, seolah-olah menunggu mereka untuk mengambil langkah pertama. Udara dingin yang menusuk tulang membuat Li Zhen merasa sesak, namun ia tahu bahwa mereka tidak punya pilihan lain selain menghadapi ujian ini. Mei Xiang melangkah maju dengan pedangnya siap di tangan. "Apa yang harus kami lakukan?" tanyanya dengan nada tegas kepada makhluk raksasa itu. Makhluk itu menggeram pelan, suaranya bergema keras di seluruh ruangan bawah tanah. "Ujian ini bukan tentang kekuatan fisik," katanya dengan suara yang dalam dan mengguncang. "Ini tentang keberanian kalian untuk menghadapi masa lalu. Jika kalian tidak bisa menerima kebenaran tentang diri kalian sendiri, maka nyawa kalian akan menjadi milikku." Li Z
Saat pria berjubah abu-abu itu mengangkat tangannya, bola kristal di genggamannya mulai memancarkan cahaya merah yang semakin terang. Udara di sekitar mereka bergetar, seolah-olah seluruh ruangan bawah tanah sedang menahan napas. Li Zhen dan Mei Xiang saling bertukar pandang, menyadari bahwa mereka tidak punya banyak waktu untuk bereaksi. Namun, Mei Xiang tetap tenang—ia tahu bahwa panik hanya akan membuat situasi semakin buruk. "Kita harus bertindak cepat," bisik Mei Xiang dengan nada tegas, matanya tetap tertuju pada pria berjubah abu-abu itu. "Jika dia melepaskan serangan itu, kita tidak akan bisa bertahan." Li Zhen mengangguk, meskipun ia masih merasa takut. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan—senjata satu-satunya hanyalah sapu bambu tua yang tampak begitu rapuh dibandingkan dengan kekuatan magis yang dimiliki musuh mereka. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang mulai bangkit—sebuah keyakinan bahwa ia tidak bisa menyerah begitu saja. Ia adalah keturunan dewa naga, seperti yang
Langkah-langkah Li Zhen dan Mei Xiang terhenti sejenak saat mereka berdiri di tepi hutan kecil yang memisahkan mereka dari Kuil Matahari Emas. Udara di sini terasa lebih berat, seolah-olah alam itu sendiri sedang menahan napas. Mereka tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah—setiap langkah yang mereka ambil membawa mereka lebih dekat ke kebenaran, namun juga semakin dekat dengan bahaya. Mei Xiang mengeluarkan peta tua yang mereka dapatkan dari Desa Surya Tersembunyi. Peta itu tampak rapuh, namun ada aura magis yang kuat mengelilinginya. Ia mempelajari setiap detailnya dengan cermat, mencoba memastikan bahwa mereka berada di jalur yang benar. "Kita hampir sampai," katanya akhirnya, suaranya terdengar mantap meskipun ada nada kekhawatiran yang samar-samar. "Namun, kita harus hati-hati. Kuil Matahari Emas adalah tempat yang penuh dengan kekuatan magis. Setiap langkah yang salah bisa membawa kita ke dalam bahaya." Li Zhen mengangguk, meskipun ia masih merasa bingung tentang apa yang m
Saat pria berjubah abu-abu itu mengangkat tangannya, bola kristal di genggamannya mulai memancarkan cahaya merah yang semakin terang. Udara di sekitar mereka bergetar, seolah-olah seluruh ruangan bawah tanah sedang menahan napas. Li Zhen dan Mei Xiang saling bertukar pandang, menyadari bahwa mereka tidak punya banyak waktu untuk bereaksi. Namun, Mei Xiang tetap tenang—ia tahu bahwa panik hanya akan membuat situasi semakin buruk. "Kita harus bertindak cepat," bisik Mei Xiang dengan nada tegas, matanya tetap tertuju pada pria berjubah abu-abu itu. "Jika dia melepaskan serangan itu, kita tidak akan bisa bertahan." Li Zhen mengangguk, meskipun ia masih merasa takut. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan—senjata satu-satunya hanyalah sapu bambu tua yang tampak begitu rapuh dibandingkan dengan kekuatan magis yang dimiliki musuh mereka. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang mulai bangkit—sebuah keyakinan bahwa ia tidak bisa menyerah begitu saja. Ia adalah keturunan dewa naga, seperti yang
