Suara berat menyentak membuat terkejut Luna. Bahu gadis itu bergetar ketakutan. Wajahnya memucat akibat rasa takut menyelimuti dirinya. Sang pemilik suara berat itu sangat dia hafal. Membuat debar jantungnya berpacu semakin keras bahkan seolah ingin berhenti berdetak.
Napas Luna seakan menjadi sesak. Bulu kuduknya mulai merinding di kala sosok pria itu melangkah mendekat menghampirinya—dan kini berdiri di belakangnya. Beberapa kali Luna meneguk salivanya susah payah.
“Kau ingin ke mana, Luna?” bisik pria itu serak di telinga Luna.
Luna tidak berani menjawab. Organ dalam tubuhnya seakan ingin mati. Kakinya pun seolah lumpuh tidak bisa berkutik sama sekali. Embusan napas pria itu kini menerpa kulit lehernya—membuat bulu kuduknya menjadi merinding.
“Ingin melarikan diri, hm?” bisik pria itu lagi seraya meremas pelan pinggang Luna. “Jawab aku, Luna. Jangan hanya diam!” Dengan sengaja, pria itu menggigit daun telinga Luna—hingga membuat gadis itu merintih kesakitan.
“T-Tuan … a-aku tidak—”
“Jangan berbohong padaku, Luna!” desis Draco seraya mencubit pinggang gadis itu.
Ya, yang ada di belakang Luna adalah Draco Riordan. Gadis itu tertangkap basah di kala ingin melarikan diri. Sialnya, Luna sendiri sama sekali tidak mengira kalau akan tertangkap basah oleh Draco Riordan.
Pelayan mengatakan Draco biasa pulang pada pukul satu atau dua pagi. Ternyata, dugaan pelayan salah besar. Pria kejam itu pulang lebih dulu. Alhasil, Luna dibuat mati kutu tidak bisa berkutik sama sekali.
Air mata Luna mulai berlinang jatuh membasahi pipinya. Dia sudah tertangkap basah. Ingin alasan seperti apa pun pasti akan tetap percuma. Mengaku atau tidak mengaku, akan tetap mendapatkan hukuman.
Perlahan, Luna mulai memberanikan diri membalikkan badannya menghadap Draco. Mata gadis itu sudah memerah akibat air mata tumpah membasahi pipinya. Tidak ada cara lain. Hal yang bisa dia lakukan sekarang adalah berusaha memberanikan diri.
“A-aku ingin pulang!” isak Luna sesenggukan. “Aku tidak mau di sini!”
Aura wajah Draco menunjukkan kemarahan. Sepasang iris matanya berkilat menajam mendengar apa yang dikatakan Luna. Pria itu menarik kasar dagu Luna—dan melayangkan tatapan tajam yang seolah memberikan ancaman tak main-main.
“Kau ingin pulang?” desis Draco.
Luna mengangguk lemah sambil menangis.
Draco tersenyum sinis. “Kau pulang ke mana, Luna? Ke tempat Bibimu yang menjualmu ke rumah pelacuran? Kau lebih memilih untuk pergi menemui Bibimu yang pasti akan menjualmu lagi ke para pria hidung belang. Itu yang kau inginkan?”
Bahu Luna bergetar ketakutan mendengar ucapan Draco. Otaknya langsung berpikir bahwa apa yang dikatakan oleh pria itu benar. Jika dia kembali pada bibinya, maka pasti bibinya akan menjualnya lagi. Luna bungkam. Tidak bisa menjawab sama sekali. Yang dilakukan gadis itu hanyalah menangis.
Draco menarik kasar tangan Luna memaksa gadis itu masuk ke dalam kamar. Luna sempat berontak di kala Draco menyeret kasar tangannya. Tetapi, gadis itu tidak lagi bisa berontak ketika Draco melayangkan tatapan tajam penuh peringatan.
