Luna tidak bisa tidur pulas. Setiap malam yang dirasakannya adalah perasaan takut yang mengrogotinya. Tidak pernah dia sangka pria yang berhasil membelinya di pelelangan, malah membawanya pergi meninggalkan kota. Padahal kesepakatan yang dia ketahui adalah pria itu hanya Luna temani pada satu malam saja. Namun, kenapa malah pria itu membawanya sampai berpindah kota?
Saat pagi menyapa, Luna masih tetap berdiam diri di kamar. Perutnya sudah bunyi akibat merasakan lapar. Gadis itu terlalu takut untuk keluar kamar. Itu yang membuatnya memutuskan tetap berada di dalam kamar, meskipun perut sudah terasa lapar.
“Nona?” Pelayan melangkah menghampiri Luna yang duduk di ranjang sambil memeluk lutut.
Bahu Luna bergetar ketakutan melihat pelayan muncul di hadapannya. “P-pergilah. Jangan menggangguku.”
Sang pelayan menatap Luna cemas, penuh rasa khawatir. “Nona, apa Anda tidak ingin makan?”
Luna menggelengkan kepalanya. “Aku tidak ingin makan. Tolong, kau keluarlah.”
“Nona, tapi—”
“Aku mohon keluarlah.” Luna menatap sang pelayan dengan tatapan permohonan, meminta sang pelayan untuk pergi.
Sang pelayan menghela napas dalam. Dia tidak mungkin memaksa Luna. Akhirnya, pelayan itu memutuskan untuk melangkah pergi meninggalkan gadis itu. Satu-satunya jalan adalah dia harus segera melaporkan pada tuannya.
“Tuan.” Sang pelayan berpapasan dengan Draco.
Draco menatap dingin dan tegas sang pelayan. “Di mana Luna?”
Sang pelayan menundukkan kepalanya, tak berani menatap Draco. “Nona Luna tidak mau keluar kamar, Tuan. Saya sudah menawarkan makan, tapi beliau juga tidak mau. Saya tidak berani memaksa beliau, Tuan. Saya melihat wajahnya sangat ketakutan.”
Draco mengembuskan napas kasar dengan raut wajah kesal. Tanpa mengatakan apa pun, dia segera melangkah masuk ke dalam kamar Luna. Raut wajah kesal dan emosi menyelimuti wajah pria tampan itu.
Di kamar, Draco melihat Luna duduk di ranjang dengan posisi memeluk lutut. Sepasang iris mata pria itu berkilat tajam, membendung rasa emosi tertahan. Aura kemarahannya sangat menonjol nyata.
“Apa kau berniat bunuh diri?!” Nada Draco meninggi akibat emosi, pada Luna yang tak ingin makan.
Luna meneguk ludahnya susah payah, mengalihkan pandangannya menatap Draco yang berdiri di hadapannya. “A-aku … i-ingin pulang.” Suara Luna bergetar ketika berbicara dengan Draco.
Sosok Draco memang sangat tampan rupawan. Pastinya banyak perempuan di muka bumi ini, yang terpesona pada Draco. Akan tetapi, sayangnya Luna bukan terpesona, gadis itu selalu ketakutan melihat sosok Draco. Iris mata biru kehijauan pria itu sangat tajam, membuat nyali Luna selalu menciut melihatnya.
Aura kemarahan di wajah Draco semakin terlihat di kala mendengar permintaan Luna, yang menginginkan untuk pulang. Napas Draco memburu. Rahangnya mengetat. Tangannya mengepal begitu kuat.
Draco menarik kasar dagu Luna, dan menatap tajam gadis itu. “Kau ingin pulang, hm?” bisiknya di depan bibir gadis itu.
Luna menelan salivanya susah payah. Bibirnya bergetar di kala jemari kokoh Draco membelai kasar bibirnya. Kata-kata yang ingin lolos di bibirnya seakan tertahan di tenggorokan. Tidak mampu di keluarkan sama sekali.
Luna tak bisa berkutik. Pria yang membelinya itu kini mencium pipinya dan berakhir berhenti di lehernya. Embusan napas pria itu membuat bulu kuduknya merinding. Sialnya yang muncul di ingatan Luna sekarang adalah bagaimana pria itu menyentuh dirinya.
