Share

SSUM Part 03

Author: Firdawati
last update Last Updated: 2022-09-26 12:10:46

Bismillahirrahmanirrahim.

“Halah... Jangan banyak alasan, kamu saja yang tidak becus mengaturnya. Jangan-jangan uang itu kamu sisihkan sebagian untuk ibumu. Benarkan dugaanku," seru Bang Jun menuduhku tanpa bukti. 

Whats? Sisihkan untuk ibu? Mana pernah aku memberi uang pada ibu, justru ibu yang sering memberi Nisa dan Dio secara diam-diam. 

Aku malu pada ibu, tidak pernah menyelipkan uang ke tangannya. Setiap kali ibu datang, selalu tangan keriputnya itu menyelipkan uang ke tangan cucunya. Alih-alih untuk jajan cucu katanya, padahal ibu tahu aku sering kekurangan. Sering aku tolak, ibu malah sedih. Sejak saat itu aku tidak pernah menolak lagi bantuan dari ibu.

Sekarang, dengan seenak perutnya, Bang Jun menuduhku menyisihkan sebagian uang itu untuk ibuku. Sungguh kejam dan terlalu kamu Bang. Pikiranmu sungguh sempit Bang!

“Jangan menuduh sembarangan Bang, kapan aku kasih uang ke ibu? Untuk memenuhi kebutuhan kita saja masih kurang, Terus bagaimana caraku kasih ibu! Jangan menuduhku sembarangan."

“Bisa saja-kan, setelah aku pergi, kamu buru-buru temui ibumu lalu kasih uang? Makanya kamu selalu bilang uang itu kurang. Kamu tidak bersyukur, sudah hidup enak masih saja mengeluh.”

Hidup enak? Enak dari Hongkong. Bisa-bisanya Bang Jun bilang selama ini aku tidak pernah bersyukur.

Aku diam mematung mendengar ucapan Bang Jun, percuma berdebat. Dengan berat hati kuterima saja uang 500 ribu itu dengan perasaan kecewa dan marah dalam dada. Rasanya mau kubalikin saja uang itu padanya. Uang 1 juta saja aku sudah kerepotan mengaturnya, apa tah sekarang dikurangi. Entah bagaimana caraku mengatur uang itu untuk sebulan.

“Abang berangkat! Hati-hati di rumah!” Ucapan Bang Jun tak lagi kuhiraukan. Geram rasanya bila diperlakukan begini, aku seperti seorang pengemis di hadapannya. Dulu bang Jun adalah lelaki penuh tanggung jawab, sejak kami berjauhan, Bang Jun terlihat berbeda. Apa mungkin ada perempuan lain yang menarik hatinya. Ah! Pikiran buruk ini kenapa muncul di saat yang tidak tepat. Rasanya tak mungkin Bang Jun berpaling ke lain hati. Melihat sikap dan kasih sayangnya selama ini.

Pernikahan kami bukan pernikahan seumur jagung. Kami telah mengarungi riak gelombang rumah tangga hampir mendekati angka 10 tahun. Selama itu Bang Jun adalah suami yang penyayang. Ya, aku ingat betul, setahun terakhir ini saja, Bang Jun mulai perhitungan dengan uang.

Aku segera berlalu ke kamar, menyimpannya di lemari. Dua bulir air mata lolos begitu saja, membayangkan uang 500 ribu untuk biaya kami bertiga selama 1 bulan ke depan. Sungguh tega kamu Bang! Aku kira aku akan mendapatkan tambahan 200 ribu seperti yang telah ia janjikan bulan lalu. Bukannya dapat tambahan malah berkurang. Menyesal aku minta tambah, jika tahu begini jadinya.

Aku duduk mendesah di pinggiran tempat tidur. Apa yang bisa kulakukan agar uang 500 ribu itu beranak pinak. Kujadikan modal usaha, tapi usaha apa dengan modal minim.

Aku pandangi Dio yang tengah tidur, anak sekecil ini hanya taunya minta jajan. Kalau tidak diberi, maka Dio akan menangis sepanjang hari. Nasehatku berlalu bagaikan diterbang angin. Aku selalu berusaha menjelaskan padanya, agar tidak minta jajan terus menerus. Tapi namanya anak kecil mana mengerti. Mana mau tahu. yang penting jajannya terpenuhi.

Ya, aku tidak bisa begini terus. Aku harus bekerja sambil mengurus rumah dan tetap bisa menjaga Dio. Aku harus siap dengan kemungkinan terburuk nantinya. Apa lagi setelah melihat perubahan Bang Jun, yang mulai memprihatinkan. 

Tengah pikiran melalang buana kian kemari,  muncul putri sulungku Nisa yang baru pulang dari bermain. Nisa, usianya 8 tahun. gadis kecil kebanggaan dan kesayanganku. anak sekecil ini sudah dituntut untuk mengerti kondisi keuangan mamanya. tidak banyak menuntut ini dan itu.

“Ma, kata Wak Depi mama jualan gorengan saja. Tadi katanya gorengan yang Nisa makan enak.”