Saat bola energi meluncur lurus ke arah Li Zhen, waktu seolah-olah melambat. Ia merasakan tubuhnya membeku, tak mampu bergerak meskipun otaknya berteriak untuk menghindar. Namun, tepat sebelum bola itu menyentuhnya, Mei Xiang melompat ke depan dengan kecepatan luar biasa, memotong bola energi itu dengan pedangnya hingga meledak menjadi cahaya terang yang menyilaukan. Ledakan itu membuat mereka terhempas beberapa langkah ke belakang, namun mereka masih hidup. "Kita tidak punya banyak waktu!" teriak Mei Xiang, suaranya nyaris hilang di antara gemuruh keras yang bergema di seluruh ruangan. "Kita harus bekerja sama!" Li Zhen mengangguk, mencoba menenangkan napasnya yang tersengal-sengal. Ia tahu bahwa ini bukan saatnya untuk panik—mereka harus bertindak cepat jika ingin bertahan hidup. Dengan tangan gemetar, ia mengeluarkan manik-manik biru dari sakunya dan memandangnya dengan penuh harap. Apakah artefak ini benar-benar bisa membantu mereka? Ia tidak tahu, namun ia tidak punya pilihan l
Di balik kabut pagi yang tipis di Desa Songlin, suasana terasa sendu dan penuh beban. Setelah peristiwa pencurian gulungan pertama yang mengguncang, Li Zhen, Mei Xiang, dan Wang Jian berkumpul kembali di sebuah pondok kecil yang telah lama menjadi tempat pertemuan rahasia mereka. Di dalam ruangan sempit yang dindingnya dipenuhi coretan peta dan catatan hasil penyelidikan, tersusun rapi tiga potongan Silsilah Naga Emas—meskipun kini salah satunya tak lagi utuh, dan bayang-bayang pengkhianatan masih menyelimuti hati mereka. Li Zhen duduk termenung di meja kayu tua. Tangannya masih bergetar ketika ia membuka buku catatan kecil yang telah ia tulis selama perjalanan. Suaranya serak namun penuh tekad saat ia membaca dengan lirih: “Setiap tetes keringat, setiap luka, adalah bukti bahwa kita telah menempuh jalan penuh pengorbanan. Artefak itu seharusnya menjadi kunci bagi harapan desaku, namun kini telah dicuri oleh tangan-tangan kotor yang bekerja untuk Tuan Muda Hua. Kehilangan ini buka
Di tengah kekosongan yang menyisakan duka dan amarah akibat pencurian gulungan pertama, suasana di Desa Songlin berubah drastis. Setelah peristiwa pengkhianatan yang mengguncang, Li Zhen, Mei Xiang, dan Wang Jian berkumpul kembali di sebuah ruang pertemuan rahasia yang sederhana. Dinding-dinding kayu tua dipenuhi coretan peta dan catatan hasil penyelidikan, sementara lampu minyak yang redup menciptakan bayang-bayang yang seakan menyimpan rahasia masa lalu. Tiga potongan Silsilah Naga Emas yang telah mereka kumpulkan kini tersusun rapi di atas meja, namun kekosongan di bagian akhir naskah yang menyebut “pengorbanan jiwa” dan “darah suci” masih menghantui pikiran mereka. Li Zhen membuka buku catatan kecil dengan tangan gemetar. Suaranya pelan: “Setiap tetes keringat, setiap luka yang kita derita, adalah bagian dari takdir kita untuk mengembalikan harapan bagi desaku. Namun, pencurian gulungan itu telah memaksa kita untuk memulai pencarian baru. Kita harus tahu siapa yang berani mencur
