Accueil / Romansa / Simpanan! / 2. Intan melihat Ayu.

Share

2. Intan melihat Ayu.

last update Dernière mise à jour: 2022-06-12 15:58:16

Setelah mengantar Ammar ke sekolah, aku mampir kesebuah moll yang ada di kota ini. Langkah kakiku memasuki sebuah supermarket yang berada di lantai dasar. Banyak bahan makanan serta bumbu-bumbu di dapur yang habis.

Aku sangat menyukai berbelanja di sini, barang-barang di sini juga lengkap. Aku berjalan menyusuri lorong, melihat satu demi satu barang-barang yang terpajang di sana. Kebiasaanku sejak dulu, aku suka sekali berlama lama di dalam ruangan ber-AC di penuhi oleh aneka barang-barang ini.

Walau terkadang aku tak perlu menyusuri setiap lorong, cukup datang ke lorong makanan yang aku butuhkan saja. Namun aku merasa senang saja cuci mata dengan hanya melihat barang-barang baru yang terpajang di sana. Jika menarik di mata dan sekiranya aku butuh maka aku akan membelinya, jika tidak aku hanya akan melewatinya saja.

Hidup sebagai beban suami membuatku harus berhati-hati dalam mengelola keuangan. Walau sebenarnya, suamiku itu cukup memberikanku nafkah setiap bulannya. Bahkan cukup jika aku pakai untuk bersenang-senang serta hangout bareng dengan para sahabatku.

Tanpa terasa troliku yang aku dorong sudah hampir penuh dengan banyaknya belanjaan. Dari buah-buahan, sayur mayur, serta protein sudah aku beli. Cemilan untuk Ammar dan beberapa pernak-pernik dapur yang aku suka dan memang aku butuhkan pun juga sudah aku beli.

Aku memutari satu lorong terakhir sebelum aku kembali ke kasir untuk membayar semua belanjaan yang telah aku ambil ini. Saat tiba di lorong berisi deretan susu formula, mataku terbelalak melihat seseorang yang sangat aku kenal. Tubuhnya yang mungil membuat ia cukup kewalahan menjangkau rak yang paling atas.

"Ayu?! Untuk apa dia membeli kotak susu untuk bayi?" tanyaku seakan tak percaya. Mataku beralih pada troli yang ia bawa, membuatku lebih kaget lagi. Semua yang ada di dalamnya adalah perlengkapan dan kebutuhan bayi. Dari pempers, dan beberapa makanan pendamping ASI instans serta sereal.

Dahiku berkerut melihat semua itu. Pasalnya Ayu adikku itu belum menikah. Jadi jangankan punya bayi, punya suami saja tidak. Lalu untuk siapa semua barang-batang yang ia beli itu. Sedangkan setahu aku, ia tak memiliki saudara yang sedang memilki bayi.

Ayu berumur lebih muda lima tahun dariku. Di usianya yang sudah menginjak 27 tahun ini. Ia belum juga menikah atau pun memiliki kekasih. Itu yang aku ketahui selama ini. Mama Astrid, ibu kandung Ayu juga agak tertutup dengan kehidupan pribadi putrinya ini.

Baru saja aku ingin mendorong troliku untuk mendekat. Sebuah tepukan di bahu membuatku terkejut. Aku menoleh ke belakang.

"Maaf Mbak, ini kotak sereal anda jatuh," ujarnya sambil menyerahkan kotak sereal Koko crancy padaku. Aku mengucapkan terima kasih.

Saat aku kembali menoleh, aku kembali terkejut. Orang yang berada di hadapanku saat ini berubah. Bukan lagi Ayu. Aku mendekat dan memperhatikan troli yang ia bawa. Sama seperti troli yang aku lihat tadi. Tapi kenapa orangnya berbeda. Rasa-rasanya aku tak mungkin salah lihat.

"Mbak maaf, apa Mbak tadi melihat seorang wanita mungil di sini. Dia pakai dres bunga-bunga selutut?" tanyaku. Orang itu tampak bingung.

