Share

Bab 4. Mencoba Melarikan Diri

Luna tidak bisa tidur pulas. Setiap malam yang dirasakannya adalah perasaan takut yang mengrogotinya. Tidak pernah dia sangka pria yang berhasil membelinya di pelelangan, malah membawanya pergi meninggalkan kota. Padahal kesepakatan yang dia ketahui adalah pria itu hanya Luna temani pada satu malam saja. Namun, kenapa malah pria itu membawanya sampai berpindah kota?

Saat pagi menyapa, Luna masih tetap berdiam diri di kamar. Perutnya sudah bunyi akibat merasakan lapar. Gadis itu terlalu takut untuk keluar kamar. Itu yang membuatnya memutuskan tetap berada di dalam kamar, meskipun perut sudah terasa lapar.

“Nona?” Pelayan melangkah menghampiri Luna yang duduk di ranjang sambil memeluk lutut.

Bahu Luna bergetar ketakutan melihat pelayan muncul di hadapannya. “P-pergilah. Jangan menggangguku.”

Sang pelayan menatap Luna cemas, penuh rasa khawatir. “Nona, apa Anda tidak ingin makan?”

Luna menggelengkan kepalanya. “Aku tidak ingin makan. Tolong, kau keluarlah.”

“Nona, tapi—”

“Aku mohon keluarlah.” Luna menatap sang pelayan dengan tatapan permohonan, meminta sang pelayan untuk pergi.

Sang pelayan menghela napas dalam. Dia tidak mungkin memaksa Luna. Akhirnya, pelayan itu memutuskan untuk melangkah pergi meninggalkan gadis itu. Satu-satunya jalan adalah dia harus segera melaporkan pada tuannya.

“Tuan.” Sang pelayan berpapasan dengan Draco.

Draco menatap dingin dan tegas sang pelayan. “Di mana Luna?”

Sang pelayan menundukkan kepalanya, tak berani menatap Draco. “Nona Luna tidak mau keluar kamar, Tuan. Saya sudah menawarkan makan, tapi beliau juga tidak mau. Saya tidak berani memaksa beliau, Tuan. Saya melihat wajahnya sangat ketakutan.”

Draco mengembuskan napas kasar dengan raut wajah kesal. Tanpa mengatakan apa pun, dia segera melangkah masuk ke dalam kamar Luna. Raut wajah kesal dan emosi menyelimuti wajah pria tampan itu.

Di kamar, Draco melihat Luna duduk di ranjang dengan posisi memeluk lutut. Sepasang iris mata pria itu berkilat tajam, membendung rasa emosi tertahan. Aura kemarahannya sangat menonjol nyata.

“Apa kau berniat bunuh diri?!” Nada Draco meninggi akibat emosi, pada Luna yang tak ingin makan.

Luna meneguk ludahnya susah payah, mengalihkan pandangannya menatap Draco yang berdiri di hadapannya. “A-aku … i-ingin pulang.” Suara Luna bergetar ketika berbicara dengan Draco.

Sosok Draco memang sangat tampan rupawan. Pastinya banyak perempuan di muka bumi ini, yang  terpesona pada Draco. Akan tetapi, sayangnya Luna bukan terpesona, gadis itu selalu ketakutan melihat sosok Draco. Iris mata biru kehijauan pria itu sangat tajam, membuat nyali Luna selalu menciut melihatnya. 

Aura kemarahan di wajah Draco semakin terlihat di kala mendengar permintaan Luna, yang menginginkan untuk pulang. Napas Draco memburu. Rahangnya mengetat. Tangannya mengepal begitu kuat.

Draco menarik kasar dagu Luna, dan menatap tajam gadis itu. “Kau ingin pulang, hm?” bisiknya di depan bibir gadis itu.

Luna menelan salivanya susah payah. Bibirnya bergetar di kala jemari kokoh Draco membelai kasar bibirnya. Kata-kata yang ingin lolos di bibirnya seakan tertahan di tenggorokan. Tidak mampu di keluarkan sama sekali. 

Luna tak bisa berkutik. Pria yang membelinya itu kini mencium pipinya dan berakhir berhenti di lehernya. Embusan napas pria itu membuat bulu kuduknya merinding. Sialnya yang muncul di ingatan Luna sekarang adalah bagaimana pria itu menyentuh dirinya.

Draco mengecupi pipi dan leher Luna, menggigit sedikit keras daun telinga gadis itu—hingga membuat gadis itu meringis kesakitan. Draco tak peduli. Dia sama sekali tak menghiraukan ringisan sakit Luna.

“Jangan harap kau bisa pergi dari sini!” Draco menangkup kasar kedua rahang Luna. “Jika aku masih mengharapkanmu di sini, maka kau akan berada di sini! Jadi, singkirkan keinginanmu yang ingin pergi!”

Mata Luna berkaca-kaca menatap Draco. “K-kenapa, Tuan?” Air mata gadis itu berlinang jatuh membasahi pipinya.

Draco membelai kasar pipi Luna. “Karena aku masih menginginkanmu di sini. Jika aku sudah bosan padamu, baru aku akan membuangmu.”

Luna terisak sesenggukkan mendengar ucapan Draco. Hatinya hancur berkeping-keping. Hidupnya sekarang bagaikan berada di neraka. Dia tidak pernah menginginkan dirinya sebagai seorang pelacur. 

“Mandilah. Aku menunggumu di luar. Kita sarapan bersama. Jika kau tidak patuh padaku, jangan salahkan aku memberikan hukuman padamu! Ingat, Luna … aku sudah pernah mengatakan padamu, aku membenci orang yang tidak mematuhi kata-kataku.” Draco melepaskan cengkraman di rahang Luna—lalu dia menghindar dari gadis itu—dan melangkah pergi meninggalkan kamar.

