Bismillahirrahmanirrahiim.
Entah kenapa aku ingin menghindar darinya. Tidak ada keinginan untuk bersamanya. Tak ada kerinduan sedikitpun, padahal kami telah terpisah cukup lama. Seminggu itu bukan waktu yang pendek untuk menjalani kehidupan terpisah sebagai pasangan suami istri. Harusnya kerinduan itu berpusat padanya. Harusnya kami melepaskan hasrat yang tertahan sekian hari. Memasak itu hanya alasan untuk menjauh darinya. Kegiatan memasak itu telah selesai, sebelum dia datang tadi.“Kamu masak apa? Tidak ada bau apa -apa ini.” Protes lelaki itu menyusulku ke dapur. Aku pikir ia akan melepaskan rindu untuk anak-anaknya, ternyata tidak. “Eh! Iya tadi masak sudah selesai, hanya memastikan kompor sudah kumatikan apa belum, kayaknya sudah, lupa,” jawabku berkelit seraya cengengesan. Akhirnya dengan langkah berat kucoba mendekat dan kembali melangkah ke ruang keluarga. Ia mengikuti dari belakang. Aku langsung duduk supaya dia tidak curiga, duduk menemaninya sambil minum teh yang aku suguhkan.Bila tidak ingat Nisa dan Dio kehilangan sosok ayah, rasanya aku mau berpisah saja dengannya. Untuk apa bersama, kalau hanya makan hati dan sakit hati serta lelah hayati.Aku lebih banyak diam. Sedangkan Nisa dan Dio tidak berhenti berceloteh melepas kangen dengan ayahnya. Ada saja yang mereka katakan. Untungnya Nisa tidak bicara mengenai usahaku. Sedangkan Dio, aku tidak perlu khawatir, karena Dio belum mengerti apa-apa.“Kenapa kamu diam saja dari tadi, apa yang kamu pikirkan.” tanya Bang Jun menatapku curiga.Tentu saja lelaki bergelar suamiku ini heran melihat gelagat sikapku yang tidak se-ceria biasanya, kalau dia pulang.“Tidak ada.”“Kamu berubah, sekarang lebih banyak diam, tidak kayak biasanya.”“Bila aku tanya. Kamu hanya menyahut seperlunya.” Sambungnya lagi. Pria itu kembali menatapku dengan heran.“Benar Bang, tidak ada apa-apa. Udah ya Bang, aku mau ke kamar mandi,” elakku segera. Daripada ditanya terus, mending pergi tanpa mendengar sahutannya lebih dulu."Kamu tidak rindu padaku? Apa sudah ada lelaki lain yang mulai menarik perhatianmu, hingga aku kamu cuekin seperti ini." Baru juga tiga langkah kaki ini meninggalkannya, perkataan lelaki ini membuatku mati langkah."Maksud Abang aku selingkuh?" Kulayangkan pandangan tajam bagai elang padanya. Jelas saja aku tak terima dengan kecurigaannya.Lelaki di depanku tampak gelagapan dengan perkataan tajam yang baru saja aku lontarkan."Bukan begitu, hanya saja sikapmu yang dingin membuatku berpikir buruk."Aku menarik napas panjang lalu menghembuskannya. "Benar Bang, aku tidak apa-apa. Abang main saja dulu sama Nisa dan Dio mereka sangat rindu dengan Abang." Tak mau dia semakin heran dan bingung, mau tak mau aku harus bersikap manis untuk sementara.Hari pun berganti siang, saatnya kami makan. Nisa dan Dio telah berkicau bilang lapar dari tadi. Anak-anak telah rapi di meja makan. Begitu juga dengan Bang Jun. Piring telah tertata di meja, tempat cuci tangan juga telah tersedia.Aku segera menyingkap tudung saji dan meletakkan bersandar di tembok. Seketika aku kaget mendengar kehebohan Nisa dan Dio.