"Sepertinya nggak ada orang yang pakai baju itu deh, Mbak. Dari tadi tu curam ada saya di sini. Mungkin Mbak salah lihat kali," jelasnya. Semakin membuatku bingung.

"Mungkin. Maaf ya Mbak," ucapku. Wanita itu mengangguk. Ia mendorong trolinya, pergi menuju kasir. Aku memijit pelipisku pelan, masa ia aku salah lihat. Padahal tadi jelas banget kalau tadi itu Ayu.

Apa karena aku kurang istirahat tadi malam, ya? Makanya penglihatanku sedikit bermasalah hari ini.

Aku mematut diriku di depan cermin menggunakan daster model kerut dada ruffle. Salah satu yang paling merepotkan memiliki tubuh tinggi adalah setiap aku memakai daster dengan panjang standar, maka daster itu akan terlihat pendek di tubuhku. Membuat pahaku yang putih tersingkap. Hampir 10cm di atas lutut.

Sedangkan memakan daster yang panjang aku tak suka. Terlihat seperti menggunakan gamis saja.

"Mas tadi di supermarket yang ada di moll. Mama seperti melihat Ayu deh. Ia tampak berbelanja kebutuhan bayi, tapi anehnya, baru saja Mama menoleh ke belakang sebentar. Ayu berubah jadi orang lain. Aneh, kan? Masa ia mata Mama rabun sampai tidak bisa mengenali itu Ayu atau bukan?!" ujarku pada suamiku yang sedang mengerjakan laporan di atas ranjang. Tangan dan pandangannya tak sedikit pun beralih dari laptop yang ada di pangkuannya.

Sedangkan aku masih duduk di meja rias. Mengolah serum dan cream sebagai ritual rutinku sebelum tidur.

"Kamu salah lihat kali, nggak mungkin kan Ayu beli kebutuhan bayi. Dia aja belum menikah. Dia juga sudah tiga tahun ini nggak pulang, masih kerja di Bandung kan? Kalau pun dia pulang, nggak mungkin dia tidak mampir ke rumah ini untuk menemuimu," balas Mas Dika.

Mas Dika benar, Ayu sudah tiga tahun ini bekerja di kota kembang itu. Sudah tiga tahun terakhir ini juga ia tak sedikit pun pulang atau sekedang menelpon. Mama pun setiap habis berkunjung ke tempat Ayu, setiap aku tanya, ia selalu bilang Ayu baik-baik saja di sana.

"Kamu benar, Mas. Mungkin aku salah lihat," ujarku. Namun entah kenapa serasa ada yang mengganjal saja.

"Sudah lah nggak usah di pikirkan. Mungkin kamu kelelahan. Oh ya ... sayang, besok Mas mau berangkat ke luar kota. Mas mau survey lapangan proyek yang sedang di berlangsung." Mas Dika menutup laptop-nya dan meletakkan keatas nakas. Begitu juga dengan kata matanya.

Aku mengerutkan dahiku karena kaget. "Keluar kota Mas?! Kok dadakan banget, kenapa tidak bilang?"

"Sebenarnya sudah 3 hari yang lalu rencana keberangkatan itu. Tapi Mas belum sempat mengatakannya padamu. Kamu tahu sendirilah akhir-kahir ini Mas sibuk banget," dalihnya.

"Memangnya berapa hari? Apa aku perlu siapkan pakaianmu sekarang?" tawarku. Mas Dika menggelengkan kepala.

"Nggak usah, sudah Mas siapkan sendiri. Paling juga bawa dua atau tiga stel pakaian saja." ujarnya lembut.

Mas Dika menggeser tubuhnya di ranjang dan menepuk-nepuknya pelan. Memintaku untuk berbaring disisinya.

Aku yang sudah siap dengan keribetanku sebagai seorang perempuan, akhir beranjak dan menghampirinya.

