Beranda / Romansa / Simpanan! / 1. Kado yang tertukar.

Share

Simpanan!
Simpanan!
Penulis: Desti Anggraini

1. Kado yang tertukar.

Penulis: Desti Anggraini
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-12 15:57:37

Pernikahan yang sakinah, mawadah, warahmah. Bisa terus bersama hingga maut memisahkan adalah dambaan setiap istri termasuk diriku. Apa pernikahan yang selama sepuluh tahun aku jalani dan aku anggap baik-baik saja, namun nyatanya hanya ilusi belaka.

Aku duduk di tepi ranjang sambil menggenggam erat sebuah kotak perhiasan serta gaun tidur malam yang aku temukan di dalam mobil suamiku. Lingerie ini terselip di sudut paling belakang.

Ceklek!

Pintu kamar mandi terbuka. Mas Dika keluar dengan hanya menggunakan handuk saja yang melilit pinggangnya. Tangannya terangkat ke atas menggosok-gosokkan rambutnya yang basah dengan handuk kecil.

"Mas, ini punya siapa?" tanyaku memastikan. Aku amati ekspresi suamiku. Tak sedikit pun ada raut terkejut di sana.

"Oh itu sebuah linggrie, Mas memang beli untuk kamu. Mungkin tertinggal di mobil saat Mas membawa barang belanjaan tadi," ucapnya santai.

"Kalau memang untukku, kenapa ukurannya sangat kecil sekali Mas. Kamu kan tahu ukuran bajuku XL, sedangkan baju ini ukurannya M," berondongku lagi. Aku masih belum puas mendengar jawabannya tadi.

"Ah ... yang benar? Padahal Mas pesan pada pelayannya untuk mencari ukuran kamu loh, Yank. Nggak tahu kalau yang dikasih salah. Apa mau kita tukar saja?" tanya Mas Dika. Aku menggelengkan kepala atas ajakannya. Lagi pula, aku juga tidak menyukai menggunakan pakaian dinas malam tersebut.

Mas Dika berjalan mendekati lemari, membukanya dan mengambil satu stel pakaiannya di sana. Lalu memakainya.

"Lalu perhiasan ini?" tanyaku lagi.

"Untuk kamu juga, bukalah. Apa kamu suka?" jawab suamiku tanpa menoleh, ia masih sibuk memakai pakaiannya.

Aku membuka kotak perhiasan yang sedari tadi tak sedikit pun aku buka. Karena hatiku sudah terlanjur panas dengan pakaian jahanam ini.

Mataku terbelalak kaget. Aku juga berdecak kagum melihat kotak yang berisi perhiasan berupa kalung berlian yang berkilau. Model yang begitu simple namun elegan.

"Ini untukku Mas? Cantik sekali."

"Tentu saja. Kalung yang cantik untuk wanita istimewa, " ujarnya semakin membuat aku melayang mendengarnya.

Mas Dika mendekat, ia mengambil kalung yang ada di tanganku lalu memasangkannya di leherku. Sungguh sangat romantis sekali. Membuat hatiku yang tadinya kesal kini kembali berbunga-bunga. Aku tak tahu sudah seberapa merahnya pipi ini. Mungkin perona pipi masih kalah merahnya dengan pipiku, karena pujian sang suami.

Mas Dika mengangkat daguku. " Sudah jangan ngambek lagi. Maaf kalau tadi Mas pulang sedikit terlambat. Yang pentingkan sekarang Mas di rumah. Mas juga nggak lupa membeli kado bagus untukmu kan,"

Aku yang sudah berbahagia hanya bisa menganggukkan kepala dengan pelan. Tak kupikirkan lagi masalah bajunya berbeda ukuran ini. Mungkin Mas Dika benar, pelayan tokonya yang salah.

"Sayang," Mas Dika memanggilku, matanya nanar menatap belahan dadaku yang tampak di balik piyama. Tangannya pun mulai nakal bermain-main di atas pahaku yang tersingkap. Kalau sudah begini, aku tahu betul apa yang suamiku ini mau.

