Share

SSUP Part 02

Bismillahirrahmanirrahim.

Beberapa bulan sebelumnya.

Bang Jun suamiku tengah berkemas, setiap hari Sabtu ia pulang ke rumah. Minggu pagi ia pergi lagi bekerja menjadi sopir keluarga kaya di kota. Pekerjaan itu dilakoninya semenjak satu tahun yang lalu. Selama satu tahun itu pula kami terpisah jarak. Demi memenuhi kebutuhan keluarga, aku menerima saja dengan lapang dada, meskipun harus hidup berjauhan. Aku pasrah saja. Apa yang bisa aku lakukan, selain menerima. Aku hanya ibu rumah tangga yang tidak punya penghasilan. Hidupku tergantung padanya.

Aku juga tidak memiliki keahlian apapun, selain masakan ku yang dibilang orang enak.

Bang Jun telah selesai berkemas dan bersiap untuk pergi ke kota tempat ia mencari nafkah. Untuk berkemas pun, bang Jun selalu melakukannya sendiri. Katanya, aku tidak bisa mengurusnya, ada saja arang yang ketinggalan katanya. Terlihat ia merogoh kantong celananya, mengeluarkan uang dan menyerahkan padaku.

“Dek, ini uang belanja untuk bulan ini.” Bang Jun menyodorkan uang merah ke tanganku. Setiap awal bulan, Bang Jun memang memberiku uang, meskipun ia pulang tiap Minggu. Aku segera meraihnya dengan perasaan setengah seneng, terasa tipis dari sebelumnya. Segera saja kuhitung uang itu. Benar dugaan ku, nilainya tidak lagi sama seperti bulan lalu.

Aku tentu heran menerimanya, semakin ke sini uang belanja yang ia berikan semakin berkurang jumlahnya. Apa ini yang ia dapat dari kota, atau teman sekerjanya mempengaruhinya. Kenapa dia berubah? banyak tanya muncul dibenakku.

Aku tatap lelaki di depanku dengan tatapan nanar. Tak percaya rasanya, bila ia kini semakin perhitungan saja

“Ndak salah Bang? Kenapa cuma segini? Mana cukup untuk biaya kita semuanya." ucapku heran sekaligus bingung.

“Terpaksa kali ini Abang  potong, bisa jadi untuk selamanya. Kamu tidak bisa mengatur dengan benar. Kamu itu boros. Daripada Abang capek cari uang, tapi tidak kelihatan wujudnya, mending Abang yang tabung sendiri."

Seketika aku membelalakkan mata. Boros! Aku boros katanya. Ya Allah ujian apa lagi ini. Jelas saja uang itu kurang, semua pos harus terpenuhi dari uang itu. Mana cukup uang 1 juta untuk biaya semua keperluan, mulai dari bayar listrik, beli sembako dan biaya sekolah Nisa.

Tak terima dengan ucapannya, aku pun menanyakan perihal tuduhannya itu.

“Boros gimana Bang?”

“Iya kamu itu tidak bisa mengatur pengeluaran dengan benar. Seharusnya uang 1 juta itu cukup untuk membiayai kebutuhan kita. Uang itu hanya untuk kalian bertiga, masak tidak cukup sih,” sambung Bang Jun lagi.

"Sementara aku hanya makan di hari Sabtu dan Minggu pagi doang. Sisanya buat kalian semua. Pintar-pintarlah mengatur uang, cari uang itu tidak mudah." 

“Selama 1 tahun ini Abang tidak di sini, seharusnya uang itu bersisa. Kamu malah minta tambah, Makanya Abang bilang kamu boros menggunakannya, tidak bijak mengatur dan mengelola uang. Kamu pikir cari uang itu gampang?” sambungnya tanpa mau memikirkan akibat dari sikapnya.

Siapa bilang cari uang itu mudah, aku tahu diri. Supaya tidak menyusahkannya lagi, mending tolak sekalian. Lihat saja Bang, bulan depan kupastikan menolak uangmu. Tapi kali ini aku terpaksa menerima, karena aku belum memiliki pekerjaan.

Iya, aku teringat bulan lalu meminta tambahan uang belanja, karena selalu saja pada Minggu terakhir itu uangku hanya sisa 20.000 agar cukup, aku meminta tambahan 200 ribu. Bang Jun menyetujui ketika itu.

“Biaya hidup sekarang itu besar Bang, coba saja Abang hitung?” sahutku menampik dibilang boros.

“Halah... Jangan banyak alasan, kamu saja yang tidak becus mengaturnya. Jangan-jangan uang itu kamu sisihkan sebagian untuk ibumu.”

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status