“Asyiik, kita makan pakai ayam dan ikan,” seru mereka kegirangan. Aku tersenyum senang melihat tingkah mereka. Saat mataku memandang bang Juna, lelaki itu tampak marah dengan wajah memerah dan masam.“Kamu dapat uang dari mana, bisa masak semewah ini. Sementara uang yang aku berikan kamu tolak, kamu kerja?”"Atau perkataanku tadi pagi ada benarnya."Degh..Spontan lidahku kelu. Kenapa tidak terpikirkan tadi sebelum belanja. Ini semua gara-gara sindiran Bu Lisa, aku jadi kepancing membeli ayam dan ikan. Bagaimana aku harus menjelaskan pada Bang Jun, tak mungkin aku bilang, kalau aku sekarang punya uang banyak dari hasil dagang. Yang ada Bang Jun marah besar karena aku tidak mendengar larangannya.Otakku berpikir keras, alasan apa yang hendak kukatakan.“Kok diam, dapat uang dari mana?” tanyanya lagi.“Maaf Bang, kemaren ibu datang bawa ayam dan ikan. Katanya untuk Nisa dan Dio. Mereka dalam masa pertumbuhan, jadi harus makan yang bergizi.” jawabku berbohong. Semoga saja Bang Jun mengerti dan tidak bertanya lebih jauh, apalagi ini di depan anak-anak.“Jadi selama ini menurut ibumu, mereka makan tidak mengandung gizi. Tahu tempe itu justru banyak mengandung gizi dan vitamin. Gimana sih pikiran ibumu itu.”Ops, aku salah bicara, tak seharusnya aku bilang Nisa dan Dio dalam masa pertumbuhan. Makanya mereka harus makan ayam dan ikan. Kok jadi salah paham gini.“Apa kamu pikir aku tidak sanggup beli ayam dan ikan. Pakai bilang mereka dalam masa pertumbuhan. Ibu seharusnya tidak ikut campur dalam masalah rumah tangga kita.”“Maaf Bang, ibu tidak punya maksud lain kok. Wajar seorang ibu datang bawa oleh-oleh.”Kulihat rahang Bang Jun mengeras, mungkin tersinggung dengan perkataanku tadi. Baguslah, supaya dia bisa berpikir. Secara tak langsung, perkataanku tadi mungkin menyinggung hatinya. Lagian kasih uang belanja minim, padahal untuk pertumbuhan anaknya sendiri.Inilah akibat dari berbohong, semua jadi salah paham.“Tapi kan bosan Yah, makan tahu tempe setiap hari. Untung sekarang Mama punya uang banyak, jadi bisa makan enak.” Tiba-tiba tanpa disangka dan diduga, Nisa bicara.“Apa? Kamu punya uang banyak, kok bisa. Kamu miara tuyul,” tuduh Bang Jun sarkas.“Nisa bicara apa sayang, Nisa lupa ya kemaren nenek kasih Nisa dan Dio uang, uang itu yang Mama gunakan untuk membeli ayam dan ikan. Bukan miara tuyul, seperti yang Ayah tuduhkan.”“Miara tuyul, maksudnya apa Ma, Yah,” tanya Nisa ingin tahu.“Tuyul itu anak kecil berkepala botak, suka mencuri uang.Tadi ayah cuman bercanda bilang Mama miara tuyul. Gak mungkin-kan Mama miara tuyul. Emang Nisa ada lihat bocah kecil berkepala botak berkeliaran di sini.”“Tidak ada Yah,” sahut Nisa memindai area. Mungkin penasaran, aku tertawa sendiri melihatnya.“Sudah! Sudah, sekarang lanjutkan makannya. Jangan bicara lagi.” Ucapku seraya mendelik ke Bang Jun, enak saja bicara sembarangan di depan Nisa. Untung Nisa tidak bertanya lagi.Setelahnya, hanya dentingan piring dan sendok beradu yang terdengar. Semua fokus dengan makanan masing-masing. Seperti ada yang memperhatikanku. Segera saja kutolehkah mata ke arah Bang Jun.Bang Jun sejenak menatapku sekilas. Mungkin masih penasaran dengan perkataan Nisa. ***“Benar kamu menolak uang ini, tidak menyesal.” Imbuh Bang Jun menatapku bingung.