"Tidur, Nay." Dilan membawa tubuh Sanaya yang hanya berbalut bathrobe ke pelukan. Tangan kanannya mengelus belakang kepala Sanaya, sementara tangan kanan yang melingkar di pinggang mengelus punggung perempuan itu. Dada Dilan terasa begitu hangat karena embusan napas Sanaya, yang terasa menjalar hingga ke hatinya. Bisa menghabiskan malam dengan perempuan yang dia sayang selalu membuat hatinya damai dan tenang. Sanaya sendiri juga tengah menikmati kebersamaannya dengan Dilan. Dia pikir, Dilan tidak akan pernah mau menemuinya lagi setelah bertunangan dengan Bianca. Namun, ketakutannya yang tak beralasan terjawab sudah. Buktinya, pemuda ini mau menemani dan menghiburnya seperti biasa. 'Kamu laki-laki baik, Dilan. Bianca beruntung bisa dapetin kamu.' Dalam hati Sanaya tengah memuji keberuntungan Bianca yang bisa mendapatkan laki-laki terbaik seperti Dilan. Apalah dia? Yang mempunyai nasib tak seberuntung gadis di luaran sana. Bisa memilih laki-laki yang dimau dan disuka. Bisa menghabisk
Menginap di hotel semalaman ternyata tak ada ruginya bagi Sanaya yang tengah dilanda rasa cemas dan gelisah. Kehadiran Dilan di sisinya selalu sukses memberinya semangat dan pikiran positif. Ketakutannya akan Leo pun perlahan sirna. Sanaya akan menghadapi pertanyaan tunangannya itu, apabila Leo kembali menanyainya.Sepulangnya dari hotel, Dilan mengantar Sanaya terlebih dulu. Pagi-pagi sekali mereka sudah chek-out dari sana karena tidak mau terjebak macet. Rona bahagia terpancar dari wajah cantik Sanaya yang terus bergelayut manja di lengan lelakinya.Apa? Lelaki?Seriously Sanaya?Kamu sudah mengklaim Dilan sebagai lelakimu? Apa jangan-jangan kamu sudah mulai menaruh hati padanya?Suara-suara dalam diri Sanaya seperti tengah mempertanyakan perasaannya terhadap Dilan. Dalam semalam hati Sanaya ternyata telah berubah.Apa karena dia takut kehilangan Dilan? Atau ... Sanaya memang tidak bisa hidup tanpa Dilan? Entahlah!Yang jelas, Sanaya membutuhkan Dilan, dan hanya lelaki itu yang bisa
Di weekend seperti ini Restoran selalu di penuhi dengan pengunjung. Apalagi kebetulan hari ini ada yang menyewa ruangan VIP untuk acara khusus reuni. Restoran yang awalnya dibangun oleh William itu merupakan salah satu Resto yang cukup terkenal di kota Jakarta. Tak sedikit orang yang menjadi pelanggan tetap di sana dan sering menyewanya untuk berbagai macam acara.Namun seiring berjalannya waktu dan persaingan yang semakin ketat, Restoran tersebut tidak cukup mampu bertahan di era modern seperti sekarang. Banyaknya kafe-kafe yang bermunculan hingga membuat usaha ayahnya Sanaya itu perlahan meredup.Lalu, parahnya lagi Restoran yang menjadi satu-satunya sumber keuangan dan kehidupan banyak orang itu hampir mengalami kebangkrutan. William yang kebingungan dan tidak tega jika harus menutup Restoran, kemudian meminta bantuan kepada salah seorang temannya.Teman di masa kuliahnya dulu yang sekaligus sahabatnya itu, bersedia memberikan bantuan dengan meminjamkan dana yang cukup besar. Atas
Pergi dalam kondisi perut lapar dan tertekan rasanya sungguh tidak nyaman. Apalagi atmosfer yang sangat tidak mengenakan terpancar dari aura wajah lelaki bermanik hitam kelam di sisinya. Pemandangan di luar jendela sepertinya lebih menarik dan menyenangkan, daripada Sanaya harus menatap sang tunangan yang berwajah menyebalkan.ck!Saat pergi meninggalkan Restoran, Sanaya belum sempat berpamitan pada Dilan, dikarenakan pemuda itu yang tidak berada di tempatnya. Cemas sekaligus gelisah merajai pikiran Sanaya sedari tadi. Takut jika Dilan marah atau tersinggung karena dia sama sekali belum menyentuh masakannya.Rencana pergi bersama pun harus tertunda, dan bodohnya dia yang belum sempat mengatakan apapun, mengenai acara dadakan ini. Sanaya harus datang ke rumah Leo untuk melihat contoh souvernir pernikahannya. Ajakan sang calon mertua yang tidak bisa dia tolak.Leo menghentikan laju mobil saat lampu lalu lintas berubah merah. Menarik tuas rem, lalu menoleh ke arah Sanaya. "Udah tau'kan
