Share

Part 8

Bismillahirrahmanirrahim.

“Nanti ibu dijemput si Zaki, kamu tenang saja, tidak perlu khawatir. Apa kamu tidak sebaiknya ikut ibu pulang. Nanti menginap di sana selama seminggu. Biar ibu minta Juna menjemput kalian ke sana. Sudah lama juga-kan kalian tidak menginap di rumah sana."

Tuh benar dugaanku, ibu pasti mengajakku serta. Duh jadi tambah ribet, ditolak gak enak, diterima, juga bermasalah. Bagaimana dengan daganganku yang baru saja dimulai, bisa-bisa aku mengecewakan pelanggan. Belum apa-apa, sudah main tutup saja.

"Mau Ma, mau," sahut Nisa tiba-tiba. Aku mengerti Nisa pasti kangen kakeknya. Sejak Bang Juna kerja di kota dan pulang satu kali dalam seminggu, kami tidak pernah lagi menginap di rumah ibu. Aku tidak mungkin bisa mengabulkan permintaan ibu, bagaimana dengan usaha yang baru saja kurintis. Masa ditutup, kasihan pelanggan dong kalau begitu.

“Maaf Bu, aku mau saja ikut ibu. Tapi Nisa-kan sekolah. Tidak mungkin minta izin meninggalkan sekolah selama seminggu. Aku nanti jenguk bapak sama Bang Juna saja kalau boleh, saat ia pulang Sabtu depan.”

"Nisa sini Nak, kalau ikut Nenek, gimana sekolahnya. Nisa mau ketinggalan pelajaran," ucapku berusaha membujuk Nisa. Semoga saja ibu dan Nisa mau mengerti.

"Gak mau Ma, seminggu itu lama. Nanti Nisa banyak ketinggalan pelajaran."

"Nah gitu! Anak pintar."

“Ya sudah tidak apa-apa, kasihan juga Nisa kalau diajak kesana selama seminggu, nanti bisa ketinggalan pelajaran. Biar ibu saja yang merawat bapak kalau begitu.”

“Terima kasih atas pengertiannya Bu.”

“Iya, ibu mengerti kok, dulu Juna juga begitu, tidak bisa bebas ikut kemana pun ibu mau pergi. Sekolahnya pasti terganggu.”

Sesekali aku melirik jam yang tergantung di dinding. Ini si Zaki jemput ibu jam berapa sih. Bisa kemalaman aku mengiris sayur. Jangan sampai ibu bertanya dan curiga, kenapa Bu Marni belum jemput belanjaan juga, padahal ini sudah malam. Ditungguin sampai pagi juga, gak bakal ke sini orangnya, la wong ini belanjaanku semua. Aku mendesis kesal dibuatnya.

“Itu tetanggamu, siapa namanya tadi. Kok belum ambil juga belanjaannya. Jangan-jangan kamu bohongi ibu ya. Pakai bilang punya tetangga, padahal punya kamu sendiri."

Tuh! Benarkan, baru juga kepikiran. Sekarang ibu bertanya karena penasaran. Kecurigaan ibu beralasan, apalagi mendengar aduan dari anaknya kalau aku ini boros. Bertepatan dengan kedatangan ibu kali ini, pas, ketika aku sedang belanja banyak lagi. Makin kuat saja dugaannya.

“Ya Allah Bu, tidak percaya amat sih sama aku. Bu Marni belum pulang, katanya dia mau ambil sendiri ke sini. Masa Arini harus mengantar ke sana, padahal dia bilang mau ambil sendiri. Lagian orangnya juga tidak ada di rumah, sia-sia Arini ke sana dong. Aku kan tidak enak datang kesana, padahal sudah dilarang.”

Ibu hanya mendengus mendengar perkataanku. Seperti tidak percaya dengan penjelasanku. Aku hanya bisa mengerucutkan bibir kecewa.

“Lagian Bu Marni tidak mau merepotkanku terus Bu, kalau mesti mengantar lagi ke sana. Katanya tidak enak merepotkanku.” Balasku supaya ibu percaya.

Ibu tak kunjung membalas perkataanku. Membuatku salah tingkah merasa dicurigai.

“Bentar Bu, kucoba tanya Bu Marni, udah sampai di mana, kok belum pulang juga,” imbuhku berusaha meyakinkan ibu.

“Sudah! Sudah tidak usah dijelaskan lagi.” Sanggah ibu dengan muka masam.

“Tapi bu, apa tidak sebaiknya kukirim pesan WA, menanyakan kapan ia mau ambil barangnya.”

Ibu tampak menarik napas perlahan-lahan. Sekian detik suasana hening mencekam. Ibu tidak lagi bertanya dan juga tidak menjawab pertanyaanku. Mungkin sudah mengerti dengan penjelasanku.

Sebaiknya kukirim pesan ke Bu Marni, supaya ia datang, pura-pura mengambil belanjaan. Dari pada ibu tambah curiga. Semoga saja mulut Bu Marni bisa dipercaya menjaga rahasia. Harusnya tadi kubilang belanjaan itu milik Bu Atik, karena dia yang selalu mengerti keadaanku. Tapi sudah terlanjur, semoga saja Bu Marni tidak menjadikan rahasiaku sebagai bahan gosip. Bisa terkenal aku dikalangan warga, kalau terkenal karena dapat penghargaan tidak masalah. Tapi ini viral karena tidak pendengar perintah suami. Bisa malu seumur hidup kalau begitu.

