Matahari mulai tenggelam, mengecat langit dengan sapuan warna jingga keemasan yang memukau. Di bawah cahaya senja yang lembut, desa Qingyun tampak seperti lukisan kuno yang tenang—sebuah potret kehidupan sederhana yang tersembunyi dari hiruk-pikuk dunia luar. Namun, bagi Li Zhen, ketenangan itu hanya ilusi semu. Setelah peristiwa malam sebelumnya, ia merasa seolah-olah bayang-bayang gelap telah merayap masuk ke dalam hidupnya, mengubah segalanya menjadi sesuatu yang asing dan mengancam.
Pagi itu, ia bangun lebih awal dari biasanya. Tubuhnya masih terasa lelah setelah semalaman berlari melintasi hutan untuk melarikan diri dari makhluk-makhluk misterius yang mengejarnya. Ia tidak tahu siapa mereka atau apa tujuan mereka, namun satu hal yang pasti: mereka datang untuk gulungan tua yang kini disimpannya dengan hati-hati di dalam tas kecil di sisinya. Gulungan itu, meskipun rapuh dan usang, terasa seperti beban yang sangat berat—seakan-akan nasib seluruh dunia bergantung padanya. Li Zhen duduk di tepi sungai kecil yang mengalir deras di belakang rumahnya. Air jernih itu mencerminkan wajahnya yang pucat dan mata yang dipenuhi kelelahan serta kebingungan. Ia mencoba merenung, mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Namun, pikirannya terus kembali ke pertemuan singkatnya dengan wanita bernama Mei Xiang. Siapa dia? Bagaimana dia bisa tahu tentang gulungan itu? Dan mengapa dia membantunya melarikan diri? Sambil memandangi air yang mengalir, Li Zhen menyadari bahwa ia tidak bisa tinggal diam. Jika para pengejarnya benar-benar ada di luar sana, maka desa ini—tempat yang selama ini ia anggap sebagai pelariannya—tidak lagi aman. Ia harus pergi, meninggalkan segala sesuatu yang ia kenal demi mencari jawaban atas misteri yang mengelilingi gulungan itu. Namun, keputusan itu tidak mudah. Desa Qingyun adalah satu-satunya tempat yang ia anggap rumah, satu-satunya tempat yang menghubungkannya dengan kenangan orangtuanya. Meninggalkannya berarti melepaskan bagian penting dari dirinya sendiri. Setelah beberapa saat, ia berdiri dan kembali ke rumahnya. Ia mulai mengumpulkan barang-barang yang ia perlukan untuk perjalanan panjang: beberapa potong pakaian sederhana, alat pemotong kayu kecil, serta sebungkus nasi kering yang ia bungkus dengan daun pisang. Ia juga membawa buku-buku tua warisan orangtuanya, berharap bahwa salah satu dari buku itu mungkin bisa membantu memecahkan kode pada gulungan tersebut. Namun, saat ia sedang menyiapkan barang-barangnya, sebuah suara samar terdengar dari luar. Awalnya, ia mengira itu hanya angin yang berbisik di antara pepohonan. Namun, semakin lama ia mendengarkannya, semakin jelas bahwa suara itu adalah suara manusia—suara yang familiar, namun juga asing. Dengan hati-hati, ia berjalan menuju pintu depan dan membuka sedikit celah untuk melihat keluar. Di luar, ia melihat tetua desa, seorang pria tua bernama Tuan Lao, berbicara dengan beberapa penduduk lainnya. Wajah mereka tampak khawatir, seolah-olah mereka sedang membicarakan sesuatu yang serius. Li Zhen tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka katakan, namun ia bisa melihat bahwa mereka berulang kali menunjuk ke arah hutan di mana ia berlari semalam. Apakah mereka tahu tentang kejadian itu? Ataukah mereka hanya menduga-duga? Li Zhen menutup pintu perlahan dan mundur beberapa langkah. Ia tahu bahwa ia tidak bisa memberi tahu siapa pun tentang gulungan itu—bahkan kepada tetua desa sekalipun. Jika ia melakukannya, ia mungkin akan menempatkan seluruh desa dalam bahaya. Namun, rasa bersalah mulai menggerogoti hatinya. Ia tidak ingin meninggalkan desa ini tanpa penjelasan, tanpa memberikan kesempatan kepada penduduk lainnya untuk mempersiapkan diri jika sesuatu yang buruk terjadi. Akhirnya, ia memutuskan untuk menulis surat singkat kepada Tuan Lao. Dengan pena bulu kasar dan tinta hitam, ia menulis: *"Tuan Lao yang terhormat, maafkan aku karena tidak bisa menjelaskan semuanya. Ada sesuatu yang penting yang harus kulakukan, sesuatu yang tidak bisa kutunda lagi. Aku tidak tahu kapan aku akan kembali, namun aku berjanji bahwa aku akan melakukan yang terbaik untuk melindungi desa kita. Jangan percaya pada siapa pun yang datang mencariku. Mereka bukan teman."