Mas Dika memelukku, mengusap kepalaku lembut. Ini hal yang paling aku suka dari suamiku ini. Selain tampan dan mapan, ia juga suami yang romantis dan penyayang. Semakin hari, ia semakin romantis saja padaku. Kerap melakukan hal-hal kecil yang membuatku selalu nyaman seperti saat ini.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Simpanan!   121. Akhir yang Indah.

    Lagi-lagi aku dibuat tercengang dengan ide gila pria ini. Setelah aku menyetujui untuk menikah dengannya. Pernikahan kami di gelar dalam waktu tiga hari. Terdengar sangat tiba-tiba memang. Namun semuanya tampak siap, seolah sudah di persiapkan sebelumnya. Hanya tinggal mulutku berkata ia. Maka semuanya terlaksana bagai sulap.Bahkan sempat beredar rumor tak sedap yang mengatakan aku hamil duluan. Hanya karena pernikahanku yang di gelar begitu mendadak. Aku juga tak tahu dari mana rumor itu berasal. Namanya juga hidup bertetangga. Ada saja komentar yang terdengar. Aku menatap pantulan diriku di dalam cermin. Kebaya putih yang indah dengan hijab berwarna senada. Make up yang bagus membuat wajahku cantik sempurna. "Kamu cantik sekali, Nak!" puji Mama padaku. Aku menatap dan tersenyum padanya dari balik pantulan cermin. Aku gengam erat tangannya yang memegang pundakku. Ini memang pernikahan keduaku. Tapi gugupnya hampir sama dengan pernikahanku dulu. Bahkan lebih kentara lagi. Pintu

  • Simpanan!   120. Hutang yang harus dibayar.

    Aku tersentak kaget saat tangan Nini menggoyang tubuhku. Membuyarkan pikiran yang sejak tadi melayang entah kemana. "Mbak ... Mbak Intan! Mbak mikirin apa sih, Mbak?!" serunya padaku. Aku menoleh, menarik napasku yang terasa berat. "Nggak ada," jawabku singkat. Aku yang duduk di meja makan ini hanya menatapi makanan yang sudah Nini siapkan untukku. Tak ada yang aku sentuh. Selera makanku hilang entah kemana. "Mbak pasti mikirin Mas Langit, ya? Udah Mbak, kalau rindu bilang saja. Dari pada bengong gitu. Ayam tetanggaku di kampung, gara-gara bengong gitu selama tiga hari. Besoknya mati loh, Mbak. Kalau cinta bilang aja ok. Gitu aja kok susah Mbak," komentarnya padaku. Mataku melebar. "Kamu ngomong apa sih, Ni? Mbak nggak ngerti," elakku. Aku mengalihkan pandanganku darinya. Aku lagi malas beradu argumen dengan asisten rumah tanggaku ini. "Udah Mbak jangan malu sama Nini. Nini tu sebenarnya tahu. Sebenarnya Mbak tu cinta kan sama Mas Langit. Cuma Mbak Intan tu takut aja kalau Mas La

  • Simpanan!   119. Pasrah dengan Takdir.

    Hingga pagi menjelang, aku memaksa untuk pulang ke rumah. Demamku sudah turun. Sesampainya di rumah Mama menemaniku hingga ke kamar."Terima kasih, Ma," ucapku tulus. Aku duduk di pinggir ranjang menatapnya sayang. Tak ada amarah ataupun sakit hati. Semuanya sirna dengan kasih sayangnya. Mama menghela napas. Ia duduk di sampingku dan mengusap wajahku lembut. "Tak ada kata terima kasih untuk cinta seorang Ibu untuk anaknya. Sekarang istirahatlah ... jangan lagi menangis seperti itu Intan. Apalagi di makam Papamu sendirian seperti itu. Jika terjadi sesuatu padamu bagaimana?" "Bagaimana Mama bisa tahu aku ada di makam Papa?" tanyaku mulai mengingat kejadian itu. "Penjaga makam menelpon Mama dan memberitahukan keberadaanmu yang tergeletak pingsan di makam," jelas Mama. Ya, penjaga makam memang selalu aku bayar setiap bulan untuk menjaga Makam Papa. Itu sebabnya makam Papa bersih dan terawat. "Intan ... Mama dengar dari Nini, kamu akan pindah dalam minggu ini?" "Iya," jawabku singka

  • Simpanan!   118. Ziarah makam.

