Home / Romansa / Simpanan! / 4. Rumah peninggalan.

Share

4. Rumah peninggalan.

last update Last Updated: 2022-06-12 15:59:27

Selama dua hari Mas Dika belum pulang ke rumah, selama itu pula aku berusaha menepis setiap pikiran burukku tentang apa yang Laura sampaikan padaku. Selama dua hari ini, Mas Dika rajin menelpon aku dan juga Ammar. Walau hanya sekedar menanyakan kabar kami berdua.

Lalu ... apa yang membuatku harus gelisah. Bukti apa lagi yang aku butuhkan untuk meyakinkan diriku jika suamiku adalah pria yang setia. Seharusnya aku bersyukur, bukannya menuduh. Tapi bisa saja mereka iri padaku. Makanya mulai meracuni pikiranku dengan praduga yang tidak-tidak.

Hari ini adalah hari libur, biasannya aku dan Mas Dika serta Ammar pergi ke suatu tempat untuk liburan. Atau sekedar acara makan di luar agar lebih santai.

Berhubung hari ini hanya ada kita berdua saja. Maka aku dan Ammar memutuskan untuk berkunjung ke rumah Mama. Mama Astrid adalah Mama sambungku. Ia dan Papaku menikah saat usiaku masih sangat remaja. Sekitar lima belas tahun. Bukan karena Papa selingkuh, tapi karena Malam kandungku sudah meninggal saat melahirkan adikku.

Saat diriku berumur 13 tahun, Mamaku, Arum Winarsih. dinyatakan hamil kembali. Dokter sempat melarang dan mengatakan kehamilan di usia yang cukup tua ditambah jarak kehamilan yang terlalu jauh, memiliki resiko yang cukup tinggi untuk ibu dan janin.

Namun mama yang sangat ingin memiliki anak kembali, tak mempedulikan perkataan dokter itu. Hingga di usia kandungan 8 bulan, mama mengalami pendarahan hebat dan komplikasi. Membuatnya meninggal dunia. Sedangkan adik yang lahir kurang bulan, menyusul setelah berjuang selama satu Minggu.

Saat itu merupakan pukulan yang paling berat bagi diriku dan papa. Seakan dunia kita runtuh dan hancur berkeping-keping. Tapi siapa yang dapat mengelak jalan takdir yang sudah ditetapkan oleh sang pemilik dunia ini?

Setelah 2 tahun kepergian Mama, saat itu aku menginjak usia 15 tahun. Papa pulang ke rumah membawa seorang wanita yang selama ini ia dekati selama beberapa bulan belakangan ini. Papa memperkenalkan padaku sebagai istrinya.

Astrid Tiara, Wanita itu adalah seorang janda yang memiliki anak satu. Anaknya Ayu berumur lima tahun lebih muda dariku. Aku yang tak memiliki adik, menyayangi Ayu yang manis sebagai adikku sendiri. Selama ini mereka pun selalu berusaha bersikap baik dan ramah padaku. Walau aku tak tahu seberapa tulus kebaikan tersebut.

Mobilku memasuki pintu gerbang yang terbuka lebar, Seolah memang sudah siap menyambut kedatanganku. Aku memerkirakan mobil dengan rapi di dalam garasi. Baru saja aku keluar dari pintu mobil.

Semerbak bau bunga melati yang merambat di pagar tembok garasi yang terdapat celah dari samping.

Mama Arum memiliki Rhinitis alergi. Atau yang lebih disebut dengan alergi serbuk bunga. Itu sebabnya di rumahku dulu tak ada satu pun bunga kecuali bunga yang berbahan sintetis. Sangat berbeda jauh dengan Mama Astrid.

Semenjak kehadiran Mama, rumah ini berubah menjadi taman bunga yang Indah. Mama Astrid begitu menyukai bunga. Semua jenis bunga yang mahal ada di rumah ini. Dari mawar import, anggrek Kalimantan bahkan bunga-bunga yang lagi viral saat itu.

"Assalamualaikum," ucapku memberikan salam. Namun tak ada sedikit pun sahutan. Aku dan Ammar langsung masuk kedalam rumah. Ammar berlari menuju taman belakang. Ia suka melihat aquarium belakang yang berisi aneka ragam ikan.

Sedangkan aku mulai melangkahkan kaki menuju lantai atas. Baru saja kakiku sampai di tangga yang paling ujung. Telingaku mendengar suara Mama yang berbicara pada seseorang.

"Adu lucunya cucu Oma. Sini sayang, Oma pengen gendong. Cepat besar Qilla sayang, biar bisa ikut sama Oma," ujar Ibu di telepon itu. Begitu asik hingga tak menyadari kedatanganku. Dahiku berkerut saat tak sengaja menangkap sebuah suara anak balita yang sedang berceloteh. Sungguh tampak bahagia sekali wajahnya.

"Ma ... Mama sedang berbicara dengan siapa?" tanyaku menyelidik. Mama yang terkejut langsung refleks memutuskan sambungan telponnya secara sepihak.

"Eh ... kamu Nak, kapan datangnya? Kok Mama nggak dengar?" tanya Mama.

