Bismillahirrahmanirrahim.
Beberapa bulan sebelumnya.Bang Jun suamiku tengah berkemas, setiap hari Sabtu ia pulang ke rumah. Minggu pagi ia pergi lagi bekerja menjadi sopir keluarga kaya di kota. Pekerjaan itu dilakoninya semenjak satu tahun yang lalu. Selama satu tahun itu pula kami terpisah jarak. Demi memenuhi kebutuhan keluarga, aku menerima saja dengan lapang dada, meskipun harus hidup berjauhan. Aku pasrah saja. Apa yang bisa aku lakukan, selain menerima. Aku hanya ibu rumah tangga yang tidak punya penghasilan. Hidupku tergantung padanya.Aku juga tidak memiliki keahlian apapun, selain masakan ku yang dibilang orang enak.Bang Jun telah selesai berkemas dan bersiap untuk pergi ke kota tempat ia mencari nafkah. Untuk berkemas pun, bang Jun selalu melakukannya sendiri. Katanya, aku tidak bisa mengurusnya, ada saja arang yang ketinggalan katanya. Terlihat ia merogoh kantong celananya, mengeluarkan uang dan menyerahkan padaku.“Dek, ini uang belanja untuk bulan ini.” Bang Jun menyodorkan uang merah ke tanganku. Setiap awal bulan, Bang Jun memang memberiku uang, meskipun ia pulang tiap Minggu. Aku segera meraihnya dengan perasaan setengah seneng, terasa tipis dari sebelumnya. Segera saja kuhitung uang itu. Benar dugaan ku, nilainya tidak lagi sama seperti bulan lalu.Aku tentu heran menerimanya, semakin ke sini uang belanja yang ia berikan semakin berkurang jumlahnya. Apa ini yang ia dapat dari kota, atau teman sekerjanya mempengaruhinya. Kenapa dia berubah? banyak tanya muncul dibenakku.Aku tatap lelaki di depanku dengan tatapan nanar. Tak percaya rasanya, bila ia kini semakin perhitungan saja“Ndak salah Bang? Kenapa cuma segini? Mana cukup untuk biaya kita semuanya." ucapku heran sekaligus bingung.“Terpaksa kali ini Abang potong, bisa jadi untuk selamanya. Kamu tidak bisa mengatur dengan benar. Kamu itu boros. Daripada Abang capek cari uang, tapi tidak kelihatan wujudnya, mending Abang yang tabung sendiri."Seketika aku membelalakkan mata. Boros! Aku boros katanya. Ya Allah ujian apa lagi ini. Jelas saja uang itu kurang, semua pos harus terpenuhi dari uang itu. Mana cukup uang 1 juta untuk biaya semua keperluan, mulai dari bayar listrik, beli sembako dan biaya sekolah Nisa.Tak terima dengan ucapannya, aku pun menanyakan perihal tuduhannya itu.“Boros gimana Bang?”“Iya kamu itu tidak bisa mengatur pengeluaran dengan benar. Seharusnya uang 1 juta itu cukup untuk membiayai kebutuhan kita. Uang itu hanya untuk kalian bertiga, masak tidak cukup sih,” sambung Bang Jun lagi."Sementara aku hanya makan di hari Sabtu dan Minggu pagi doang. Sisanya buat kalian semua. Pintar-pintarlah mengatur uang, cari uang itu tidak mudah." “Selama 1 tahun ini Abang tidak di sini, seharusnya uang itu bersisa. Kamu malah minta tambah, Makanya Abang bilang kamu boros menggunakannya, tidak bijak mengatur dan mengelola uang. Kamu pikir cari uang itu gampang?” sambungnya tanpa mau memikirkan akibat dari sikapnya.Siapa bilang cari uang itu mudah, aku tahu diri. Supaya tidak menyusahkannya lagi, mending tolak sekalian. Lihat saja Bang, bulan depan kupastikan menolak uangmu. Tapi kali ini aku terpaksa menerima, karena aku belum memiliki pekerjaan.Iya, aku teringat bulan lalu meminta tambahan uang belanja, karena selalu saja pada Minggu terakhir itu uangku hanya sisa 20.000 agar cukup, aku meminta tambahan 200 ribu. Bang Jun menyetujui ketika itu.“Biaya hidup sekarang itu besar Bang, coba saja Abang hitung?” sahutku menampik dibilang boros.“Halah... Jangan banyak alasan, kamu saja yang tidak becus mengaturnya. Jangan-jangan uang itu kamu sisihkan sebagian untuk ibumu.”Bersambung...Bismillahirrahmanirrahim.