Bismillahirrahmanirrahim.
“Nanti ibu dijemput si Zaki, kamu tenang saja, tidak perlu khawatir. Apa kamu tidak sebaiknya ikut ibu pulang. Nanti menginap di sana selama seminggu. Biar ibu minta Juna menjemput kalian ke sana. Sudah lama juga-kan kalian tidak menginap di rumah sana."Tuh benar dugaanku, ibu pasti mengajakku serta. Duh jadi tambah ribet, ditolak gak enak, diterima, juga bermasalah. Bagaimana dengan daganganku yang baru saja dimulai, bisa-bisa aku mengecewakan pelanggan. Belum apa-apa, sudah main tutup saja."Mau Ma, mau," sahut Nisa tiba-tiba. Aku mengerti Nisa pasti kangen kakeknya. Sejak Bang Juna kerja di kota dan pulang satu kali dalam seminggu, kami tidak pernah lagi menginap di rumah ibu. Aku tidak mungkin bisa mengabulkan permintaan ibu, bagaimana dengan usaha yang baru saja kurintis. Masa ditutup, kasihan pelanggan dong kalau begitu.“Maaf Bu, aku mau saja ikut ibu. Tapi Nisa-kan sekolah. Tidak mungkin minta izin meninggalkan sekolah selama seminggu. Aku nanti jenguk bapak sama Bang Juna saja kalau boleh, saat ia pulang Sabtu depan.”"Nisa sini Nak, kalau ikut Nenek, gimana sekolahnya. Nisa mau ketinggalan pelajaran," ucapku berusaha membujuk Nisa. Semoga saja ibu dan Nisa mau mengerti."Gak mau Ma, seminggu itu lama. Nanti Nisa banyak ketinggalan pelajaran.""Nah gitu! Anak pintar."“Ya sudah tidak apa-apa, kasihan juga Nisa kalau diajak kesana selama seminggu, nanti bisa ketinggalan pelajaran. Biar ibu saja yang merawat bapak kalau begitu.”“Terima kasih atas pengertiannya Bu.”“Iya, ibu mengerti kok, dulu Juna juga begitu, tidak bisa bebas ikut kemana pun ibu mau pergi. Sekolahnya pasti terganggu.”Sesekali aku melirik jam yang tergantung di dinding. Ini si Zaki jemput ibu jam berapa sih. Bisa kemalaman aku mengiris sayur. Jangan sampai ibu bertanya dan curiga, kenapa Bu Marni belum jemput belanjaan juga, padahal ini sudah malam. Ditungguin sampai pagi juga, gak bakal ke sini orangnya, la wong ini belanjaanku semua. Aku mendesis kesal dibuatnya.“Itu tetanggamu, siapa namanya tadi. Kok belum ambil juga belanjaannya. Jangan-jangan kamu bohongi ibu ya. Pakai bilang punya tetangga, padahal punya kamu sendiri."Tuh! Benarkan, baru juga kepikiran. Sekarang ibu bertanya karena penasaran. Kecurigaan ibu beralasan, apalagi mendengar aduan dari anaknya kalau aku ini boros. Bertepatan dengan kedatangan ibu kali ini, pas, ketika aku sedang belanja banyak lagi. Makin kuat saja dugaannya.“Ya Allah Bu, tidak percaya amat sih sama aku. Bu Marni belum pulang, katanya dia mau ambil sendiri ke sini. Masa Arini harus mengantar ke sana, padahal dia bilang mau ambil sendiri. Lagian orangnya juga tidak ada di rumah, sia-sia Arini ke sana dong. Aku kan tidak enak datang kesana, padahal sudah dilarang.”Ibu hanya mendengus mendengar perkataanku. Seperti tidak percaya dengan penjelasanku. Aku hanya bisa mengerucutkan bibir kecewa.“Lagian Bu Marni tidak mau merepotkanku terus Bu, kalau mesti mengantar lagi ke sana. Katanya tidak enak merepotkanku.” Balasku supaya ibu percaya.Ibu tak kunjung membalas perkataanku. Membuatku salah tingkah merasa dicurigai.“Bentar Bu, kucoba tanya Bu Marni, udah sampai di mana, kok belum pulang juga,” imbuhku berusaha meyakinkan ibu.