Beranda / Romansa / Simpanan Sang Miliuner / Bab 4. Mencoba Melarikan Diri

Share

Bab 4. Mencoba Melarikan Diri

Penulis: Abigail Kusuma
last update Terakhir Diperbarui: 2023-10-20 20:50:41

Luna tidak bisa tidur pulas. Setiap malam yang dirasakannya adalah perasaan takut yang mengrogotinya. Tidak pernah dia sangka pria yang berhasil membelinya di pelelangan, malah membawanya pergi meninggalkan kota. Padahal kesepakatan yang dia ketahui adalah pria itu hanya Luna temani pada satu malam saja. Namun, kenapa malah pria itu membawanya sampai berpindah kota?

Saat pagi menyapa, Luna masih tetap berdiam diri di kamar. Perutnya sudah bunyi akibat merasakan lapar. Gadis itu terlalu takut untuk keluar kamar. Itu yang membuatnya memutuskan tetap berada di dalam kamar, meskipun perut sudah terasa lapar.

“Nona?” Pelayan melangkah menghampiri Luna yang duduk di ranjang sambil memeluk lutut.

Bahu Luna bergetar ketakutan melihat pelayan muncul di hadapannya. “P-pergilah. Jangan menggangguku.”

Sang pelayan menatap Luna cemas, penuh rasa khawatir. “Nona, apa Anda tidak ingin makan?”

Luna menggelengkan kepalanya. “Aku tidak ingin makan. Tolong, kau keluarlah.”

“Nona, tapi—”

“Aku mohon keluarlah.” Luna menatap sang pelayan dengan tatapan permohonan, meminta sang pelayan untuk pergi.

Sang pelayan menghela napas dalam. Dia tidak mungkin memaksa Luna. Akhirnya, pelayan itu memutuskan untuk melangkah pergi meninggalkan gadis itu. Satu-satunya jalan adalah dia harus segera melaporkan pada tuannya.

“Tuan.” Sang pelayan berpapasan dengan Draco.

Draco menatap dingin dan tegas sang pelayan. “Di mana Luna?”

Sang pelayan menundukkan kepalanya, tak berani menatap Draco. “Nona Luna tidak mau keluar kamar, Tuan. Saya sudah menawarkan makan, tapi beliau juga tidak mau. Saya tidak berani memaksa beliau, Tuan. Saya melihat wajahnya sangat ketakutan.”

Draco mengembuskan napas kasar dengan raut wajah kesal. Tanpa mengatakan apa pun, dia segera melangkah masuk ke dalam kamar Luna. Raut wajah kesal dan emosi menyelimuti wajah pria tampan itu.

Di kamar, Draco melihat Luna duduk di ranjang dengan posisi memeluk lutut. Sepasang iris mata pria itu berkilat tajam, membendung rasa emosi tertahan. Aura kemarahannya sangat menonjol nyata.

“Apa kau berniat bunuh diri?!” Nada Draco meninggi akibat emosi, pada Luna yang tak ingin makan.

Luna meneguk ludahnya susah payah, mengalihkan pandangannya menatap Draco yang berdiri di hadapannya. “A-aku … i-ingin pulang.” Suara Luna bergetar ketika berbicara dengan Draco.

Sosok Draco memang sangat tampan rupawan. Pastinya banyak perempuan di muka bumi ini, yang  terpesona pada Draco. Akan tetapi, sayangnya Luna bukan terpesona, gadis itu selalu ketakutan melihat sosok Draco. Iris mata biru kehijauan pria itu sangat tajam, membuat nyali Luna selalu menciut melihatnya. 

Aura kemarahan di wajah Draco semakin terlihat di kala mendengar permintaan Luna, yang menginginkan untuk pulang. Napas Draco memburu. Rahangnya mengetat. Tangannya mengepal begitu kuat.

Draco menarik kasar dagu Luna, dan menatap tajam gadis itu. “Kau ingin pulang, hm?” bisiknya di depan bibir gadis itu.