Baju tidur yang kugunakan memang sedikit terbuka. Namun tidak seterbuka baju yang Mas Dika hadiahkan padaku tadi. Namun bukannya yang terbuka malu-malu mau, justru lebih menantang dan menggoda dari pada yang hampir telanjang.

Tanpa permisi dan tanpa persetujuan, suami langsung mencumbuku. Membuatku terbuai dan membawaku ke dunia kenikmatan dalam rumah tangga.

~~~~

Pagi-pagi sekali aku sudah bangun, mandi dan memulai ritual seorang istri yang merangkap menjadi pembantu. Pagi ini aku memasak menu yang simple untuk sarapan anak dan suamiku. Dengan rambut yang masih lembab, aku memasak dengan begitu cekatan.

Setengah jam kemudian masakanku pun akhirnya matang. Sepiring tahu goreng, tempe goreng, serta ayam goreng bumbu kesukaan putraku. Tak lupa sayur bening dan sambal sebagai pelengkap. Sedangkan Mas Dika dia tak pemilih dalam makanan. Hampir semua yang aku masak ia suka. Alasannya karena masakanku enak dan pas di lidahnya.

"Selamat pagi sayang," sapa Mas Dika padaku. Tak lupa ia mencium pipiku sebagai sebagai sarapan pembuka baginya.

"Pagi, mas. Kamu sudah rapi benget pagi-pagi begini, Mas?" tanyaku. Jam masih menunjukkan pukul 6 pagi.

Mas Dika menarik kursi yang ada di dekatku. "Iya, kebetulan hari ini Mas ada meeting penting. Jadi Mas nggak mau terlambat." jawabnya.

"Ammar mana, Ma?" tanyanya.

"Masih siap-siap di kamarnya. Kamu tahu sendiri putramu itu susah banguninnya," balasku. Sambil menyedokkan nasi ke atas piringnya dan memberikan lauk padanya. Sebagai seorang istri aku memenuhi semua kewajibanku.

Seperti kata pepatah. Kasur, sumur dan dapur. Semuanya aku lakukan, walau ada asisten rumah tangga yang membantu. Aku merasa bosan saja jika hanya diam diri di rumah tanpa melakukan apa pun.

Sejak putra kami lahir aku berhenti bekerja hingga kini. Mas Dika melarang ku untuk kembali bekerja, alasannya agar aku bisa tetap fokus mengurus keluarga. Ia juga tak mengizinkan aku pergi tanpa seizinnya. Walaupun tampak over protective. Namun Mas Dika begitu menyayangiku. Aku yakin itu.

"Biarkan saja, masih umur 8 tahun juga. Biarkan dia menikmati masa anak-anaknya,"

Aku mengangguk, kami menikmati makan bersama dengan santai. Tak berapa lama pria kecil nan tampan yang kami bicarakan tadi muncul. Dengan stelan baju sekolahnya yang melekat pas di tubuh tingginya itu.

Putraku itu baru berumur 8 tahun, duduk di bangku 2 sekolah dasar. Tapi tubuhnya yang tinggi putih membuat ia tampak seperti anak yang berumur 12 tahun saja.

"Jagoan Papa sudah datang. Sini Nak! Duduk di samping Papa," pinta Mas Dika. Ammar duduk di sebelah Papanya. Bi Susi, pelayan di rumah ini pun meletakkan tas Ammar di dekatku.

Bi Susi yang aku tugaskan untuk membantu putraku menyiapkan keperluan sekolahnya, sedangkan aku menyiapkan sarapan untuk suamiku ini. Ammar tampak cemberut, aku yang melihat wajah cemberut putraku itu pun langsing memilih berpindah di sebelahnya.

Aku tahu Ammar suka kesal saat di bangunkan pagi-pagi.

"Sayang, kok cemberut. Ini Masak makanan kesukaan kamu loh, makan ya nak!" bujukku. Ammar mengangguk saat melirik menu sarapan yang aku buat. Mas Dika mengusap kepala anaknya sayang sebelum akhirnya ia pamit untuk pergi ke kantor.

"Ma, Papa berangkat dulu, ya. Soalnya udah mulai siang." Mas Dika mengecup keningku dan pipi Ammar secara bergantian. Lalu beranjak pergi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Indah Wirdianingsih
