Share

Part 07

Bismillahirrahmanirrahiim.

Entah kenapa aku ingin menghindar darinya. Tidak ada keinginan untuk bersamanya. Tak ada kerinduan sedikitpun,  padahal kami telah terpisah cukup lama. Seminggu itu bukan  waktu yang pendek untuk menjalani kehidupan terpisah sebagai pasangan suami istri.  Harusnya kerinduan itu berpusat padanya. Harusnya kami melepaskan hasrat yang tertahan sekian hari. Memasak itu hanya alasan untuk menjauh darinya. Kegiatan memasak itu telah selesai, sebelum dia datang tadi.

“Kamu masak apa? Tidak ada bau apa -apa ini.” Protes lelaki itu menyusulku ke dapur. Aku pikir ia akan melepaskan rindu untuk anak-anaknya, ternyata tidak. 

“Eh! Iya tadi masak sudah selesai, hanya memastikan kompor sudah kumatikan apa belum, kayaknya sudah, lupa,” jawabku berkelit seraya cengengesan. Akhirnya dengan langkah berat kucoba mendekat dan kembali melangkah ke ruang keluarga.  Ia mengikuti dari belakang. Aku langsung duduk supaya dia tidak curiga, duduk menemaninya sambil minum teh yang aku suguhkan.

Bila tidak ingat Nisa dan Dio kehilangan sosok ayah, rasanya aku mau berpisah saja dengannya. Untuk apa bersama, kalau hanya makan hati dan sakit hati serta lelah hayati.

Aku lebih banyak diam. Sedangkan Nisa dan Dio tidak berhenti berceloteh melepas kangen dengan ayahnya. Ada saja yang mereka katakan. Untungnya Nisa tidak bicara mengenai usahaku. Sedangkan Dio, aku tidak perlu khawatir, karena Dio belum mengerti apa-apa.

“Kenapa kamu diam saja dari tadi, apa yang kamu pikirkan.” tanya Bang Jun menatapku curiga.

Tentu saja lelaki bergelar suamiku ini heran melihat gelagat sikapku yang tidak se-ceria biasanya, kalau dia pulang.

“Tidak ada.”

“Kamu berubah, sekarang lebih banyak diam, tidak kayak biasanya.”

“Bila aku tanya. Kamu hanya menyahut seperlunya.” Sambungnya lagi. Pria itu kembali menatapku dengan heran.

“Benar Bang, tidak ada apa-apa. Udah ya Bang, aku mau ke kamar mandi,” elakku segera. Daripada ditanya terus, mending pergi tanpa mendengar sahutannya lebih dulu.

"Kamu tidak rindu padaku? Apa sudah ada lelaki lain yang mulai menarik perhatianmu, hingga aku kamu cuekin seperti ini." Baru juga tiga langkah kaki ini meninggalkannya, perkataan lelaki ini membuatku mati langkah.

"Maksud Abang aku selingkuh?" Kulayangkan pandangan tajam bagai elang padanya. Jelas saja aku tak terima dengan kecurigaannya.

Lelaki di depanku tampak gelagapan dengan perkataan tajam yang baru saja aku lontarkan.

"Bukan begitu, hanya saja sikapmu yang dingin membuatku berpikir buruk."

Aku menarik napas panjang lalu menghembuskannya. "Benar Bang, aku tidak apa-apa. Abang main saja dulu sama Nisa dan Dio mereka sangat rindu dengan Abang." Tak mau dia semakin heran dan bingung, mau tak mau aku harus bersikap manis untuk sementara.

Hari pun berganti siang, saatnya kami makan. Nisa dan Dio telah berkicau bilang lapar dari tadi. Anak-anak telah rapi di meja makan. Begitu juga dengan Bang Jun. Piring telah tertata di meja, tempat cuci tangan juga telah tersedia.

Aku segera menyingkap tudung saji dan meletakkan bersandar di tembok. Seketika aku kaget mendengar kehebohan Nisa dan Dio.

“Asyiik, kita makan pakai ayam dan ikan,” seru mereka kegirangan. Aku tersenyum senang melihat tingkah mereka. Saat mataku memandang bang Juna, lelaki itu tampak marah dengan wajah memerah dan masam.

“Kamu dapat uang dari mana, bisa masak semewah ini. Sementara uang yang aku berikan kamu tolak, kamu kerja?”

"Atau perkataanku tadi pagi ada benarnya."

Degh..

Spontan lidahku kelu. Kenapa tidak terpikirkan tadi sebelum belanja. Ini semua gara-gara sindiran Bu Lisa, aku jadi kepancing membeli ayam dan ikan. Bagaimana aku harus menjelaskan pada Bang Jun, tak mungkin aku bilang, kalau aku sekarang punya uang banyak dari hasil dagang. Yang ada Bang Jun marah besar karena aku tidak mendengar larangannya.

Otakku berpikir keras, alasan apa yang hendak kukatakan.

“Kok diam, dapat uang dari mana?” tanyanya lagi.