Draco mengecupi pipi dan leher Luna, menggigit sedikit keras daun telinga gadis itu—hingga membuat gadis itu meringis kesakitan. Draco tak peduli. Dia sama sekali tak menghiraukan ringisan sakit Luna.
“Jangan harap kau bisa pergi dari sini!” Draco menangkup kasar kedua rahang Luna. “Jika aku masih mengharapkanmu di sini, maka kau akan berada di sini! Jadi, singkirkan keinginanmu yang ingin pergi!”
Mata Luna berkaca-kaca menatap Draco. “K-kenapa, Tuan?” Air mata gadis itu berlinang jatuh membasahi pipinya.
Draco membelai kasar pipi Luna. “Karena aku masih menginginkanmu di sini. Jika aku sudah bosan padamu, baru aku akan membuangmu.”
Luna terisak sesenggukkan mendengar ucapan Draco. Hatinya hancur berkeping-keping. Hidupnya sekarang bagaikan berada di neraka. Dia tidak pernah menginginkan dirinya sebagai seorang pelacur.
“Mandilah. Aku menunggumu di luar. Kita sarapan bersama. Jika kau tidak patuh padaku, jangan salahkan aku memberikan hukuman padamu! Ingat, Luna … aku sudah pernah mengatakan padamu, aku membenci orang yang tidak mematuhi kata-kataku.” Draco melepaskan cengkraman di rahang Luna—lalu dia menghindar dari gadis itu—dan melangkah pergi meninggalkan kamar.
Air mata Luna tak henti bercucuran ketika Draco sudah pergi. Gadis itu meremas selimut yang membalut tubuhnya. Sungguh, Luna tidak menginginkan hidup seperti ini. Dia ingin sekali hidup bebas seperti dulu. Namun, apakah itu mungkin? Sekarang hidupnya bagaikan seekor burung yang berada di dalam sangkar emas.
***
Luna tidak memiliki pilihan lain selain patuh pada Draco. Gadis itu sudah selesai membersihkan tubuh dan mengganti pakaiannya dengan dress yang sudah disiapkan. Ya, Luna tinggal di kamar yang megah serta memiliki banyak pakaian, tas, dan perhiasan indah.
Luna tidak pernah meminta barang-barang mewah pada Draco. Hal yang diinginkannya hanyalah pulang. Namun sayang, niat Luna harus terkubur dalam-dalam. Gadis itu tidak akan pernah mungkin lepas dari sosok Draco. Dia baru bisa akan lepas, jika pria itu yang ingin melepaskannya.
“Sampai kapan kau hanya menatap makananmu seperti itu?” Draco menatap dingin Luna yang duduk di sampingnya.
Luna saat ini berada di ruang makan bersama dengan Draco. Namun, saat sarapan sudah dimulai, yang dilakukan gadis itu hanya diam dan menatap makanannya. Meskipun perut Luna sudah lapar, tapi gadis itu tidak ingin sama sekali menyentuh makanannya.
“A-aku t-tidak lapar.” Luna berucap pelan hingga nyaris tak terdengar. Kepalanya tertunduk, tidak berani menatap Draco.
Draco berdecak seraya menatap tajam Luna. “Jangan beralasan kau tidak lapar! Kau ini belum makan! Cepat makan!” bentaknya yang seketika itu juga membuat Luna terkejut.
Tangan Luna bergetar memegang garpu dan sendok. Gadis itu enggan untuk makan meski perut sangat lapar. Namun, tatapan tajam Draco, membuatnya ketakutan. Akhirnya yang dilakukan Luna adalah mulai sarapan dengan perlahan—mengikuti keinginan Draco.
“Hari ini aku memiliki meeting. Kemungkinan aku akan pulang terlambat. Kau jangan coba untuk pergi,” ucap Draco tegas dan menekankan.
Luna mengunyah perlahanan makanannya sambil mengangguk patuh merespon permintaan Draco. Tidak ada kata yang bisa Luna ucapkan. Hal yang bisa dia lakukan hanyalah patuh. Tidak membantah sama sekali.
Draco menyudahi sarapannya dan bangkit berdiri. “Aku berangkat sekarang. Ingat, apa yang aku katakan padamu, Luna. Kau mengerti?” Pria itu menangkup kedua pipi Luna menggunakan satu tangannya.