mampir baca cerita nya sangat menarik
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
istri bodoh yg cuma bisa memperbesar ukuran tubuhnya aja. ukuran m sama xl itu beda jauh nyet. hanya orang dungu yg g akan curiga.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Simpanan!   121. Akhir yang Indah.

    Lagi-lagi aku dibuat tercengang dengan ide gila pria ini. Setelah aku menyetujui untuk menikah dengannya. Pernikahan kami di gelar dalam waktu tiga hari. Terdengar sangat tiba-tiba memang. Namun semuanya tampak siap, seolah sudah di persiapkan sebelumnya. Hanya tinggal mulutku berkata ia. Maka semuanya terlaksana bagai sulap.Bahkan sempat beredar rumor tak sedap yang mengatakan aku hamil duluan. Hanya karena pernikahanku yang di gelar begitu mendadak. Aku juga tak tahu dari mana rumor itu berasal. Namanya juga hidup bertetangga. Ada saja komentar yang terdengar. Aku menatap pantulan diriku di dalam cermin. Kebaya putih yang indah dengan hijab berwarna senada. Make up yang bagus membuat wajahku cantik sempurna. "Kamu cantik sekali, Nak!" puji Mama padaku. Aku menatap dan tersenyum padanya dari balik pantulan cermin. Aku gengam erat tangannya yang memegang pundakku. Ini memang pernikahan keduaku. Tapi gugupnya hampir sama dengan pernikahanku dulu. Bahkan lebih kentara lagi. Pintu

  • Simpanan!   120. Hutang yang harus dibayar.

    Aku tersentak kaget saat tangan Nini menggoyang tubuhku. Membuyarkan pikiran yang sejak tadi melayang entah kemana. "Mbak ... Mbak Intan! Mbak mikirin apa sih, Mbak?!" serunya padaku. Aku menoleh, menarik napasku yang terasa berat. "Nggak ada," jawabku singkat. Aku yang duduk di meja makan ini hanya menatapi makanan yang sudah Nini siapkan untukku. Tak ada yang aku sentuh. Selera makanku hilang entah kemana. "Mbak pasti mikirin Mas Langit, ya? Udah Mbak, kalau rindu bilang saja. Dari pada bengong gitu. Ayam tetanggaku di kampung, gara-gara bengong gitu selama tiga hari. Besoknya mati loh, Mbak. Kalau cinta bilang aja ok. Gitu aja kok susah Mbak," komentarnya padaku. Mataku melebar. "Kamu ngomong apa sih, Ni? Mbak nggak ngerti," elakku. Aku mengalihkan pandanganku darinya. Aku lagi malas beradu argumen dengan asisten rumah tanggaku ini. "Udah Mbak jangan malu sama Nini. Nini tu sebenarnya tahu. Sebenarnya Mbak tu cinta kan sama Mas Langit. Cuma Mbak Intan tu takut aja kalau Mas La

  • Simpanan!   119. Pasrah dengan Takdir.

    Hingga pagi menjelang, aku memaksa untuk pulang ke rumah. Demamku sudah turun. Sesampainya di rumah Mama menemaniku hingga ke kamar."Terima kasih, Ma," ucapku tulus. Aku duduk di pinggir ranjang menatapnya sayang. Tak ada amarah ataupun sakit hati. Semuanya sirna dengan kasih sayangnya. Mama menghela napas. Ia duduk di sampingku dan mengusap wajahku lembut. "Tak ada kata terima kasih untuk cinta seorang Ibu untuk anaknya. Sekarang istirahatlah ... jangan lagi menangis seperti itu Intan. Apalagi di makam Papamu sendirian seperti itu. Jika terjadi sesuatu padamu bagaimana?" "Bagaimana Mama bisa tahu aku ada di makam Papa?" tanyaku mulai mengingat kejadian itu. "Penjaga makam menelpon Mama dan memberitahukan keberadaanmu yang tergeletak pingsan di makam," jelas Mama. Ya, penjaga makam memang selalu aku bayar setiap bulan untuk menjaga Makam Papa. Itu sebabnya makam Papa bersih dan terawat. "Intan ... Mama dengar dari Nini, kamu akan pindah dalam minggu ini?" "Iya," jawabku singka

