Share

Bab 5. Hukuman Panas

Suara berat menyentak membuat terkejut Luna. Bahu gadis itu bergetar ketakutan. Wajahnya memucat akibat rasa takut menyelimuti dirinya. Sang pemilik suara berat itu sangat dia hafal. Membuat debar jantungnya berpacu semakin keras bahkan seolah ingin berhenti berdetak.

Napas Luna seakan menjadi sesak. Bulu kuduknya mulai merinding di kala sosok pria itu melangkah mendekat menghampirinya—dan kini berdiri di belakangnya. Beberapa kali Luna meneguk salivanya susah payah.

“Kau ingin ke mana, Luna?” bisik pria itu serak di telinga Luna. 

Luna tidak berani menjawab. Organ dalam tubuhnya seakan ingin mati. Kakinya pun seolah lumpuh tidak bisa berkutik sama sekali. Embusan napas pria itu kini menerpa kulit lehernya—membuat bulu kuduknya menjadi merinding.

“Ingin melarikan diri, hm?” bisik pria itu lagi seraya meremas pelan pinggang Luna. “Jawab aku, Luna. Jangan hanya diam!” Dengan sengaja, pria itu menggigit daun telinga Luna—hingga membuat gadis itu merintih kesakitan.

“T-Tuan … a-aku tidak—”

“Jangan berbohong padaku, Luna!” desis Draco seraya mencubit pinggang gadis itu.

Ya, yang ada di belakang Luna adalah Draco Riordan. Gadis itu tertangkap basah di kala ingin melarikan diri. Sialnya, Luna sendiri sama sekali tidak mengira kalau akan tertangkap basah oleh Draco Riordan.

Pelayan mengatakan Draco biasa pulang pada pukul satu atau dua pagi. Ternyata, dugaan pelayan salah besar. Pria kejam itu pulang lebih dulu. Alhasil, Luna dibuat mati kutu tidak bisa berkutik sama sekali. 

Air mata Luna mulai berlinang jatuh membasahi pipinya. Dia sudah tertangkap basah. Ingin alasan seperti apa pun pasti akan tetap percuma. Mengaku atau tidak mengaku, akan tetap mendapatkan hukuman.

Perlahan, Luna mulai memberanikan diri membalikkan badannya menghadap Draco. Mata gadis itu sudah memerah akibat air mata tumpah membasahi pipinya. Tidak ada cara lain. Hal yang bisa dia lakukan sekarang adalah berusaha memberanikan diri.

“A-aku ingin pulang!” isak Luna sesenggukan. “Aku tidak mau di sini!”

Aura wajah Draco menunjukkan kemarahan. Sepasang iris matanya berkilat menajam mendengar apa yang dikatakan Luna. Pria itu menarik kasar dagu Luna—dan melayangkan tatapan tajam yang seolah memberikan ancaman tak main-main.

“Kau ingin pulang?” desis Draco.

Luna mengangguk lemah sambil menangis.

Draco tersenyum sinis. “Kau pulang ke mana, Luna? Ke tempat Bibimu yang menjualmu ke rumah pelacuran? Kau lebih memilih untuk pergi menemui Bibimu yang pasti akan menjualmu lagi ke para pria hidung belang. Itu yang kau inginkan?”

Bahu Luna bergetar ketakutan mendengar ucapan Draco. Otaknya langsung berpikir bahwa apa yang dikatakan oleh pria itu benar. Jika dia kembali pada bibinya, maka pasti bibinya akan menjualnya lagi. Luna bungkam. Tidak bisa menjawab sama sekali. Yang dilakukan gadis itu hanyalah menangis.  

Draco menarik kasar tangan Luna memaksa gadis itu masuk ke dalam kamar. Luna sempat berontak di kala Draco menyeret kasar tangannya. Tetapi, gadis itu tidak lagi bisa berontak ketika Draco melayangkan tatapan tajam penuh peringatan.

Di kamar, Draco menghadapkan tubuh Luna ke depan cermin. Pria itu melepaskan jaket tebal di tubuh Luna—dan menurunkan tali spaghetti dress gadis itu. Sontak, Luna semakin menangis akan tindakan Draco.

“L-lepaskan aku,” isak Luna seraya menatap cermin—melihat Draco tengah mencumbu lehernya dari pantulan cermin itu.

Draco menanggalkan dress Luna hingga membuat dress itu terjatuh ke lantai. Tubuh gadis itu hanya tersisa bra dan celana dalam berenda. Membuatnya semakin menangis. Tindakan keji Draco sangat merendahkan dirinya.

Draco memeluk pinggang Luna dan membawa tangannya memberikan remasan di payudara gadis itu. Luna memekik terkejut di kala dua tangan Draco menyentuh dua payudaranya. 

Luna sempat menyingkirkan kedua tangan Draco, tetapi sayangnya tenaga gadis itu hanya bagaikan kapas bagi pria itu. Luna tidak akan mungkin bisa lepas dari jerat Draco dalam kondisi seperti ini.

