Home / Thriller / Simfoni Tanpa Nada / Bab 1: Panggilan Keheningan

Share

Simfoni Tanpa Nada
Simfoni Tanpa Nada
Author: Png

Bab 1: Panggilan Keheningan

Author: Png
last update Last Updated: 2024-11-21 10:35:37

Hujan mengguyur deras, memukul kaca jendela kantor kecil milik Aditya Arya. Irama hujan yang berulang-ulang itu seperti musik tanpa akhir, monoton, tapi tak sepenuhnya sunyi. Kantor Aditya, yang lebih menyerupai gudang dengan meja kayu tua, lampu neon berkedip, dan tumpukan dokumen berdebu, menjadi tempatnya menghabiskan malam.

Dia memandang secangkir kopi di mejanya. Kopi itu sudah dingin, mencerminkan hidupnya yang belakangan ini terasa datar. Sebagai detektif swasta, kebanyakan kasusnya adalah rutinitas belaka—perselingkuhan, penyelidikan kecil, dan pencurian rumah tangga. Tidak ada yang cukup menantang otaknya seperti dulu, ketika dia masih aktif di kepolisian.

Namun, malam itu membawa sesuatu yang berbeda. Sebuah amplop merah tergeletak di antara tumpukan dokumen di mejanya, mencolok di antara segala yang kusam. Amplop itu tidak pernah dia lihat sebelumnya, dan dia tidak ingat siapa yang meletakkannya di sana.

Aditya mengamati amplop itu dengan hati-hati. Namanya tertulis di bagian depan dengan tinta hitam yang halus: Aditya Arya. Tidak ada nama pengirim. Dia mengambil pisau pembuka surat dari lacinya dan membuka amplop itu perlahan, seolah khawatir ada jebakan di dalamnya.

Di dalamnya ada surat yang ditulis tangan dengan tinta hitam, tulisannya rapi namun kaku, seperti seseorang yang tidak terbiasa menulis sering-sering.

Tuan Aditya, Kami membutuhkan bantuan Anda di desa Sukamundur. Salah satu musisi Midanget Sunyata telah meninggal secara misterius, dan saya yakin ini bukan kecelakaan. Jika Anda tidak segera datang, akan ada lebih banyak nyawa yang melayang.

Arjuna Wiryawan, Manajer Midanget Sunyata

Selain surat itu, ada tiket kereta menuju desa Sukamundur untuk keberangkatan pagi berikutnya, serta setumpuk uang pecahan besar. Uang itu cukup untuk membayar perjalanan, akomodasi, dan lebih banyak lagi.

Aditya mengangkat alis. Dia menggosok dagunya, mencoba mencerna pesan itu. Desa Sukamundur. Itu nama yang nyaris terlupakan baginya. Sebuah desa kecil di kaki gunung, terkenal dengan keindahan alamnya tetapi juga sejarah kelamnya. Namun, yang membuat surat itu semakin menarik adalah nama Midanget Sunyata.

Orkestra itu pernah terkenal beberapa tahun lalu karena pendekatan eksperimental mereka terhadap musik. Mereka bermain dengan harmoni yang aneh, menciptakan melodi yang disebut-sebut sebagai "musik dari kehampaan." Tapi dalam beberapa tahun terakhir, nama itu nyaris lenyap dari dunia seni.

Aditya mendesah panjang. Ketika dia membaca ulang surat itu, sebuah perasaan aneh menyelimutinya. Kata-kata "akan ada lebih banyak nyawa yang melayang" terngiang-ngiang di kepalanya.

Kereta menuju desa Sukamundur berangkat tepat pukul 6 pagi. Aditya duduk di kursi dekat jendela, mengamati hujan yang masih turun di luar. Perjalanan itu berlangsung lama, hampir delapan jam. Dia menggunakan sebagian besar waktu itu untuk merenungkan apa yang mungkin dia temukan di desa itu.

Desa Sukamundur, menurut cerita yang dia dengar dulu, adalah tempat yang indah tetapi penuh misteri. Banyak orang percaya desa itu dihuni oleh roh-roh hutan yang menjaga harmoni alam. Beberapa menganggapnya sebagai tempat terkutuk, sementara yang lain menganggapnya sebagai surga bagi mereka yang mencari ketenangan.