“Emang tadi Wak Depi makan bakwan buatan Mama?”

“Iya Ma, tadi sebelum main aku bawa 2 biji. Satunya aku kasih Ica. Nah Ica membaginya dengan Wak Depi." Nisa cerita dengan penuh semangat, itulah kelebihan Nisa dia paham dan tahu apa yang dialami mamanya.

Aku sering memberi pengertian pada Nisa, kenapa tidak boleh jajan banyak-banyak, karena uang mamanya ini sedikit.

Aku lebih sering membuat makanan ringan, supaya mereka tidak terus minta uang jajan. Alhamdulillah Nisa cukup mengerti, karena usianya sudah cukup besar. Tapi Dio masih terlalu kecil, mana mengerti nasehatku.

Seketika muncul ide di kepalaku, dengan jual gorengan memang tidak butuh modal besar. Aku bisa jualan di depan rumah saja. Lagian banyak orang yang berlalu lalang. Tarok meja di teras. Dengan begini, aku tidak kesulitan lagi untuk membiayai hidupku, Nisa dan adeknya Dio yang berusia sekitar 3 tahun. Mereka bisa jajan sepuasnya. Mudah-mudahan saja daganganku laku keras. Semoga bisa aku sisihkan sedikit demi sedikit untuk ibu. Itulah keingian terbesarku saat ini.

“Baiklah, mulai besok mama mau jual gorengan. Nisa mau bantuin mama tidak?”

“Mau, mau Ma.” Ucap Nisa senang jingkrak-jingkrak kegirangan, rambut Nisa yang dikuncir kuda ikut bergoyang karenanya. aku hanya tersenyum bahagia melihat Nisa tertawa.

Kuelus pucuk kepala  Nisa dengan sayang,  kuciumi pipinya tiada henti, anak yang kusayangi sepenuh hati dengan harapan besar tersemat dalam dada. Semoga putriku menjadi anak yang selalu berbakti pada orang tua. Menjadi Dokter seperti keinginannya. Semoga saja suatu saat impiannya tercapai.

Bersambung...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Simpan Saja Uangmu Mas   SSUM Part 49

    Bismillahirrahmanirrahim.“Kenapa ya Mit, Bang Juna melakukan ini padaku.”“Tentu saja ia ingin hidup enak denganmu. Sejarah, sekarang ini kamu wanita karier berpenghasilan besar. Tentu rugi bagi Juna itu berpisah denganmu."“Tapi, apa harus dengan cara mengambil paksa Nisa dariku, sehingga membuatku urung bercerai darinya. Itu membuatku semakin ilfil dan benci padanya.”“Jangan heran, uang bisa mengubah perilaku orang Rin, termasuk suamimu itu.”Aku mengangguk menanggapi perkataan Mita, ada benarnya juga sih. Aku tak heran, sejak ibu tahu aku memiliki usaha kafe itu, sifatnya mulai berubah. Percuma ibu mengambil hatiku sekarang, karena sudah tidak ada gunanya. Ibarat kata orang, sudah terlambat. Hatiku terlanjur sakit dan mati rasa.Suasana hening sejenak, kami sibuk dengan pikiran masing-masing.“Eh Arini, aku ada ide. Bagaimana kalau sementara ini, kita biarkan saja Nisa tinggal sama ayahnya. Paling juga tidak bertahan lama, sejarah lelaki itu pasti akan terbebani dengan mengurus N

  • Simpan Saja Uangmu Mas   SSUM Part 48

    Bismillahirrahmanirrahim.Hampir setengah jam aku berdiri terpaku di depan mobil, namun Nisa tidak kelihatan juga batang hidungnya. Kenapa lama sekali anak itu muncul, apa ia sedang menangis lagi di kelas? Kayak waktu itu, batinku dalam hati. Sementara anak-anak yang lain sudah pulang dari tadi. Sekolah juga sudah mulai sepi. Aku jadi khawatir dibuatnya. Salahku juga sih tadi, datang terlambat. Bukan disengaja, tapi saat akan berangkat, Dio ingin pipis lebih dulu. Aku hanya telat 10 menit, kok bisa-bisanya Nisa tidak ada di sekolah. Aku semakin gelisah tak karuan.Apa Bang Juna yang menjemputnya lalu membawanya kabur. Kepanikan melandaku sesaat. ‘Ya Allah lindungi anakku.’ Bisikku dalam hati.Dengan langkah cepat seakan hendak berlari, aku meluncur ke gerbang sekolah. Lalu terus berjalan menuju ruang kelas, sesampainya di sana ruangan itu kosong melompong tanpa penghuni. Terus Nisa di mana? Tidak ada siapa pun tempat untuk bertanya. Aku beralih ke ruang guru dan menanyakan keberadaa

