Share

2. Intan melihat Ayu.

Setelah mengantar Ammar ke sekolah, aku mampir kesebuah moll yang ada di kota ini. Langkah kakiku memasuki sebuah supermarket yang berada di lantai dasar. Banyak bahan makanan serta bumbu-bumbu di dapur yang habis.

Aku sangat menyukai berbelanja di sini, barang-barang di sini juga lengkap. Aku berjalan menyusuri lorong, melihat satu demi satu barang-barang yang terpajang di sana. Kebiasaanku sejak dulu, aku suka sekali berlama lama di dalam ruangan ber-AC di penuhi oleh aneka barang-barang ini.

Walau terkadang aku tak perlu menyusuri setiap lorong, cukup datang ke lorong makanan yang aku butuhkan saja. Namun aku merasa senang saja cuci mata dengan hanya melihat barang-barang baru yang terpajang di sana. Jika menarik di mata dan sekiranya aku butuh maka aku akan membelinya, jika tidak aku hanya akan melewatinya saja.

Hidup sebagai beban suami membuatku harus berhati-hati dalam mengelola keuangan. Walau sebenarnya, suamiku itu cukup memberikanku nafkah setiap bulannya. Bahkan cukup jika aku pakai untuk bersenang-senang serta hangout bareng dengan para sahabatku.

Tanpa terasa troliku yang aku dorong sudah hampir penuh dengan banyaknya belanjaan. Dari buah-buahan, sayur mayur, serta protein sudah aku beli. Cemilan untuk Ammar dan beberapa pernak-pernik dapur yang aku suka dan memang aku butuhkan pun juga sudah aku beli.

Aku memutari satu lorong terakhir sebelum aku kembali ke kasir untuk membayar semua belanjaan yang telah aku ambil ini. Saat tiba di lorong berisi deretan susu formula, mataku terbelalak melihat seseorang yang sangat aku kenal. Tubuhnya yang mungil membuat ia cukup kewalahan menjangkau rak yang paling atas.

"Ayu?! Untuk apa dia membeli kotak susu untuk bayi?" tanyaku seakan tak percaya. Mataku beralih pada troli yang ia bawa, membuatku lebih kaget lagi. Semua yang ada di dalamnya adalah perlengkapan dan kebutuhan bayi. Dari pempers, dan beberapa makanan pendamping ASI instans serta sereal.

Dahiku berkerut melihat semua itu. Pasalnya Ayu adikku itu belum menikah. Jadi jangankan punya bayi, punya suami saja tidak. Lalu untuk siapa semua barang-batang yang ia beli itu. Sedangkan setahu aku, ia tak memiliki saudara yang sedang memilki bayi.

Ayu berumur lebih muda lima tahun dariku. Di usianya yang sudah menginjak 27 tahun ini. Ia belum juga menikah atau pun memiliki kekasih. Itu yang aku ketahui selama ini. Mama Astrid, ibu kandung Ayu juga agak tertutup dengan kehidupan pribadi putrinya ini.

Baru saja aku ingin mendorong troliku untuk mendekat. Sebuah tepukan di bahu membuatku terkejut. Aku menoleh ke belakang.

"Maaf Mbak, ini kotak sereal anda jatuh," ujarnya sambil menyerahkan kotak sereal Koko crancy padaku. Aku mengucapkan terima kasih.

Saat aku kembali menoleh, aku kembali terkejut. Orang yang berada di hadapanku saat ini berubah. Bukan lagi Ayu. Aku mendekat dan memperhatikan troli yang ia bawa. Sama seperti troli yang aku lihat tadi. Tapi kenapa orangnya berbeda. Rasa-rasanya aku tak mungkin salah lihat.

"Mbak maaf, apa Mbak tadi melihat seorang wanita mungil di sini. Dia pakai dres bunga-bunga selutut?" tanyaku. Orang itu tampak bingung.

"Sepertinya nggak ada orang yang pakai baju itu deh, Mbak. Dari tadi tu curam ada saya di sini. Mungkin Mbak salah lihat kali," jelasnya. Semakin membuatku bingung.