    Pukul dua siang, langkah kakiku terhenti di sebuah gapura tinggi. Berdiri kokoh dan bersanding dengan sebatang pohon beringin yang berdiri menantang memamerkan tubuhnya yang tinggi serta rimbun. Daun kering tertiup angin jatuh berguguran. Beberapa lembar jatuh di hadapanku. Lembarannya yang rapuh terinjak di kakiku meninggalkan bunyi patah.Bisikan nyanyian rindu menuntun langkah kakiku untuk terus melangkah maju. Menyusuri setiap jengkal tanah pemakaman melati. Rintik hujan yang mulai turun membasahi pipi bagai iring-iringan yang menyambut kedatanganku. Langit mendung seakan ikut merasakan kehampaan hati ini.Sebuah batu nisan yang di kelilingi keramik berwarna biru menjadi ujung tujuan langkah kakiku. Aku terdiam dengan mata yang berkaca-kaca. Kutekukkan kakiku, duduk di sudut pusara yang terawat ini. Setelah sekian lama, aku datang menemui cinta pertama yang selalu ada untukku di masa hidupnya. Dulu aku rutin datang kesini, minimal tiga bulan atau enam bulan sekali. Namun sejak d

  • Simpanan!   117. Jika tidak denganmu, maka tidak dengan yang lain.

    Dari rumah sakit aku mampir sejenak ke perusahaan. Menyelesaikan sebagian pekerjaanku. Sebagai pemilik sebuah perusahaan, aku masih memiliki tanggung jawab yang tak bisa aku tinggalkan. Pukul tujuh malam, mobilku terparkir cantik di halaman rumah. Aku turun dari mobil dan masuk ke rumah besar dengan bangunan arsitektur klasik. Rumah yang aku tempati selama puluhan tahun. Tak ada yang berubah dari rumah ini. Semuanya sama, dari dinding cat yang mendominasi warna-warna pastel dan putih. Kecuali bunga-bunga yang ditanam Mama yang berganti sesuai trend yang sedang hits saat ini.Aku memasuki rumah dan berjalan cepat ke ruang makan. Aku yakin semua sudah berkumpul di meja makan. "Selamat malam?" sapaku. "Kamu terlambat lagi, Kak?" ujar Elia padaku. Semuanya sedang makan dan menatap ke arahku yang baru saja tiba. Di samping Elia ada Emil–suaminya. Lelaki itu kerja sebagai pegawai bank swasta. Lalu di hadapan mereka, duduk seorang gadis kecil cantik yang tampak merenggut padaku. Aku mem

  • Simpanan!   116. Mengejar Cinta.

    Pov. Langit"Langit lepaskan!" ujarnya saat tautan bibir kami terlepas. Dekapan tangan ini masih sangat erat dan tak ingin terlepas. Deru nafas yang naik turun begitu memburu. Seakan berlomba-lomba meraup pasokan oksigen sebanyak-banyaknya. Aku tahu ini salah, aku tahu tak sepantasnya kau melakukan ini padanya. Tapi aku tak bisa mengalihkan pandanganku dari wajah cantiknya. Tak bertemu dengannya beberapa hari belakangan ini membuatku kehilangan nalarku saat ini. Apa pun yang berhubungan dengannya membuatku gila. Hanya ada namanya dan wajahnya yang memenuhi kepalaku saat ini. Detak jantungku dan dirinya kian berpacu berirama saling sahut-sahutan, membangkitkan gejolak rasa yang selama ini aku pendam dan kujaga dengan sangat hati-hati. Getaran itu masih sama, iramanya juga masih sama. Kubiarkan kupu-kupu menggelitikku. Membuatku terbuai dalam romansa indah, terbuai dengan irama asmara.Aku dekatkan keningnya dan keningku. Membiarkan punggungnya bersandar dengan pintu mobil. Bulu mat

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status