Home / Romansa / Simpanan! / 3. Arisan sosialita.

Share

3. Arisan sosialita.

last update Last Updated: 2022-06-12 15:58:51

Mentari yang telah muncul disambut kicauan burung Pipit yang bertengger di atas atap rumah. Aku seperti biasa mulai berjibaku di dapur menyiapkan sarapan pagi yang harus selalu terhidang di meja makan.

Semuanya aku lakukan seorang diri, namun terkadang di bantu oleh Bi Susi. Ammar sudah duduk rapi di depan meja, pagi ini aku membangunkannya lebih pagi, memandikan dan memakaikan seragamnya dengan rapi.

Dalam gambaran banyak orang, istri yang berkutat di dapur adalah istri yang kucel dan bau. Tapi itu tidak berlaku untukku. Dapurku ini dilengkapi dengan segala alat yang dapat memudahkan aku untuk masak dengan cepat dan tanpa bau-bau yang tak sedap.

Setelah semua makanan siap, mas Dika turun dengan koper kecilnya. Ia duduk tepat di hadapan Ammar.

"Sayang, Mas berangkat dulu ya."

"Loh Mas, berangkat sekarang?! Tidak sarapan dulu?" tanyaku kaget. Karena suamiku bilang ia akan berangkat pukul sembilan pagi. Sedangkan hari ini baru pukul setengah tujuh.

"Iya, tadi Eric bilang jadwal penerbangannya dipercepat. Kamu dan Ammar hati-hati di rumah, ya. Kamu jangan nakal!" ucap Mas Dika mengecup keningku dan beralih mencium pipi anaknya. Hal yang selalu ia lakukan saat mau berangkat kerja ataupun pergi kemana pun.

Aku meraih tangan suamiku. Mencium punggung tangannya dengan khidmat. Hati ini berdesir, seolah ada rasa tak nyaman yang hadir. Tapi aku tak tahu rasa apa ini?

Kuantar kepergian Mas Dika sampai depan pintu dengan hati yang tak aku mengerti apa artinya. Seperti rasa sedih dan gelisah, bahkan aku sendiri tak tahu karena apa. Suamiku hanya pergi keluar kota untuk beberapa hari, itu pun bekerja. Bukan pergi berperang ke Ukraina Intan.

Aku berusaha menegur diriku sendiri agar menepis segala perasaan buruk yang bergelayut di kepala. Ya Tuhan ... semoga saja tak terjadi apa-apa. Suamiku pulang dalam keadaan utuh.

Setelah mengantar kepergian Mas Dika. Kini aku kembali pada Ammar, melakukan tugasku sebagai seorang Ibu. Mengurus dan mengantarnya sekolah. Begitulah rutinitas yang aku lakukan setiap harinya.

"Ammar masuk kelas dulu ya, Ma. Assalamualaikum," putraku ini meraih tanganku.

"Iya, belajar yang rajin ya sayang!" balasku. Ammar membuka pintu mobil dan beranjak masuk. Aku yang terparkir di depan pintu gerbang langsung melajukan mobilku kembali dengan kecepatan sedang.

Menuju sebuah tempat yang menjadi tempat nongkrong aku dan teman-temanku.

"Hallo semuanya,"

"Akhirnya datang juga, aku pikir kamu nggak akan datang lagi hari ini," ucap Sandra saat aku baru saja tiba di hadapan mereka. Aku menarik sebuah kursi diantara mereka berdua.

"Kenapa cuma kalian berdua. Stevani dan Irene mana?" tanyaku. Sandra mengangkat kedua bahunya. Pertanda bahwa ia tak tahu. Aku langsung beralih menatap Laura. Sebagai bandar arisan grub ini, aku yakin ia pasti tahu.

Aku mengangkat tanganku memanggil seorang pelayan. Memesan minuman dan sebuah cemilan untukku. Aku tidak memesan untuk kedua temanku itu. Karena mereka berdua sudah memiliki banyak cemilan di hadapan mereka masing-masing.

"Stevani ada acara pertemuan keluarga. Katanya tunangan serta calon mertuanya baru datang dari Bali. Sedangkan Irene, kamu tahu sendiri, jika kekasihnya ngajak jalan. Maka tak dapat ditunda lagi. Bagi wanita itu, pacarnya nomor satu," jawabnya.