* Setelah menyelesaikan surat itu, ia meletakkannya di atas meja kayu di ruang tengah, di tempat yang mudah dilihat oleh siapa pun yang masuk. Ia berharap bahwa surat itu cukup untuk menjelaskan kepergiannya tanpa memberikan terlalu banyak informasi. Ketika matahari sepenuhnya tenggelam dan malam mulai menyelimuti desa, Li Zhen mengenakan tas kecilnya dan melangkah keluar dari rumah. Udara malam terasa dingin dan menusuk tulang, namun ia tidak peduli. Ia tahu bahwa ia tidak bisa menunda perjalanannya lebih lama lagi. Dengan langkah mantap, ia berjalan menuju hutan, tempat ia terakhir kali bertemu dengan Mei Xiang. Hutan di malam hari tampak sangat berbeda dibandingkan dengan siang hari. Pohon-pohon tinggi yang biasanya tampak ramah kini terlihat seperti siluet hitam yang mengancam. Suara-suara malam—jangkrik, burung hantu, dan angin yang berdesir di antara dedaunan—menciptakan suasana yang mencekam. Namun, Li Zhen tidak gentar. Ia tahu bahwa ia tidak bisa kembali ke desa, tidak setelah apa yang telah terjadi. Setelah berjalan selama beberapa jam, ia akhirnya sampai di sebuah area terbuka di tengah hutan. Tempat itu tampak seperti bekas perkemahan, dengan jejak api unggun yang sudah padam dan beberapa batu besar yang tersusun rapi. Ia berhenti sejenak untuk beristirahat, duduk di atas salah satu batu sambil memandangi gulungan tua yang ia bawa. Cahaya bulan yang redup membuat tulisan-tulisan kuno di atasnya tampak lebih jelas, namun tetap sulit dibaca. Ia mencoba memahami arti dari simbol-simbol itu sekali lagi, berharap bahwa kali ini ia bisa menemukan petunjuk baru. Namun, semakin lama ia memandanginya, semakin ia merasa bahwa gulungan itu bukan sekadar artefak biasa. Ada sesuatu yang magis tentangnya—sesuatu yang membuatnya merasa seolah-olah ia sedang diperhatikan oleh kekuatan yang tak terlihat. Tiba-tiba, ia mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Ia langsung berdiri dan berbalik, siap menghadapi siapa pun yang datang. Namun, yang ia lihat adalah sosok wanita yang sama—Mei Xiang. Kali ini, ia bisa melihatnya dengan lebih jelas. Wanita itu mengenakan pakaian sederhana namun elegan, dengan pedang pendek yang terselip di pinggangnya. Matanya yang tajam memandang Li Zhen dengan campuran rasa ingin tahu dan kehati-hatian. "Kau berhasil," katanya dengan nada datar, namun ada nada lega di dalam suaranya. "Aku khawatir kau tidak akan datang." "Aku tidak punya pilihan lain," jawab Li Zhen, suaranya terdengar lebih tegas daripada yang ia rasakan. "Siapa kau sebenarnya? Dan bagaimana kau tahu tentang gulungan ini?" Mei Xiang tersenyum tipis, namun senyum itu tidak mencapai matanya. "Nama lengkapku adalah Mei Xiang, tapi itu tidak penting sekarang. Yang perlu kau tahu adalah bahwa aku juga sedang mencari Silsilah Naga Emas. Dan aku percaya bahwa gulungan yang kau bawa adalah kunci pertama untuk menemukannya." Li Zhen terkejut mendengar kata-kata itu. "Jadi, kau juga tahu tentang Silsilah Naga Emas? Apa itu sebenarnya?" Mei Xiang menghela napas panjang sebelum menjawab. "Itu adalah legenda kuno yang telah hilang selama berabad-abad. Konon, siapa pun yang memegang Silsilah Naga Emas akan memiliki kekuatan untuk mengendalikan nasib seluruh kerajaan. Namun, keberadaannya hanya diketahui oleh segelintir orang, dan sebagian besar dari mereka sudah mati atau hilang tanpa jejak." Li Zhen merasa tubuhnya membeku. Ia tidak pernah membayangkan bahwa gulungan itu bisa memiliki makna sebesar itu. "Lalu, apa yang akan kau lakukan jika kita menemukannya?" tanyanya dengan ragu-ragu. Mei Xiang tidak langsung menjawab. Ia berjalan mendekat dan duduk di samping Li Zhen, memandangi gulungan itu dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Aku tidak tahu," katanya akhirnya. "Yang aku tahu adalah bahwa kita tidak bisa membiarkan gulungan ini jatuh ke tangan yang salah. Ada banyak orang yang haus kekuasaan, dan mereka akan melakukan apa saja untuk mendapatkan Silsilah Naga Emas." Li Zhen mengangguk pelan. Ia tahu bahwa Mei Xiang benar. Namun, ada sesuatu dalam cara wanita itu berbicara yang membuatnya merasa tidak