Di kamar, Draco menghadapkan tubuh Luna ke depan cermin. Pria itu melepaskan jaket tebal di tubuh Luna—dan menurunkan tali spaghetti dress gadis itu. Sontak, Luna semakin menangis akan tindakan Draco.
“L-lepaskan aku,” isak Luna seraya menatap cermin—melihat Draco tengah mencumbu lehernya dari pantulan cermin itu.
Draco menanggalkan dress Luna hingga membuat dress itu terjatuh ke lantai. Tubuh gadis itu hanya tersisa bra dan celana dalam berenda. Membuatnya semakin menangis. Tindakan keji Draco sangat merendahkan dirinya.
Draco memeluk pinggang Luna dan membawa tangannya memberikan remasan di payudara gadis itu. Luna memekik terkejut di kala dua tangan Draco menyentuh dua payudaranya.
Luna sempat menyingkirkan kedua tangan Draco, tetapi sayangnya tenaga gadis itu hanya bagaikan kapas bagi pria itu. Luna tidak akan mungkin bisa lepas dari jerat Draco dalam kondisi seperti ini.
Draco semakin meremas keras payudara Luna. Tampak Luna meringis kesakitan di kala tangan kokoh Draco meremas dua bukit kembar miliknnya. Mata gadis itu sudah sembab akibat tangis yang tak kunjung reda.
“Sekarang, aku masih menjadi pria pertama yang menyentuhmu, Luna.” Draco berbisik serak di telinga Luna. “Setidaknya, jauh lebih baik menjadi pelacur dari satu pria daripada harus banyak pria, kan?”
Luna menggeleng sambil menangis. “Aku bukan pelacur. A-aku tidak menjual diriku!” isaknya sesenggukan. Dia masih menatap Draco dari pantulan cermin.
Draco membalikkan badan Luna menghadap dirinya. “Faktanya kau sudah aku beli. Sama saja kau dengan pelacurku.”
“Aku akan mengembalikan uangmu!” isak Luna.
Draco tersenyum sinis. “Bagaimana caramu mengembalikan uangku, Luna?”
“A-aku—” Lidah Luna kelu tak bisa menjawab.
Draco menarik kasar dagu Luna dengan satu tangan kiri, dan tangan kanan menanggalkan pengait bra gadis itu. “Kau tidak akan mampu mengganti uangku.” Bibir pria itu mengecup bibir Luna. “Tapi ini bukan tentang uang. Ini pun tentang tubuhmu yang merespon sentuhanku.” Dia melucuti bra yang dipakai Luna—hingga membuat kedua payudara di dada gadis itu menyembul keluar.
Luna memekik terkejut di kala tubuh bagian atasnya sudah telanjang akibat ulah Draco. Dengan cepat, gadis itu menyilangkan dua tangannya ke dadanya. Dia tidak mau sampai Draco kembali melihat tubuhnya.
Draco begitu mudah menyingkirkan kedua tangan Luna yang menutupi dada gadis itu. “Jangan tutupi. Aku ingin membuktikan tubuhmu merespon sentuhanku,” bisiknya sambil membelai puting payudara Luna dengan jemarinya.
Luna meringis geli dan nikmat di kala dua jemari Draco membelai puncak dadanya. “S-stop! A-aku mohon s-stop!”
Draco tak mengindahkan perkataan Luna. Pria itu mendorong tubuh Luna hingga berbaring di ranjang. Dia mulai membenamkan bibirnya ke puting payudara sebelah kiri gadis itu—dan tangan kanannya membelai titik sensitive-nya.
“Ah!” Luna berteriak mendesah tak karuan akibat sentuhan Draco.
Draco melucuti celana dalam berenda Luna—dan melempar ke sembarangan arah. Dia memasukan dua jemarinya ke dalam liang sempit gadis itu—hingga membuat gadis itu menjerit tak karuan.
