Galen memboyong istrinya ke kamar. Menggendong ala koala, dengan penuh kelembutan. seolah Iren adalah benda yang sangat berharga. Jendela kamar yang terbuka membuat angin menyelinap masuk, diiringi suara hujan sebagai melodinya membuat adegan mereka seolah didukung penuh oleh semesta.“Galen.. A-aku..”Galen terkekeh karena Iren yang biasanya sangat lantang, justru terbata-bata seperti ini. Ia mengecup singkat bibir Iren, hingga gadis itu terdiam.Dari kecupan itu, Galen mengulanginya lagi dan lagi hingga menjadi lumatan yang memabukkan. Kedua tangan Iren meremat punggung Galen, tanda gadis itu juga menikmatinya.Lumatan bibir itu membuat Iren semakin melayang, Galen juga tidak mau melepaskannya.Galen semakin bergairah, pria itu dengan senangnya membuat banyak tanda cinta di leher Iren. Mulai membuka kancing kemeja yang dikenakan Iren, dengan semangat namun penuh kelembutan.Galen kembali mengecup bibir Iren dengan satu tangannya menyentuh salah satu titik sensitive di tubuh Iren yan
Galen dan Iren makan bersama di tempat makan pinggir jalan. Awalnya Galen ingin mengajak Iren makan di tempat yang mewah, tetapi Iren malah menolak dengan alasan takut ada yang melihat mereka. Iren hanya tak ingin mendapatkan interogasi dari orang-orang. Lebih ke Galen, khawatir ada keluarga yang melihat. Jujur saja, Iren sedang tidak mau ada permasalahan berat saja."Enak 'kan? Makanan enak itu gak harus mahal," ucap Iren.Galen hanya menanggapi dengan senyuman. Iren memang sederhana, dia yang menyarankan agar mereka makan di pinggir jalan saja. "Galen!" panggil Iren.Galen langsung mendongak sementara Iren malah tersenyum. Manis. Iren terlihat jauh lebih cantik saat tersenyum seperti itu."Mau nambah sambel ijo nya boleh nggak?" tanya Iren dengan wajah yang masih tersenyum lebar.Pertanyaan itu terdengar lucu di telinga Galen, dia hanya bisa mengangguk sambil terkekeh. Melihat ekspresi Galen, kini giliran Iren yang dibuat membeku sampai senyumannya luntur.Laki-laki di hadapannya in
Anulika sedikit heran dengan anaknya, Galen. Sudah jarang pulang kerumah. Ia tahu, Galen menempati sebuah apartemen dengan alasan dekat dengan kantor. Tapi biasanya sering pulang, tapi kenapa malah jarang."Sayang, Kakak kamu lagi gak ada masalah 'kan?" tanya Lika yang membuat Belinda langsung menegang.Belinda hanya takut kalau Lika mengetahui masalahnya soal tabrakan itu. Lika mengerutkan keningnya, yang membuat Belinda langsung menggelengkan kepalanya."Kamarnya rapih, tapi gak ada aroma parfum kakak kamu. Dia gak pernah tidur di rumah?" tanya Lika lagi.Belinda diam sebentar, mengingat kapan terakhir dia bertemu dengan Galen di rumah. Benar saja, sudah beberapa hari Galen tidak kelihatan di rumah. "Mungkin kakak sibuk di kantor atau—""Dia udah punya pacar?" Pertanyaan Lika membuat Belinda menggeleng, setahunya memang tidak ada."Apa dia tidur di kantor, ya?" gumam Lika.“Enggak mam, palingan di apartemen dia,” sahut Belinda.“Mami kangen ih,” ujar mami Lika sambil meninggalkan pu
Kamar mandi itu kini berubah menjadi tempat kepanikan bagi Iren. Uap air yang sebelumnya menghangatkan ruangan seketika menjadi saksi bisu kecemasan yang terjadi. Keramik lantai yang licin dan dinding yang dilapisi ubin putih kini terasa lebih dingin dari biasanya.“Ahhh pake mati lagi!” kesal Iren terus berusaha menyalakan kran air itu.Saat Iren berusaha keras untuk memperbaiki kran yang rusak, suara gemerisik alat dan deru nafasnya yang tergesa-gesa mengisi kesunyian. Shampo yang masih melumuri rambutnya mulai menetes ke matanya, menambah rasa perih yang terasa semakin menyengat.Di sisi lain, Galen yang datang untuk menolong, terpaku sejenak di ambang pintu, bingung dengan situasi yang tidak terduga. Air dari kran yang seharusnya mengalir deras kini tak lebih dari tetesan yang tak berdaya."Galen, matamu!" teriak Iren yang membuat Galen langsung menutup matanya.Namun, bagaimana bisa dia memperbaiki kran air saat matanya tertutup. Iren tampak frustasi, di satu sisi dia butuh air,
Berstatus suami—istri tanpa saling bergantungan adalah hal yang tidak masuk akal. Namun, Iren dan Galen mampu melakukan semua itu. Mereka seperti dua orang asing yang dipaksa tinggal di bangunan yang sama. Canggung, aneh, dan mereka seperti bingung harus melakukan apa padahal mereka sudah sah secara agama dan negara.Kosong.Hampa.Mungkin itu mampu mewakili perasaan mereka yang sebenarnya. Harusnya mereka saling bergantung, saling melengkapi, bahkan layak untuk saling mencintai. Sialnya mereka terlalu enggan untuk mencoba dekat.Mata Iren celingukan saat dia baru pulang dari kampus dan apartemennya terlihat kosong. Sepertinya tak ada tanda kehidupan, mungkin hari ini Galen tak mampir ke apartemen, padahal biasanya Galen selalu datang walaupun di saat Iren tidak ada di sana. Seperti disengaja, dia datang bukan untuk bertemu. Galen terkesan menghindari pertemuan dengan Iren, itu yang ada dipikiran Iren selama ini. Karena Galen memang harus bolak balik antara rumahnya dan apartemen. Hal
Windi kira Galen akan mengantarkan ia pulang seperti biasa, padahal sengaja tidak bawa mobil.“Aku pergi dulu,” pamit Galen, karena masih ada pekerjaan.Windi menunduk, Belinda merasa iba. “Tenang dulu, Kak Galen memang lagi banyak kerjaan,” ucapnya.“Tapi kayanya ada yang beda deh, iya nggak sih, Bel?” tanya Windi, Belinda bingung dia merasa biasa saja. Karena memang sikap Galen yang dingin, baru-baru ini saja dia ramah pada Windi.“Menurut aku sih, selain karena masalah aku. Kak Galen biasa saja ya, Win.”“Tapi Kak Galen sudah enggak pernah balas chat aku. Padahal dulu, dia masih mau membalas,” ucap Windi sedih. Dia begitu menyukai pria itu.Sudah hampir dapat, tapi sikap Galen malah tiba-tiba berubah begini padanya.“Berusahalah lebih keras lagi, semangat!” Belinda tertawa lalu menepuk bahu sang sahabat.Sementara itu, Iren hanya bengong saja di apartemen. Tubuhnya sudah mengurus, karena tidak nafsu makan.Galen mendesah, sekian makanan dia bawa tapi tidak ada juga yang Iren sentuh