Share

3. Arisan sosialita.

Mentari yang telah muncul disambut kicauan burung Pipit yang bertengger di atas atap rumah. Aku seperti biasa mulai berjibaku di dapur menyiapkan sarapan pagi yang harus selalu terhidang di meja makan.

Semuanya aku lakukan seorang diri, namun terkadang di bantu oleh Bi Susi. Ammar sudah duduk rapi di depan meja, pagi ini aku membangunkannya lebih pagi, memandikan dan memakaikan seragamnya dengan rapi.

Dalam gambaran banyak orang, istri yang berkutat di dapur adalah istri yang kucel dan bau. Tapi itu tidak berlaku untukku. Dapurku ini dilengkapi dengan segala alat yang dapat memudahkan aku untuk masak dengan cepat dan tanpa bau-bau yang tak sedap.

Setelah semua makanan siap, mas Dika turun dengan koper kecilnya. Ia duduk tepat di hadapan Ammar.

"Sayang, Mas berangkat dulu ya."

"Loh Mas, berangkat sekarang?! Tidak sarapan dulu?" tanyaku kaget. Karena suamiku bilang ia akan berangkat pukul sembilan pagi. Sedangkan hari ini baru pukul setengah tujuh.

"Iya, tadi Eric bilang jadwal penerbangannya dipercepat. Kamu dan Ammar hati-hati di rumah, ya. Kamu jangan nakal!" ucap Mas Dika mengecup keningku dan beralih mencium pipi anaknya. Hal yang selalu ia lakukan saat mau berangkat kerja ataupun pergi kemana pun.

Aku meraih tangan suamiku. Mencium punggung tangannya dengan khidmat. Hati ini berdesir, seolah ada rasa tak nyaman yang hadir. Tapi aku tak tahu rasa apa ini?

Kuantar kepergian Mas Dika sampai depan pintu dengan hati yang tak aku mengerti apa artinya. Seperti rasa sedih dan gelisah, bahkan aku sendiri tak tahu karena apa. Suamiku hanya pergi keluar kota untuk beberapa hari, itu pun bekerja. Bukan pergi berperang ke Ukraina Intan.

Aku berusaha menegur diriku sendiri agar menepis segala perasaan buruk yang bergelayut di kepala. Ya Tuhan ... semoga saja tak terjadi apa-apa. Suamiku pulang dalam keadaan utuh.

Setelah mengantar kepergian Mas Dika. Kini aku kembali pada Ammar, melakukan tugasku sebagai seorang Ibu. Mengurus dan mengantarnya sekolah. Begitulah rutinitas yang aku lakukan setiap harinya.

"Ammar masuk kelas dulu ya, Ma. Assalamualaikum," putraku ini meraih tanganku.

"Iya, belajar yang rajin ya sayang!" balasku. Ammar membuka pintu mobil dan beranjak masuk. Aku yang terparkir di depan pintu gerbang langsung melajukan mobilku kembali dengan kecepatan sedang.

Menuju sebuah tempat yang menjadi tempat nongkrong aku dan teman-temanku.

"Hallo semuanya,"

"Akhirnya datang juga, aku pikir kamu nggak akan datang lagi hari ini," ucap Sandra saat aku baru saja tiba di hadapan mereka. Aku menarik sebuah kursi diantara mereka berdua.

"Kenapa cuma kalian berdua. Stevani dan Irene mana?" tanyaku. Sandra mengangkat kedua bahunya. Pertanda bahwa ia tak tahu. Aku langsung beralih menatap Laura. Sebagai bandar arisan grub ini, aku yakin ia pasti tahu.

Aku mengangkat tanganku memanggil seorang pelayan. Memesan minuman dan sebuah cemilan untukku. Aku tidak memesan untuk kedua temanku itu. Karena mereka berdua sudah memiliki banyak cemilan di hadapan mereka masing-masing.

"Stevani ada acara pertemuan keluarga. Katanya tunangan serta calon mertuanya baru datang dari Bali. Sedangkan Irene, kamu tahu sendiri, jika kekasihnya ngajak jalan. Maka tak dapat ditunda lagi. Bagi wanita itu, pacarnya nomor satu," jawabnya.

"Irene liburan lagi?! Wah ... enak banget nasib wanita itu. Baru dua bulan yang lalu habi liburan ke Singapure, sekarang sudah liburan lagi. Liburan kemana dia?" tanyaku penasaran.