“Halah... Jangan banyak alasan, kamu saja yang tidak becus mengaturnya. Jangan-jangan uang itu kamu sisihkan sebagian untuk ibumu. Benarkan dugaanku," seru Bang Jun menuduhku tanpa bukti. Whats? Sisihkan untuk ibu? Mana pernah aku memberi uang pada ibu, justru ibu yang sering memberi Nisa dan Dio secara diam-diam. Aku malu pada ibu, tidak pernah menyelipkan uang ke tangannya. Setiap kali ibu datang, selalu tangan keriputnya itu menyelipkan uang ke tangan cucunya. Alih-alih untuk jajan cucu katanya, padahal ibu tahu aku sering kekurangan. Sering aku tolak, ibu malah sedih. Sejak saat itu aku tidak pernah menolak lagi bantuan dari ibu.Sekarang, dengan seenak perutnya, Bang Jun menuduhku menyisihkan sebagian uang itu untuk ibuku. Sungguh kejam dan terlalu kamu Bang. Pikiranmu sungguh sempit Bang!“Jangan menuduh sembarangan Bang, kapan aku kasih uang ke ibu? Untuk memenuhi kebutuhan kita saja masih kurang, Terus bagaimana caraku kasih ibu! Jangan menuduhku se
Bismillahirrahmanirrahim.“Jangan lupa klik tombol berlangganan ya.“Baiklah mulai besok Mama mau jual gorengan. Nisa mau bantu Mama tidak?”“Mau, mau Ma.” Ucap Nisa senang. Gadis kecil itu loncat-loncat kegirangan. Aku tersenyum lebar, kebahagiaannya pelipur lara bagiku. Hilang rasanya semua beban berat yang kupikul. Bagiku, kehadiran Nisa itu ibarat oase di gurun pasir. Menyejukkan dan menentramkan hati yang sedang gundah gulana.“Emang Nisa tidak malu punya Mama penjual gorengan?” tanyaku memastikan. Aku tidak mau nanti Nisa rendah diri, lalu mengurung diri di kamar akibat rasa malu. Apalagi bila ada temannya yang melihat pekerjaanku.Nisa menggeleng cepat. “Untuk apa malu, temanku ada yang jualan di sekolah.”“Hah! Benarkah, jualan apa?” tanyaku tidak percaya.“Itu, pembatas buku,” sahutnya menatapku, seraya mengedipkan mata.“Pembatas buku-kan beda sama gorengan, lebih bersih gak ada noda minyak.”“Kan yang jualan Mama, bukan aku, kenapa pusing, kenapa harus malu. Kalau mama menc
Bismillahirrahmanirrahim.Seminggu pun berlalu, daganganku selalu habis bahkan cenderung kurang. Aku harus tambah dagangan, supaya tidak mengecewakan pelanggan. Tapi aku tidak bisa mengerjakan sendiri, aku butuh bantuan tenaga orang lain. Aku tidak menyangka daganganku laris manis. Mungkin inilah rezeki Nisa dan Dio, yang tidak bisa dipenuhi oleh ayahnya. Asal mau usaha, pasti ada hasilnya. Senyumku merekah seketika.Nantilah aku pikirkan sambil jalan. Cari pegawai yang jujur juga tidak mudah. Perlu kehati-hatian, supaya usahaku tidak gulung tikar. Meskipun jualan remeh, bagi pandangan sebagian orang. Tapi bagiku sangat menyenangkan. Tapi tidak perlu berkecil hati, yang penting halal.Besok adalah waktunya Bang Jun pulang. Aku segera memasukkan meja ke dalam, biar Bang Jun tidak curiga. Kalau Bang Jun tahu, ia bisa marah besar. Tak lupa aku tarok pengumuman, bahwa hari Sabtu dan Minggu libur. Supaya tidak ada pelanggan yang datang keesokan harinya. Jadi jualannya 5 hari saja, dari
Bismillahirrahmanirrahiim.Entah kenapa aku ingin menghindar darinya. Tidak ada keinginan untuk bersamanya. Tak ada kerinduan sedikitpun, padahal kami telah terpisah jarak. Memasak itu hanya alasan untuk menjauh darinya. Kegiatan memasak itu telah selesai, sebelum dia datang tadi.“Kamu masak apa? Tidak ada bau apa -apa ini.” Protes lelaki itu menyusulku ke dapur. Aku pikir ia akan melepaskan rindu untuk anak-anaknya, ternyata tidak. “Eh! Iya tadi masak sudah selesai, hanya memastikan kompor sudah kumatikan apa belum, kayaknya sudah, lupa,” jawabku berkelit seraya cengengesan. Akhirnya dengan langkah berat kucoba mendekat dan kembali melangkah ke ruang keluarga. Duduk menemaninya sambil minum teh yang aku suguhkan.Bila tidak ingat Nisa dan Dio kehilangan sosok ayah, rasanya aku mau berpisah saja dengannya. Untuk apa bersama, kalau hanya makan hati dan sakit hati serta lelah hayati.Aku lebih banyak diam. Sedangkan Nisa dan Dio tidak berhenti berceloteh melepas kangen dengan ayahny