“Sudah! Sudah tidak usah dijelaskan lagi.” Sanggah ibu dengan muka masam.“Tapi bu, apa tidak sebaiknya kukirim pesan WA, menanyakan kapan ia mau ambil barangnya.”Ibu tampak menarik napas perlahan-lahan. Sekian detik suasana hening mencekam. Ibu tidak lagi bertanya dan juga tidak menjawab pertanyaanku. Mungkin sudah mengerti dengan penjelasanku.Sebaiknya kukirim pesan ke Bu Marni, supaya ia datang, pura-pura mengambil belanjaan. Dari pada ibu tambah curiga. Semoga saja mulut Bu Marni bisa dipercaya menjaga rahasia. Harusnya tadi kubilang belanjaan itu milik Bu Atik, karena dia yang selalu mengerti keadaanku. Tapi sudah terlanjur, semoga saja Bu Marni tidak menjadikan rahasiaku sebagai bahan gosip. Bisa terkenal aku dikalangan warga, kalau terkenal karena dapat penghargaan tidak masalah. Tapi ini viral karena tidak pendengar perintah suami. Bisa malu seumur hidup kalau begitu.“Iya, suruh ke sini cepat. Sekalian ibu mau kenalan.”Ternyata benar, ibu masih curiga. Baiklah, aku punya ide.Segera saja kukirim pesan ke Bu Marni, tak lupa kusampaikan pesan singkat, supaya Bu Marni mengerti maksud isi pesanku.Pesan terkirim, sejurus kemudian aku terima balasan. Bu Marni bersedia menolongku kali ini. Alhamdulillah kupanjatkan puji syukur. Taklama berselang terdengar salam dari luar.“Assalamualaikum, Bu Arini.”“Waalaikumsalam,” balasku. “Akhirnya ibu datang juga, baru sampai? Ujarku pura-pura bertanya.“Duh maaf ya Bu Arini, saya jadi merepotkan. Baru sampai belokan sana, pesanmu saya terima. Ini juga belum ke rumah. Langsung ke sini. Mana belanjaan saya,” tanya Bu Marni langsung ke intinya. Belum sempat kujawab pertanyaan Bu Marni, Bu Marni kembali bersuara.“Eh ada tamu, siapa Bu Arini. Maaf, kalau saya mengganggu.”“Bu Marni, kenalin ini ibu mertuaku.” Keduanya pun saling berjabat tangan.Aku tersenyum simpul mengingat semua perkataan Bu Marni. Pintar juga dia main drama. Sesuai seperti yang kuinginkan. Wah ternyata Bu Marni cocok jadi pemain film nih.Belum sempat ibu mertua bertanya banyak hal ke Bu Marni, Zaki datang menjemput.Syukurlah, dengan begitu Bu Marni tidak perlu gotong sana gotong sini belanjaanku. Yang penting ibu tidak lagi mencurigaiku. Untuk sementara aman. Entah sampai kapan aku bisa menutupi rahasia ini dari ibu dan Bang Jun.“Ya sudah Arini, karena Zaki sudah datang. Ibu pulang sekarang ya, doain supaya bapak mertuamu cepat sembuh.”“Iya Bu, Sabtu depan pas Bang Jun pulang, kami datang ke sana jenguk bapak.”“Dio, Nisa, maafkan nenek ya, tidak jadi menginap di sini.Kakek sedang sakit, karena keserempet mobil.”“Kalian bantu doa ya,” sambung ibu seraya memeluk erat kedua cucunya. Tak lupa ibu menyelipkan rupiah ke tangan Nisa dan Dio. Ibu mertua sangat sayang pada cucunya. Maka tak heran setiap kali datang, pasti memberi Nisa dan Dio uang. Cuman ujungnya yang bikin tak enak hati.“Ingat! uangnya ditabung, jangan dihabisin buat jajan ya Nisa, Dio.” Pesannya sebelum naik ke mobil Zaki adik bungsu Bang Jun.Tak lama setelah kepergian ibu mertua. Kudekati Bu Marni yang jadi penonton sementara perpisahan Nisa dan Dio dengan ibu mertua.“Anak-anak, kalian langsung masuk ya, mama mau bicara dulu sama Bu Marni.”