Luna mengangguk pelan dan patuh. “I-iya.”
Draco melumat bibir Luna sedikit kasar. Tampak Luna sedikit terkejut di kala pria itu melumat bibirnya. Dia ingin menghindar, tapi dia tahu bahwa menghindar pun tidak akan pernah bisa dia lakukan.
Draco mulai melangkah pergi meninggalkan tempat itu. Luna masih tetap bergeming di tempatnya. Tatapannya terus menatap Draco yang mulai lenyap dari pandangannya. Raut wajah Luna tampak sangat muram dan sedih. Gadis itu tidak tahu apa yang harus dia lakukan.
***
Waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Luna masih belum bisa tidur sama sekali. Gadis itu duduk di sofa yang ada di kamarnya. Pandangannya lurus ke depan, dengan sorot mata yang melemah dan sedih.
“Nona Luna?” Pelayan melangkah masuk ke dalam kamar.
Luna mengalihkan pandangannya, menatap sang pelayan. “Ya?”
“Nona, ini sudah malam. Lebih baik Anda tidur,” ujar sang pelayan mengingatkan.
Luna menggigit bibir bawahnya. “A-apa Tuan Draco sudah pulang?”
Sang pelayan menggeleng. “Belum, Nona. Tuan Draco belum pulang. Biasanya beliau jika sedang sibuk akan pulang pada pukul satu atau dua pagi.”
Luna terdiam sebentar ketika sesuatu hal menyelinap masuk ke dalam pikirannya.
“Nona, saya ingin istirahat. Saya harap Anda juga istirahat. Jangan tidur terlambat.” Pelayan itu menundukkan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Luna.
Luna masih diam seribu bahasa. Otaknya mulai memikirkan sesuatu hal. Akan tetapi, ketika sesuatu hal itu menelusup masuk mengganggunya—hatinya gelisah dan takut. Tidak menampik bahwa nyali Luna menciut.
Luna mengembuskan napas panjang, mengatur perasaannya, berusaha keras menyingkirkan perasaan takut yang menyelimuti dirinya. “Aku harus pergi sekarang,” gumamnya memberanikan diri. Hal yang ada di dalam pikiran Luna adalah mencoba melarikan diri.
Luna mengambil jaket tebal dan memakaikan ke tubuhnya. Berikutnya, dia berjalan mengendap-endap keluar dari rumah. Tatapannya mengendar ke sekitar melihat memastikan bahwa tidak ada siapa pun di sana. Dia yakin para pelayan pasti sudah masuk ke dalam kamar. Pun terakhir pelayan mengatakan kemungkinan Draco akan pulang pada pukul satu atau dua pagi. Itu artinya dirinya memiliki waktu untuk melarikan diri.
Tanpa pikir panjang, Luna berjalan cepat menuju ke arah pintu, namun …
“Kau mau ke mana, Luna?”
Suara berat menyentak membuat terkejut Luna. Bahu gadis itu bergetar ketakutan. Wajahnya memucat akibat rasa takut menyelimuti dirinya. Sang pemilik suara berat itu sangat dia hafal. Membuat debar jantungnya berpacu semakin keras bahkan seolah ingin berhenti berdetak. Napas Luna seakan menjadi sesak. Bulu kuduknya mulai merinding di kala sosok pria itu melangkah mendekat menghampirinya—dan kini berdiri di belakangnya. Beberapa kali Luna meneguk salivanya susah payah. “Kau ingin ke mana, Luna?” bisik pria itu serak di telinga Luna. Luna tidak berani menjawab. Organ dalam tubuhnya seakan ingin mati. Kakinya pun seolah lumpuh tidak bisa berkutik sama sekali. Embusan napas pria itu kini menerpa kulit lehernya—membuat bulu kuduknya menjadi merinding. “Ingin melarikan diri, hm?” bisik pria itu lagi seraya meremas pelan pinggang Luna. “Jawab aku, Luna. Jangan hanya diam!” Dengan sengaja, pria itu menggigit daun telinga Luna—hingga membuat gadis itu merintih kesakitan. “T-Tuan … a-aku ti
