Bismillahirrahmanirrahim.
“Halah... Jangan banyak alasan, kamu saja yang tidak becus mengaturnya. Jangan-jangan uang itu kamu sisihkan sebagian untuk ibumu. Benarkan dugaanku," seru Bang Jun menuduhku tanpa bukti. Whats? Sisihkan untuk ibu? Mana pernah aku memberi uang pada ibu, justru ibu yang sering memberi Nisa dan Dio secara diam-diam. Aku malu pada ibu, tidak pernah menyelipkan uang ke tangannya. Setiap kali ibu datang, selalu tangan keriputnya itu menyelipkan uang ke tangan cucunya. Alih-alih untuk jajan cucu katanya, padahal ibu tahu aku sering kekurangan. Sering aku tolak, ibu malah sedih. Sejak saat itu aku tidak pernah menolak lagi bantuan dari ibu.Sekarang, dengan seenak perutnya, Bang Jun menuduhku menyisihkan sebagian uang itu untuk ibuku. Sungguh kejam dan terlalu kamu Bang. Pikiranmu sungguh sempit Bang!“Jangan menuduh sembarangan Bang, kapan aku kasih uang ke ibu? Untuk memenuhi kebutuhan kita saja masih kurang, Terus bagaimana caraku kasih ibu! Jangan menuduhku sembarangan."“Bisa saja-kan, setelah aku pergi, kamu buru-buru temui ibumu lalu kasih uang? Makanya kamu selalu bilang uang itu kurang. Kamu tidak bersyukur, sudah hidup enak masih saja mengeluh.”Hidup enak? Enak dari Hongkong. Bisa-bisanya Bang Jun bilang selama ini aku tidak pernah bersyukur.Aku diam mematung mendengar ucapan Bang Jun, percuma berdebat. Dengan berat hati kuterima saja uang 500 ribu itu dengan perasaan kecewa dan marah dalam dada. Rasanya mau kubalikin saja uang itu padanya. Uang 1 juta saja aku sudah kerepotan mengaturnya, apa tah sekarang dikurangi. Entah bagaimana caraku mengatur uang itu untuk sebulan.“Abang berangkat! Hati-hati di rumah!” Ucapan Bang Jun tak lagi kuhiraukan. Geram rasanya bila diperlakukan begini, aku seperti seorang pengemis di hadapannya. Dulu bang Jun adalah lelaki penuh tanggung jawab, sejak kami berjauhan, Bang Jun terlihat berbeda. Apa mungkin ada perempuan lain yang menarik hatinya. Ah! Pikiran buruk ini kenapa muncul di saat yang tidak tepat. Rasanya tak mungkin Bang Jun berpaling ke lain hati. Melihat sikap dan kasih sayangnya selama ini.Pernikahan kami bukan pernikahan seumur jagung. Kami telah mengarungi riak gelombang rumah tangga hampir mendekati angka 10 tahun. Selama itu Bang Jun adalah suami yang penyayang. Ya, aku ingat betul, setahun terakhir ini saja, Bang Jun mulai perhitungan dengan uang.Aku segera berlalu ke kamar, menyimpannya di lemari. Dua bulir air mata lolos begitu saja, membayangkan uang 500 ribu untuk biaya kami bertiga selama 1 bulan ke depan. Sungguh tega kamu Bang! Aku kira aku akan mendapatkan tambahan 200 ribu seperti yang telah ia janjikan bulan lalu. Bukannya dapat tambahan malah berkurang. Menyesal aku minta tambah, jika tahu begini jadinya.Aku duduk mendesah di pinggiran tempat tidur. Apa yang bisa kulakukan agar uang 500 ribu itu beranak pinak. Kujadikan modal usaha, tapi usaha apa dengan modal minim.Aku pandangi Dio yang tengah tidur, anak sekecil ini hanya taunya minta jajan. Kalau tidak diberi, maka Dio akan menangis sepanjang hari. Nasehatku berlalu bagaikan diterbang angin. Aku selalu berusaha menjelaskan padanya, agar tidak minta jajan terus menerus. Tapi namanya anak kecil mana mengerti. Mana mau tahu. yang penting jajannya terpenuhi.Ya, aku tidak bisa begini terus. Aku harus bekerja sambil mengurus rumah dan tetap bisa menjaga Dio. Aku harus siap dengan kemungkinan terburuk nantinya. Apa lagi setelah melihat perubahan Bang Jun, yang mulai memprihatinkan. Tengah pikiran melalang buana kian kemari, muncul putri sulungku Nisa yang baru pulang dari bermain. Nisa, usianya 8 tahun. gadis kecil kebanggaan dan kesayanganku. anak sekecil ini sudah dituntut untuk mengerti kondisi keuangan mamanya. tidak banyak menuntut ini dan itu.