Luna menelan salivanya susah payah. Bibirnya bergetar di kala jemari kokoh Draco membelai kasar bibirnya. Kata-kata yang ingin lolos di bibirnya seakan tertahan di tenggorokan. Tidak mampu di keluarkan sama sekali. 

Luna tak bisa berkutik. Pria yang membelinya itu kini mencium pipinya dan berakhir berhenti di lehernya. Embusan napas pria itu membuat bulu kuduknya merinding. Sialnya yang muncul di ingatan Luna sekarang adalah bagaimana pria itu menyentuh dirinya.

Draco mengecupi pipi dan leher Luna, menggigit sedikit keras daun telinga gadis itu—hingga membuat gadis itu meringis kesakitan. Draco tak peduli. Dia sama sekali tak menghiraukan ringisan sakit Luna.

“Jangan harap kau bisa pergi dari sini!” Draco menangkup kasar kedua rahang Luna. “Jika aku masih mengharapkanmu di sini, maka kau akan berada di sini! Jadi, singkirkan keinginanmu yang ingin pergi!”

Mata Luna berkaca-kaca menatap Draco. “K-kenapa, Tuan?” Air mata gadis itu berlinang jatuh membasahi pipinya.

Draco membelai kasar pipi Luna. “Karena aku masih menginginkanmu di sini. Jika aku sudah bosan padamu, baru aku akan membuangmu.”

Luna terisak sesenggukkan mendengar ucapan Draco. Hatinya hancur berkeping-keping. Hidupnya sekarang bagaikan berada di neraka. Dia tidak pernah menginginkan dirinya sebagai seorang pelacur. 

“Mandilah. Aku menunggumu di luar. Kita sarapan bersama. Jika kau tidak patuh padaku, jangan salahkan aku memberikan hukuman padamu! Ingat, Luna … aku sudah pernah mengatakan padamu, aku membenci orang yang tidak mematuhi kata-kataku.” Draco melepaskan cengkraman di rahang Luna—lalu dia menghindar dari gadis itu—dan melangkah pergi meninggalkan kamar.

Air mata Luna tak henti bercucuran ketika Draco sudah pergi. Gadis itu meremas selimut yang membalut tubuhnya. Sungguh, Luna tidak menginginkan hidup seperti ini. Dia ingin sekali hidup bebas seperti dulu. Namun, apakah itu mungkin? Sekarang hidupnya bagaikan seekor burung yang berada di dalam sangkar emas.

***

Luna tidak memiliki pilihan lain selain patuh pada Draco. Gadis itu sudah selesai membersihkan tubuh dan mengganti pakaiannya dengan dress yang sudah disiapkan. Ya, Luna tinggal di kamar yang megah serta memiliki banyak pakaian, tas, dan perhiasan indah.

Luna tidak pernah meminta barang-barang mewah pada Draco. Hal yang diinginkannya hanyalah pulang. Namun sayang, niat Luna harus terkubur dalam-dalam. Gadis itu tidak akan pernah mungkin lepas dari sosok Draco. Dia baru bisa akan lepas, jika pria itu yang ingin melepaskannya.

“Sampai kapan kau hanya menatap makananmu seperti itu?” Draco menatap dingin Luna yang duduk di sampingnya.

Luna saat ini berada di ruang makan bersama dengan Draco. Namun, saat sarapan sudah dimulai, yang dilakukan gadis itu hanya diam dan menatap makanannya. Meskipun perut Luna sudah lapar, tapi gadis itu tidak ingin sama sekali menyentuh makanannya.

“A-aku t-tidak lapar.” Luna berucap pelan hingga nyaris tak terdengar. Kepalanya tertunduk, tidak berani menatap Draco.

Draco berdecak seraya menatap tajam Luna. “Jangan beralasan kau tidak lapar! Kau ini belum makan! Cepat makan!” bentaknya yang seketika itu juga membuat Luna terkejut.