sepenuhnya yakin. Apakah dia benar-benar bisa dipercaya? Ataukah dia juga memiliki agenda tersembunyi? "Baiklah," kata Li Zhen setelah beberapa saat. "Aku akan bekerja sama denganmu untuk sementara waktu. Tapi jika aku merasa bahwa kau tidak bisa dipercaya, aku akan pergi." Mei Xiang tersenyum tipis lagi, kali ini dengan sedikit kehangatan di dalamnya. "Itu wajar. Aku juga tidak akan mempercayaimu begitu saja jika aku berada di posisimu." Mereka berdua terdiam selama beberapa saat, hanya mendengarkan suara malam yang sunyi. Kemudian, Mei Xiang berdiri dan menunjuk ke arah timur. "Kita harus pergi sekarang. Ada sebuah kota besar di sana, tempat kita mungkin bisa menemukan jawaban lebih lanjut tentang gulungan ini." Li Zhen mengangguk dan mengikuti Mei Xiang saat mereka mulai melanjutkan perjalanan. Hutan yang tadinya terasa menakutkan kini mulai terasa lebih akrab, seolah-olah ia sedang memasuki babak baru dalam hidupnya. Namun, ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Ada banyak tantangan yang menanti di depan, dan ia harus siap menghadapinya. Saat mereka berjalan, Li Zhen tidak bisa berhenti memikirkan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Apakah mereka benar-benar akan menemukan Silsilah Naga Emas? Dan jika iya, apakah mereka akan mampu melindunginya dari orang-orang yang menginginkannya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar-putar di benaknya, namun ia tahu bahwa satu-satunya cara untuk menemukan jawabannya adalah dengan melanjutkan perjalanan ini. Langkah-langkah mereka semakin cepat, dan Li Zhen merasa bahwa mereka semakin dekat dengan sesuatu yang besar—sesuatu yang mungkin akan mengubah hidupnya selamanya. Saat langkah kaki mereka semakin mendekati tepi hutan, udara malam yang dingin mulai berubah. Ada sesuatu yang tidak biasa—seolah-olah alam itu sendiri sedang memperingatkan mereka tentang bahaya yang akan datang. Li Zhen dan Mei Xiang melangkah dengan hati-hati, namun ketegangan di antara mereka semakin terasa. Mata Mei Xiang terus bergerak waspada ke segala arah, seolah-olah ia bisa merasakan kehadiran sesuatu yang mengintai di balik bayang-bayang. Tiba-tiba, Mei Xiang menghentikan langkahnya dan mengangkat tangannya sebagai isyarat agar Li Zhen berhenti juga. Ia menunduk, menyentuh tanah dengan ujung jarinya, lalu menatap Li Zhen dengan ekspresi serius. "Ada yang mengikuti kita," bisiknya pelan, hampir tak terdengar di antara desiran angin malam. "Mereka sudah dekat." Li Zhen merasakan jantungnya berdebar lebih cepat. "Siapa?" tanyanya, suaranya bergetar meskipun ia mencoba untuk tetap tenang. "Apakah itu makhluk-makhluk dari malam itu?" Mei Xiang tidak menjawab langsung. Matanya menyipit saat ia menatap kegelapan di belakang mereka. Kemudian, ia berbisik lagi, "Lebih buruk. Ini bukan sekadar pemburu biasa. Mereka adalah Bayangan Hitam—kelompok pembunuh bayaran yang bekerja untuk keluarga bangsawan paling berkuasa di kerajaan. Jika mereka menemukan kita, kita tidak akan punya kesempatan untuk melarikan diri." Li Zhen merasa tubuhnya membeku. Apa yang dikatakan Mei Xiang terdengar seperti mimpi buruk yang menjadi nyata. Keluarga bangsawan? Mengapa mereka tertarik pada gulungan tua ini? Dan bagaimana mereka bisa mengetahui bahwa ia dan Mei Xiang sedang mencari Silsilah Naga Emas? Sebelum Li Zhen sempat bertanya lebih lanjut, suara langkah-langkah ringan mulai terdengar dari arah pepohonan. Langkah-langkah itu tidak berisik, namun cukup untuk membuat bulu kuduk mereka berdiri. Mei Xiang segera menarik Li Zhen ke balik salah satu batang pohon besar, berusaha menyembunyikan keberadaan mereka. Napas mereka tertahan, dan mereka hanya bisa mendengarkan suara-suara yang semakin mendekat. Dari balik pepohonan, muncul sosok-sosok berjubah hitam yang bergerak dengan gerakan cepat dan gesit. Wajah mereka tertutup oleh tudung gelap, sehingga sulit untuk melihat siapa mereka sebenarnya. Di tangan mereka, ada senjata aneh yang berkilauan dengan cahaya biru redup—senjata yang tampaknya memiliki kekuatan magis. Salah satu dari mereka berhenti sejenak, menoleh ke arah tempat Li Zhen dan Mei Xiang bersembunyi. Untuk sesaat, Li Zhen merasa seolah-olah