“Iya Ma,” sahut mereka kompak.“Terima kasih atas pertolongannya Bu Marni, kalau tidak ada ibu, entah apa yang mau saya katakan pada ibu mertua.”“Kenapa harus bilang belanjaan saya, kenapa gak bilang itu belanjaan untuk stok seminggu.”“Tadinya saya mau bilang seperti itu Bu, tapi ibu mau lihat apa saja yang saya beli. Aneh dong nanti, yang dilihatnya kebanyakan buat keperluan dagang gorengan, bukan keperluan dapur selama seminggu.""Iya juga ya." Sahut Bu Marni manggut-manggut.“Kenapa gak bilang saja buat usaha sampingan, buat mengisi waktu luang. Kenapa harus bohong segala.”“Tidak semudah itu Bu Marni, saya kerja begini juga karena diam-diam. Ibu kayak gak tau saja suamiku, dia melarangku kerja. Katanya mencari nafkah itu kerja suami.”“Ya bagus atuh, ibu gak perlu capek bekerja. Semua biaya sudah ditanggung suami.”Aku tidak mungkin buka aib Bang Jun di depan Bu Marni, rasanya kurang ahsan, kalau mengatakan suami sendiri pelit ke orang lain. Orang lain tidak perlu tau urusan rumah tanggaku. Sebaiknya kukatakan alasan lain saja.“Bukan masalah tidak capek Bu Marni, lama-lama hidup membosankan, kalau hanya duduk diam doang tanpa menghasilkan apa-apa.”“Oo saya mengerti sekarang, kenapa ibu jualan hanya sampai hari Jumat saja, karena tidak mau ketahuan sama suami ibu, benarkan?”“Ya, begitulah Bu Marni. Tolong rahasiakan masalah ini ke tetangga ya Bu, jangan sampai ada yang tahu lalu membocorkan pada suamiku.”“Tenang Bu Arini, rahasia itu aman di saya.”Tiba-tiba terdengar seperti suara pot bunga jatuh, spontan aku dan Bu Marni salIng pandang lalu menoleh ke asal suara.Bersambung...Bismillahirrahmanirrahiim.Jangan lupa klik tombol berlangganan ya, terima kasih atas pengertiannya.Selamat membaca.“Tenang Bu Arini, rahasia itu aman di saya.”“Pasti Bu Marni, saya percaya, ibu tentu bisa menjaga rahasi-...” Perkataanku mendadak terjeda, ketika tiba-tiba terdengar seperti benda jatuh, spontan aku dan Bu Marni menoleh ke asal suara.“Jangan-jangan ada yang menguping pembicaraan kita Bu Arini. Jika benar, kalau nanti rahasia ini terbongkar, tolong jangan salahkan saya,” pinta Bu Marni khawatir sekaligus takut.“Baik Bu Marni, aku percaya ibu 100 persen. Tapi siapa yang berani mengintip kita ya. Lagian ini juga sudah malam.”“Buruan cek Bu Arini, siapa tahu orangnya belum jauh.” Perkataan Bu Marni menyadarkan ke-bengonganku. Meskipun terlambat tidak apa-apa, siapa tahu benar orang itu belum jauh.Aku segera berlari mengecek ke luar, mau lihat siapa yang berani menguping percakapanku dengan Bu Marni. Sesampainya di pintu tidak ada siapa-siapa. Tapi kembang dekat teras
Bismillahirrahmanirrahim.Ucapan terakhir Bu Mita menyentil hatiku. Apa mungkin Bang Jun juga punya wanita lain di kota. Bukan tidak mungkin bukan? Karena sifatnya jauh berbeda. Mana ada lelaki yang tahan hasratnya tidak tersalurkan. Mendadak hatiku sakit dan hancur, bila kenyataan itu benar. Aku harus siap dengan segala kemungkinan yang ada.“Bu Arini kok melamun? Apa perkataan saya menyinggung ibu.”Aku segera tersadar dari lamunan. “Oh, eh tidak Bu Mita. Maaf tadi saya sempat kaget dengar perkataan ibu, kalau suami ibu selingkuh. Benarkah itu? Atau hanya gosip miring belaka,” ucapku menyangsikan. Aku ragu dengan perkataan bu Mita.Rasanya kok tidak percaya, orang yang sudah mengikat janji suci berani menodai ikatan pernikahan dengan perselingkuhan. Apakah mereka tidak berpikir dua kali apa dampak terhadap keluarga kedua belah pihak, apalagi bagi mereka yang memiliki keturunan. Semudah itukah menikah kemudian cerai lalu menikah lagi. Tak bisakah memiliki pasangan seumur hidup. Walla
