Share

Bab 6.  Jangan Coba Untuk Kabur Lagi!

Sinar matahari menembus ke sela-sela jendela, menyentuh pipi mulus Luna. Perlahan, mata gadis itu mengerjapkan mata beberapa kali. Tepat ketika matanya sudah terbuka sempurna—tatapannya mengendar ke dalam kamarnya.

Seketika raut wajah Luna berubah melihat banyak pakaian berserakan sembarangan di atas lantai kamar. Tunggu! Detik di mana Luna melihat pakaiannya berceceran—kepingan ingatannya teringat tentang kejadian tadi malam.

Luna menelan salivanya susah payah. Kepingan memori layaknya puzzle yang terpecah yang telah mulai tersusun di otaknya. Gadis itu mengingat dengan jelas kejadian tadi malam. Kejadian panas yang membuatnya gemetar.

Luna memberanikan diri menurunkan pandangannya melihat—ke bawah di mana tubuhnya penuh dengan bercak kemerahan. Tenggorokan gadis itu seolah tercekat di kala tidak sanggup untuk mengeluarkan suara.

Ingatan Luna masih bekerja sangat baik. Gadis itu mengingat bagaimana Draco menyentuh tubuhnya. Demi Tuhan! Ingin sekali Luna berlari sekencang mungkin, tapi semua itu tidaklah mungkin.

“Apa yang sudah kau lakukan, Luna?” Luna meremas rambutnya sendiri. “Kenapa kau sangat murahan!” gumamnya pada diri sendiri akibat emosi yang melanda.

Sentuhan sialan Draco tidak lepas sama sekali dari ingatan Luna. Itu yang membuat Luna menjadi kesal dan emosi pada dirinya sendiri. Terbangun dalam keadaan tubuh telanjang dan hanya terselimuti oleh selimut tebal.

Luna menarik selimutnya demi menutupi rapat tubuh telanjangnya. Perasaan yang dirasakannya saat ini begitu amat campur aduk. Tadi malam, dia ingin melarikan diri bermaksud pergi sejauh mungkin dari Draco.

Namun, rencana hanya tinggal rencana. Pria itu berhasil menangkap Luna yang ingin melarikan diri. Sungguh, hidup gadis itu bagaikan berada di sebuah lingkaran api. Sejauh apa pun Luna berusaha terbebas, panasnya bara api akan tetap menyulut ke sekujur tubuhnya.

Luna telah terjebak. Gadis itu tidak bisa melarikan diri ke mana pun. Sekeras apa pun, dirinya berusaha tetap tidak akan pernah bisa pergi dari penjara milik Draco Riordan.

Luna menyibak selimutnya, dan hendak turun dari ranjang. Namun, sialnya kaki gadis itu tersangkut di selimut—hingga membuatnya terjatuh di lantai. Sontak, Luna menjerit sekaligus merintih kesakitan.  

Saat Luna terjatuh, tatapan gadis itu melihat Draco keluar dari kamar mandi hanya menggunakan handuk yang melilit pinggang pria itu. Tampak raut wajah Luna berubah menjadi panik—melihat sosok pria yang mendekat ke arahnya. 

Luna meneguk ludahnya susah payah. Tubuh kekar pria itu membuat seluruh organ di dalam tubuh Luna seolah meronta-ronta. Bekas air masih menetes dari tubuh kekar pria itu—membuat Luna tak sedikit pun berkedip.

Draco bagaikan pahatan patung Dewa Yunani yang sempurna dan memukau. Tidak sama sekali memiliki celah kekurangan. Lengan kekar. Otot perut sixpack. Rahang tegas. Dada bidang. Serta tato di tubuhnya yang menyempurnakan penampilannya.

Luna melihat keindahan makhluk yang Tuhan ciptakan sangat sempurna. Munafik jika gadis itu tidak mengakui kagum akan fisik yang dimiliki Draco Riordan. Hanya saja, di balik fisik sempurna dari pria itu—terdapat sifat arogan dan kejam.

Sifat Draco yang membuat Luna selalu takut berada di dekat pria itu. Bahkan melihat wajahnya saja, sudah membuat nyali Luna menciut. Apalagi sekarang kondisinya Luna hanya memakai selimut tebal—menatap Draco menghampirinya hanya menggunakan handuk tebal.

Luna memundurkan tubuhnya yang ada di lantai. Gadis itu meremas kuat selimut. Bahunya bergetar ketakutan. Perutnya seakan diaduk-aduk. Tidak pernah terpikir olehnya, jika akan jadi seperti ini.

Draco menundukkan tubuhnya, bersejajar ke tubuh Luna yang berada di lantai. Sepasang iris mata pria itu dingin dan tajam terhunus pada gadis itu. “Masih ingin melarikan diri, hm?” bisiknya serak menusuk.

Luna tak berani menjawab ucapan Draco. Hal yang gadis itu lakukan hanyalah menggelengkan kepala. Rasa takutnya menyelimuti. Mata Luna sudah memerah, menahan air matanya agar tidak tumpah keluar

Draco membelai pipi Luna dengan sedikit kasar. “Jangan pernah berniat untuk melarikan diri. Jika kau berani, maka kau akan tahu akibatnya, Luna.” Pria itu mendekatkan bibirnya ke telinga Luna. “Tadi malam, aku melakukan dengan sangat pelan. Jika kau berani melarikan diri lagi, maka aku bisa melakukan dengan keras hingga membuatmu tidak bisa berjalan di pagi hari. Kau tidak memiliki kebebasan, Luna. Aku sudah membelimu. Itu artinya kau adalah milikku. Sangat tidak pantas, kau ingin melarikan diri dari orang yang sudah membelimu.”