Sesi pilih memilih souvernir pun akhirnya selesai. Sekitar pukul delapan malam mama Anne meminta Leo untuk mengantar Sanaya pulang ke apartemennya. Beliau tidak mau sang calon menantu kemalaman."Kamu bawa mobilnya jangan ngebut-ngebut, ya? Jangan sampe menantu mami yang cantik ini lecet. Awas aja!" pesan mama Anne pada anak lelaki satu-satunya itu.Leo hanya menanggapinya dengan anggukan seraya berpikir, kenapa sang mami begitu menyukai Sanaya. Padahal jika dilihat-lihat tidak ada yang spesial dari calon istrinya itu. Kalau dibilang cantik, sih, Sanaya memang cantik. Menarik dan enak dipandang. Memiliki bodi bak model kenamaan. Kulitnya juga sang bersih, putih dan terawat.Namun, apalah arti semua itu, jika dia tidak bisa mencicipi atau merasainya terlebih dulu. Berbeda dengan kekasihnya yang terpaksa harus dia sembunyikan. Leo bahkan sudah menikmati setiap jengkal tubuh sang kekasih yang sangat dia cintai itu."Nay pulang dulu, ya, Mi …." Sanaya berpamitan sekali lagi pada mami, mem
Leo memagut sebentar bibir Sanaya, beringsut mundur sambil tersenyum miring. "Malam ini kamu terbebas lagi, Sayang. Tapi lain kali gak akan," ucapnya seraya mengusap bibir bawah tunangannya itu dengan ibu jari.Seandainya, Leo tidak mendapat telepon dadakan dari sang kekasih, mungkin detik ini juga Sanaya sudah dia kerjai. Sayangnya, niat tersebut lagi-lagi harus tertunda, lantaran prioritas kekasihnya lebih penting.Sementara Sanaya tentu langsung bernapas lega, karena akhirnya bisa terbebas dari singa lapar. "A-aku turun." Dia hendak membuka pintu mobil, tetapi Leo mencegahnya."Biar aku yang buka." Leo pun turun, lalu mengitari badan mobil.Dari dalam mobil Sanaya mengerutkan kening, merasa aneh dengan sikap Leo yang tidak seperti biasa. "Dia kenapa? Tumben mau bukain pintu?" gumamnya, lalu turun dari mobil setelah Leo membukakan pintu untuknya."Besok aku jemput kaya biasanya." Leo berkata seraya memegang lengan Sanaya. Menatap calon istrinya sejenak, lalu mendaratkan ciuman lagi
"Mbak Sanaya ngapain ke sini?"deg!'Mbak? Dilan manggil aku Mbak lagi?'Terkejut dengan pertanyaan yang dilontarkan Dilan, terlebih lelaki itu memanggilnya dengan sebutan Mbak. Sanaya sampai tak bisa berkata-kata. Datarnya suara Dilan membuatnya semakin serba salah.Mereka sempat sepakat tidak akan bicara formal ketika sedang berdua saja. Namun, malam ini kesepakatan tersebut nyatanya tak berlaku lagi, lantaran Dilan yang mungkin sedang merasa kesal."Aku … aku mau jelasin—""Jelasin apa, Mbak? Gak ada yang perlu dijelasin. Semua gak ada gunanya," sela Dilan memotong ucapan Sanaya dengan raut kecewa. Dia melanjutkan menghisap rokok yang ada disela-sela jarinya, lalu membuang asal asapnya.Penjelasan? Apa penting baginya sebuah penjelasan? Bila pada kenyataannya hubungan mereka memang tak pernah berarti apa-apa bagi Sanaya.Sanaya mendekat, meskipun hatinya terasa sakit mendengar ucapan Dilan yang terdengar menusuk. Lelaki di hadapannya ini benar-benar marah hingga tak mau mendengarka
"... Selama ini aku berusaha tahan. Aku berusaha nahan perasaan aku ke Mbak Sanaya. Tapi tetep gak bisa! Kenyataannya, perasaan aku emang gak bisa diilangin gitu aja. Aku cinta sama Mbak Sanaya. Aku sayang sama Mbak Sanaya. Mbak denger! Aku suka sama Mbak Sanaya.""Dilan …?"Pernyataan Dilan jelas membuat Sanaya termangu. Ketakutannya pun akhirnya menjadi kenyataan. Dilan menyimpan rasa untuknya selama ini.Lalu Sanaya? Bagaimana dengan perasaannya sendiri?"Nay ..." Dilan mengusap pipi Sanaya, hingga membuat perempuan itu terkesiap, lalu menatapnya nanar. "Maaf, aku udah melanggar kesepakatan kita. Aku gak bisa nahan perasaan ini, Nay. Aku gak bisa."Seringnya bersama, justru seperti sebuah pupuk yang memupuk benih cinta di dalam hatinya untuk Sanaya. Dilan sudah berusaha memupus harapan dan angan untuk bisa menjalani kehidupan bersama perempuan pemilik hatinya ini.Namun, hari ini ketika dia melihat Sanaya disentuh oleh laki-laki lain, hatinya berontak, merasa tidak terima. Dilan se