Ketika kereta mulai mendekati desa, kabut tebal menyelimuti pemandangan. Rumah-rumah kayu bergaya kolonial muncul satu per satu, dikelilingi oleh hutan lebat yang tampak menelan desa itu. Tidak banyak orang yang terlihat di luar. Hanya beberapa penduduk yang menatap kereta dengan ekspresi datar, seolah kehadiran orang luar adalah kejadian langka.

Di stasiun kecil yang sunyi, Aditya disambut oleh seorang pria paruh baya dengan setelan rapi. Pria itu tampak gelisah, wajahnya menunjukkan kelelahan yang mendalam.

"Selamat datang, Tuan Aditya," katanya sambil menjabat tangan Aditya. "Saya Arjuna Wiryawan."

Aditya mengangguk. "Terima kasih sudah menghubungi saya. Bisa ceritakan lebih banyak tentang apa yang terjadi?"

Arjuna menghela napas panjang. "Sebaiknya Anda melihatnya sendiri," jawabnya singkat.

Gedung konser Midanget Sunyata berdiri megah di tengah desa, meski tampak kumuh dan tua. Bangunan itu memiliki pilar-pilar besar yang menopang atapnya, tetapi dindingnya yang dahulu putih kini kusam, dengan lumut yang mulai merayap.

Ketika Arjuna membawa Aditya masuk ke dalam, aula utama menyambut mereka dengan suasana yang hening dan mencekam. Langit-langit tinggi dihiasi lampu gantung besar yang redup, sementara deretan kursi kayu berjajar rapi menghadap panggung utama. Di sudut ruangan, sebuah piano hitam berdiri sendiri, seperti menunggu dimainkan.

"Raka ditemukan di ruang latihan kecil di belakang gedung ini," kata Arjuna sambil menunjuk ke lorong gelap di ujung aula.

Aditya mengikuti Arjuna ke ruang latihan. Ruangan itu kecil, dengan dinding kayu tua yang mengeluarkan aroma lembap. Sebuah meja kecil, kursi, dan rak penuh partitur musik menjadi satu-satunya perabotan di sana.

Di lantai kayu, masih terlihat bekas darah yang mengering. Namun, yang paling menarik perhatian Aditya adalah selembar partitur kosong yang tergeletak di atas meja. Di sudut bawahnya, terdapat tulisan kecil dengan tinta hitam: “Simfoni No. 9.”

"Apa ini?" tanya Aditya sambil memegang partitur itu dengan hati-hati.

Arjuna menggeleng. "Kami tidak tahu. Itu bukan bagian dari repertoar kami. Partitur itu tidak ada sebelumnya."

Aditya menatap tulisan itu. Ada sesuatu yang aneh tentangnya, sesuatu yang terasa seperti pesan tersembunyi.

Malam itu, Aditya meminta untuk bertemu dengan semua anggota orkestra yang tersisa. Mereka berkumpul di aula utama, duduk di kursi-kursi yang menghadap panggung. Ada tujuh orang yang hadir, masing-masing dengan ekspresi yang berbeda.

Maestro Harjo – Konduktor tua yang tampak dingin dan berwibawa.

Saras – Pemain biola muda yang terlihat cemas dan terus menghindari tatapan siapa pun.

Bima – Pianis flamboyan dengan sikap sinis, seolah tidak peduli dengan situasi.

Dira – Pemain klarinet yang terus-menerus gemetar, seperti menyimpan ketakutan.

Lila – Harpist paruh baya dengan luka memar samar di lengannya.

Rendra – Pemain trombon yang terlihat kasar dan mudah tersinggung.

Ayu – Penyanyi soprano dengan senyum dingin yang seperti topeng.

Aditya memandangi mereka satu per satu. "Saya ingin tahu apa yang terjadi pada Raka," katanya, suaranya tenang namun tegas.

Tidak ada yang langsung menjawab. Akhirnya, Saras berbicara dengan suara bergetar. "Raka... dia mengatakan dia mendengar sesuatu sebelum dia meninggal. Sesuatu yang tidak ada di ruangan itu."

Aditya menatapnya. "Mendengar sesuatu? Apa maksudmu?"

Saras terdiam, wajahnya tampak semakin pucat.

"Apa ada yang lain?" tanya Aditya lagi, kali ini menyapu pandangan ke seluruh ruangan.