“Ma, kata Wak Depi mama jualan gorengan saja. Tadi katanya gorengan yang Nisa makan enak.”“Emang tadi Wak Depi makan bakwan buatan Mama?”“Iya Ma, tadi sebelum main aku bawa 2 biji. Satunya aku kasih Ica. Nah Ica membaginya dengan Wak Depi." Nisa cerita dengan penuh semangat, itulah kelebihan Nisa dia paham dan tahu apa yang dialami mamanya.Aku sering memberi pengertian pada Nisa, kenapa tidak boleh jajan banyak-banyak, karena uang mamanya ini sedikit.Aku lebih sering membuat makanan ringan, supaya mereka tidak terus minta uang jajan. Alhamdulillah Nisa cukup mengerti, karena usianya sudah cukup besar. Tapi Dio masih terlalu kecil, mana mengerti nasehatku.Seketika muncul ide di kepalaku, dengan jual gorengan memang tidak butuh modal besar. Aku bisa jualan di depan rumah saja. Lagian banyak orang yang berlalu lalang. Tarok meja di teras. Dengan begini, aku tidak kesulitan lagi untuk membiayai hidupku, Nisa dan adeknya Dio yang berusia sekitar 3 tahun. Mereka bisa jajan sepuasnya. Mudah-mudahan saja daganganku laku keras. Semoga bisa aku sisihkan sedikit demi sedikit untuk ibu. Itulah keingian terbesarku saat ini.“Baiklah, mulai besok mama mau jual gorengan. Nisa mau bantuin mama tidak?”“Mau, mau Ma.” Ucap Nisa senang jingkrak-jingkrak kegirangan, rambut Nisa yang dikuncir kuda ikut bergoyang karenanya. aku hanya tersenyum bahagia melihat Nisa tertawa.Kuelus pucuk kepala Nisa dengan sayang, kuciumi pipinya tiada henti, anak yang kusayangi sepenuh hati dengan harapan besar tersemat dalam dada. Semoga putriku menjadi anak yang selalu berbakti pada orang tua. Menjadi Dokter seperti keinginannya. Semoga saja suatu saat impiannya tercapai.Bersambung...Bismillahirrahmanirrahim.“Jangan lupa klik tombol berlangganan ya.“Baiklah mulai besok Mama mau jual gorengan. Nisa mau bantu Mama tidak?”“Mau, mau Ma.” Ucap Nisa senang. Gadis kecil itu loncat-loncat kegirangan. Aku tersenyum lebar, kebahagiaannya pelipur lara bagiku. Hilang rasanya semua beban berat yang kupikul. Bagiku, kehadiran Nisa itu ibarat oase di gurun pasir. Menyejukkan dan menentramkan hati yang sedang gundah gulana.“Emang Nisa tidak malu punya Mama penjual gorengan?” tanyaku memastikan. Aku tidak mau nanti Nisa rendah diri, lalu mengurung diri di kamar akibat rasa malu. Apalagi bila ada temannya yang melihat pekerjaanku.Nisa menggeleng cepat. “Untuk apa malu, temanku ada yang jualan di sekolah.”“Hah! Benarkah, jualan apa?” tanyaku tidak percaya.“Itu, pembatas buku,” sahutnya menatapku, seraya mengedipkan mata.“Pembatas buku-kan beda sama gorengan, lebih bersih gak ada noda minyak.”“Kan yang jualan Mama, bukan aku, kenapa pusing, kenapa harus malu. Kalau mama menc