Tangan Luna bergetar memegang garpu dan sendok. Gadis itu enggan untuk makan meski perut sangat lapar. Namun, tatapan tajam Draco, membuatnya ketakutan. Akhirnya yang dilakukan Luna adalah mulai sarapan dengan perlahan—mengikuti keinginan Draco.

“Hari ini aku memiliki meeting. Kemungkinan aku akan pulang terlambat. Kau jangan coba untuk pergi,” ucap Draco tegas dan menekankan.

Luna mengunyah perlahanan makanannya sambil mengangguk patuh merespon permintaan Draco. Tidak ada kata yang bisa Luna ucapkan. Hal yang bisa dia lakukan hanyalah patuh. Tidak membantah sama sekali.

Draco menyudahi sarapannya dan bangkit berdiri. “Aku berangkat sekarang. Ingat, apa yang aku katakan padamu, Luna. Kau mengerti?” Pria itu menangkup kedua pipi Luna menggunakan satu tangannya.

Luna mengangguk pelan dan patuh. “I-iya.”

Draco melumat bibir Luna sedikit kasar. Tampak Luna sedikit terkejut di kala pria itu melumat bibirnya. Dia ingin menghindar, tapi dia tahu bahwa menghindar pun tidak akan pernah bisa dia lakukan.

Draco mulai melangkah pergi meninggalkan tempat itu. Luna masih tetap bergeming di tempatnya. Tatapannya terus menatap Draco yang mulai lenyap dari pandangannya. Raut wajah Luna tampak sangat muram dan sedih. Gadis itu tidak tahu apa yang harus dia lakukan.

***

Waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Luna masih belum bisa tidur sama sekali. Gadis itu duduk di sofa yang ada di kamarnya. Pandangannya lurus ke depan, dengan sorot mata yang melemah dan sedih. 

“Nona Luna?” Pelayan melangkah masuk ke dalam kamar.

Luna mengalihkan pandangannya, menatap sang pelayan. “Ya?”

“Nona, ini sudah malam. Lebih baik Anda tidur,” ujar sang pelayan mengingatkan.

Luna menggigit bibir bawahnya. “A-apa Tuan Draco sudah pulang?”

Sang pelayan menggeleng. “Belum, Nona. Tuan Draco belum pulang. Biasanya beliau jika sedang sibuk akan pulang pada pukul satu atau dua pagi.”

Luna terdiam sebentar ketika sesuatu hal menyelinap masuk ke dalam pikirannya.

“Nona, saya ingin istirahat. Saya harap Anda juga istirahat. Jangan tidur terlambat.” Pelayan itu menundukkan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Luna.

Luna masih diam seribu bahasa. Otaknya mulai memikirkan sesuatu hal. Akan tetapi, ketika sesuatu hal itu menelusup masuk mengganggunya—hatinya gelisah dan takut. Tidak menampik bahwa nyali Luna menciut.

Luna mengembuskan napas panjang, mengatur perasaannya, berusaha keras menyingkirkan perasaan takut yang menyelimuti dirinya. “Aku harus pergi sekarang,” gumamnya memberanikan diri. Hal yang ada di dalam pikiran Luna adalah mencoba melarikan diri.

Luna mengambil jaket tebal dan memakaikan ke tubuhnya. Berikutnya, dia berjalan mengendap-endap keluar dari rumah. Tatapannya mengendar ke sekitar melihat memastikan bahwa tidak ada siapa pun di sana. Dia yakin para pelayan pasti sudah masuk ke dalam kamar. Pun terakhir pelayan mengatakan kemungkinan Draco akan pulang pada pukul satu atau dua pagi. Itu artinya dirinya memiliki waktu untuk melarikan diri.