Bismillahirrahmanirrahiim.“Ouh pantes saja pelangganku lari ke sini semua, pelet apa yang kamu gunakan Arini, sehingga semua orang berkerumun kayak semut begini.” Tanpa kuduga, seorang wanita berteriak dan mengeluarkan tuduhan tidak masuk akal padaku. Aku jelas terpana dan terperanjat kaget.Aku yang tengah membungkus pesanan Bu Ratna mengernyitkan kening. Sesaat pergerakan tanganku terhenti, netraku mengarah pada perempuan yang sedang berkacak pinggang itu.Kulihat napasnya menderu kencang, rambut awut-awutan diterbangkan angin. Matanya melotot tajam padaku. Rasanya ingin kuberlari menghindar, bila perlu sembunyi ke lubang semut, dari pada dapat amukan tidak jelas begini.“Apa maksud Bu Nuri,” tanyaku dengan wajah bingung. Dengan keberanian yang dipaksakan, aku dongakkan kepala menatapnya.“Kamu masih nanya apa maksudku?” balas perempuan itu sengit. Sekarang matanya melotot tajam, seakan hendak melahapku hidup-hidup.Beberapa pembeli yang masih antri, sebagian tengah memakan bakwan
Bismillahirrahmanirrahim.“Cukup Bu Lisa, sudah cukup ibu mempermalukanku. Sebenarnya apa kesalahanku pada ibu, sehingga ibu berani memfitnahku.” Napasku menderu cepat, seakan dadaku mau sesak, karena kehabisan pasokan oksigen.Siapa sih orang yang mau direndahkan dan dipermalukan terus. Aku manusia yang punya hati dan perasaan. Kini aku tak bisa diam saja, kali ini aku harus melawan agar tidak terus dihina dan dipermalukan. Apalagi di depan umum kayak begini, siapa yang tidak gondok dibuatnya. Aku menarik napas panjang sebelum mengeluarkan kata-kata berikutnya."Selama ini aku diam saja, tapi ibu selalu ingin membuatku tidak punya muka. Bahkan ibu sering bilang, bahwa aku ini ibu yang pelit, suka memberi asupan tempe tahu saban hari pada anak-anakku.""Ada masalah apa ibu sama aku?" Kutatap wanita di depanku ini dengan amarah yang kini tak bisa lagi aku bendung.Tampak Bu Lisa kaget dan membelalak mendengar ucapanku. Biarkan saja, sesekali orang seperti Bu Lisa harus diberi pelajaran
Bismillahirrahmanirrahim.“Ibu tenang saja, wanita itu tidak pernah melihat saya langsung. Biasanya yang mengambil pesanan, selalu asisten saya, tapi kali ini ia berhalangan ikut karena sakit. Jadi tidak masalah-kan.” Ucap perempuan itu mengedikkan bahu, seraya mengangkat kedua tangan ke udara."Baiklah, kalau begitu aku tenang jadinya. Aku tidak mau menambah masalah baru. Kemaren saja rasanya sungguh menyakitkan dituduh sembarangan. Maaf apa ibu tidak takut rumor yang beredar," tanyaku tak lama kemudian sekedar memastikan."Kalau saya takut, saya tidak akan memesan untuk saya makan. Ibu jangan cemas gitu dong, rezeki ibu tidak akan kemana. Percaya sama saya,” ucapnya tersenyum. Lesung Pipit tampak nyata menghiasi pipi wanita itu.Wanita di depanku ini terlihat berwibawa, tidak mudah terpengaruh rumor yang beredar. Tidak tampak raut bingung di wajahnya. Syukurlah, paling tidak masih ada orang yang mempercayaiku, bahwa daganganku halal. Tidak ada campur ilmu goib atau ilmu pelet dan pe