“Ini kali kedua kamu menolak uang yang aku berikan.” ujar Bang Jun sekali lagi, sebelum melangkah ke pintu. Hari ini saatnya ia kembali ke kota. Tapi langkahnya seakan berat meninggalkan kami tanpa uang yang ia berikan. Tapi aku ngotot menolak. Untuk apa, kalau hanya dianggap menghabiskan jerih payahnya, bahkan aku dibilang boros. Padahal aku belanja sedemikian irit, sampai Ratu pelit sudah melekat di kepalaku.“Tidak Bang, kamu simpan saja sendiri.”“Baiklah, awas saja kalau sampai Nisa dan Dio kelaparan dan jatuh sakit. Maka kamu harus tanggung jawab.”Aku hanya tersenyum sekilas, melihatnya memeluk Nisa dan Dio sebelum pergi.“Nisa, Dio, ayah berangkat sekarang ya, baik-baik di rumah.”“Iya ayah,” sahut mereka memeluk lelaki panutan mereka. Mana tega aku memisahkan mereka dari ayahnya. Biarlah aku menderita, asal mereka bahagia.Setelah kepergian Bang Jun, aku pun bersiap-siap untuk belanja semua kebutuhan dagangan. Mumpung hari Minggu, sekarang saja aku pergi belanja ke pasar. Aku minta Nisa menjaga adiknya, selama aku pergi.Biasanya belanja di siang hari begini harga barang lebih miring, bisa menambah modal usahaku biar semakin berkembang.Satu jam kemudian, aku kembali ke rumah. Sesampainya di rumah, aku dikagetkan dengan keberadaan ibu mertua yang tengah menyuapi Dio makan.Duh! Bagaimana ini? Mendadak langkahku terhenti.BersambungMohon dukung karyaku dengan memberikan vote dan komentar, semoga teman puas.Bismillahirrahmanirrahim.“Nanti ibu dijemput si Zaki, kamu tenang saja, tidak perlu khawatir. Apa kamu tidak sebaiknya ikut ibu pulang. Nanti menginap di sana selama seminggu. Biar ibu minta Juna menjemput kalian ke sana. Sudah lama juga-kan kalian tidak menginap di rumah sana."Tuh benar dugaanku, ibu pasti mengajakku serta. Duh jadi tambah ribet, ditolak gak enak, diterima, juga bermasalah. Bagaimana dengan daganganku yang baru saja dimulai, bisa-bisa aku mengecewakan pelanggan. Belum apa-apa, sudah main tutup saja."Mau Ma, mau," sahut Nisa tiba-tiba. Aku mengerti Nisa pasti kangen kakeknya. Sejak Bang Juna kerja di kota dan pulang satu kali dalam seminggu, kami tidak pernah lagi menginap di rumah ibu. Aku tidak mungkin bisa mengabulkan permintaan ibu, bagaimana dengan usaha yang baru saja kurintis. Masa ditutup, kasihan pelanggan dong kalau begitu.“Maaf Bu, aku mau saja ikut ibu. Tapi Nisa-kan sekolah. Tidak mungkin minta izin meninggalkan sekolah selama seminggu. Aku nanti jeng
Bismillahirrahmanirrahiim.Jangan lupa klik tombol berlangganan ya, terima kasih atas pengertiannya.Selamat membaca.“Tenang Bu Arini, rahasia itu aman di saya.”“Pasti Bu Marni, saya percaya, ibu tentu bisa menjaga rahasi-...” Perkataanku mendadak terjeda, ketika tiba-tiba terdengar seperti benda jatuh, spontan aku dan Bu Marni menoleh ke asal suara.“Jangan-jangan ada yang menguping pembicaraan kita Bu Arini. Jika benar, kalau nanti rahasia ini terbongkar, tolong jangan salahkan saya,” pinta Bu Marni khawatir sekaligus takut.“Baik Bu Marni, aku percaya ibu 100 persen. Tapi siapa yang berani mengintip kita ya. Lagian ini juga sudah malam.”“Buruan cek Bu Arini, siapa tahu orangnya belum jauh.” Perkataan Bu Marni menyadarkan ke-bengonganku. Meskipun terlambat tidak apa-apa, siapa tahu benar orang itu belum jauh.Aku segera berlari mengecek ke luar, mau lihat siapa yang berani menguping percakapanku dengan Bu Marni. Sesampainya di pintu tidak ada siapa-siapa. Tapi kembang dekat teras