Bismillahirrahmanirrahim.Seminggu pun berlalu, daganganku selalu habis bahkan cenderung kurang. Aku harus tambah dagangan, supaya tidak mengecewakan pelanggan. Tapi aku tidak bisa mengerjakan sendiri, aku butuh bantuan tenaga orang lain. Aku tidak menyangka daganganku laris manis. Mungkin inilah rezeki Nisa dan Dio, yang tidak bisa dipenuhi oleh ayahnya. Asal mau usaha, pasti ada hasilnya. Senyumku merekah seketika.Nantilah aku pikirkan sambil jalan. Cari pegawai yang jujur juga tidak mudah. Perlu kehati-hatian, supaya usahaku tidak gulung tikar. Meskipun jualan remeh, bagi pandangan sebagian orang. Tapi bagiku sangat menyenangkan. Tapi tidak perlu berkecil hati, yang penting halal.Besok adalah waktunya Bang Jun pulang. Aku segera memasukkan meja ke dalam, biar Bang Jun tidak curiga. Kalau Bang Jun tahu, ia bisa marah besar. Tak lupa aku tarok pengumuman, bahwa hari Sabtu dan Minggu libur. Supaya tidak ada pelanggan yang datang keesokan harinya. Jadi jualannya 5 hari saja, dari
Bismillahirrahmanirrahiim.Entah kenapa aku ingin menghindar darinya. Tidak ada keinginan untuk bersamanya. Tak ada kerinduan sedikitpun, padahal kami telah terpisah jarak. Memasak itu hanya alasan untuk menjauh darinya. Kegiatan memasak itu telah selesai, sebelum dia datang tadi.“Kamu masak apa? Tidak ada bau apa -apa ini.” Protes lelaki itu menyusulku ke dapur. Aku pikir ia akan melepaskan rindu untuk anak-anaknya, ternyata tidak. “Eh! Iya tadi masak sudah selesai, hanya memastikan kompor sudah kumatikan apa belum, kayaknya sudah, lupa,” jawabku berkelit seraya cengengesan. Akhirnya dengan langkah berat kucoba mendekat dan kembali melangkah ke ruang keluarga. Duduk menemaninya sambil minum teh yang aku suguhkan.Bila tidak ingat Nisa dan Dio kehilangan sosok ayah, rasanya aku mau berpisah saja dengannya. Untuk apa bersama, kalau hanya makan hati dan sakit hati serta lelah hayati.Aku lebih banyak diam. Sedangkan Nisa dan Dio tidak berhenti berceloteh melepas kangen dengan ayahny
Bismillahirrahmanirrahiim.Entah kenapa aku ingin menghindar darinya. Tidak ada keinginan untuk bersamanya. Tak ada kerinduan sedikitpun, padahal kami telah terpisah cukup lama. Seminggu itu bukan waktu yang pendek untuk menjalani kehidupan terpisah sebagai pasangan suami istri. Harusnya kerinduan itu berpusat padanya. Harusnya kami melepaskan hasrat yang tertahan sekian hari. Memasak itu hanya alasan untuk menjauh darinya. Kegiatan memasak itu telah selesai, sebelum dia datang tadi.“Kamu masak apa? Tidak ada bau apa -apa ini.” Protes lelaki itu menyusulku ke dapur. Aku pikir ia akan melepaskan rindu untuk anak-anaknya, ternyata tidak. “Eh! Iya tadi masak sudah selesai, hanya memastikan kompor sudah kumatikan apa belum, kayaknya sudah, lupa,” jawabku berkelit seraya cengengesan. Akhirnya dengan langkah berat kucoba mendekat dan kembali melangkah ke ruang keluarga. Ia mengikuti dari belakang. Aku langsung duduk supaya dia tidak curiga, duduk menemaninya sambil minum teh yang aku
Bismillahirrahmanirrahim.“Nanti ibu dijemput si Zaki, kamu tenang saja, tidak perlu khawatir. Apa kamu tidak sebaiknya ikut ibu pulang. Nanti menginap di sana selama seminggu. Biar ibu minta Juna menjemput kalian ke sana. Sudah lama juga-kan kalian tidak menginap di rumah sana."Tuh benar dugaanku, ibu pasti mengajakku serta. Duh jadi tambah ribet, ditolak gak enak, diterima, juga bermasalah. Bagaimana dengan daganganku yang baru saja dimulai, bisa-bisa aku mengecewakan pelanggan. Belum apa-apa, sudah main tutup saja."Mau Ma, mau," sahut Nisa tiba-tiba. Aku mengerti Nisa pasti kangen kakeknya. Sejak Bang Juna kerja di kota dan pulang satu kali dalam seminggu, kami tidak pernah lagi menginap di rumah ibu. Aku tidak mungkin bisa mengabulkan permintaan ibu, bagaimana dengan usaha yang baru saja kurintis. Masa ditutup, kasihan pelanggan dong kalau begitu.“Maaf Bu, aku mau saja ikut ibu. Tapi Nisa-kan sekolah. Tidak mungkin minta izin meninggalkan sekolah selama seminggu. Aku nanti jeng