Di pagi yang kelabu, setelah kekacauan yang mengguncang pasca pencurian artefak pertama, Li Zhen duduk termenung di teras sebuah pondok kecil di pinggiran Desa Songlin. Udara pagi yang dingin membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang jatuh, seolah alam pun turut merasakan duka yang menyelimuti jiwa para pejuang. Di tangan Li Zhen, tersisa potongan-perpotongan gulungan yang kini menjadi saksi dari perjuangan dan pengorbanan; meskipun artefak itu telah hilang, kenangan tentang keberadaannya membakar tekadnya untuk melangkah ke babak baru. Li Zhen membuka buku catatan kecilnya yang lusuh dan membaca dengan suara serak, “Setiap tetes keringat yang kita keluarkan, setiap luka yang kita derita, adalah bagian dari takdir yang harus kita jalani. Artefak itu adalah kunci, bukan hanya bagi desaku, tapi bagi harapan seluruh rakyat. Jika dibiarkan jatuh ke tangan musuh, penderitaan akan berlanjut tanpa henti.” Ia menunduk, matanya berkaca karena amarah dan keputusasaan, lalu melanjutkan, “Kit
Di pagi yang kelabu dan sepi, setelah segala kekacauan dan kegetiran yang menyertai peristiwa pencurian gulungan pertama, Li Zhen, Mei Xiang, dan Wang Jian berkumpul kembali di sebuah rumah tua di pinggiran Desa Songlin. Rumah itu—tempat yang selama beberapa minggu terakhir menjadi pusat pertemuan rahasia dan strategi—menjadi saksi bisu dari tekad mereka yang semakin menguat. Di ruang sederhana yang dindingnya dipenuhi coretan peta, dokumen usang, dan catatan hasil penyelidikan, mereka duduk bersama dengan wajah serius. Di atas meja kayu besar, tersusun rapih tiga potongan Silsilah Naga Emas, meskipun salah satunya kini menjadi kenangan pahit karena pencurian yang mengguncang. Li Zhen memandangi gulungan yang tersisa, tangannya masih gemetar oleh amarah dan duka. Suara detak jam tua di sudut ruangan dan desiran angin yang menyelinap melalui celah jendela seolah menghitung setiap detik penderitaan yang telah mereka lalui. Dengan suara serak, ia membuka buku catatan kecil yang telah ia
Di tengah kekacauan yang menyisakan luka mendalam akibat pencurian gulungan pertama, suasana di Desa Songlin terasa berbeda. Setelah serangan itu, langit yang dulu cerah kini tampak mendung, seolah-olah alam pun turut merasakan duka dan amarah yang melanda. Li Zhen, yang masih terbayang wajah-wajah yang terluka dan desaku yang hancur, duduk termenung di sebuah pondok kecil di pinggiran desa. Di ruang yang sempit itu, dinding-dindingnya dipenuhi coretan peta dan catatan hasil penyelidikan, sementara lampu minyak yang redup menari di atas meja kayu tua, menciptakan bayang-bayang yang seakan menceritakan kisah penderitaan dan harapan. Li Zhen membuka sebuah buku catatan yang pernah ia tulis dengan susah payah. Tangan gemetar karena emosi, ia membaca dengan suara serak: "Gulungan pertama adalah kunci awal yang membuka jalan ke Silsilah Naga Emas. Jika artefak itu jatuh ke tangan yang salah, maka penderitaan dan kezaliman akan merajalela. Kita harus mencari
Di pagi yang kelabu tanpa embun menyambut, Li Zhen, Mei Xiang, dan Wang Jian bersiap meninggalkan persembunyian rahasia mereka di pinggiran Desa Songlin. Setelah kejadian pengkhianatan yang mengguncang—di mana artefak gulungan pertama dicuri oleh sekelompok pembunuh bayaran yang bekerja untuk seorang bangsawan korup—tiga pejuang itu kini harus memulai pencarian baru untuk mengungkap jejak yang tersisa. Di ruang persembunyian kecil yang terbuat dari kayu tua dan bata, dinding-dindingnya masih dipenuhi coretan peta dan catatan hasil penyelidikan. Di atas meja besar yang lapuk, tersusun rapi tiga potongan Silsilah Naga Emas yang telah mereka kumpulkan, meski salah satunya kini hilang dalam peristiwa pengkhianatan. Kode rahasia pada gulungan yang tersisa—dengan kalimat yang terputus di bagian akhir yang menyebut “pengorbanan jiwa” dan “darah suci”—masih menjadi misteri yang menggantung, seolah mengancam nasib perjuangan mereka. Dalam keheningan yang mencekam, Li Zhen membuka sebuah buku