Bismillahirrahmanirrahim.Ucapan terakhir Bu Mita menyentil hatiku. Apa mungkin Bang Jun juga punya wanita lain di kota. Bukan tidak mungkin bukan? Karena sifatnya jauh berbeda. Mana ada lelaki yang tahan hasratnya tidak tersalurkan. Mendadak hatiku sakit dan hancur, bila kenyataan itu benar. Aku harus siap dengan segala kemungkinan yang ada.“Bu Arini kok melamun? Apa perkataan saya menyinggung ibu.”Aku segera tersadar dari lamunan. “Oh, eh tidak Bu Mita. Maaf tadi saya sempat kaget dengar perkataan ibu, kalau suami ibu selingkuh. Benarkah itu? Atau hanya gosip miring belaka,” ucapku menyangsikan. Aku ragu dengan perkataan bu Mita.Rasanya kok tidak percaya, orang yang sudah mengikat janji suci berani menodai ikatan pernikahan dengan perselingkuhan. Apakah mereka tidak berpikir dua kali apa dampak terhadap keluarga kedua belah pihak, apalagi bagi mereka yang memiliki keturunan. Semudah itukah menikah kemudian cerai lalu menikah lagi. Tak bisakah memiliki pasangan seumur hidup. Walla
Bismillahirrahmanirrahiim.“Ouh pantes saja pelangganku lari ke sini semua, pelet apa yang kamu gunakan Arini, sehingga semua orang berkerumun kayak semut begini.” Tanpa kuduga, seorang wanita berteriak dan mengeluarkan tuduhan tidak masuk akal padaku. Aku jelas terpana dan terperanjat kaget.Aku yang tengah membungkus pesanan Bu Ratna mengernyitkan kening. Sesaat pergerakan tanganku terhenti, netraku mengarah pada perempuan yang sedang berkacak pinggang itu.Kulihat napasnya menderu kencang, rambut awut-awutan diterbangkan angin. Matanya melotot tajam padaku. Rasanya ingin kuberlari menghindar, bila perlu sembunyi ke lubang semut, dari pada dapat amukan tidak jelas begini.“Apa maksud Bu Nuri,” tanyaku dengan wajah bingung. Dengan keberanian yang dipaksakan, aku dongakkan kepala menatapnya.“Kamu masih nanya apa maksudku?” balas perempuan itu sengit. Sekarang matanya melotot tajam, seakan hendak melahapku hidup-hidup.Beberapa pembeli yang masih antri, sebagian tengah memakan bakwan
Bismillahirrahmanirrahim.“Cukup Bu Lisa, sudah cukup ibu mempermalukanku. Sebenarnya apa kesalahanku pada ibu, sehingga ibu berani memfitnahku.” Napasku menderu cepat, seakan dadaku mau sesak, karena kehabisan pasokan oksigen.Siapa sih orang yang mau direndahkan dan dipermalukan terus. Aku manusia yang punya hati dan perasaan. Kini aku tak bisa diam saja, kali ini aku harus melawan agar tidak terus dihina dan dipermalukan. Apalagi di depan umum kayak begini, siapa yang tidak gondok dibuatnya. Aku menarik napas panjang sebelum mengeluarkan kata-kata berikutnya."Selama ini aku diam saja, tapi ibu selalu ingin membuatku tidak punya muka. Bahkan ibu sering bilang, bahwa aku ini ibu yang pelit, suka memberi asupan tempe tahu saban hari pada anak-anakku.""Ada masalah apa ibu sama aku?" Kutatap wanita di depanku ini dengan amarah yang kini tak bisa lagi aku bendung.Tampak Bu Lisa kaget dan membelalak mendengar ucapanku. Biarkan saja, sesekali orang seperti Bu Lisa harus diberi pelajaran