"Baru saja kok, Ma. Intan sudah dari tadi manggil, tapi nggak ada yang nyaut. Bibi mana? Kok rumah pada sepi?" tanyaku heran.

"Bibi balik kampung, pembantu baru juga baru akan datang hari ini."

"Loh, emang Bibi nggak kerja lagi di sini?" tanyaku. Sayang sekali jika Bi Imah berhenti kerja. Apa lagi dia sudah bekerja di rumah ini sejak aku kecil. Aku menyayangi Bik Imah sudah seperti ibuku sendiri. Dulu saat aku menikah dengan Mas Dika. Aku ingin membawa Bi Imah bersamaku. Sekarang Bi Imah malah pulang kampung.

"Kenapa Mama biarin Bibi Imah pulang kampung tanpa pamit sama aku?" tanyaku dengan nada sedih.

" Sudahkan Intan! Bi Imah itu sudah tua, dia juga ingin berkumpul bersama anak dan cucunya. Biarkan lah dia pulang. Toh ... tenaganya juga sudah tak ada lagi. Semua pekerjaan yang ia kerjakan tak ada yang beres lagi. Tenaganya sudah tak semaksimal seperti dulu." jelas Mama. Aku menganggukkan kepala tanda mengerti.

"Ayo kita duduk di bawah Nak! Ngapain kita berdiri di dekat balkon ini, ayo!" Aku dan Mama berjalan berdua menuju ruang tamu. Sedangkan Ammar sudah lebih dulu duduk santai sambil menonton televisi. Kartun kesukaannya.

"Suamimu kapan pulang, Tan?" tanya Mama padaku. Mama memilih duduk di sofa singgle sedangkan aku memilih duduk bersebelahan dengan putraku. Aku membuka toples yang ada di meja, meraih segenggam kacang telur yang menjadi cemilan favoritku dan juga Ayu.

"Kata Mas Dika padaku di telpon kemarin. Hari ini ia akan pulang, Ma. Penerbangan sore. Paling tengah malam ia sampai, kalau nggak ada kendala delay.

"Oh ... ya, Intan. Mama mau bicara sesuatu," ujar Mama tampak ragu-ragu. Aku yang sedang mengunyah kacang pun akhirnya menoleh.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Simpanan!   121. Akhir yang Indah.

    Lagi-lagi aku dibuat tercengang dengan ide gila pria ini. Setelah aku menyetujui untuk menikah dengannya. Pernikahan kami di gelar dalam waktu tiga hari. Terdengar sangat tiba-tiba memang. Namun semuanya tampak siap, seolah sudah di persiapkan sebelumnya. Hanya tinggal mulutku berkata ia. Maka semuanya terlaksana bagai sulap.Bahkan sempat beredar rumor tak sedap yang mengatakan aku hamil duluan. Hanya karena pernikahanku yang di gelar begitu mendadak. Aku juga tak tahu dari mana rumor itu berasal. Namanya juga hidup bertetangga. Ada saja komentar yang terdengar. Aku menatap pantulan diriku di dalam cermin. Kebaya putih yang indah dengan hijab berwarna senada. Make up yang bagus membuat wajahku cantik sempurna. "Kamu cantik sekali, Nak!" puji Mama padaku. Aku menatap dan tersenyum padanya dari balik pantulan cermin. Aku gengam erat tangannya yang memegang pundakku. Ini memang pernikahan keduaku. Tapi gugupnya hampir sama dengan pernikahanku dulu. Bahkan lebih kentara lagi. Pintu

  • Simpanan!   120. Hutang yang harus dibayar.

    Aku tersentak kaget saat tangan Nini menggoyang tubuhku. Membuyarkan pikiran yang sejak tadi melayang entah kemana. "Mbak ... Mbak Intan! Mbak mikirin apa sih, Mbak?!" serunya padaku. Aku menoleh, menarik napasku yang terasa berat. "Nggak ada," jawabku singkat. Aku yang duduk di meja makan ini hanya menatapi makanan yang sudah Nini siapkan untukku. Tak ada yang aku sentuh. Selera makanku hilang entah kemana. "Mbak pasti mikirin Mas Langit, ya? Udah Mbak, kalau rindu bilang saja. Dari pada bengong gitu. Ayam tetanggaku di kampung, gara-gara bengong gitu selama tiga hari. Besoknya mati loh, Mbak. Kalau cinta bilang aja ok. Gitu aja kok susah Mbak," komentarnya padaku. Mataku melebar. "Kamu ngomong apa sih, Ni? Mbak nggak ngerti," elakku. Aku mengalihkan pandanganku darinya. Aku lagi malas beradu argumen dengan asisten rumah tanggaku ini. "Udah Mbak jangan malu sama Nini. Nini tu sebenarnya tahu. Sebenarnya Mbak tu cinta kan sama Mas Langit. Cuma Mbak Intan tu takut aja kalau Mas La

  • Simpanan!   119. Pasrah dengan Takdir.