Sinar matahari menembus ke sela-sela jendela, menyentuh pipi mulus Luna. Perlahan, mata gadis itu mengerjapkan mata beberapa kali. Tepat ketika matanya sudah terbuka sempurna—tatapannya mengendar ke dalam kamarnya.Seketika raut wajah Luna berubah melihat banyak pakaian berserakan sembarangan di atas lantai kamar. Tunggu! Detik di mana Luna melihat pakaiannya berceceran—kepingan ingatannya teringat tentang kejadian tadi malam.Luna menelan salivanya susah payah. Kepingan memori layaknya puzzle yang terpecah yang telah mulai tersusun di otaknya. Gadis itu mengingat dengan jelas kejadian tadi malam. Kejadian panas yang membuatnya gemetar.Luna memberanikan diri menurunkan pandangannya melihat—ke bawah di mana tubuhnya penuh dengan bercak kemerahan. Tenggorokan gadis itu seolah tercekat di kala tidak sanggup untuk mengeluarkan suara.Ingatan Luna masih bekerja sangat baik. Gadis itu mengingat bagaimana Draco menyentuh tubuhnya. Demi Tuhan! Ingin sekali Luna berlari sekencang mungkin, tap
“Katakan di mana keponakanku?!” Delcy menatap garang sosok pria berusia hampir empat puluh tahun. Pria yang berkuasa memiliki pelelangan di pasar gelap. Seperti jual beli manusia ataupun pembelian barang-barang selundupan.Ead mengembuskan napas kasar. “Tuan Draco Riordan tidak mau memberikan keponakanmu. Sudahlah, lagi pula kau juga mendapatkan uang tambahan, kan? Tunggu saja sampai Tuan Riordan bosan pada keponakanmu, baru kau menjual keponakanmu lagi pada pria lain.”Delcy tak terima mendengar ucapan Ead. “Keponakanku itu sangat cantik! Jika dia hanya melayani satu pria saja, penghasilannya tidak akan terlalu banyak! Aku tidak mau tahu, Tuan Riordan harus mengembalikan keponakanku!”Ead tersenyum samar. “Kau tidak mengenal siapa Tuan Riordan.”“Persetan dengan statusnya! Perjanjiannya adalah setelah dia mencicipi keperawanan keponakanku, dia harus menyerahkan keponakanku di hari kedua! Kenapa malah dia mengklaim keponakanku menjadi miliknya?!” seru Delcy tak terima. Wanita itu terk
Luna tidak sama sekali mengira bibinya akan berani mendatangi kantor Draco. Sungguh, membayangkan bibinya mengamuk, membuat jantungnya berpacu semakin cepat akibat rasa takut yang melanda hebat.Luna yang berniat untuk melarikan diri, membuatnya mengurungkan niatnya. Tentu, hal yang dia takutkan adalah bibinya tega menjualnya lagi. Dia tidak pernah ingin menjadi seorang pelacur rendah yang tak memiliki harga diri. Luna sangat takut jika sampai dirinya bertemu dengan bibinya lagi. Ya, sekarang dia menyadari bahwa dirinya akan semakin berada dalam bahaya. Sekarang dia memang berada dalam dua pilihan. Tetap berada di sisi Draco, atau di luar sana tapi tidak aman karena bibinya akan mengincarnya.Hati kecil Luna berkata memintanya untuk tetap tinggal di penthouse Draco. Entah, sampai kapan. Hal yang pasti berada di dalam penthouse Draco masih jauh lebih aman. Di luar sana, Luna pastinya berada dalam bahaya. “Nona Luna?” sapa sang pelayan menghampiri Luna yang duduk melamun di taman b
Aroma makanan tercium di indra penciuman Luna, membuat gadis itu yang tengah tertidur pulas langsung terbangun. Perlahan, gadis itu mengerjapkan mata beberapa kali dan terbangun dalam tidurnya.“Selamat pagi, Nona. Maaf membangunkan Anda.” Pelayan menyapa Luna yang baru saja membuka mata.Luna mengerjapkan mata beberapa kali menatap sang pelayan. “Ah, iya tidak apa-apa. Jam berapa sekarang?”“Jam sembilan pagi, Nona,” jawab sang pelayan yang sontak membuat Luna terkejut.“Jam sembilan pagi?” Luna langsung duduk, akibat keterkejutannya.Sang pelayan mengangguk sopan. “Benar, Nona. Ini sudah jam sembilan pagi.” Luna menyeka matanya menggunakan punggung tangannya. Gadis itu terperanjat terkejut mendengar perkataan sang pelayan yang mengatakan ini sudah jam sembilan pagi. Detik itu juga, Luna mengalihkan pandangannya menatap jam dinding—benar bahwa sekarang sudah pukul sembilan pagi. Astaga! Luna kesiangan. Gadis itu tidak mengira kalau akan bangun seterlambat ini. Tapi tunggu … tiba-t