"Irene liburan lagi?! Wah ... enak banget nasib wanita itu. Baru dua bulan yang lalu habi liburan ke Singapure, sekarang sudah liburan lagi. Liburan kemana dia?" tanyaku penasaran.

Irene berstatus janda, ia dulu pernah menikah tapi kandas di tengah jalan karena masalah ekonomi ditambah sikap mantan suaminya yang tempramental membuat wanita itu menyerah. Untungnya tak ada anak diantara mereka membaut perceraian itu berjalan mulus tanpa hambatan.

"Maklum aja, gebetannya kali ini orang kaya. Tapi dengar-dengar sih. Suami orang," bisik Sandra. Wanita satu ini memang paling suka ngerumpi. Menelanjangi aib orang lain, walaupun sahabat sendiri. Itu sebabnya aku jarang berbicara terlalu mendalam padanya. Takut menyebar.

"Jangan asal bicara kamu. Bisa jadi fitnah, malah jadi dosa berjemaah kita," tegur Laura. Anita satu ini umurnya lebih tua dua tahun dari kami semua. Dia juga orangnya amanah dan nggak suka terlalu ribet.

"Siapa juga yang asal bicara. Memang itu kenyataannya kok, lihat saja kehidupannya sekarang. Gila ... mewah bener, padahal kerjanya kan hanya karyawan swasta. Berapa sih gajinya," ucapnya sambil mencebikkan bibirnya yang seksi.

"Emangnya kamu tahu dari mana? Atau jangan-jangan kamu cuma praduga aja kan!" balas Laura lagi membuat Sandra semakin semangat bercerita.

"Tentu saja aku tahu. Orang aku lihat sendiri dengan mata kepalaku, bukan hanya sekali tapi berulang kali!" jelasnya. Sandra menatap ke arahku. Tatapan matanya yang lurus dan dalam membuat aku mengerutkan dahi.

"Ada apa? Kenapa kamu lihatin akunya, seperti itu?!" tanyaku curiga.

"Kamu hati-hati Intan. Jangan terlalu percaya pada suamimu! Di luaran sekarang, kebanyakan suami selingkuh. Bahkan ada yang beristrikan dua. Tetap selalu perawatan, servis dan goyang-goyang yang ok. Bila perlu sampai lemas, supaya nggak ada lagi pikiran untuk mendua dengan wanita lain. Jangan lengah!" pesannya seperti seorang Ibu yang menasehati anak gadisnya saja. Membuatku bertambah aneh.

"Kesambet apa dia? Kenapa tiba-tiba ceramah?" bisikku pada Laura. Laura yang mendengar pertanyaanku hanya terkekeh geli.

"Kamu tahu sendiri, terkadang Sandra ada kumat-kumatnya." ledeknya. Sandra yang mendengar ledekan Laura hanya cemberut dengan bibir yang maju tiga senti.

Ia mengambil roti panggang coklat yang ada di piring kecil miliknya. Menggigitnya dengan kasar, sambil menatap aku dan Laura dengan sudut matanya yang tajam. aku dan Laura terkekeh. Walaupun tampak sangar, tapi aku dan Laura tahu ia hanya bercanda.

"Oh ya, ngomong-ngomong. Aku melihat suamimu di sebuah pusat perbelanjaan deh, setengah jam yang lalu, Tan. Cie ... cie, kamu habis borong, ya? Enak banget yang punya suami kaya," ucap Laura membuatku tersentak kaget.

"Aku, belanja?! Kapan? Aku saja mengantar Ammar ke sekolah, lalu langsung ke sini," jawabku jujur. Bagaimana mungkin Laura bertemu dengan Mas Dika jika dirinya sedang pergi ke Kalimantan.

"Tapi beneran loh, Tan. Aku lihat suamimu, masa aku bisa salah orang. Aku lihat banyak belanjaan di tangannya, tapi aku nggak lihat siapa yang ada di sampingnya. Ia tampak sedang menunggu kedatangan seseorang, aku pikir dia menunggumu." jelas Laura membuat aku bertambah bingung. Hatiku pun mulai tak enak saja.

"Tapi Mas Dika baru saja berangakat ke Kalimantan pagi tadi sekitar jam 7 pagi penerbangannya. Bagaimana mungkin dia ada di pusat perbelanjaan itu?!" debatku.