Air mata Luna berlinang jatuh membasahi pipinya. Setiap kali Draco bicara sangatlah membuat hatinya tercabik-cabik. Dia bukan barang yang diperjual-belikan. Namun, apa yang bisa Luna lakukan sekarang? Gadis itu telah terjebak di dalam lingkaran api yang membawanya ke dalam penderitaan.

Luna sudah tidak bisa berbuat apa pun. Bahkan niat untuk melarikan diri saja tidak akan mungkin bisa. Yang bisa dilakukan gadis itu adalah pasrah dengan keadaan. Ingin berteriak atau apa pun tetap saja percuma.

“Mandilah. Kita akan sarapan bersama.” Draco mengecup bibir Luna, lalu dia menanggalkan pakaiannya—memakai celana tepat di hadapan Luna.

Luna terkejut akan tindakan Draco yang mengganti pakaian di depannya. Gadis itu menutup mata dengan kedua tangannya dan lengan mengapit selimut agar selimut yang membalut tubuhnya tidak melorot.

Senyuman miring terlukis di wajah Draco, melihat Luna yang menutup mata menggunakan kedua tangan gadis itu. Sangat menggemaskan. Padahal gadis itu sudah pernah melihat tubuh telanjangnya.

“Sekarang kau tutup mata, tapi tadi malam kau mendesah memanggil namaku,” ucap Draco yang sontak membuat wajah Luna memerah malu.

Luna masih dalam keadaan menutup mata dengan telapak tangannya. Kata-kata Draco benar-benar membuatnya sangat malu! Kata-kata vulgar itu menggelitiknya menimbulkan kepingan memori di otaknya mengingat tadi malam.  Luna membenci posisi seperti ini. Posisi di mana dirinya merasakan tersudut.

Draco menarik kasar dagu Luna, mencium dan melumat lembut bibir itu. “Segeralah bersihkan tubuhmu. Jika kau terus menutup tubuh telanjangmu dengan selimut, jangan salahkanku kalau aku kembali memasukimu dan membuatmu mengerang namaku,” bisiknya serak dan vulgar. 

Luna meneguk ludahnya berat. Bahunya bergetar mendengar apa yang dikatakan oleh Draco. Sialnya kata-kata vulgar pria itu malah berhasil membuat kewanitaan Luna berkedut-kedut.

Draco membenarkan posisi berdirinya. Pria itu melangkah pergi meninggalkan tempat itu. Tepat di kala Draco sudah pergi—air mata Luna kembali berlinang membasahi pipinya.

***

Luna mengunyah perlahan makanan yang dihidangkan di hadapannya. Meskipun menu sarapan lezat, tapi tetap tidak membuat Luna memiliki selera makan. Gadis itu makan hanya demi agar dirinya tidak mendapatkan amarah Draco.

Luna sudah mengenal sifat temperamental Draco. Sudah tidak heran, jika pria itu memiliki emosi yang tidak stabil. Dia mencari aman. Tak ingin mendapatkan lagi masalah baru.

“Aku hari ini memiliki meeting. Kau jangan coba untuk melarikan diri. Sudah banyak penjaga yang akan berjaga di depan. Jika sampai aku mendapatkan laporan, kau ingin melarikan diri, maka aku pastikan kali ini aku tidak berbaik hati lagi padamu! Kau mengerti, Luna?” desis Draco tajam dan tak main-main.

Luna mengangguk cepat dengan raut wajah pucat ketakutan.

Draco menyudahi sarapannya. Pria itu bangkit berdiri—memberikan lumatan di bibir Luna—lalu melangkah pergi meninggalkan gadis itu. Tidak ada yang bisa Luna lakukan. Gadis itu bahkan hanya diam di kala mendapatkan ciuman dari Draco.

Luna telah tinggal di sangkar emas, dan tidak akan pernah bisa bebas dari sangkar emas ini. Entah, seperti apa nasib kehidupannya selanjutnya. Dia pun tidak mengerti dengan permainan takdir kehidupan dirinya.

***

Draco duduk di kursi kebesarannya seraya menyesap wine di tangannya. Sorot mata pria itu lurus ke depan—menyimpan jutaan emosi yang membakar. Pria itu baru saja selesai meeting. Dia masih kesal pada Luna yang berani melarikan diri.

Sejak kejadian tadi malam, dia meminta penjaga serta keamanan di sekitar apartemen di mana unit penthouse-nya berada—dijaga dengan sangat ketat. Untungnya tadi malam dirinya pulang lebih awal. Jika tidak, sudah pasti Luna akan melarikan diri.

Suara ketukan pintu terdengar. Refleks, Draco mengalihkan pandangannya ke arah pintu—dan menginterupsi orang yang mengetuk pintu itu untuk masuk ke dalam.

“Tuan.” Nigel menundukkan kepalanya di hadapan Draco.

“Ada apa?” Draco menatap tajam Nigel yang berdiri di hadapannya.

“Tuan, saya mendapatkan kabar kalau Bibi dari Nona Luna tidak terima Anda membawa Nona Luna pergi. Beliau mengatakan akan menuntut Anda,” tutur Nigel memberi tahu.

Draco tersenyum sinis mendengar laporan Nigel. “Katakan pada wanita tua itu. Jika berani menuntutku, maka lakukan saja. Aku tidak takut.”

“Tuan, tapi—”

“Apa kau tuli, Nigel?! Aku sudah pernah bilang padamu, aku akan membuang Luna jika aku sudah bosan!” Mata Draco menyalang tajam menatap Nigel.

Nigel menelan salivanya susah payah. “B-baik, Tuan. S-saya mengerti. S-saya permisi.” Dia segera menundukkan kepalanya, pamit undur diri dari hadapan Draco. 

Draco mengembuskan napas kasar. Dia masih kesal dengan Luna, sekarang bibi dari gadis itu malah membuat emosinya semakin terpancing. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status