“Maaf Bang, kemaren ibu datang bawa ayam dan ikan. Katanya untuk Nisa dan Dio. Mereka dalam masa pertumbuhan, jadi harus makan yang bergizi.” jawabku berbohong. 

Semoga saja Bang Jun mengerti dan tidak bertanya lebih jauh, apalagi ini di depan anak-anak.

“Jadi selama ini menurut ibumu, mereka makan tidak mengandung gizi. Tahu tempe itu justru banyak mengandung gizi dan vitamin. Gimana sih pikiran ibumu itu.”

Ops, aku salah bicara, tak seharusnya aku bilang Nisa dan Dio dalam masa pertumbuhan. Makanya mereka harus makan ayam dan ikan. Kok jadi salah paham gini.

“Apa kamu pikir aku tidak sanggup beli ayam dan ikan. Pakai bilang mereka dalam masa pertumbuhan. Ibu seharusnya tidak ikut campur dalam masalah rumah tangga kita.”

“Maaf Bang, ibu tidak punya maksud lain kok. Wajar seorang ibu datang bawa oleh-oleh.”

Kulihat rahang Bang Jun mengeras, mungkin tersinggung dengan perkataanku tadi. Baguslah, supaya dia bisa berpikir. Secara tak langsung, perkataanku tadi mungkin menyinggung hatinya. Lagian kasih uang belanja minim, padahal untuk pertumbuhan anaknya sendiri.

Inilah akibat dari berbohong, semua jadi salah paham.

“Tapi kan bosan Yah, makan tahu tempe setiap hari. Untung sekarang Mama punya uang banyak, jadi bisa makan enak.” Tiba-tiba tanpa disangka dan diduga, Nisa bicara.

“Apa? Kamu punya uang banyak, kok bisa. Kamu miara tuyul,” tuduh Bang Jun sarkas.

“Nisa bicara apa sayang, Nisa lupa ya kemaren nenek kasih Nisa dan Dio uang, uang itu yang Mama gunakan untuk membeli ayam dan ikan. Bukan miara tuyul, seperti yang Ayah tuduhkan.”

“Miara tuyul, maksudnya apa Ma, Yah,” tanya Nisa ingin tahu.

“Tuyul itu anak kecil berkepala botak, suka mencuri uang.Tadi ayah cuman bercanda bilang Mama miara tuyul. Gak mungkin-kan Mama miara tuyul. Emang Nisa ada lihat bocah kecil berkepala botak berkeliaran di sini.”

“Tidak ada Yah,” sahut Nisa memindai area. Mungkin penasaran, aku tertawa sendiri melihatnya.

“Sudah! Sudah, sekarang lanjutkan makannya. Jangan bicara lagi.” Ucapku seraya mendelik ke Bang Jun, enak saja bicara sembarangan di depan Nisa. Untung Nisa tidak bertanya lagi.

Setelahnya, hanya dentingan piring dan sendok beradu yang terdengar. Semua fokus dengan makanan masing-masing. Seperti ada yang memperhatikanku. Segera saja kutolehkah mata ke arah Bang Jun.

Bang Jun sejenak menatapku sekilas. Mungkin masih penasaran dengan perkataan Nisa.

 

***

“Benar kamu menolak uang ini, tidak menyesal.” Imbuh Bang Jun menatapku bingung.

“Ini kali kedua kamu menolak uang yang aku berikan.” ujar Bang Jun sekali lagi, sebelum melangkah ke pintu. Hari ini saatnya ia kembali ke kota. Tapi langkahnya seakan berat meninggalkan kami tanpa uang yang ia berikan. Tapi aku ngotot menolak. Untuk apa, kalau hanya dianggap menghabiskan jerih payahnya, bahkan aku dibilang boros. Padahal aku belanja sedemikian irit, sampai Ratu pelit sudah melekat di kepalaku.

“Tidak Bang, kamu simpan saja sendiri.”

“Baiklah, awas saja kalau sampai Nisa dan Dio kelaparan dan jatuh sakit. Maka kamu harus tanggung jawab.”

Aku hanya tersenyum sekilas, melihatnya memeluk Nisa dan Dio sebelum pergi.

“Nisa, Dio, ayah berangkat sekarang ya, baik-baik di rumah.”

“Iya ayah,” sahut mereka memeluk lelaki panutan mereka. Mana tega aku memisahkan mereka dari ayahnya. Biarlah aku menderita, asal mereka bahagia.

Setelah kepergian Bang Jun, aku pun bersiap-siap untuk belanja semua kebutuhan dagangan. Mumpung hari Minggu, sekarang saja aku pergi belanja ke pasar. Aku minta Nisa menjaga adiknya, selama aku pergi.

Biasanya belanja di siang hari begini harga barang lebih miring, bisa menambah modal usahaku biar semakin berkembang.

Satu jam kemudian, aku kembali ke rumah. Sesampainya di rumah, aku dikagetkan dengan keberadaan ibu mertua yang tengah menyuapi Dio makan.

Duh! Bagaimana ini? Mendadak langkahku terhenti.

Bersambung

Mohon dukung karyaku dengan memberikan vote dan komentar, semoga teman puas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status