mata makhluk itu menembus bayang-bayang dan langsung menatapnya. "Kita harus pergi. Sekarang," bisik Mei Xiang, suaranya begitu rendah hingga hampir tak terdengar. Namun, Li Zhen masih ragu. Jika mereka bergerak sekarang, mereka mungkin akan terlihat. Tapi jika mereka tetap tinggal di sini, mereka pasti akan ditemukan. Tanpa memberi waktu bagi Li Zhen untuk memutuskan, Mei Xiang tiba-tiba menarik tangannya dan mulai berlari ke arah yang berlawanan. Gerakan mereka cepat dan hening, namun suara daun-daun yang bergesekan di bawah kaki mereka cukup untuk menarik perhatian para pengejar. Dalam hitungan detik, suara langkah-langkah cepat mulai terdengar di belakang mereka, semakin dekat. Li Zhen berlari sekuat tenaga, napasnya tersengal-sengal, kakinya terasa seperti akan lumpuh setiap saat. Namun, ia tidak berani berhenti. Ia bisa mendengar suara-suara aneh dari para pengejar—seperti bisikan yang menusuk langsung ke dalam pikirannya. "Serahkan gulungan itu," kata suara itu, dingin dan tanpa emosi. "Jangan buat kami membunuhmu." Li Zhen merasa panik. Bagaimana mereka bisa tahu bahwa ia membawa gulungan itu? Apakah gulungan itu memiliki cara tersendiri untuk memanggil mereka? Ataukah Mei Xiang telah memberi tahu mereka tanpa sepengetahuannya? Pikiran-pikiran itu terus berkecamuk di benaknya saat mereka terus berlari. Namun, tiba-tiba Mei Xiang berhenti di depan sebuah tebing curam yang tersembunyi di balik pepohonan. Tebing itu tinggi dan licin, seolah-olah tidak ada jalan untuk turun atau naik. "Kita terjebak!" gumam Li Zhen, matanya penuh ketakutan saat ia melihat para pengejar semakin dekat. Namun, Mei Xiang tidak menunjukkan tanda-tanda panik. Ia mengeluarkan pedang pendeknya dan mulai menggambar simbol-simbol aneh di udara dengan ujung pedangnya. Simbol-simbol itu bersinar dengan cahaya putih samar, dan tiba-tiba, tanah di bawah mereka mulai bergetar. Sebuah celah kecil muncul di permukaan tebing, cukup lebar untuk satu orang melewatinya. "Cepat masuk!" perintah Mei Xiang, mendorong Li Zhen ke arah celah itu. Li Zhen ragu-ragu sejenak, namun ketika ia melihat para pengejar sudah hampir sampai, ia segera melompat masuk ke dalam celah itu. Mei Xiang mengikuti tepat di belakangnya, dan begitu mereka berada di dalam, celah itu menutup dengan keras, meninggalkan mereka dalam kegelapan total. Di dalam celah itu, udara terasa lebih dingin dan lebih berat, seolah-olah mereka telah memasuki dunia lain. Li Zhen mencoba menyesuaikan penglihatannya dengan kegelapan, namun ia tidak bisa melihat apa pun. "Di mana kita?" tanyanya, suaranya gemetar karena ketakutan. "Inilah jalan menuju Kota Tersembunyi," jawab Mei Xiang, suaranya terdengar lebih tenang meskipun mereka baru saja lolos dari kematian. "Tempat ini adalah salah satu pintu rahasia yang hanya diketahui oleh segelintir orang. Kita aman untuk sementara waktu." Namun, sebelum Li Zhen sempat merasa lega, ia mendengar suara aneh dari dalam kegelapan—suara seperti derap langkah kaki yang sangat berat, disertai dengan napas yang dalam dan berat. Sesuatu di dalam sana sedang mendekat, sesuatu yang jauh lebih besar daripada mereka. "Apa itu?" tanya Li Zhen, suaranya hampir berbisik karena takut. Mei Xiang tidak menjawab. Ia hanya mengangkat pedangnya, siap menghadapi apapun yang akan muncul dari kegelapan. Namun, ketika sesuatu itu akhirnya muncul, Li Zhen merasa tubuhnya membeku. Itu bukan manusia—melainkan makhluk raksasa dengan tubuh yang terbuat dari batu dan mata yang menyala merah seperti bara api. Makhluk itu menggeram keras, suaranya bergema di seluruh ruang bawah tanah. "Selamat datang, pencari Silsilah Naga Emas," kata makhluk itu dengan suara yang dalam dan menggelegar. "Namun, kalian tidak akan pergi dari sini hidup-hidup kecuali kalian bisa membuktikan bahwa kalian layak." Li Zhen merasa darahnya berhenti mengalir. Apa yang dimaksud dengan "membuktikan"? Dan bagaimana mereka bisa melawan makhluk sebesar itu? Pertanyaan-pertanyaan itu belum terjawab saat makhluk itu mulai melangkah maju, siap menyerang. Namun, sebelum pertempuran dimulai, Mei Xiang berbisik pelan kepada Li Zhen, "Aku tahu apa yang harus kita lakukan. Ikuti