"Mungkinkah, aku salah lihat kalau begitu," jawab Laura akhirnya mengalah. Sandra hanya melongo melihat obrolan kita berdua.

Hatiku mulai gelisah. Apa benar yang diucapkan Laura. Jika Laura benar, lalu apa Mas Dika berbohong padaku. Tapi rasanya suamiku itu tak berbohong padaku. Atau mungkin Laura yang salah lihat? Kepalaku tiba-tiba menjadi pusing memikirkannya.

Lalu siapa yang benar di antara mereka berdua? Laura atau Mas Dika?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Simpanan!   121. Akhir yang Indah.

    Lagi-lagi aku dibuat tercengang dengan ide gila pria ini. Setelah aku menyetujui untuk menikah dengannya. Pernikahan kami di gelar dalam waktu tiga hari. Terdengar sangat tiba-tiba memang. Namun semuanya tampak siap, seolah sudah di persiapkan sebelumnya. Hanya tinggal mulutku berkata ia. Maka semuanya terlaksana bagai sulap.Bahkan sempat beredar rumor tak sedap yang mengatakan aku hamil duluan. Hanya karena pernikahanku yang di gelar begitu mendadak. Aku juga tak tahu dari mana rumor itu berasal. Namanya juga hidup bertetangga. Ada saja komentar yang terdengar. Aku menatap pantulan diriku di dalam cermin. Kebaya putih yang indah dengan hijab berwarna senada. Make up yang bagus membuat wajahku cantik sempurna. "Kamu cantik sekali, Nak!" puji Mama padaku. Aku menatap dan tersenyum padanya dari balik pantulan cermin. Aku gengam erat tangannya yang memegang pundakku. Ini memang pernikahan keduaku. Tapi gugupnya hampir sama dengan pernikahanku dulu. Bahkan lebih kentara lagi. Pintu

  • Simpanan!   120. Hutang yang harus dibayar.

    Aku tersentak kaget saat tangan Nini menggoyang tubuhku. Membuyarkan pikiran yang sejak tadi melayang entah kemana. "Mbak ... Mbak Intan! Mbak mikirin apa sih, Mbak?!" serunya padaku. Aku menoleh, menarik napasku yang terasa berat. "Nggak ada," jawabku singkat. Aku yang duduk di meja makan ini hanya menatapi makanan yang sudah Nini siapkan untukku. Tak ada yang aku sentuh. Selera makanku hilang entah kemana. "Mbak pasti mikirin Mas Langit, ya? Udah Mbak, kalau rindu bilang saja. Dari pada bengong gitu. Ayam tetanggaku di kampung, gara-gara bengong gitu selama tiga hari. Besoknya mati loh, Mbak. Kalau cinta bilang aja ok. Gitu aja kok susah Mbak," komentarnya padaku. Mataku melebar. "Kamu ngomong apa sih, Ni? Mbak nggak ngerti," elakku. Aku mengalihkan pandanganku darinya. Aku lagi malas beradu argumen dengan asisten rumah tanggaku ini. "Udah Mbak jangan malu sama Nini. Nini tu sebenarnya tahu. Sebenarnya Mbak tu cinta kan sama Mas Langit. Cuma Mbak Intan tu takut aja kalau Mas La

  • Simpanan!   119. Pasrah dengan Takdir.

    Hingga pagi menjelang, aku memaksa untuk pulang ke rumah. Demamku sudah turun. Sesampainya di rumah Mama menemaniku hingga ke kamar."Terima kasih, Ma," ucapku tulus. Aku duduk di pinggir ranjang menatapnya sayang. Tak ada amarah ataupun sakit hati. Semuanya sirna dengan kasih sayangnya. Mama menghela napas. Ia duduk di sampingku dan mengusap wajahku lembut. "Tak ada kata terima kasih untuk cinta seorang Ibu untuk anaknya. Sekarang istirahatlah ... jangan lagi menangis seperti itu Intan. Apalagi di makam Papamu sendirian seperti itu. Jika terjadi sesuatu padamu bagaimana?" "Bagaimana Mama bisa tahu aku ada di makam Papa?" tanyaku mulai mengingat kejadian itu. "Penjaga makam menelpon Mama dan memberitahukan keberadaanmu yang tergeletak pingsan di makam," jelas Mama. Ya, penjaga makam memang selalu aku bayar setiap bulan untuk menjaga Makam Papa. Itu sebabnya makam Papa bersih dan terawat. "Intan ... Mama dengar dari Nini, kamu akan pindah dalam minggu ini?" "Iya," jawabku singka

  • Simpanan!   118. Ziarah makam.