Bismillahirrahmanirrahiim.Entah kenapa aku ingin menghindar darinya. Tidak ada keinginan untuk bersamanya. Tak ada kerinduan sedikitpun, padahal kami telah terpisah cukup lama. Seminggu itu bukan waktu yang pendek untuk menjalani kehidupan terpisah sebagai pasangan suami istri. Harusnya kerinduan itu berpusat padanya. Harusnya kami melepaskan hasrat yang tertahan sekian hari. Memasak itu hanya alasan untuk menjauh darinya. Kegiatan memasak itu telah selesai, sebelum dia datang tadi.“Kamu masak apa? Tidak ada bau apa -apa ini.” Protes lelaki itu menyusulku ke dapur. Aku pikir ia akan melepaskan rindu untuk anak-anaknya, ternyata tidak. “Eh! Iya tadi masak sudah selesai, hanya memastikan kompor sudah kumatikan apa belum, kayaknya sudah, lupa,” jawabku berkelit seraya cengengesan. Akhirnya dengan langkah berat kucoba mendekat dan kembali melangkah ke ruang keluarga. Ia mengikuti dari belakang. Aku langsung duduk supaya dia tidak curiga, duduk menemaninya sambil minum teh yang aku
Bismillahirrahmanirrahim.“Nanti ibu dijemput si Zaki, kamu tenang saja, tidak perlu khawatir. Apa kamu tidak sebaiknya ikut ibu pulang. Nanti menginap di sana selama seminggu. Biar ibu minta Juna menjemput kalian ke sana. Sudah lama juga-kan kalian tidak menginap di rumah sana."Tuh benar dugaanku, ibu pasti mengajakku serta. Duh jadi tambah ribet, ditolak gak enak, diterima, juga bermasalah. Bagaimana dengan daganganku yang baru saja dimulai, bisa-bisa aku mengecewakan pelanggan. Belum apa-apa, sudah main tutup saja."Mau Ma, mau," sahut Nisa tiba-tiba. Aku mengerti Nisa pasti kangen kakeknya. Sejak Bang Juna kerja di kota dan pulang satu kali dalam seminggu, kami tidak pernah lagi menginap di rumah ibu. Aku tidak mungkin bisa mengabulkan permintaan ibu, bagaimana dengan usaha yang baru saja kurintis. Masa ditutup, kasihan pelanggan dong kalau begitu.“Maaf Bu, aku mau saja ikut ibu. Tapi Nisa-kan sekolah. Tidak mungkin minta izin meninggalkan sekolah selama seminggu. Aku nanti jeng
Bismillahirrahmanirrahiim.Jangan lupa klik tombol berlangganan ya, terima kasih atas pengertiannya.Selamat membaca.“Tenang Bu Arini, rahasia itu aman di saya.”“Pasti Bu Marni, saya percaya, ibu tentu bisa menjaga rahasi-...” Perkataanku mendadak terjeda, ketika tiba-tiba terdengar seperti benda jatuh, spontan aku dan Bu Marni menoleh ke asal suara.“Jangan-jangan ada yang menguping pembicaraan kita Bu Arini. Jika benar, kalau nanti rahasia ini terbongkar, tolong jangan salahkan saya,” pinta Bu Marni khawatir sekaligus takut.“Baik Bu Marni, aku percaya ibu 100 persen. Tapi siapa yang berani mengintip kita ya. Lagian ini juga sudah malam.”“Buruan cek Bu Arini, siapa tahu orangnya belum jauh.” Perkataan Bu Marni menyadarkan ke-bengonganku. Meskipun terlambat tidak apa-apa, siapa tahu benar orang itu belum jauh.Aku segera berlari mengecek ke luar, mau lihat siapa yang berani menguping percakapanku dengan Bu Marni. Sesampainya di pintu tidak ada siapa-siapa. Tapi kembang dekat teras
Bismillahirrahmanirrahim.Ucapan terakhir Bu Mita menyentil hatiku. Apa mungkin Bang Jun juga punya wanita lain di kota. Bukan tidak mungkin bukan? Karena sifatnya jauh berbeda. Mana ada lelaki yang tahan hasratnya tidak tersalurkan. Mendadak hatiku sakit dan hancur, bila kenyataan itu benar. Aku harus siap dengan segala kemungkinan yang ada.“Bu Arini kok melamun? Apa perkataan saya menyinggung ibu.”Aku segera tersadar dari lamunan. “Oh, eh tidak Bu Mita. Maaf tadi saya sempat kaget dengar perkataan ibu, kalau suami ibu selingkuh. Benarkah itu? Atau hanya gosip miring belaka,” ucapku menyangsikan. Aku ragu dengan perkataan bu Mita.Rasanya kok tidak percaya, orang yang sudah mengikat janji suci berani menodai ikatan pernikahan dengan perselingkuhan. Apakah mereka tidak berpikir dua kali apa dampak terhadap keluarga kedua belah pihak, apalagi bagi mereka yang memiliki keturunan. Semudah itukah menikah kemudian cerai lalu menikah lagi. Tak bisakah memiliki pasangan seumur hidup. Walla