Bismillahirrahmanirrahim.Tengah asyik memilih barang, pundakku diraba seseorang.Aku segera menoleh, terlihatdi depanku seorang perempuan yang tengah tersenyum ramah ke arahku."Bu Anggun? Ibu di sini? Rasanya sudah lama tidak jumpa.""Ibu kemana saja, sudah lama tidak melihat ibu," sapaku ramah, seraya membalas senyum perempuan berlesung pipit itu.“Ada Bu, saya tidak kemana-mana. Cuman belakangan ini lagi banyak pekerjaan. Jadi jarang keluar rumah."“Apa kabar Bu Anggun, senang bertemu dengan ibu.”“Kabar saya baik Bu Arini, lagi ngeborong ceritanya nih,” selidik Bu Anggun kepo.“Ah! Tidak, belanja biasa saja, kebutuhan Nisa dan Dio. Ibu sendiri kayaknya juga lagi ngeborong,” kelakarku.Tak lupa kutampakkan deretan gigi putih ala Pepsodent ke hadapan Bu Anggun. Bu Anggun membalas dengan senyuman.“Sudah selesai belanjanya atau belum,” tanya Bu Anggun tak lama kemudianTumben Bu Anggun menanyakan aku sudah selesai belanja apa belum, apa ada sesuatu yang ingin dibicarakannya. Bisikku
Bismillahirrahmanirrahim.Tiga puluh menit kemudian, akhirnya aku sampai di rumah, meskipun dengan langkah terseok-seok. Padahal dari rumah ke Indomaret hanya butuh 10 menit perjalanan. Tapi ingatan foto Bang Jun dengan perempuan itu selalu datang membayangi. Kadang aku berhenti begitu saja di jalanan. Bahkan aku hampir diserempet mobil karena jalan terlalu ke tengah. Aku seperti orang linglung tanpa kesadaran.“Hei buk, jangan melamun di jalan,” teriak sopir angkot dengan muka marah dan tampak kesal. "Nanti saya lagi yang disalahkan orang," lanjutnya terus saja bicara tak enak di dengar.Sontak wajahku mendadak pucat, menatap sekeliling. Barulah aku sadar, aku tengah di jalan raya, tanpa membuang waktu aku bergegas ke pinggir. Kuusap dada ini pelan menahan gejolak yang terasa menghantam jiwa. Sakit! Sungguh sakit terasa. Aku tidak sempat meminta maaf pada sopir angkot itu, karena setelah marah dia langsung kabur begitu saja setelah meluapkan amarahnya.Aku melanjutkan langkah dengan
Bismillahirrahmanirrahiim.“Ya Allah, Astaghfirullahal Adzhiim,” segera saja aku melangkah kekamar mandi membersihkan diri. Aku tidak mau Bang Jun pulang melihatku dalam kondisi mengenaskan begini. Aku juga harus tetap jaga penampilan, meskipun akan dicampakkan.Bisa-bisa Bang Jun semakin ingin meninggalkanku. Itu tidak baik bagi psikis anak-anakku. Demi anakku bahagia, bertahan dengan perselingkuhan pria itu akan kuterima dengan ikhlas. Itulah tekadku asal anakku tetap bahagia, apa pun itu demi melihat mereka senang, akan aku lakukan. Meskipun harus berbagi suami dengan perempuan lain. Kecuali Bang Jun sendiri yang tidak menginginkanku lagi, apa yang bisa kulakukan selain menerima dan pasrah akan takdirku.Setelah mandi dan badan terasa sejuk. Rasa lapar mulai mendera. Tak membuang waktu aku segera memasak yang ringan saja untuk mengganjal perut. Masak nasi goreng special.Untung Nisa dan Dio menginap di rumah Mita, jadi sementara aku bebas dari tingkah polah anak-anak. Bukan aku ti