  • Simpan Saja Uangmu Mas   SSUM Part 47

    Bismillahirrahmanirrahim.Hari demi hari terus berganti, tak terasa tiba saatnya bagiku melakukan tes DNA ulang terhadap bayi Mbak Zara dan Bang Juna. Aku sendiri yang turun tangan, biar lebih yakin. Supaya tidak ada lagi kecurigaan dan keterangan yang berbeda. Jangan sampai kali ini ada kekeliruan. Itu tidak akan kubiarkan terjadi, kudu hati-hati.Setengah jam yang lalu, aku telah berada di sini. Memastikan semuanya berjalan lancar. Mbak Zara juga sudah aku beritahu, sekalian sharelok tempat tes dilaksanakan. Begitu juga dengan Bang Juna. Pasangan yang bertolak belakang itu kini seperti orang kayak musuhan saja. Padahal sebelumnya mereka telah melewati malam yang dingin untuk saling menghangatkan.Apa salahnya mereka membesarkan bayi itu dengan kasih sayang yang melimpah seperti layaknya orang tua lain pada anaknya. Bukan mengingkari keberadaan bayi itu, seperti yang dilakukan Bang Juna. Habis manis sepah dibuang, begitulah ibarat peribahasa. Aku datang lebih awal dibandingkan yan

  • Simpan Saja Uangmu Mas   SSUM Part 46

    Bismillahirrahmanirrahim.“Beberapa hari yang lalu, saat jemput Nisa di sekolah. Aku tidak sengaja mendengar percakapanmu dengan seorang perempuan yang mengatakan bahwa aku ini, wanita yang tidak pandai berterima kasih, sudah ditolong malah sok jual mahal. Kalau boleh tahu, apa maksud perkataanmu waktu itu ya.” Arini memandang tak sabaran perempuan di depannya dengan rasa kepo tingkat tinggi. Wanita itu terdiam. Tak menyangka mungkin akan bertemu denganku di sini. Apalagi dengan pertanyaan to the poin yang aku lontarkan. Waktu itu jelas sekali mukanya tampak marah dan kesal. Apa ia tidak salah orang? Bagaimana bisa perkataannya itu dialamatkan padaku. Apa salahku? Jadi wajar bukan? Kalau aku bertanya. “Bisa jelaskan! Biar aku tidak kepikiran.” Sambungku lagi karena wanita ini tetap bungkam tanpa berkomentar apa pun. Sedangkan aku, sudah tak sabaran ingin mendengar langsung penjelasannya.Dret, dret.Tiba-tiba ponsel wanita itu berbunyi. Tanpa menjawab pertanyaanku, wanita itu langsu

  • Simpan Saja Uangmu Mas   SSUM Part 45

    "Baiklah, jika itu yang kamu mau. Kita lakukan tes ulang, di mana tempatnya?" ucap ibu yakin. Tidak terlihat gentar dan takut, bila hasilnya tidak memihak padanya. Ibu sangat percaya diri nampaknya. Gantian aku yang gelisah, akibat terlanjur berjanji akan menerima Bang Juna seutuhnya bila hasil tes itu negatif. Sedangkan aku sangat berharap kali ini hasilnya positif. “Oh iya mengenai tempat tesnya biar ibu yang cari, kamu sangat sibuk, tentu tidak mungkin sempat—“ perkataan ibu langsung aku potong begitu saja. “Tidak Bu, tempat tes sudah aku tentuin. Pagi hari sebelum ke sana, aku info in tempatnya.”“A-apa,” tanya ibu terbata-bata.“Iya Bu, mengenai tempatnya ibu tidak perlu repot, aku sudah ada tempat untuk itu.”“Di mana?”“Pada hari H, aku akan sharelok ke ibu atau Bang Juna,” kataku datar.“Apa tidak bisa sekarang?”Aku menatap sejenak perempuan yang ada di hadapanku. Apa katanya tadi, minta share tempatnya sekarang? Yang benar saja, mana mungkin aku kasih tahu saat ini. Bisa-b

  • Simpan Saja Uangmu Mas   SSUM Part 44

    Bismillahirrahmanirrahim.Dengan kedua bukti di tangan, aku pergi sendiri ke rumah sakit, membuktikan keabsahan kedua surat itu. Untung Pak Andra memberitahuku tempat yang bisa dipercaya dan tidak mudah termakan sogokan.Sesampainya di sana, betapa terkejutnya aku. Katanya kedua surat keterangan itu sah tanpa ada pemalsuan. Kok bisa anak yang dilahirkan itu memiliki dua hasil tes yang berbeda. Rasanya kok aneh, siapa yang bisa aku percaya sekarang? Mbak Zara atau Bang Juna. Mereka berdua menunjukkan bukti yang benar.“Tidak salah apa yang dokter sampaikan, jadi kedua surat keterangan itu sah, bukan hasil rekayasa.”“Tentu saja kedua surat keterangan itu sah. Saya bisa pastikan tidak ada kekeliruan dari hasil tes itu.” Jelas Dokter seraya tersenyum ramah.“Itu tidak mungkin Dok? Satu anak memiliki dua hasil tes yang berbeda.” Ucapku menyangsikan keterangan yang dokter berikan.Dokter itu nampak mengernyit bingung, seraya berpikir.“Begini saja, tolong ceritakan lebih detail mengenai du

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status