Di bawah langit malam yang kelam, di tengah heningnya jalan setapak yang berliku di pinggiran Desa Songlin, Li Zhen, Mei Xiang, dan Wang Jian berkumpul kembali dalam suasana penuh duka dan tekad. Kejadian yang mengguncang baru saja terjadi: gulungan pertama, artefak kuno yang selama ini dipercaya menyimpan rahasia Silsilah Naga Emas, dicuri secara tiba-tiba oleh sekelompok pembunuh bayaran. Pencurian itu bukan hanya mencederai rasa aman, tetapi juga menggugah emosi serta mengungkap pengkhianatan yang menyayat hati. Kini, tatapan tegas dan bibir yang terkatup rapat menjadi saksi bahwa mereka harus segera memulai pencarian baru—pencarian yang akan membawa mereka menelusuri jejak-jejak yang hilang, membuka rahasia di balik bayang-bayang kekuasaan, dan menuntaskan tugas mulia untuk mengembalikan harapan bagi desanya. Di sebuah pondok kecil di pinggiran desa, yang menjadi tempat persembunyian sementara mereka, Li Zhen duduk termenung di sudut ruangan. Di tangannya, ia masih menggenggam er
di sebuah sudut pedesaan di pinggiran Kota Xiping, perjalanan Li Zhen, Mei Xiang, dan Wang Jian memasuki fase baru yang penuh dengan kepedihan dan tekad. Setelah pengkhianatan yang mengguncang di Bab 41, di mana artefak pertama yang mereka percayai sebagai kunci Silsilah Naga Emas dicuri oleh sekelompok pembunuh bayaran yang bekerja untuk seorang bangsawan korup, kini mereka harus menapaki jejak yang lebih sulit. Tak hanya untuk merebut kembali artefak yang hilang, tetapi juga untuk mengungkap rahasia yang terkubur di balik kode-kode kuno dan peringatan yang pernah mereka terima. Di ruang persembunyian rahasia yang terletak di sebuah bangunan tua di pinggiran Kota Xiping, lampu minyak yang redup menerangi dinding-dinding kayu usang. Meja kayu besar yang penuh dengan peta, dokumen, dan catatan terjemahan dari Li Fu masih terhampar, seolah menjadi saksi bisu perjuangan mereka. Tiga potongan Silsilah Naga Emas kini tersusun rapi di atas meja, namun masih ada kekosongan d
Di tengah-tengah perjalanan awal yang penuh gejolak, ketika langit senja mulai memudar menjadi kelam dan bayang-bayang malam mulai menguasai jalan setapak di pedesaan, Li Zhen bersama Mei Xiang dan Wang Jian terhenti sejenak di sebuah jalan setapak di luar sebuah desa kecil. Mereka baru saja mengalami peristiwa yang mengguncang jiwa: gulungan pertama, artefak kuno yang selama ini menjadi kunci bagi rahasia “Silsilah Naga Emas,” telah dicuri secara tiba-tiba. Kecurigaan pun segera melanda, dan kebenaran pahit mulai tersingkap—pencuri itu bukanlah orang biasa, melainkan sekelompok pembunuh bayaran yang bekerja untuk salah satu bangsawan korup yang berusaha memanfaatkan artefak tersebut demi kekuasaan pribadinya.Dalam keheningan malam yang semakin pekat, Li Zhen menatap ke arah gulungan yang kini hilang, wajahnya menggambarkan campuran kemarahan dan keputusasaan. “Kita harus mencari tahu siapa yang berani mencuri artefak itu dan mengapa,” ujarnya dengan suara serak, seolah menahan amara