Draco semakin meremas keras payudara Luna. Tampak Luna meringis kesakitan di kala tangan kokoh Draco meremas dua bukit kembar miliknnya. Mata gadis itu sudah sembab akibat tangis yang tak kunjung reda.

“Sekarang, aku masih menjadi pria pertama yang menyentuhmu, Luna.” Draco berbisik serak di telinga Luna. “Setidaknya, jauh lebih baik menjadi pelacur dari satu pria daripada harus banyak pria, kan?”

Luna menggeleng sambil menangis. “Aku bukan pelacur. A-aku tidak menjual diriku!” isaknya sesenggukan. Dia masih menatap Draco dari pantulan cermin.

Draco membalikkan badan Luna menghadap dirinya. “Faktanya kau sudah aku beli. Sama saja kau dengan pelacurku.”

“Aku akan mengembalikan uangmu!” isak Luna.

Draco tersenyum sinis. “Bagaimana caramu mengembalikan uangku, Luna?”

“A-aku—” Lidah Luna kelu tak bisa menjawab.

Draco menarik kasar dagu Luna dengan satu tangan kiri, dan tangan kanan menanggalkan pengait bra gadis itu. “Kau tidak akan mampu mengganti uangku.” Bibir pria itu mengecup bibir Luna. “Tapi ini bukan tentang uang. Ini pun tentang tubuhmu yang merespon sentuhanku.” Dia melucuti bra yang dipakai Luna—hingga membuat kedua payudara di dada gadis itu menyembul keluar.

Luna memekik terkejut di kala tubuh bagian atasnya sudah telanjang akibat ulah Draco. Dengan cepat, gadis itu menyilangkan dua tangannya ke dadanya. Dia tidak mau sampai Draco kembali melihat tubuhnya.

Draco begitu mudah menyingkirkan kedua tangan Luna yang menutupi dada gadis itu. “Jangan tutupi. Aku ingin membuktikan tubuhmu merespon sentuhanku,” bisiknya sambil membelai puting payudara Luna dengan jemarinya.

Luna meringis geli dan nikmat di kala dua jemari Draco membelai puncak dadanya. “S-stop! A-aku mohon s-stop!”

Draco tak mengindahkan perkataan Luna. Pria itu mendorong tubuh Luna hingga berbaring di ranjang. Dia mulai membenamkan bibirnya ke puting payudara sebelah kiri gadis itu—dan tangan kanannya membelai titik sensitive-nya.

“Ah!” Luna berteriak mendesah tak karuan akibat sentuhan Draco.

Draco melucuti celana dalam berenda Luna—dan melempar ke sembarangan arah. Dia memasukan dua jemarinya ke dalam liang sempit gadis itu—hingga membuat gadis itu menjerit tak karuan.

Hasrat yang membakar dan gairah yang berkobar, membuat Luna tidak menyadari bahwa dirinya sudah benar-benar dalam keadaan telanjang. Draco tak menyia-nyiakan. Pria itu menanggalkan pakaiannya sendiri—dan langsung membuka lebar kedua paha Luna—menyatukan kejantanannya ke dalam liang sempit itu.

“Ah!” Luna memeluk erat punggung kekar Draco. Bibirnya mengerang nikmat di kala Draco menghunjamnya dengan tempo yang pelan. Rasanya sudah tidak sesakit seperti pertama. Sekarang yang dirasakan sekarang adalah rasa nikmat yang belum pernah Luna rasakan dalam hidupnya.

Draco menyeringai puas melihat Luna yang mendesah di bawahnya. Pria itu mendekatkan bibirnya ke bibir gadis itu. “Kau munafik, Luna,” bisiknya seraya menaikan tempo menghunjam dengan keras.

“Ah!” Luna mengerang kesakitan, tapi tetap terasa nikmat. Kata-kata ‘Munafik’ yang lolos di bibir Draco—diabaikan gadis itu. Rasa nikmat membuat Luna tidak bisa berpikir jernih.

Draco melumat bibir Luna dan menghunjam liar kewanitaan Luna yang sangat basah itu. “Call my name, Luna,” bisiknya di sela-sela pergulatan.

Luna mengerang sambil memeluk erat punggung kekar pria itu. “Ah, Draco, pelan.”

Draco tersenyum penuh kemenangan ketika Luna menyebut namanya. Pria itu kembali melumat bibir Luna—dan bermain dengan pelan, sedang, dan liar. Suara Luna terdengar jeritan karena Draco bermain dengan sangat liar. Sayangnya, teriakan gadis itu malah semakin membuat permainan itu panas.

Draco menggila menghunjam gadis di bawahnya dengan liar. Suara desahan bersahutan memenuhi kamar megah itu. Luna membuka lebar kedua pahanya—seolah membiarkan Draco untuk memasukinya lebih dalam.

“Ah, Draco!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status