Share

SSUM Part 03

Bismillahirrahmanirrahim.

“Halah... Jangan banyak alasan, kamu saja yang tidak becus mengaturnya. Jangan-jangan uang itu kamu sisihkan sebagian untuk ibumu. Benarkan dugaanku," seru Bang Jun menuduhku tanpa bukti. 

Whats? Sisihkan untuk ibu? Mana pernah aku memberi uang pada ibu, justru ibu yang sering memberi Nisa dan Dio secara diam-diam. 

Aku malu pada ibu, tidak pernah menyelipkan uang ke tangannya. Setiap kali ibu datang, selalu tangan keriputnya itu menyelipkan uang ke tangan cucunya. Alih-alih untuk jajan cucu katanya, padahal ibu tahu aku sering kekurangan. Sering aku tolak, ibu malah sedih. Sejak saat itu aku tidak pernah menolak lagi bantuan dari ibu.

Sekarang, dengan seenak perutnya, Bang Jun menuduhku menyisihkan sebagian uang itu untuk ibuku. Sungguh kejam dan terlalu kamu Bang. Pikiranmu sungguh sempit Bang!

“Jangan menuduh sembarangan Bang, kapan aku kasih uang ke ibu? Untuk memenuhi kebutuhan kita saja masih kurang, Terus bagaimana caraku kasih ibu! Jangan menuduhku sembarangan."

“Bisa saja-kan, setelah aku pergi, kamu buru-buru temui ibumu lalu kasih uang? Makanya kamu selalu bilang uang itu kurang. Kamu tidak bersyukur, sudah hidup enak masih saja mengeluh.”

Hidup enak? Enak dari Hongkong. Bisa-bisanya Bang Jun bilang selama ini aku tidak pernah bersyukur.

Aku diam mematung mendengar ucapan Bang Jun, percuma berdebat. Dengan berat hati kuterima saja uang 500 ribu itu dengan perasaan kecewa dan marah dalam dada. Rasanya mau kubalikin saja uang itu padanya. Uang 1 juta saja aku sudah kerepotan mengaturnya, apa tah sekarang dikurangi. Entah bagaimana caraku mengatur uang itu untuk sebulan.

“Abang berangkat! Hati-hati di rumah!” Ucapan Bang Jun tak lagi kuhiraukan. Geram rasanya bila diperlakukan begini, aku seperti seorang pengemis di hadapannya. Dulu bang Jun adalah lelaki penuh tanggung jawab, sejak kami berjauhan, Bang Jun terlihat berbeda. Apa mungkin ada perempuan lain yang menarik hatinya. Ah! Pikiran buruk ini kenapa muncul di saat yang tidak tepat. Rasanya tak mungkin Bang Jun berpaling ke lain hati. Melihat sikap dan kasih sayangnya selama ini.

Pernikahan kami bukan pernikahan seumur jagung. Kami telah mengarungi riak gelombang rumah tangga hampir mendekati angka 10 tahun. Selama itu Bang Jun adalah suami yang penyayang. Ya, aku ingat betul, setahun terakhir ini saja, Bang Jun mulai perhitungan dengan uang.

Aku segera berlalu ke kamar, menyimpannya di lemari. Dua bulir air mata lolos begitu saja, membayangkan uang 500 ribu untuk biaya kami bertiga selama 1 bulan ke depan. Sungguh tega kamu Bang! Aku kira aku akan mendapatkan tambahan 200 ribu seperti yang telah ia janjikan bulan lalu. Bukannya dapat tambahan malah berkurang. Menyesal aku minta tambah, jika tahu begini jadinya.

Aku duduk mendesah di pinggiran tempat tidur. Apa yang bisa kulakukan agar uang 500 ribu itu beranak pinak. Kujadikan modal usaha, tapi usaha apa dengan modal minim.

Aku pandangi Dio yang tengah tidur, anak sekecil ini hanya taunya minta jajan. Kalau tidak diberi, maka Dio akan menangis sepanjang hari. Nasehatku berlalu bagaikan diterbang angin. Aku selalu berusaha menjelaskan padanya, agar tidak minta jajan terus menerus. Tapi namanya anak kecil mana mengerti. Mana mau tahu. yang penting jajannya terpenuhi.

Ya, aku tidak bisa begini terus. Aku harus bekerja sambil mengurus rumah dan tetap bisa menjaga Dio. Aku harus siap dengan kemungkinan terburuk nantinya. Apa lagi setelah melihat perubahan Bang Jun, yang mulai memprihatinkan. 

Tengah pikiran melalang buana kian kemari,  muncul putri sulungku Nisa yang baru pulang dari bermain. Nisa, usianya 8 tahun. gadis kecil kebanggaan dan kesayanganku. anak sekecil ini sudah dituntut untuk mengerti kondisi keuangan mamanya. tidak banyak menuntut ini dan itu.

“Ma, kata Wak Depi mama jualan gorengan saja. Tadi katanya gorengan yang Nisa makan enak.”

“Emang tadi Wak Depi makan bakwan buatan Mama?”

“Iya Ma, tadi sebelum main aku bawa 2 biji. Satunya aku kasih Ica. Nah Ica membaginya dengan Wak Depi." Nisa cerita dengan penuh semangat, itulah kelebihan Nisa dia paham dan tahu apa yang dialami mamanya.

Aku sering memberi pengertian pada Nisa, kenapa tidak boleh jajan banyak-banyak, karena uang mamanya ini sedikit.

Aku lebih sering membuat makanan ringan, supaya mereka tidak terus minta uang jajan. Alhamdulillah Nisa cukup mengerti, karena usianya sudah cukup besar. Tapi Dio masih terlalu kecil, mana mengerti nasehatku.

Seketika muncul ide di kepalaku, dengan jual gorengan memang tidak butuh modal besar. Aku bisa jualan di depan rumah saja. Lagian banyak orang yang berlalu lalang. Tarok meja di teras. Dengan begini, aku tidak kesulitan lagi untuk membiayai hidupku, Nisa dan adeknya Dio yang berusia sekitar 3 tahun. Mereka bisa jajan sepuasnya. Mudah-mudahan saja daganganku laku keras. Semoga bisa aku sisihkan sedikit demi sedikit untuk ibu. Itulah keingian terbesarku saat ini.

“Baiklah, mulai besok mama mau jual gorengan. Nisa mau bantuin mama tidak?”

“Mau, mau Ma.” Ucap Nisa senang jingkrak-jingkrak kegirangan, rambut Nisa yang dikuncir kuda ikut bergoyang karenanya. aku hanya tersenyum bahagia melihat Nisa tertawa.

Kuelus pucuk kepala  Nisa dengan sayang,  kuciumi pipinya tiada henti, anak yang kusayangi sepenuh hati dengan harapan besar tersemat dalam dada. Semoga putriku menjadi anak yang selalu berbakti pada orang tua. Menjadi Dokter seperti keinginannya. Semoga saja suatu saat impiannya tercapai.

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status