Irene berstatus janda, ia dulu pernah menikah tapi kandas di tengah jalan karena masalah ekonomi ditambah sikap mantan suaminya yang tempramental membuat wanita itu menyerah. Untungnya tak ada anak diantara mereka membaut perceraian itu berjalan mulus tanpa hambatan.

"Maklum aja, gebetannya kali ini orang kaya. Tapi dengar-dengar sih. Suami orang," bisik Sandra. Wanita satu ini memang paling suka ngerumpi. Menelanjangi aib orang lain, walaupun sahabat sendiri. Itu sebabnya aku jarang berbicara terlalu mendalam padanya. Takut menyebar.

"Jangan asal bicara kamu. Bisa jadi fitnah, malah jadi dosa berjemaah kita," tegur Laura. Anita satu ini umurnya lebih tua dua tahun dari kami semua. Dia juga orangnya amanah dan nggak suka terlalu ribet.

"Siapa juga yang asal bicara. Memang itu kenyataannya kok, lihat saja kehidupannya sekarang. Gila ... mewah bener, padahal kerjanya kan hanya karyawan swasta. Berapa sih gajinya," ucapnya sambil mencebikkan bibirnya yang seksi.

"Emangnya kamu tahu dari mana? Atau jangan-jangan kamu cuma praduga aja kan!" balas Laura lagi membuat Sandra semakin semangat bercerita.

"Tentu saja aku tahu. Orang aku lihat sendiri dengan mata kepalaku, bukan hanya sekali tapi berulang kali!" jelasnya. Sandra menatap ke arahku. Tatapan matanya yang lurus dan dalam membuat aku mengerutkan dahi.

"Ada apa? Kenapa kamu lihatin akunya, seperti itu?!" tanyaku curiga.

"Kamu hati-hati Intan. Jangan terlalu percaya pada suamimu! Di luaran sekarang, kebanyakan suami selingkuh. Bahkan ada yang beristrikan dua. Tetap selalu perawatan, servis dan goyang-goyang yang ok. Bila perlu sampai lemas, supaya nggak ada lagi pikiran untuk mendua dengan wanita lain. Jangan lengah!" pesannya seperti seorang Ibu yang menasehati anak gadisnya saja. Membuatku bertambah aneh.

"Kesambet apa dia? Kenapa tiba-tiba ceramah?" bisikku pada Laura. Laura yang mendengar pertanyaanku hanya terkekeh geli.

"Kamu tahu sendiri, terkadang Sandra ada kumat-kumatnya." ledeknya. Sandra yang mendengar ledekan Laura hanya cemberut dengan bibir yang maju tiga senti.

Ia mengambil roti panggang coklat yang ada di piring kecil miliknya. Menggigitnya dengan kasar, sambil menatap aku dan Laura dengan sudut matanya yang tajam. aku dan Laura terkekeh. Walaupun tampak sangar, tapi aku dan Laura tahu ia hanya bercanda.

"Oh ya, ngomong-ngomong. Aku melihat suamimu di sebuah pusat perbelanjaan deh, setengah jam yang lalu, Tan. Cie ... cie, kamu habis borong, ya? Enak banget yang punya suami kaya," ucap Laura membuatku tersentak kaget.

"Aku, belanja?! Kapan? Aku saja mengantar Ammar ke sekolah, lalu langsung ke sini," jawabku jujur. Bagaimana mungkin Laura bertemu dengan Mas Dika jika dirinya sedang pergi ke Kalimantan.

"Tapi beneran loh, Tan. Aku lihat suamimu, masa aku bisa salah orang. Aku lihat banyak belanjaan di tangannya, tapi aku nggak lihat siapa yang ada di sampingnya. Ia tampak sedang menunggu kedatangan seseorang, aku pikir dia menunggumu." jelas Laura membuat aku bertambah bingung. Hatiku pun mulai tak enak saja.

"Tapi Mas Dika baru saja berangakat ke Kalimantan pagi tadi sekitar jam 7 pagi penerbangannya. Bagaimana mungkin dia ada di pusat perbelanjaan itu?!" debatku.

"Mungkinkah, aku salah lihat kalau begitu," jawab Laura akhirnya mengalah. Sandra hanya melongo melihat obrolan kita berdua.

Hatiku mulai gelisah. Apa benar yang diucapkan Laura. Jika Laura benar, lalu apa Mas Dika berbohong padaku. Tapi rasanya suamiku itu tak berbohong padaku. Atau mungkin Laura yang salah lihat? Kepalaku tiba-tiba menjadi pusing memikirkannya.

Lalu siapa yang benar di antara mereka berdua? Laura atau Mas Dika?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status