Hasrat yang membakar dan gairah yang berkobar, membuat Luna tidak menyadari bahwa dirinya sudah benar-benar dalam keadaan telanjang. Draco tak menyia-nyiakan. Pria itu menanggalkan pakaiannya sendiri—dan langsung membuka lebar kedua paha Luna—menyatukan kejantanannya ke dalam liang sempit itu.
“Ah!” Luna memeluk erat punggung kekar Draco. Bibirnya mengerang nikmat di kala Draco menghunjamnya dengan tempo yang pelan. Rasanya sudah tidak sesakit seperti pertama. Sekarang yang dirasakan sekarang adalah rasa nikmat yang belum pernah Luna rasakan dalam hidupnya.
Draco menyeringai puas melihat Luna yang mendesah di bawahnya. Pria itu mendekatkan bibirnya ke bibir gadis itu. “Kau munafik, Luna,” bisiknya seraya menaikan tempo menghunjam dengan keras.
“Ah!” Luna mengerang kesakitan, tapi tetap terasa nikmat. Kata-kata ‘Munafik’ yang lolos di bibir Draco—diabaikan gadis itu. Rasa nikmat membuat Luna tidak bisa berpikir jernih.
Draco melumat bibir Luna dan menghunjam liar kewanitaan Luna yang sangat basah itu. “Call my name, Luna,” bisiknya di sela-sela pergulatan.
Luna mengerang sambil memeluk erat punggung kekar pria itu. “Ah, Draco, pelan.”
Draco tersenyum penuh kemenangan ketika Luna menyebut namanya. Pria itu kembali melumat bibir Luna—dan bermain dengan pelan, sedang, dan liar. Suara Luna terdengar jeritan karena Draco bermain dengan sangat liar. Sayangnya, teriakan gadis itu malah semakin membuat permainan itu panas.
Draco menggila menghunjam gadis di bawahnya dengan liar. Suara desahan bersahutan memenuhi kamar megah itu. Luna membuka lebar kedua pahanya—seolah membiarkan Draco untuk memasukinya lebih dalam.
“Ah, Draco!”
Sinar matahari menembus ke sela-sela jendela, menyentuh pipi mulus Luna. Perlahan, mata gadis itu mengerjapkan mata beberapa kali. Tepat ketika matanya sudah terbuka sempurna—tatapannya mengendar ke dalam kamarnya.Seketika raut wajah Luna berubah melihat banyak pakaian berserakan sembarangan di atas lantai kamar. Tunggu! Detik di mana Luna melihat pakaiannya berceceran—kepingan ingatannya teringat tentang kejadian tadi malam.Luna menelan salivanya susah payah. Kepingan memori layaknya puzzle yang terpecah yang telah mulai tersusun di otaknya. Gadis itu mengingat dengan jelas kejadian tadi malam. Kejadian panas yang membuatnya gemetar.Luna memberanikan diri menurunkan pandangannya melihat—ke bawah di mana tubuhnya penuh dengan bercak kemerahan. Tenggorokan gadis itu seolah tercekat di kala tidak sanggup untuk mengeluarkan suara.Ingatan Luna masih bekerja sangat baik. Gadis itu mengingat bagaimana Draco menyentuh tubuhnya. Demi Tuhan! Ingin sekali Luna berlari sekencang mungkin, tap
“Katakan di mana keponakanku?!” Delcy menatap garang sosok pria berusia hampir empat puluh tahun. Pria yang berkuasa memiliki pelelangan di pasar gelap. Seperti jual beli manusia ataupun pembelian barang-barang selundupan.Ead mengembuskan napas kasar. “Tuan Draco Riordan tidak mau memberikan keponakanmu. Sudahlah, lagi pula kau juga mendapatkan uang tambahan, kan? Tunggu saja sampai Tuan Riordan bosan pada keponakanmu, baru kau menjual keponakanmu lagi pada pria lain.”Delcy tak terima mendengar ucapan Ead. “Keponakanku itu sangat cantik! Jika dia hanya melayani satu pria saja, penghasilannya tidak akan terlalu banyak! Aku tidak mau tahu, Tuan Riordan harus mengembalikan keponakanku!”Ead tersenyum samar. “Kau tidak mengenal siapa Tuan Riordan.”“Persetan dengan statusnya! Perjanjiannya adalah setelah dia mencicipi keperawanan keponakanku, dia harus menyerahkan keponakanku di hari kedua! Kenapa malah dia mengklaim keponakanku menjadi miliknya?!” seru Delcy tak terima. Wanita itu terk