Dira menggigit bibirnya, sementara Ayu hanya duduk diam dengan senyumnya yang menakutkan. Tidak ada yang memberikan jawaban lebih.

Malam itu, Aditya memutuskan untuk menginap di gedung konser. Dia merasa ada sesuatu yang tersembunyi di tempat itu, sesuatu yang tidak akan dia temukan jika dia pergi begitu saja.

Sekitar tengah malam, Aditya terbangun oleh suara langkah kaki di aula utama. Suara itu pelan tapi berirama, seperti seseorang yang berjalan dengan hati-hati. Dengan senter di tangannya, dia menyusuri lorong gelap menuju aula.

Ketika dia sampai di aula, dia melihat sesuatu yang membuat jantungnya berdebar. Di atas panggung, ada bayangan berdiri diam di depan piano hitam. Bayangan itu tidak bergerak, hanya berdiri di sana, seolah menunggu sesuatu.

Aditya mendekat dengan hati-hati, tapi sebelum dia sampai, bayangan itu menghilang begitu saja.

Di atas piano, dia menemukan selembar partitur baru. Sama seperti sebelumnya, partitur itu kosong, kecuali sebuah tulisan kecil di sudutnya: “Simfoni No. 8.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 12: Simbol dalam Nada

    Malam itu, hujan turun rintik-rintik di kota tempat Aditya memiliki kantor kecilnya. Suasana terasa suram, seolah langit ikut menyimpan rahasia yang hendak mereka pecahkan. Di dalam ruangan yang remang-remang, sebuah meja kayu panjang menjadi saksi bisu diskusi yang akan menentukan arah dari misteri ini.Aditya duduk di ujung meja dengan ekspresi serius. Di sekelilingnya, berkumpul orang-orang yang kini menjadi bagian dari kisah ini: Clara, Arjuna Wiryawan, Wisanggeni, Saras, serta para musisi yang telah terlibat dalam perjalanan ini—Bima, Dira, Lila, Rendra, dan Ayu.Di tengah meja, Clara meletakkan selembar kertas tua yang sudah menguning. Gambar di atasnya tampak rumit: lingkaran-lingkaran dengan garis-garis bersilangan, menyerupai pola musik, tetapi memiliki elemen yang lebih dalam daripada sekadar partitur.“Ini,” kata Clara dengan nada tegas, “adalah peta harmoni. Simbol esoteris yang ditemukan dalam catatan lama Aryawiguna. Ini bukan hanya musik, tetapi juga kode yang menggamba

  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 11: Jejak Nada yang Hilang

    Kabut pekat menyelimuti malam ketika Aditya, Saras, dan Clara kembali ke ruang bawah tanah gedung konser Midanget Sunyata. Setiap langkah mereka bergema di lorong batu yang lembap dan berbau tanah basah. Meski Aditya dan Saras sudah pernah datang ke tempat ini melalui petunjuk yang tidak sengaja ditemukan mereka, suasana dingin yang menyelinap ke tulang mereka tetap terasa sama—seolah tempat ini menolak kehadiran mereka.Lampu senter Aditya berpendar di dinding batu yang tertutup lumut. Di salah satu sudut, tersembunyi dalam bayangan, ada ukiran berbentuk lingkaran dengan pola musik yang rumit. Notasi-notasi itu terlihat berbeda, seperti sebuah kode rahasia yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.Clara, yang berdiri di belakang Aditya, menyipitkan mata seranya memfokuskan pandangannya dan menyentuh pola spiral di dinding itu dengan sangat hati-hati.“Ini bukan sekadar hiasan, atau sekedar pola yang diukir seseorang untuk melampiaskan hobi, atau semacamnya” gumamnya. “Bisa jadi ini

  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 10: Panggung Terakhir

    Matahari pagi menyinari Desa Sukamundur dengan kehangatan yang langka. Seolah-olah kehadiran bayangan yang menghantui desa ini selama bertahun-tahun yang diharapkan masyarakat desa segera menghilang akhirnya sirna bersama selesainya "Simfoni No. 9." Namun, di hati Aditya Arya, ada sesuatu yang masih mengganjal dengan segala pertanyaan dibelakangnya. Surat tanpa nama yang ia terima semalam membuat ia berpikir keras sekaligus menyadari ruwetnya teka-teki "Simfoni No. 9.", menjadi tanda bahwa misteri ini belum sepenuhnya usai.Aditya duduk di meja kecil di penginapan, membaca kembali isi surat itu:“Anda mungkin berpikir bahwa semuanya telah selesai, tetapi ’Simfoni No. 9.’ hanya permulaan. Dunia telah mendengar suaranya, dan sekarang banyak yang ingin menemukannya. Jika Anda ingin kebenaran sesungguhnya, temui aku di gedung konser lama sebelum semuanya terlambat.”Saras, yang berdiri di dekat jendela, menatapnya dengan raut cemas dan kebingungan. “Anda benar-benar ingin pergi?”Aditya m