Air mata Luna tak henti bercucuran ketika Draco sudah pergi. Gadis itu meremas selimut yang membalut tubuhnya. Sungguh, Luna tidak menginginkan hidup seperti ini. Dia ingin sekali hidup bebas seperti dulu. Namun, apakah itu mungkin? Sekarang hidupnya bagaikan seekor burung yang berada di dalam sangkar emas.

***

Luna tidak memiliki pilihan lain selain patuh pada Draco. Gadis itu sudah selesai membersihkan tubuh dan mengganti pakaiannya dengan dress yang sudah disiapkan. Ya, Luna tinggal di kamar yang megah serta memiliki banyak pakaian, tas, dan perhiasan indah.

Luna tidak pernah meminta barang-barang mewah pada Draco. Hal yang diinginkannya hanyalah pulang. Namun sayang, niat Luna harus terkubur dalam-dalam. Gadis itu tidak akan pernah mungkin lepas dari sosok Draco. Dia baru bisa akan lepas, jika pria itu yang ingin melepaskannya.

“Sampai kapan kau hanya menatap makananmu seperti itu?” Draco menatap dingin Luna yang duduk di sampingnya.

Luna saat ini berada di ruang makan bersama dengan Draco. Namun, saat sarapan sudah dimulai, yang dilakukan gadis itu hanya diam dan menatap makanannya. Meskipun perut Luna sudah lapar, tapi gadis itu tidak ingin sama sekali menyentuh makanannya.

“A-aku t-tidak lapar.” Luna berucap pelan hingga nyaris tak terdengar. Kepalanya tertunduk, tidak berani menatap Draco.

Draco berdecak seraya menatap tajam Luna. “Jangan beralasan kau tidak lapar! Kau ini belum makan! Cepat makan!” bentaknya yang seketika itu juga membuat Luna terkejut.

Tangan Luna bergetar memegang garpu dan sendok. Gadis itu enggan untuk makan meski perut sangat lapar. Namun, tatapan tajam Draco, membuatnya ketakutan. Akhirnya yang dilakukan Luna adalah mulai sarapan dengan perlahan—mengikuti keinginan Draco.

“Hari ini aku memiliki meeting. Kemungkinan aku akan pulang terlambat. Kau jangan coba untuk pergi,” ucap Draco tegas dan menekankan.

Luna mengunyah perlahanan makanannya sambil mengangguk patuh merespon permintaan Draco. Tidak ada kata yang bisa Luna ucapkan. Hal yang bisa dia lakukan hanyalah patuh. Tidak membantah sama sekali.

Draco menyudahi sarapannya dan bangkit berdiri. “Aku berangkat sekarang. Ingat, apa yang aku katakan padamu, Luna. Kau mengerti?” Pria itu menangkup kedua pipi Luna menggunakan satu tangannya.

Luna mengangguk pelan dan patuh. “I-iya.”

Draco melumat bibir Luna sedikit kasar. Tampak Luna sedikit terkejut di kala pria itu melumat bibirnya. Dia ingin menghindar, tapi dia tahu bahwa menghindar pun tidak akan pernah bisa dia lakukan.

Draco mulai melangkah pergi meninggalkan tempat itu. Luna masih tetap bergeming di tempatnya. Tatapannya terus menatap Draco yang mulai lenyap dari pandangannya. Raut wajah Luna tampak sangat muram dan sedih. Gadis itu tidak tahu apa yang harus dia lakukan.

***

Waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Luna masih belum bisa tidur sama sekali. Gadis itu duduk di sofa yang ada di kamarnya. Pandangannya lurus ke depan, dengan sorot mata yang melemah dan sedih. 

“Nona Luna?” Pelayan melangkah masuk ke dalam kamar.

Luna mengalihkan pandangannya, menatap sang pelayan. “Ya?”

“Nona, ini sudah malam. Lebih baik Anda tidur,” ujar sang pelayan mengingatkan.

Luna menggigit bibir bawahnya. “A-apa Tuan Draco sudah pulang?”

Sang pelayan menggeleng. “Belum, Nona. Tuan Draco belum pulang. Biasanya beliau jika sedang sibuk akan pulang pada pukul satu atau dua pagi.”

Luna terdiam sebentar ketika sesuatu hal menyelinap masuk ke dalam pikirannya.

“Nona, saya ingin istirahat. Saya harap Anda juga istirahat. Jangan tidur terlambat.” Pelayan itu menundukkan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Luna.

Luna masih diam seribu bahasa. Otaknya mulai memikirkan sesuatu hal. Akan tetapi, ketika sesuatu hal itu menelusup masuk mengganggunya—hatinya gelisah dan takut. Tidak menampik bahwa nyali Luna menciut.

Luna mengembuskan napas panjang, mengatur perasaannya, berusaha keras menyingkirkan perasaan takut yang menyelimuti dirinya. “Aku harus pergi sekarang,” gumamnya memberanikan diri. Hal yang ada di dalam pikiran Luna adalah mencoba melarikan diri.

Luna mengambil jaket tebal dan memakaikan ke tubuhnya. Berikutnya, dia berjalan mengendap-endap keluar dari rumah. Tatapannya mengendar ke sekitar melihat memastikan bahwa tidak ada siapa pun di sana. Dia yakin para pelayan pasti sudah masuk ke dalam kamar. Pun terakhir pelayan mengatakan kemungkinan Draco akan pulang pada pukul satu atau dua pagi. Itu artinya dirinya memiliki waktu untuk melarikan diri.

Tanpa pikir panjang, Luna berjalan cepat menuju ke arah pintu, namun …

“Kau mau ke mana, Luna?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status