Bismillahirrahmanirrahim.“Ibu tenang saja, wanita itu tidak pernah melihat saya langsung. Biasanya yang mengambil pesanan, selalu asisten saya, tapi kali ini ia berhalangan ikut karena sakit. Jadi tidak masalah-kan.” Ucap perempuan itu mengedikkan bahu, seraya mengangkat kedua tangan ke udara."Baiklah, kalau begitu aku tenang jadinya. Aku tidak mau menambah masalah baru. Kemaren saja rasanya sungguh menyakitkan dituduh sembarangan. Maaf apa ibu tidak takut rumor yang beredar," tanyaku tak lama kemudian sekedar memastikan."Kalau saya takut, saya tidak akan memesan untuk saya makan. Ibu jangan cemas gitu dong, rezeki ibu tidak akan kemana. Percaya sama saya,” ucapnya tersenyum. Lesung Pipit tampak nyata menghiasi pipi wanita itu.Wanita di depanku ini terlihat berwibawa, tidak mudah terpengaruh rumor yang beredar. Tidak tampak raut bingung di wajahnya. Syukurlah, paling tidak masih ada orang yang mempercayaiku, bahwa daganganku halal. Tidak ada campur ilmu goib atau ilmu pelet dan pe
Bismillahirrahmanirrahim.Tengah asyik memilih barang, pundakku diraba seseorang.Aku segera menoleh, terlihatdi depanku seorang perempuan yang tengah tersenyum ramah ke arahku."Bu Anggun? Ibu di sini? Rasanya sudah lama tidak jumpa.""Ibu kemana saja, sudah lama tidak melihat ibu," sapaku ramah, seraya membalas senyum perempuan berlesung pipit itu.“Ada Bu, saya tidak kemana-mana. Cuman belakangan ini lagi banyak pekerjaan. Jadi jarang keluar rumah."“Apa kabar Bu Anggun, senang bertemu dengan ibu.”“Kabar saya baik Bu Arini, lagi ngeborong ceritanya nih,” selidik Bu Anggun kepo.“Ah! Tidak, belanja biasa saja, kebutuhan Nisa dan Dio. Ibu sendiri kayaknya juga lagi ngeborong,” kelakarku.Tak lupa kutampakkan deretan gigi putih ala Pepsodent ke hadapan Bu Anggun. Bu Anggun membalas dengan senyuman.“Sudah selesai belanjanya atau belum,” tanya Bu Anggun tak lama kemudianTumben Bu Anggun menanyakan aku sudah selesai belanja apa belum, apa ada sesuatu yang ingin dibicarakannya. Bisikku
Bismillahirrahmanirrahim.Tiga puluh menit kemudian, akhirnya aku sampai di rumah, meskipun dengan langkah terseok-seok. Padahal dari rumah ke Indomaret hanya butuh 10 menit perjalanan. Tapi ingatan foto Bang Jun dengan perempuan itu selalu datang membayangi. Kadang aku berhenti begitu saja di jalanan. Bahkan aku hampir diserempet mobil karena jalan terlalu ke tengah. Aku seperti orang linglung tanpa kesadaran.“Hei buk, jangan melamun di jalan,” teriak sopir angkot dengan muka marah dan tampak kesal. "Nanti saya lagi yang disalahkan orang," lanjutnya terus saja bicara tak enak di dengar.Sontak wajahku mendadak pucat, menatap sekeliling. Barulah aku sadar, aku tengah di jalan raya, tanpa membuang waktu aku bergegas ke pinggir. Kuusap dada ini pelan menahan gejolak yang terasa menghantam jiwa. Sakit! Sungguh sakit terasa. Aku tidak sempat meminta maaf pada sopir angkot itu, karena setelah marah dia langsung kabur begitu saja setelah meluapkan amarahnya.Aku melanjutkan langkah dengan