aku, dan percayalah padaku." Li Zhen tidak punya pilihan lain selain mempercayainya. Namun, di dalam hatinya, ia merasa bahwa perjalanan ini baru saja memasuki babak baru—babak yang jauh lebih berbahaya daripada yang pernah ia bayangkan.Kegelapan yang menyelimuti lorong bawah tanah itu terasa seperti selimut tebal yang menekan dada. Udara dingin dan lembap memenuhi paru-paru Li Zhen, membuatnya merasa sesak sekaligus gugup. Makhluk raksasa yang terbuat dari batu masih berdiri di hadapan mereka, matanya yang menyala merah seperti bara api menatap tajam, seolah-olah bisa membaca setiap pikiran yang melintas di benak mereka. Suaranya bergema keras, menggetarkan dinding-dinding batu yang rapuh. "Kalian datang mencari Silsilah Naga Emas," kata makhluk itu dengan suara yang dalam dan mengguncang. "Namun, hanya mereka yang layak dapat melanjutkan perjalanan ini. Jika kalian tidak mampu melewati ujian, maka nyawa kalian akan menjadi milikku." Li Zhen menelan ludah, tangannya gemetar saat ia memegang tas kecil yang berisi gulungan tua itu. Ia ingin bertanya apa ujian yang dimaksud, namun Mei Xiang lebih dulu melangkah maju, pedang pendeknya siap di tangan. "Kami siap menghadapi apapun yang kau berikan," katanya dengan nada
Udara dingin yang menyelimuti hutan kecil itu tiba-tiba terasa lebih berat, seolah-olah alam itu sendiri sedang menahan napas. Li Zhen dan Mei Xiang berdiri berdampingan, menghadapi Bayangan Hitam yang semakin mendekat dengan gerakan cepat dan gesit. Mata mereka memantulkan cahaya merah dari bola kristal yang dipegang pria berjubah abu-abu—cahaya yang tampak seperti api yang siap melahap apa pun yang ada di depannya. Mei Xiang memegang pedang pendeknya dengan erat, sementara Li Zhen mencoba mempersiapkan diri meskipun ia tidak memiliki senjata selain sapu bambu tua yang ia bawa sejak awal perjalanan ini. Ia tahu bahwa pertempuran ini tidak akan mudah. Namun, ada sesuatu dalam tatapan mata Mei Xiang yang membuatnya merasa sedikit lebih tenang—seolah-olah wanita itu sudah memikirkan rencana untuk keluar dari situasi ini. "Jangan panik," bisik Mei Xiang pelan, suaranya nyaris tak terdengar di antara desiran angin malam. "Aku akan menyerang dari depan, dan kau harus mencari celah untuk
Kegelapan di dalam lorong bawah tanah itu terasa seperti selimut tebal yang menekan dada. Li Zhen dan Mei Xiang berdiri diam, napas mereka tersengal-sengal setelah melarikan diri dari Bayangan Hitam. Di hadapan mereka, makhluk raksasa dengan tubuh batu dan mata merah menyala masih berdiri kokoh, seolah-olah menunggu mereka untuk mengambil langkah pertama. Udara dingin yang menusuk tulang membuat Li Zhen merasa sesak, namun ia tahu bahwa mereka tidak punya pilihan lain selain menghadapi ujian ini. Mei Xiang melangkah maju dengan pedangnya siap di tangan. "Apa yang harus kami lakukan?" tanyanya dengan nada tegas kepada makhluk raksasa itu. Makhluk itu menggeram pelan, suaranya bergema keras di seluruh ruangan bawah tanah. "Ujian ini bukan tentang kekuatan fisik," katanya dengan suara yang dalam dan mengguncang. "Ini tentang keberanian kalian untuk menghadapi masa lalu. Jika kalian tidak bisa menerima kebenaran tentang diri kalian sendiri, maka nyawa kalian akan menjadi milikku." Li Z
Saat pria berjubah abu-abu itu mengangkat tangannya, bola kristal di genggamannya mulai memancarkan cahaya merah yang semakin terang. Udara di sekitar mereka bergetar, seolah-olah seluruh ruangan bawah tanah sedang menahan napas. Li Zhen dan Mei Xiang saling bertukar pandang, menyadari bahwa mereka tidak punya banyak waktu untuk bereaksi. Namun, Mei Xiang tetap tenang—ia tahu bahwa panik hanya akan membuat situasi semakin buruk. "Kita harus bertindak cepat," bisik Mei Xiang dengan nada tegas, matanya tetap tertuju pada pria berjubah abu-abu itu. "Jika dia melepaskan serangan itu, kita tidak akan bisa bertahan." Li Zhen mengangguk, meskipun ia masih merasa takut. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan—senjata satu-satunya hanyalah sapu bambu tua yang tampak begitu rapuh dibandingkan dengan kekuatan magis yang dimiliki musuh mereka. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang mulai bangkit—sebuah keyakinan bahwa ia tidak bisa menyerah begitu saja. Ia adalah keturunan dewa naga, seperti yang