"Mungkin. Maaf ya Mbak," ucapku. Wanita itu mengangguk. Ia mendorong trolinya, pergi menuju kasir. Aku memijit pelipisku pelan, masa ia aku salah lihat. Padahal tadi jelas banget kalau tadi itu Ayu.

Apa karena aku kurang istirahat tadi malam, ya? Makanya penglihatanku sedikit bermasalah hari ini.

Aku mematut diriku di depan cermin menggunakan daster model kerut dada ruffle. Salah satu yang paling merepotkan memiliki tubuh tinggi adalah setiap aku memakai daster dengan panjang standar, maka daster itu akan terlihat pendek di tubuhku. Membuat pahaku yang putih tersingkap. Hampir 10cm di atas lutut.

Sedangkan memakan daster yang panjang aku tak suka. Terlihat seperti menggunakan gamis saja.

"Mas tadi di supermarket yang ada di moll. Mama seperti melihat Ayu deh. Ia tampak berbelanja kebutuhan bayi, tapi anehnya, baru saja Mama menoleh ke belakang sebentar. Ayu berubah jadi orang lain. Aneh, kan? Masa ia mata Mama rabun sampai tidak bisa mengenali itu Ayu atau bukan?!" ujarku pada suamiku yang sedang mengerjakan laporan di atas ranjang. Tangan dan pandangannya tak sedikit pun beralih dari laptop yang ada di pangkuannya.

Sedangkan aku masih duduk di meja rias. Mengolah serum dan cream sebagai ritual rutinku sebelum tidur.

"Kamu salah lihat kali, nggak mungkin kan Ayu beli kebutuhan bayi. Dia aja belum menikah. Dia juga sudah tiga tahun ini nggak pulang, masih kerja di Bandung kan? Kalau pun dia pulang, nggak mungkin dia tidak mampir ke rumah ini untuk menemuimu," balas Mas Dika.

Mas Dika benar, Ayu sudah tiga tahun ini bekerja di kota kembang itu. Sudah tiga tahun terakhir ini juga ia tak sedikit pun pulang atau sekedang menelpon. Mama pun setiap habis berkunjung ke tempat Ayu, setiap aku tanya, ia selalu bilang Ayu baik-baik saja di sana.

"Kamu benar, Mas. Mungkin aku salah lihat," ujarku. Namun entah kenapa serasa ada yang mengganjal saja.

"Sudah lah nggak usah di pikirkan. Mungkin kamu kelelahan. Oh ya ... sayang, besok Mas mau berangkat ke luar kota. Mas mau survey lapangan proyek yang sedang di berlangsung." Mas Dika menutup laptop-nya dan meletakkan keatas nakas. Begitu juga dengan kata matanya.

Aku mengerutkan dahiku karena kaget. "Keluar kota Mas?! Kok dadakan banget, kenapa tidak bilang?"

"Sebenarnya sudah 3 hari yang lalu rencana keberangkatan itu. Tapi Mas belum sempat mengatakannya padamu. Kamu tahu sendirilah akhir-kahir ini Mas sibuk banget," dalihnya.

"Memangnya berapa hari? Apa aku perlu siapkan pakaianmu sekarang?" tawarku. Mas Dika menggelengkan kepala.

"Nggak usah, sudah Mas siapkan sendiri. Paling juga bawa dua atau tiga stel pakaian saja." ujarnya lembut.

Mas Dika menggeser tubuhnya di ranjang dan menepuk-nepuknya pelan. Memintaku untuk berbaring disisinya.

Aku yang sudah siap dengan keribetanku sebagai seorang perempuan, akhir beranjak dan menghampirinya.

Mas Dika memelukku, mengusap kepalaku lembut. Ini hal yang paling aku suka dari suamiku ini. Selain tampan dan mapan, ia juga suami yang romantis dan penyayang. Semakin hari, ia semakin romantis saja padaku. Kerap melakukan hal-hal kecil yang membuatku selalu nyaman seperti saat ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status