Luna tidak sama sekali mengira bibinya akan berani mendatangi kantor Draco. Sungguh, membayangkan bibinya mengamuk, membuat jantungnya berpacu semakin cepat akibat rasa takut yang melanda hebat.Luna yang berniat untuk melarikan diri, membuatnya mengurungkan niatnya. Tentu, hal yang dia takutkan adalah bibinya tega menjualnya lagi. Dia tidak pernah ingin menjadi seorang pelacur rendah yang tak memiliki harga diri. Luna sangat takut jika sampai dirinya bertemu dengan bibinya lagi. Ya, sekarang dia menyadari bahwa dirinya akan semakin berada dalam bahaya. Sekarang dia memang berada dalam dua pilihan. Tetap berada di sisi Draco, atau di luar sana tapi tidak aman karena bibinya akan mengincarnya.Hati kecil Luna berkata memintanya untuk tetap tinggal di penthouse Draco. Entah, sampai kapan. Hal yang pasti berada di dalam penthouse Draco masih jauh lebih aman. Di luar sana, Luna pastinya berada dalam bahaya. “Nona Luna?” sapa sang pelayan menghampiri Luna yang duduk melamun di taman b
Aroma makanan tercium di indra penciuman Luna, membuat gadis itu yang tengah tertidur pulas langsung terbangun. Perlahan, gadis itu mengerjapkan mata beberapa kali dan terbangun dalam tidurnya.“Selamat pagi, Nona. Maaf membangunkan Anda.” Pelayan menyapa Luna yang baru saja membuka mata.Luna mengerjapkan mata beberapa kali menatap sang pelayan. “Ah, iya tidak apa-apa. Jam berapa sekarang?”“Jam sembilan pagi, Nona,” jawab sang pelayan yang sontak membuat Luna terkejut.“Jam sembilan pagi?” Luna langsung duduk, akibat keterkejutannya.Sang pelayan mengangguk sopan. “Benar, Nona. Ini sudah jam sembilan pagi.” Luna menyeka matanya menggunakan punggung tangannya. Gadis itu terperanjat terkejut mendengar perkataan sang pelayan yang mengatakan ini sudah jam sembilan pagi. Detik itu juga, Luna mengalihkan pandangannya menatap jam dinding—benar bahwa sekarang sudah pukul sembilan pagi. Astaga! Luna kesiangan. Gadis itu tidak mengira kalau akan bangun seterlambat ini. Tapi tunggu … tiba-t
Dua minggu sudah Luna tinggal di penthouse megah milik Draco Riordan. Banyak sekali pertanyaan yang ada di kepala Luna, ingin dia ajukan pada Draco. Akan tetapi, dia tidak bisa memberi tahu pada Draco tentang apa yang ada di dalam isi kepalanya.Rasa takut Luna membuatnya mengurungkan niatnya, mengajukan pertanyaan pada Draco. Sosok Luna yang sekarang hanya bisa patuh akan apa yang diinginkan dan dikatakan oleh Draco.Sekarang Luna sudah jarang mendapatkan amukan dari Draco. Gadis itu bagaikan kucing kecil yang patuh dan penurut. Ini cara yang ampuh agar terbebas dari amukan Draco. Karena memang sekarang Luna telah terpenjara di sangkar emas—yang tak akan mungkin bisa membebaskan dirinya.“Luna.” Draco melangkah menghampiri Luna yang tengah duduk di ruang kolam renang. Gadis itu sedikit jenuh. Dia memutuskan untuk duduk bersantai di ruang kolam renang. “Ya?” Luna mengalihkan pandangannya, menatap Draco yang menghampirinya.Draco mendekat menghampiri Luna. “Gantilah pakaianmu, aku in