Langkah-langkah Li Zhen dan Mei Xiang terhenti sejenak saat mereka berdiri di tepi hutan kecil yang memisahkan mereka dari Kuil Matahari Emas. Udara di sini terasa lebih berat, seolah-olah alam itu sendiri sedang menahan napas. Mereka tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah—setiap langkah yang mereka ambil membawa mereka lebih dekat ke kebenaran, namun juga semakin dekat dengan bahaya. Mei Xiang mengeluarkan peta tua yang mereka dapatkan dari Desa Surya Tersembunyi. Peta itu tampak rapuh, namun ada aura magis yang kuat mengelilinginya. Ia mempelajari setiap detailnya dengan cermat, mencoba memastikan bahwa mereka berada di jalur yang benar. "Kita hampir sampai," katanya akhirnya, suaranya terdengar mantap meskipun ada nada kekhawatiran yang samar-samar. "Namun, kita harus hati-hati. Kuil Matahari Emas adalah tempat yang penuh dengan kekuatan magis. Setiap langkah yang salah bisa membawa kita ke dalam bahaya." Li Zhen mengangguk, meskipun ia masih merasa bingung tentang apa yang m
Saat pria berjubah abu-abu itu mengangkat tangannya, bola kristal di genggamannya mulai memancarkan cahaya merah yang semakin terang. Udara di sekitar mereka bergetar, seolah-olah seluruh ruangan bawah tanah sedang menahan napas. Li Zhen dan Mei Xiang saling bertukar pandang, menyadari bahwa mereka tidak punya banyak waktu untuk bereaksi. Namun, Mei Xiang tetap tenang—ia tahu bahwa panik hanya akan membuat situasi semakin buruk. "Kita harus bertindak cepat," bisik Mei Xiang dengan nada tegas, matanya tetap tertuju pada pria berjubah abu-abu itu. "Jika dia melepaskan serangan itu, kita tidak akan bisa bertahan." Li Zhen mengangguk, meskipun ia masih merasa takut. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan—senjata satu-satunya hanyalah sapu bambu tua yang tampak begitu rapuh dibandingkan dengan kekuatan magis yang dimiliki musuh mereka. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang mulai bangkit—sebuah keyakinan bahwa ia tidak bisa menyerah begitu saja. Ia adalah keturunan dewa naga, seperti yang
Saat bola energi meluncur lurus ke arah Li Zhen, waktu seolah-olah melambat. Ia merasakan tubuhnya membeku, tak mampu bergerak meskipun otaknya berteriak untuk menghindar. Namun, tepat sebelum bola itu menyentuhnya, Mei Xiang melompat ke depan dengan kecepatan luar biasa, memotong bola energi itu dengan pedangnya hingga meledak menjadi cahaya terang yang menyilaukan. Ledakan itu membuat mereka terhempas beberapa langkah ke belakang, namun mereka masih hidup. "Kita tidak punya banyak waktu!" teriak Mei Xiang, suaranya nyaris hilang di antara gemuruh keras yang bergema di seluruh ruangan. "Kita harus bekerja sama!" Li Zhen mengangguk, mencoba menenangkan napasnya yang tersengal-sengal. Ia tahu bahwa ini bukan saatnya untuk panik—mereka harus bertindak cepat jika ingin bertahan hidup. Dengan tangan gemetar, ia mengeluarkan manik-manik biru dari sakunya dan memandangnya dengan penuh harap. Apakah artefak ini benar-benar bisa membantu mereka? Ia tidak tahu, namun ia tidak punya pilihan l
Saat Li Zhen dan Mei Xiang merasakan tubuh mereka lenyap ke dalam cahaya yang menyilaukan, mereka tidak tahu apakah mereka sedang menuju kematian atau sesuatu yang lebih besar. Namun, ketika cahaya itu perlahan memudar, mereka menemukan diri mereka berada di tempat yang sama sekali berbeda dari sebelumnya. Mereka berdiri di tengah sebuah padang rumput luas yang tak terlihat batasnya, dengan langit biru cerah yang dipenuhi awan putih yang mengambang pelan. Udara di sini terasa hangat namun segar, seperti angin musim semi yang lembut. Li Zhen melihat sekeliling dengan bingung, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. "Di mana kita?" tanyanya dengan nada pelan, suaranya nyaris hilang di antara desiran angin. Mei Xiang tampak lebih tenang, matanya menyapu seluruh area dengan penuh perhatian. "Ini adalah dimensi lain," katanya akhirnya. "Tempat ini bukan bagian dari dunia yang kita kenal. Ini adalah wilayah di antara realitas—tempat di mana Silsilah Naga Emas mungkin disembunyikan."