Dua minggu sudah Luna tinggal di penthouse megah milik Draco Riordan. Banyak sekali pertanyaan yang ada di kepala Luna, ingin dia ajukan pada Draco. Akan tetapi, dia tidak bisa memberi tahu pada Draco tentang apa yang ada di dalam isi kepalanya.Rasa takut Luna membuatnya mengurungkan niatnya, mengajukan pertanyaan pada Draco. Sosok Luna yang sekarang hanya bisa patuh akan apa yang diinginkan dan dikatakan oleh Draco.Sekarang Luna sudah jarang mendapatkan amukan dari Draco. Gadis itu bagaikan kucing kecil yang patuh dan penurut. Ini cara yang ampuh agar terbebas dari amukan Draco. Karena memang sekarang Luna telah terpenjara di sangkar emas—yang tak akan mungkin bisa membebaskan dirinya.“Luna.” Draco melangkah menghampiri Luna yang tengah duduk di ruang kolam renang. Gadis itu sedikit jenuh. Dia memutuskan untuk duduk bersantai di ruang kolam renang. “Ya?” Luna mengalihkan pandangannya, menatap Draco yang menghampirinya.Draco mendekat menghampiri Luna. “Gantilah pakaianmu, aku in
Kata-kata Elina bagaikan batu keras yang menghantam tubuh Luna. Lidahnya seolah kelu tidak bisa merangkai kata. Air mata sudah mengumpul di belakang bola mata gadis itu—menahan kuat agar air matanya tidaklah keluar. “Aku bukan simpanan,” ucap Luna pelan memberanikan diri. Harga dirinya benar-benar telah direndahkan oleh Elina.Elina membelai kasar pipi Luna. “Gadis sepertimu janganlah bermimpi menjadi yang utama. Draco tidak mungkin menjadikan gadis rendah sepertimu menjadi istrinya.”“Luna?” Draco sudah selesai menelepon, menginterupsi percakapan Luna dan Elina. Tepat pria itu datang—Elina menjauh dari Luna. Ya, Draco tidak mendengar apa yang Elina katakan. Sebab, ketika dia datang—Elina menyudahi ucapannya.Luna yang melihat Draco di hadapannya langsung memeluk pria itu, menunjukkan meminta perlindungan. Hanya saja, dia tidak bisa mengatakan apa pun. Luna tak bisa berkata-kata di kala kesedihan melingkupinya.Draco merasa ada yang aneh dari Luna. Apalagi tiba-tiba dia mendapatkan
Draco berdiri di ruang kerjanya dengan sorot mata tajam penuh amarah tertahan. Ingatan pria itu terus terngiang akan apa yang dikatakan oleh Luna. Dia tidak mengira Elina akan mengatakan hal seperti itu pada Luna. Draco membenci jika ada orang yang berani ikut campur tentang urusannya. “Tuan…” Nigel melangkah masuk mendekat ke arah Draco. Dia datang, karena atas permintaan tuannya. Tentu, Nigel diwajibkan untuk datang tepat waktu. Tidak boleh sama sekali terlambat jika tuannya membutuhkannya.Draco mengalihkan pandangannya, menatap sang asisten yang sudah tiba di hadapannya. “Kau sudah mendapatkan nomor Elina?” tanyanya dingin.Nigel mengangguk. “Sudah, Tuan. Saya sudah mendapatkan nomor Nona Elina. Sekitar beberapa menit lalu, saya baru mengirimkan nomor Nona Elina pada Anda. Anda bisa memeriksa lebih dulu untuk memastikan.”Mendengar apa yang dikatakan oleh asistennya, Draco mengambil ponselnya yang ada di atas meja, dan melihat ke layar bahwa benar—asistennya mengirimkan nomor te