    Pukul dua siang, langkah kakiku terhenti di sebuah gapura tinggi. Berdiri kokoh dan bersanding dengan sebatang pohon beringin yang berdiri menantang memamerkan tubuhnya yang tinggi serta rimbun. Daun kering tertiup angin jatuh berguguran. Beberapa lembar jatuh di hadapanku. Lembarannya yang rapuh terinjak di kakiku meninggalkan bunyi patah.Bisikan nyanyian rindu menuntun langkah kakiku untuk terus melangkah maju. Menyusuri setiap jengkal tanah pemakaman melati. Rintik hujan yang mulai turun membasahi pipi bagai iring-iringan yang menyambut kedatanganku. Langit mendung seakan ikut merasakan kehampaan hati ini.Sebuah batu nisan yang di kelilingi keramik berwarna biru menjadi ujung tujuan langkah kakiku. Aku terdiam dengan mata yang berkaca-kaca. Kutekukkan kakiku, duduk di sudut pusara yang terawat ini. Setelah sekian lama, aku datang menemui cinta pertama yang selalu ada untukku di masa hidupnya. Dulu aku rutin datang kesini, minimal tiga bulan atau enam bulan sekali. Namun sejak d

  • Simpanan!   117. Jika tidak denganmu, maka tidak dengan yang lain.

    Dari rumah sakit aku mampir sejenak ke perusahaan. Menyelesaikan sebagian pekerjaanku. Sebagai pemilik sebuah perusahaan, aku masih memiliki tanggung jawab yang tak bisa aku tinggalkan. Pukul tujuh malam, mobilku terparkir cantik di halaman rumah. Aku turun dari mobil dan masuk ke rumah besar dengan bangunan arsitektur klasik. Rumah yang aku tempati selama puluhan tahun. Tak ada yang berubah dari rumah ini. Semuanya sama, dari dinding cat yang mendominasi warna-warna pastel dan putih. Kecuali bunga-bunga yang ditanam Mama yang berganti sesuai trend yang sedang hits saat ini.Aku memasuki rumah dan berjalan cepat ke ruang makan. Aku yakin semua sudah berkumpul di meja makan. "Selamat malam?" sapaku. "Kamu terlambat lagi, Kak?" ujar Elia padaku. Semuanya sedang makan dan menatap ke arahku yang baru saja tiba. Di samping Elia ada Emil–suaminya. Lelaki itu kerja sebagai pegawai bank swasta. Lalu di hadapan mereka, duduk seorang gadis kecil cantik yang tampak merenggut padaku. Aku mem

  • Simpanan!   116. Mengejar Cinta.

    Pov. Langit"Langit lepaskan!" ujarnya saat tautan bibir kami terlepas. Dekapan tangan ini masih sangat erat dan tak ingin terlepas. Deru nafas yang naik turun begitu memburu. Seakan berlomba-lomba meraup pasokan oksigen sebanyak-banyaknya. Aku tahu ini salah, aku tahu tak sepantasnya kau melakukan ini padanya. Tapi aku tak bisa mengalihkan pandanganku dari wajah cantiknya. Tak bertemu dengannya beberapa hari belakangan ini membuatku kehilangan nalarku saat ini. Apa pun yang berhubungan dengannya membuatku gila. Hanya ada namanya dan wajahnya yang memenuhi kepalaku saat ini. Detak jantungku dan dirinya kian berpacu berirama saling sahut-sahutan, membangkitkan gejolak rasa yang selama ini aku pendam dan kujaga dengan sangat hati-hati. Getaran itu masih sama, iramanya juga masih sama. Kubiarkan kupu-kupu menggelitikku. Membuatku terbuai dalam romansa indah, terbuai dengan irama asmara.Aku dekatkan keningnya dan keningku. Membiarkan punggungnya bersandar dengan pintu mobil. Bulu mat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status