Di balik kabut pagi yang tipis di Desa Songlin, suasana terasa sendu dan penuh beban. Setelah peristiwa pencurian gulungan pertama yang mengguncang, Li Zhen, Mei Xiang, dan Wang Jian berkumpul kembali di sebuah pondok kecil yang telah lama menjadi tempat pertemuan rahasia mereka. Di dalam ruangan sempit yang dindingnya dipenuhi coretan peta dan catatan hasil penyelidikan, tersusun rapi tiga potongan Silsilah Naga Emas—meskipun kini salah satunya tak lagi utuh, dan bayang-bayang pengkhianatan masih menyelimuti hati mereka. Li Zhen duduk termenung di meja kayu tua. Tangannya masih bergetar ketika ia membuka buku catatan kecil yang telah ia tulis selama perjalanan. Suaranya serak namun penuh tekad saat ia membaca dengan lirih: “Setiap tetes keringat, setiap luka, adalah bukti bahwa kita telah menempuh jalan penuh pengorbanan. Artefak itu seharusnya menjadi kunci bagi harapan desaku, namun kini telah dicuri oleh tangan-tangan kotor yang bekerja untuk Tuan Muda Hua. Kehilangan ini buka
Di tengah kekosongan yang menyisakan duka dan amarah akibat pencurian gulungan pertama, suasana di Desa Songlin berubah drastis. Setelah peristiwa pengkhianatan yang mengguncang, Li Zhen, Mei Xiang, dan Wang Jian berkumpul kembali di sebuah ruang pertemuan rahasia yang sederhana. Dinding-dinding kayu tua dipenuhi coretan peta dan catatan hasil penyelidikan, sementara lampu minyak yang redup menciptakan bayang-bayang yang seakan menyimpan rahasia masa lalu. Tiga potongan Silsilah Naga Emas yang telah mereka kumpulkan kini tersusun rapi di atas meja, namun kekosongan di bagian akhir naskah yang menyebut “pengorbanan jiwa” dan “darah suci” masih menghantui pikiran mereka. Li Zhen membuka buku catatan kecil dengan tangan gemetar. Suaranya pelan: “Setiap tetes keringat, setiap luka yang kita derita, adalah bagian dari takdir kita untuk mengembalikan harapan bagi desaku. Namun, pencurian gulungan itu telah memaksa kita untuk memulai pencarian baru. Kita harus tahu siapa yang berani mencur
Di pagi yang kelabu, setelah kekacauan yang mengguncang pasca pencurian artefak pertama, Li Zhen duduk termenung di teras sebuah pondok kecil di pinggiran Desa Songlin. Udara pagi yang dingin membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang jatuh, seolah alam pun turut merasakan duka yang menyelimuti jiwa para pejuang. Di tangan Li Zhen, tersisa potongan-perpotongan gulungan yang kini menjadi saksi dari perjuangan dan pengorbanan; meskipun artefak itu telah hilang, kenangan tentang keberadaannya membakar tekadnya untuk melangkah ke babak baru. Li Zhen membuka buku catatan kecilnya yang lusuh dan membaca dengan suara serak, “Setiap tetes keringat yang kita keluarkan, setiap luka yang kita derita, adalah bagian dari takdir yang harus kita jalani. Artefak itu adalah kunci, bukan hanya bagi desaku, tapi bagi harapan seluruh rakyat. Jika dibiarkan jatuh ke tangan musuh, penderitaan akan berlanjut tanpa henti.” Ia menunduk, matanya berkaca karena amarah dan keputusasaan, lalu melanjutkan, “Kit
Di pagi yang kelabu dan sepi, setelah segala kekacauan dan kegetiran yang menyertai peristiwa pencurian gulungan pertama, Li Zhen, Mei Xiang, dan Wang Jian berkumpul kembali di sebuah rumah tua di pinggiran Desa Songlin. Rumah itu—tempat yang selama beberapa minggu terakhir menjadi pusat pertemuan rahasia dan strategi—menjadi saksi bisu dari tekad mereka yang semakin menguat. Di ruang sederhana yang dindingnya dipenuhi coretan peta, dokumen usang, dan catatan hasil penyelidikan, mereka duduk bersama dengan wajah serius. Di atas meja kayu besar, tersusun rapih tiga potongan Silsilah Naga Emas, meskipun salah satunya kini menjadi kenangan pahit karena pencurian yang mengguncang. Li Zhen memandangi gulungan yang tersisa, tangannya masih gemetar oleh amarah dan duka. Suara detak jam tua di sudut ruangan dan desiran angin yang menyelinap melalui celah jendela seolah menghitung setiap detik penderitaan yang telah mereka lalui. Dengan suara serak, ia membuka buku catatan kecil yang telah ia