Bismillahirrahmanirrahiim.Jangan lupa klik tombol berlangganan ya, terima kasih atas pengertiannya.Selamat membaca.“Tenang Bu Arini, rahasia itu aman di saya.”“Pasti Bu Marni, saya percaya, ibu tentu bisa menjaga rahasi-...” Perkataanku mendadak terjeda, ketika tiba-tiba terdengar seperti benda jatuh, spontan aku dan Bu Marni menoleh ke asal suara.“Jangan-jangan ada yang menguping pembicaraan kita Bu Arini. Jika benar, kalau nanti rahasia ini terbongkar, tolong jangan salahkan saya,” pinta Bu Marni khawatir sekaligus takut.“Baik Bu Marni, aku percaya ibu 100 persen. Tapi siapa yang berani mengintip kita ya. Lagian ini juga sudah malam.”“Buruan cek Bu Arini, siapa tahu orangnya belum jauh.” Perkataan Bu Marni menyadarkan ke-bengonganku. Meskipun terlambat tidak apa-apa, siapa tahu benar orang itu belum jauh.Aku segera berlari mengecek ke luar, mau lihat siapa yang berani menguping percakapanku dengan Bu Marni. Sesampainya di pintu tidak ada siapa-siapa. Tapi kembang dekat teras
Bismillahirrahmanirrahim.Ucapan terakhir Bu Mita menyentil hatiku. Apa mungkin Bang Jun juga punya wanita lain di kota. Bukan tidak mungkin bukan? Karena sifatnya jauh berbeda. Mana ada lelaki yang tahan hasratnya tidak tersalurkan. Mendadak hatiku sakit dan hancur, bila kenyataan itu benar. Aku harus siap dengan segala kemungkinan yang ada.“Bu Arini kok melamun? Apa perkataan saya menyinggung ibu.”Aku segera tersadar dari lamunan. “Oh, eh tidak Bu Mita. Maaf tadi saya sempat kaget dengar perkataan ibu, kalau suami ibu selingkuh. Benarkah itu? Atau hanya gosip miring belaka,” ucapku menyangsikan. Aku ragu dengan perkataan bu Mita.Rasanya kok tidak percaya, orang yang sudah mengikat janji suci berani menodai ikatan pernikahan dengan perselingkuhan. Apakah mereka tidak berpikir dua kali apa dampak terhadap keluarga kedua belah pihak, apalagi bagi mereka yang memiliki keturunan. Semudah itukah menikah kemudian cerai lalu menikah lagi. Tak bisakah memiliki pasangan seumur hidup. Walla
Bismillahirrahmanirrahiim.“Ouh pantes saja pelangganku lari ke sini semua, pelet apa yang kamu gunakan Arini, sehingga semua orang berkerumun kayak semut begini.” Tanpa kuduga, seorang wanita berteriak dan mengeluarkan tuduhan tidak masuk akal padaku. Aku jelas terpana dan terperanjat kaget.Aku yang tengah membungkus pesanan Bu Ratna mengernyitkan kening. Sesaat pergerakan tanganku terhenti, netraku mengarah pada perempuan yang sedang berkacak pinggang itu.Kulihat napasnya menderu kencang, rambut awut-awutan diterbangkan angin. Matanya melotot tajam padaku. Rasanya ingin kuberlari menghindar, bila perlu sembunyi ke lubang semut, dari pada dapat amukan tidak jelas begini.“Apa maksud Bu Nuri,” tanyaku dengan wajah bingung. Dengan keberanian yang dipaksakan, aku dongakkan kepala menatapnya.“Kamu masih nanya apa maksudku?” balas perempuan itu sengit. Sekarang matanya melotot tajam, seakan hendak melahapku hidup-hidup.Beberapa pembeli yang masih antri, sebagian tengah memakan bakwan