Tanpa pikir panjang, Luna berjalan cepat menuju ke arah pintu, namun …

“Kau mau ke mana, Luna?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Simpanan Sang Miliuner   Bab 60. Extra Part  

    Lima tahun kemudian … “Ayo Dickson! Lenita! Semangat!” Luna bersorak menyemangati anak kembarnya yang sedang lomba renang. Tampak wanita itu menunjukkan kegirangannya di kala anak kembarnya unggul dari yang lain.Draco berdiri di samping Luna, menatap tenang anak kembarnya yang lebih unggul dari yang lain. Luna sejak memiliki anak jauh lebih heboh dan cerewet, sedangkan Draco lebih tenang. Namun, jika Draco sudah bicara tegas, maka pasti semua akan takut pada pria itu. Hingga kemudian, waktu berakhir. Dickson juara satu dan Lenita juara dua. Sontak Luna memekik kegirangan anak kembarnya berhasil menang. Dia memeluk Draco karena terlalu sedang. Ekspresi Draco tersenyum tipis dan penuh bangga pada Dickson dan Lenita.“Sayang, anak kita menang,” seru Luna antusias.Draco mengecup kening Luna. “Kemenangan sudah pasti berada di tangan mereka.”“Daddy! Mommy!” Dickson dan Lenita berlari menghampiri kedua orang tua mereka, memeluk erat kedua orang tua mereka.“Anak Mommy dan Daddy hebat!

  • Simpanan Sang Miliuner   Bab 59. Perfect Ending 

    “Saya, Draco Riordan, mengambil engkau Luna Granger sebagai istriku untuk saling memiliki dan menjaga, dalam keadaan susah atau senang, dalam keadaan kekurangan atau berkelimpahan—dan dalam keadaaan sakit atau sehat. Aku berjanji di hadapan Tuhan dan para saksi, untuk selalu mengasihi dan menghargai engkau, sampai maut memisahkan kita.”“Saya, Luna Granger, mengambil engkau Draco Riordan sebagai suamiku untuk saling memiliki dan menjaga, dalam keadaan susah atau senang, dalam keadaan kekurangan atau berkelimpahan—dan dalam keadaan sakit atau sehat. Aku berjanji di hadapan Tuhan dan para saksi, untuk selalu mengasihi dan menghargai engkau sampai maut memisahkan kita.”Pastor mensahkan pernikahan Draco dan Luna. Dua insan yang baru saja resmi menjadi sepasang suami istri bertukar cincin, dan mereka langsung berciuman di hadapan ribuan para tamu undangan. Suara tepuk tangan riuh terdengar.Pernikahan Draco dan Luna mengukir sejarah. Pernikahan yang megah dihadiri oleh para pengusaha, art

  • Simpanan Sang Miliuner   Bab 58. Lamaran Manis di Hadapan Kedua Orang Tua Luna

    “Draco, kita mau ke mana? Ini kan bukan arah rumah kita,” ucap Luna di kala Draco mengambil arah ke jalan yang lain. Bukan jalan ke rumah baru mereka. Gadis itu menoleh menatap Draco dengan tatapan bingung.“Nanti kau akan tahu ke mana aku akan membawamu.” Draco membelai rambut panjang Luna. Pria itu menatap ke depan, fokus pada jalanan. Luna ingin bertanya ke mana Draco akan membawanya, tapi karena tatapan Draco sangat serius menatap jalanan, itu membuatnya mengurungkan diri untuk bertanya. Luna memilih diam sampai dia tahu ke mana Draco akan membawanya. Butuh perjalanan sekitar tiga puluh menit. Mobil Draco mulai memasuki halaman parkir pemakaman. Luna sekarang mengerti Draco mengajaknya untuk mengunjungi makam mendiang ibu Draco. Luna tersenyum. “Kau ingin kita mengunjungi makam ibumu, ya?”Draco mengangguk sambil membelai pipi Luna. “Ya, tapi bukan hanya makam ibuku saja.”Kening Luna mengerut dalam. “Makam siapa?”“Nanti kau akan tahu. Kita turun dulu.” Draco mengajak Luna unt