Kata-kata Elina bagaikan batu keras yang menghantam tubuh Luna. Lidahnya seolah kelu tidak bisa merangkai kata. Air mata sudah mengumpul di belakang bola mata gadis itu—menahan kuat agar air matanya tidaklah keluar. “Aku bukan simpanan,” ucap Luna pelan memberanikan diri. Harga dirinya benar-benar telah direndahkan oleh Elina.Elina membelai kasar pipi Luna. “Gadis sepertimu janganlah bermimpi menjadi yang utama. Draco tidak mungkin menjadikan gadis rendah sepertimu menjadi istrinya.”“Luna?” Draco sudah selesai menelepon, menginterupsi percakapan Luna dan Elina. Tepat pria itu datang—Elina menjauh dari Luna. Ya, Draco tidak mendengar apa yang Elina katakan. Sebab, ketika dia datang—Elina menyudahi ucapannya.Luna yang melihat Draco di hadapannya langsung memeluk pria itu, menunjukkan meminta perlindungan. Hanya saja, dia tidak bisa mengatakan apa pun. Luna tak bisa berkata-kata di kala kesedihan melingkupinya.Draco merasa ada yang aneh dari Luna. Apalagi tiba-tiba dia mendapatkan
Draco berdiri di ruang kerjanya dengan sorot mata tajam penuh amarah tertahan. Ingatan pria itu terus terngiang akan apa yang dikatakan oleh Luna. Dia tidak mengira Elina akan mengatakan hal seperti itu pada Luna. Draco membenci jika ada orang yang berani ikut campur tentang urusannya. “Tuan…” Nigel melangkah masuk mendekat ke arah Draco. Dia datang, karena atas permintaan tuannya. Tentu, Nigel diwajibkan untuk datang tepat waktu. Tidak boleh sama sekali terlambat jika tuannya membutuhkannya.Draco mengalihkan pandangannya, menatap sang asisten yang sudah tiba di hadapannya. “Kau sudah mendapatkan nomor Elina?” tanyanya dingin.Nigel mengangguk. “Sudah, Tuan. Saya sudah mendapatkan nomor Nona Elina. Sekitar beberapa menit lalu, saya baru mengirimkan nomor Nona Elina pada Anda. Anda bisa memeriksa lebih dulu untuk memastikan.”Mendengar apa yang dikatakan oleh asistennya, Draco mengambil ponselnya yang ada di atas meja, dan melihat ke layar bahwa benar—asistennya mengirimkan nomor te
Suara dentuman musik memekak telinga. Draco duduk di depan bartender sambil meminum minuman racikan dari bartender. Minuman alkohol yang diracik oleh bartender sejak tadi ditenggak oleh Draco. Pria itu memutuskan untuk pergi ke klub malam seorang diri. Kepalanya penat tidak dalam kondisi mood yang baik. Draco tidak langsung pulang, karena perasaannya masih jengkel dan kesal. Ingatannya teringat pada Elina yang mencari-cari masalah dengan membawa-bawa nama Mireya. Mood Draco berubah menjadi kesal dan emosi.“Tuan? Anda di sini?” Nigel yang kebetulan ada di klub malam, segera menghampiri Draco. Dia sama sekali tidak mengira tuannya berada di tempat yang sama dengannya.Draco menatap Nigel sekilas. “Kenapa kau ada di sini, Nigel?”“Tuan, saya memiliki janji bertemu dengan teman saya tadi,” jawab Nigel sopan memberi tahu.“Kau ingin pulang?” Draco bertanya pada asistennya. Dia meminta sang bartender meracik lagi minuman untuknya—tapi dia meminta agar alkoholnya jauh lebih kuat. Kepala pu