  • Simpanan!   118. Ziarah makam.

    Pukul dua siang, langkah kakiku terhenti di sebuah gapura tinggi. Berdiri kokoh dan bersanding dengan sebatang pohon beringin yang berdiri menantang memamerkan tubuhnya yang tinggi serta rimbun. Daun kering tertiup angin jatuh berguguran. Beberapa lembar jatuh di hadapanku. Lembarannya yang rapuh terinjak di kakiku meninggalkan bunyi patah.Bisikan nyanyian rindu menuntun langkah kakiku untuk terus melangkah maju. Menyusuri setiap jengkal tanah pemakaman melati. Rintik hujan yang mulai turun membasahi pipi bagai iring-iringan yang menyambut kedatanganku. Langit mendung seakan ikut merasakan kehampaan hati ini.Sebuah batu nisan yang di kelilingi keramik berwarna biru menjadi ujung tujuan langkah kakiku. Aku terdiam dengan mata yang berkaca-kaca. Kutekukkan kakiku, duduk di sudut pusara yang terawat ini. Setelah sekian lama, aku datang menemui cinta pertama yang selalu ada untukku di masa hidupnya. Dulu aku rutin datang kesini, minimal tiga bulan atau enam bulan sekali. Namun sejak d

  • Simpanan!   117. Jika tidak denganmu, maka tidak dengan yang lain.

    Dari rumah sakit aku mampir sejenak ke perusahaan. Menyelesaikan sebagian pekerjaanku. Sebagai pemilik sebuah perusahaan, aku masih memiliki tanggung jawab yang tak bisa aku tinggalkan. Pukul tujuh malam, mobilku terparkir cantik di halaman rumah. Aku turun dari mobil dan masuk ke rumah besar dengan bangunan arsitektur klasik. Rumah yang aku tempati selama puluhan tahun. Tak ada yang berubah dari rumah ini. Semuanya sama, dari dinding cat yang mendominasi warna-warna pastel dan putih. Kecuali bunga-bunga yang ditanam Mama yang berganti sesuai trend yang sedang hits saat ini.Aku memasuki rumah dan berjalan cepat ke ruang makan. Aku yakin semua sudah berkumpul di meja makan. "Selamat malam?" sapaku. "Kamu terlambat lagi, Kak?" ujar Elia padaku. Semuanya sedang makan dan menatap ke arahku yang baru saja tiba. Di samping Elia ada Emil–suaminya. Lelaki itu kerja sebagai pegawai bank swasta. Lalu di hadapan mereka, duduk seorang gadis kecil cantik yang tampak merenggut padaku. Aku mem

  • Simpanan!   116. Mengejar Cinta.

    Pov. Langit"Langit lepaskan!" ujarnya saat tautan bibir kami terlepas. Dekapan tangan ini masih sangat erat dan tak ingin terlepas. Deru nafas yang naik turun begitu memburu. Seakan berlomba-lomba meraup pasokan oksigen sebanyak-banyaknya. Aku tahu ini salah, aku tahu tak sepantasnya kau melakukan ini padanya. Tapi aku tak bisa mengalihkan pandanganku dari wajah cantiknya. Tak bertemu dengannya beberapa hari belakangan ini membuatku kehilangan nalarku saat ini. Apa pun yang berhubungan dengannya membuatku gila. Hanya ada namanya dan wajahnya yang memenuhi kepalaku saat ini. Detak jantungku dan dirinya kian berpacu berirama saling sahut-sahutan, membangkitkan gejolak rasa yang selama ini aku pendam dan kujaga dengan sangat hati-hati. Getaran itu masih sama, iramanya juga masih sama. Kubiarkan kupu-kupu menggelitikku. Membuatku terbuai dalam romansa indah, terbuai dengan irama asmara.Aku dekatkan keningnya dan keningku. Membiarkan punggungnya bersandar dengan pintu mobil. Bulu mat

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status