  • Simpanan Sang Miliuner   Bab 57. Berkunjung ke Penjara dan Rumah Sakit Jiwa

    Luna bergerak-gerak gelisah. Peluh membanjiri keningnya. Jeritan kata ‘Tidak’ membuat Draco terbangun lebih dulu. Pria tampan itu mendapati Luna yang seperti tengah mimpi buruk. Refleks, Draco membangunkan Luna.“Luna? Hey, Luna?” panggil Draco lembut.“Jangan bunuh anakku!” teriak Luna bersamaan dengan dia sudah bangun, dan bercampur dengan derai air mata.Draco langsung memeluk Luna erat, dan menciumi puncak kepala gadis itu. Tangis Luna pecah dalam pelukan Draco. “Luna, kau mimpi buruk. Aku di sini. Aku selalu menjagamu.”Tangis Luna mengecil dalam pelukan Draco. “Draco, aku bermimpi Danny dan Mireya ingin membunuh anak kita.”Draco mengeratkan pelukannya mendengar cerita Luna. Pasti trauma kejadian penculikan itu masih ada. Tidak mungkin dalam sekejap bisa sirna begitu saja. Dalam hati Draco mengumpati kebodohannya yang terlalu lama menyelamatkan Luna. “Pria tua itu sudah berada di penjara, sedangkan Mireya berada di rumah sakit jiwa. Mereka tidak akan melukaimu,” ucap Draco sung

  • Simpanan Sang Miliuner   Bab 56. Pindah Rumah

    Kesehatan Luna berangsur-angsur membaik. Dia mendapatkan perawatan terbaik Selama berada di rumah sakit. Hamil membuat Luna mendapatkan perhatian berlebih dari Draco. Setiap Luna ingin bergerak saja, Draco selalu khawatir hal buruk menimpa Luna. Terdengar sangat berlebihan, tapi memang itulah Draco jika sudah ketakutan kehilangan sosok yang berharga di hidupnya.“Draco, aku sudah makan. Jangan minta aku untuk makan lagi. Aku sudah kenyang. Nanti aku muntah jika kau paksa,” ucap Luna dengan bibir tertekuk dalam. Perutnya sudah kenyang, tapi terus dipaksa untuk makan.Draco meletakan piringnya ke atas meja dan berkata lembut, “Baiklah, aku tidak akan memaksamu lagi. Yang penting kau sudah kenyang. Aku tenang sekarang.”Luna tersenyum mengerti rasa khawatir Draco. Gadis itu bangkit berdiri dan duduk di pangkuan Draco. “Aku akan baik-baik saja. Aku akan selalu menjaga anak kita. Kau percaya padaku, kan?”Luna mengerti kekhawatiran Draco. Pria itu pernah kehilangan anak. Jadi wajar jika se

  • Simpanan Sang Miliuner   Bab 55. Kejahatan Tak Akan Pernah Menang

    “D-Draco?” lirih Luna melihat Draco berada di ambang pintu. Matanya sembab akibat tangis, sekarang berubah menjadi tatapan penuh harap. Dia percaya Draco akan datang menyelamatkannya. Tubuh Mireya membeku di tempatnya melihat Draco berdiri di ambang pintu. Berbagai umpatan lolos di bibirnya. Dia tak mengira Draco akan secepat ini menemukan keberadaan Luna.Tatapan Danny menyalang tajam menatap Draco. “Sejak awal Luna adalah wanitaku! Jangan pernah kau mengaku-aku dia sebagai wanitamu!”Draco tersenyum sinis melihat Mireya juga terlibat. Dalam hati dia bersyukur datang tepat waktu. Dia mendengar jeritan Luna. Dia sudah menduga apa yang terjadi sebelum dirinya datang. Sekarang kebenciannya pada Danny dan Mireya semakin bertambah.“Kalian ingin membunuh anakku yang ada di kandungan Luna?” Draco melangkah mendekat, menatap tajam Danny dan Mireya. “Luna adalah milikku!” desis Danny menekankan.Draco tersenyum sinis. “Kau ingin tahu kenapa aku bertekad mengalahkanmu di pelelangan waktu i

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status