Di tengah kekacauan yang menyisakan luka mendalam akibat pencurian gulungan pertama, suasana di Desa Songlin terasa berbeda. Setelah serangan itu, langit yang dulu cerah kini tampak mendung, seolah-olah alam pun turut merasakan duka dan amarah yang melanda. Li Zhen, yang masih terbayang wajah-wajah yang terluka dan desaku yang hancur, duduk termenung di sebuah pondok kecil di pinggiran desa. Di ruang yang sempit itu, dinding-dindingnya dipenuhi coretan peta dan catatan hasil penyelidikan, sementara lampu minyak yang redup menari di atas meja kayu tua, menciptakan bayang-bayang yang seakan menceritakan kisah penderitaan dan harapan. Li Zhen membuka sebuah buku catatan yang pernah ia tulis dengan susah payah. Tangan gemetar karena emosi, ia membaca dengan suara serak: "Gulungan pertama adalah kunci awal yang membuka jalan ke Silsilah Naga Emas. Jika artefak itu jatuh ke tangan yang salah, maka penderitaan dan kezaliman akan merajalela. Kita harus mencari
Di pagi yang kelabu tanpa embun menyambut, Li Zhen, Mei Xiang, dan Wang Jian bersiap meninggalkan persembunyian rahasia mereka di pinggiran Desa Songlin. Setelah kejadian pengkhianatan yang mengguncang—di mana artefak gulungan pertama dicuri oleh sekelompok pembunuh bayaran yang bekerja untuk seorang bangsawan korup—tiga pejuang itu kini harus memulai pencarian baru untuk mengungkap jejak yang tersisa. Di ruang persembunyian kecil yang terbuat dari kayu tua dan bata, dinding-dindingnya masih dipenuhi coretan peta dan catatan hasil penyelidikan. Di atas meja besar yang lapuk, tersusun rapi tiga potongan Silsilah Naga Emas yang telah mereka kumpulkan, meski salah satunya kini hilang dalam peristiwa pengkhianatan. Kode rahasia pada gulungan yang tersisa—dengan kalimat yang terputus di bagian akhir yang menyebut “pengorbanan jiwa” dan “darah suci”—masih menjadi misteri yang menggantung, seolah mengancam nasib perjuangan mereka. Dalam keheningan yang mencekam, Li Zhen membuka sebuah buku
Di bawah langit malam yang kelam, di tengah heningnya jalan setapak yang berliku di pinggiran Desa Songlin, Li Zhen, Mei Xiang, dan Wang Jian berkumpul kembali dalam suasana penuh duka dan tekad. Kejadian yang mengguncang baru saja terjadi: gulungan pertama, artefak kuno yang selama ini dipercaya menyimpan rahasia Silsilah Naga Emas, dicuri secara tiba-tiba oleh sekelompok pembunuh bayaran. Pencurian itu bukan hanya mencederai rasa aman, tetapi juga menggugah emosi serta mengungkap pengkhianatan yang menyayat hati. Kini, tatapan tegas dan bibir yang terkatup rapat menjadi saksi bahwa mereka harus segera memulai pencarian baru—pencarian yang akan membawa mereka menelusuri jejak-jejak yang hilang, membuka rahasia di balik bayang-bayang kekuasaan, dan menuntaskan tugas mulia untuk mengembalikan harapan bagi desanya. Di sebuah pondok kecil di pinggiran desa, yang menjadi tempat persembunyian sementara mereka, Li Zhen duduk termenung di sudut ruangan. Di tangannya, ia masih menggenggam er
di sebuah sudut pedesaan di pinggiran Kota Xiping, perjalanan Li Zhen, Mei Xiang, dan Wang Jian memasuki fase baru yang penuh dengan kepedihan dan tekad. Setelah pengkhianatan yang mengguncang di Bab 41, di mana artefak pertama yang mereka percayai sebagai kunci Silsilah Naga Emas dicuri oleh sekelompok pembunuh bayaran yang bekerja untuk seorang bangsawan korup, kini mereka harus menapaki jejak yang lebih sulit. Tak hanya untuk merebut kembali artefak yang hilang, tetapi juga untuk mengungkap rahasia yang terkubur di balik kode-kode kuno dan peringatan yang pernah mereka terima. Di ruang persembunyian rahasia yang terletak di sebuah bangunan tua di pinggiran Kota Xiping, lampu minyak yang redup menerangi dinding-dinding kayu usang. Meja kayu besar yang penuh dengan peta, dokumen, dan catatan terjemahan dari Li Fu masih terhampar, seolah menjadi saksi bisu perjuangan mereka. Tiga potongan Silsilah Naga Emas kini tersusun rapi di atas meja, namun masih ada kekosongan d
Di tengah-tengah perjalanan awal yang penuh gejolak, ketika langit senja mulai memudar menjadi kelam dan bayang-bayang malam mulai menguasai jalan setapak di pedesaan, Li Zhen bersama Mei Xiang dan Wang Jian terhenti sejenak di sebuah jalan setapak di luar sebuah desa kecil. Mereka baru saja mengalami peristiwa yang mengguncang jiwa: gulungan pertama, artefak kuno yang selama ini menjadi kunci bagi rahasia “Silsilah Naga Emas,” telah dicuri secara tiba-tiba. Kecurigaan pun segera melanda, dan kebenaran pahit mulai tersingkap—pencuri itu bukanlah orang biasa, melainkan sekelompok pembunuh bayaran yang bekerja untuk salah satu bangsawan korup yang berusaha memanfaatkan artefak tersebut demi kekuasaan pribadinya.Dalam keheningan malam yang semakin pekat, Li Zhen menatap ke arah gulungan yang kini hilang, wajahnya menggambarkan campuran kemarahan dan keputusasaan. “Kita harus mencari tahu siapa yang berani mencuri artefak itu dan mengapa,” ujarnya dengan suara serak, seolah menahan amara