“Iya, suruh ke sini cepat. Sekalian ibu mau kenalan.”

Ternyata benar, ibu masih curiga. Baiklah, aku punya ide.

Segera saja kukirim pesan ke Bu Marni, tak lupa kusampaikan pesan singkat, supaya Bu Marni mengerti maksud isi pesanku.

Pesan terkirim, sejurus kemudian aku terima balasan. Bu Marni bersedia menolongku kali ini. Alhamdulillah kupanjatkan puji syukur. Taklama berselang terdengar salam dari luar.

“Assalamualaikum, Bu Arini.”

“Waalaikumsalam,” balasku. “Akhirnya ibu datang juga, baru sampai? Ujarku pura-pura bertanya.

“Duh maaf ya Bu Arini, saya jadi merepotkan. Baru sampai belokan sana, pesanmu saya terima. Ini juga belum ke rumah. Langsung ke sini. Mana belanjaan saya,” tanya Bu Marni langsung ke intinya. Belum sempat kujawab pertanyaan Bu Marni, Bu Marni kembali bersuara.

“Eh ada tamu, siapa Bu Arini. Maaf, kalau saya mengganggu.”

“Bu Marni, kenalin ini ibu mertuaku.” Keduanya pun saling berjabat tangan.

Aku tersenyum simpul mengingat semua perkataan Bu Marni. Pintar juga dia main drama. Sesuai seperti yang kuinginkan. Wah ternyata Bu Marni cocok jadi pemain film nih.

Belum sempat ibu mertua bertanya banyak hal ke Bu Marni, Zaki datang menjemput.

Syukurlah, dengan begitu Bu Marni tidak perlu gotong sana gotong sini belanjaanku. Yang penting ibu tidak lagi mencurigaiku. Untuk sementara aman. Entah sampai kapan aku bisa menutupi rahasia ini dari ibu dan Bang Jun.

“Ya sudah Arini, karena Zaki sudah datang. Ibu pulang sekarang ya, doain supaya bapak mertuamu cepat sembuh.”

“Iya Bu, Sabtu depan pas Bang Jun pulang, kami datang ke sana jenguk bapak.”

“Dio, Nisa, maafkan nenek ya, tidak jadi menginap di sini.Kakek sedang sakit, karena keserempet mobil.”

“Kalian bantu doa ya,” sambung ibu seraya memeluk erat kedua cucunya. Tak lupa ibu menyelipkan rupiah ke tangan Nisa dan Dio. Ibu mertua sangat sayang pada cucunya. Maka tak heran setiap kali datang, pasti memberi Nisa dan Dio uang. Cuman ujungnya yang bikin tak enak hati.

“Ingat! uangnya ditabung, jangan dihabisin buat jajan ya Nisa, Dio.” Pesannya sebelum naik ke mobil Zaki adik bungsu Bang Jun.

Tak lama setelah kepergian ibu mertua. Kudekati Bu Marni yang jadi penonton sementara perpisahan Nisa dan Dio dengan ibu mertua.

“Anak-anak, kalian langsung masuk ya, mama mau bicara dulu sama Bu Marni.”

“Iya Ma,” sahut mereka kompak.

“Terima kasih atas pertolongannya Bu Marni, kalau tidak ada ibu, entah apa yang mau saya katakan pada ibu mertua.”

“Kenapa harus bilang belanjaan saya, kenapa gak bilang itu belanjaan untuk stok seminggu.”

“Tadinya saya mau bilang seperti itu Bu, tapi ibu mau lihat apa saja yang saya beli. Aneh dong nanti, yang dilihatnya kebanyakan buat keperluan dagang gorengan, bukan keperluan dapur selama seminggu."

"Iya juga ya." Sahut Bu Marni manggut-manggut.

“Kenapa gak bilang saja buat usaha sampingan, buat mengisi waktu luang. Kenapa harus bohong segala.”

“Tidak semudah itu Bu Marni, saya kerja begini juga karena diam-diam. Ibu kayak gak tau saja suamiku, dia melarangku kerja. Katanya mencari nafkah itu kerja suami.”

“Ya bagus atuh, ibu gak perlu capek bekerja. Semua biaya sudah ditanggung suami.”

Aku tidak mungkin buka aib Bang Jun di depan Bu Marni, rasanya kurang ahsan, kalau mengatakan suami sendiri pelit ke orang lain. Orang lain tidak perlu tau urusan rumah tanggaku. Sebaiknya kukatakan alasan lain saja.

“Bukan masalah tidak capek Bu Marni, lama-lama hidup membosankan, kalau hanya duduk  diam doang tanpa menghasilkan apa-apa.”

“Oo saya mengerti sekarang, kenapa ibu jualan hanya sampai hari Jumat saja, karena tidak mau ketahuan sama suami ibu, benarkan?”

“Ya, begitulah Bu Marni. Tolong rahasiakan masalah ini ke tetangga ya Bu, jangan sampai ada yang tahu lalu membocorkan pada suamiku.”

“Tenang Bu Arini, rahasia itu aman di saya.”

Tiba-tiba terdengar seperti suara pot bunga jatuh, spontan aku dan Bu Marni salIng pandang lalu menoleh ke asal suara.

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status