    Hingga pagi menjelang, aku memaksa untuk pulang ke rumah. Demamku sudah turun. Sesampainya di rumah Mama menemaniku hingga ke kamar."Terima kasih, Ma," ucapku tulus. Aku duduk di pinggir ranjang menatapnya sayang. Tak ada amarah ataupun sakit hati. Semuanya sirna dengan kasih sayangnya. Mama menghela napas. Ia duduk di sampingku dan mengusap wajahku lembut. "Tak ada kata terima kasih untuk cinta seorang Ibu untuk anaknya. Sekarang istirahatlah ... jangan lagi menangis seperti itu Intan. Apalagi di makam Papamu sendirian seperti itu. Jika terjadi sesuatu padamu bagaimana?" "Bagaimana Mama bisa tahu aku ada di makam Papa?" tanyaku mulai mengingat kejadian itu. "Penjaga makam menelpon Mama dan memberitahukan keberadaanmu yang tergeletak pingsan di makam," jelas Mama. Ya, penjaga makam memang selalu aku bayar setiap bulan untuk menjaga Makam Papa. Itu sebabnya makam Papa bersih dan terawat. "Intan ... Mama dengar dari Nini, kamu akan pindah dalam minggu ini?" "Iya," jawabku singka

  • Simpanan!   118. Ziarah makam.

    Pukul dua siang, langkah kakiku terhenti di sebuah gapura tinggi. Berdiri kokoh dan bersanding dengan sebatang pohon beringin yang berdiri menantang memamerkan tubuhnya yang tinggi serta rimbun. Daun kering tertiup angin jatuh berguguran. Beberapa lembar jatuh di hadapanku. Lembarannya yang rapuh terinjak di kakiku meninggalkan bunyi patah.Bisikan nyanyian rindu menuntun langkah kakiku untuk terus melangkah maju. Menyusuri setiap jengkal tanah pemakaman melati. Rintik hujan yang mulai turun membasahi pipi bagai iring-iringan yang menyambut kedatanganku. Langit mendung seakan ikut merasakan kehampaan hati ini.Sebuah batu nisan yang di kelilingi keramik berwarna biru menjadi ujung tujuan langkah kakiku. Aku terdiam dengan mata yang berkaca-kaca. Kutekukkan kakiku, duduk di sudut pusara yang terawat ini. Setelah sekian lama, aku datang menemui cinta pertama yang selalu ada untukku di masa hidupnya. Dulu aku rutin datang kesini, minimal tiga bulan atau enam bulan sekali. Namun sejak d

  • Simpanan!   117. Jika tidak denganmu, maka tidak dengan yang lain.

    Dari rumah sakit aku mampir sejenak ke perusahaan. Menyelesaikan sebagian pekerjaanku. Sebagai pemilik sebuah perusahaan, aku masih memiliki tanggung jawab yang tak bisa aku tinggalkan. Pukul tujuh malam, mobilku terparkir cantik di halaman rumah. Aku turun dari mobil dan masuk ke rumah besar dengan bangunan arsitektur klasik. Rumah yang aku tempati selama puluhan tahun. Tak ada yang berubah dari rumah ini. Semuanya sama, dari dinding cat yang mendominasi warna-warna pastel dan putih. Kecuali bunga-bunga yang ditanam Mama yang berganti sesuai trend yang sedang hits saat ini.Aku memasuki rumah dan berjalan cepat ke ruang makan. Aku yakin semua sudah berkumpul di meja makan. "Selamat malam?" sapaku. "Kamu terlambat lagi, Kak?" ujar Elia padaku. Semuanya sedang makan dan menatap ke arahku yang baru saja tiba. Di samping Elia ada Emil–suaminya. Lelaki itu kerja sebagai pegawai bank swasta. Lalu di hadapan mereka, duduk seorang gadis kecil cantik yang tampak merenggut padaku. Aku mem

  • Simpanan!   116. Mengejar Cinta.

    Pov. Langit"Langit lepaskan!" ujarnya saat tautan bibir kami terlepas. Dekapan tangan ini masih sangat erat dan tak ingin terlepas. Deru nafas yang naik turun begitu memburu. Seakan berlomba-lomba meraup pasokan oksigen sebanyak-banyaknya. Aku tahu ini salah, aku tahu tak sepantasnya kau melakukan ini padanya. Tapi aku tak bisa mengalihkan pandanganku dari wajah cantiknya. Tak bertemu dengannya beberapa hari belakangan ini membuatku kehilangan nalarku saat ini. Apa pun yang berhubungan dengannya membuatku gila. Hanya ada namanya dan wajahnya yang memenuhi kepalaku saat ini. Detak jantungku dan dirinya kian berpacu berirama saling sahut-sahutan, membangkitkan gejolak rasa yang selama ini aku pendam dan kujaga dengan sangat hati-hati. Getaran itu masih sama, iramanya juga masih sama. Kubiarkan kupu-kupu menggelitikku. Membuatku terbuai dalam romansa indah, terbuai dengan irama asmara.Aku dekatkan keningnya dan keningku. Membiarkan punggungnya bersandar dengan pintu mobil. Bulu mat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status