  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 9: Gema yang Tersisa

    Langit Desa Sukamundur perlahan berubah dari kelabu menjadi biru cerah. Udara pagi membawa kesejukan yang terasa berbeda, seperti beban berat yang selama ini menekan desa telah terangkat. Aditya Arya berdiri di tepi hutan, memandangi partitur lengkap ”Simfoni No. 9.” yang kini berada di tangannya. Sementara itu, Saras berdiri tak jauh di belakangnya, matanya tertuju pada desa yang mulai bangkit dari keheningan panjang.“Semua terlihat damai sekarang,” gumam Saras pelan, seolah berbicara kepada dirinya sendiri.Aditya mengangguk perlahan, tetapi sorot matanya penuh kekhawatiran. “Ya, tapi aku tidak bisa berhenti berpikir tentang kata-kata pria tua itu. Musik ini memiliki kekuatan lebih besar daripada yang kita bayangkan. Apa yang kita lakukan bukan hanya menutup pintu, tapi mungkin membuka jalan baru.”Saras menatap Aditya, bingung. “Apa maksud Anda?”Aditya mengangkat partitur itu, memperlihatkan halaman-halaman penuh notasi yang tampak seperti kode rahasia. “Aryawiguna tidak hanya me

  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 8: Pintu Harmoni

    Langkah kaki Aditya dan Saras bergema di tangga batu menuju ruang bawah tanah yang baru mereka temukan. Cahaya senter mereka menari di dinding yang lembap, menyoroti ukiran-ukiran aneh yang terukir dengan presisi. Setiap langkah terasa membawa mereka semakin jauh dari dunia nyata, masuk ke dalam misteri yang ditinggalkan Aryawiguna.Ketika mereka mencapai dasar tangga, udara terasa lebih dingin. Sebuah ruangan besar terbuka di depan mereka, diterangi oleh cahaya lembut yang tidak jelas dari mana sumbernya. Di tengah ruangan berdiri podium batu besar yang menahan sebuah kotak kaca. Di dalam kotak itu, terdapat sebuah partitur lengkap bertuliskan: "Simfoni No. 9 – Gerakan Akhir."Saras menelan ludah, pandangannya terpaku pada partitur itu. "Ini... ini pasti yang kita cari," katanya dengan suara bergetar. Tapi langkahnya terhenti ketika melihat bayangan yang bergerak di sudut ruangan.Aditya segera mengarahkan senternya. "Siapa di sana?" tanyanya tegas.Bayangan itu tetap diam, tetapi so

  • Simfoni Tanpa Nada   Bab 7: Nada yang Tersisa

    Pagi di Desa Sukamundur terasa lebih sunyi dari biasanya. Cahaya matahari yang hangat menyinari jalanan berbatu, tetapi keheningan aneh menggantung di udara. Setelah kejadian di gedung konser, desa itu seperti ditelan rasa takut yang tidak terlihat. Aditya Arya duduk di depan sebuah pondok kecil di ujung desa, menggenggam fragmen partitur yang ia temukan di reruntuhan. Tulisan tangan di sudutnya masih terngiang di pikirannya: "Musik ini tidak pernah berhenti. Mereka akan kembali."Saras mendekat pelan, membawa secangkir teh hangat. Wajahnya masih pucat, tetapi ia mencoba tersenyum. "Apa yang Anda temukan di fragmen itu?" tanyanya, suaranya nyaris berbisik.Aditya mengangkat fragmen itu, menunjukkannya padanya. "Ini adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar. ”Simfoni No. 9.” belum selesai, dan meskipun Harjo sudah mengorbankan dirinya, ada sesuatu yang masih tersisa. Ini seperti peringatan bahwa ancaman itu belum benar-benar hilang."Saras duduk di sampingnya, memandang fragmen itu d

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status