Home / Romansa / Simpanan! / 5. Penolakan.

Share

5. Penolakan.

last update Huling Na-update: 2022-06-12 16:00:02

Ada apa, Ma? Kenapa wajah Mama tampak ragu gitu. Memangnya ada masalah berat apa?" desakku.

"Gini Intan, Ayu bilang sama Mama. Ia terkena masalah di sana. Mobil yang ia kendarai menabrak orang, jadi dia harus ganti rugi yang cukup besar. Belum lagi adikmu itu kini terancam kena PHK. Mama bingung dapat uang dari mana untuk mengirimi Ayu. Kamu tahu sendiri kan biaya hidup Mama semenjak Papamu meninggal, hanya ngandalin kebun sawit yang tinggal beberapa jerat itu saja. Mana sekarang buahnya juga sudah mulai sedikit," keluhnya membuat aku memutar bola mata jengah.

Gimana mau banyak buahnya, jika kebun itu hanya dipanen tanpa perawatan. Almarhum Papaku memang seorang pedagang hasil bumi. Ia juga memiliki puluhan hektar kebun sawit yang menghasilkan pundi-pundi masuk ke dalam rekening setiap bulan. Maka tak salah jika dulu Papa disebut juragan kebun sawit.

Namun, semenjak bertemu dengan Astrid. Bisnis yang Papa bangun dengan susah payah justru habis tak bersisa. Kebun sawit yang puluhan hektar habis terjual dan tersisa beberapa hektar saja. Namun satu hal yang tidak satu orang pun tahu, termasuk Mama.

Sebelum meninggal Papa menyembunyikan beberapa hektar kebun sawit dengan kualitas buah gred A atas namaku. Setiap bulan uang yang masuk ke dalam rekeningku mengalir deras tak henti, semua itu terjadi sudah sejak lima tahun kepergian Papa.

"Jadi Maksud Mama bagaimana?" tanyaku berbasa-basi. Aku mulai membuka tutup toples itu kembali. Mengambil segenggam kecil isi yang ada di dalam sana. Aku emang sangat menyukai cemilan satu ini. Jadi terkadang suka tak sadar saat makan. Istilahnya, belum berhenti kalau belum habis.

"Mama ingin menjual rumah ini," ujar Mama membuatku sedikit tersedak. Mama mengambilkan Aqua gelas yang ada di sampingnya. Aku langsung meminumnya hingga tandas, selain tercekik, tenggorokanku pun mulai kering.

"Menjual rumah ini?! Kenapa rumah ini. Kenapa tidak kebun Mama saja?" protesku.

"Kalau Mama jual kebun. Lalu untuk biaya hidup Mama bagaimana? Kamu kan tahu sendiri Mama nggak punya penghasilan selain kebun itu," dalihnya.

"Terus kalau Mama jual rumah ini. Mama mau tinggal di mana?!" tanyaku. Tak paham dengan pola pikirnya, atau jangan-jangan?

Rumah ini sudah berpindah atas namaku, sedangkan kebun yang ia miliki atas nama dirinya. Itu sebabnya ia ingin menjual tempat yang menjadi bagianku. Dasar licik.

"Mama akan ikut Ayu. Soal kebun kamu nggak usah khawatir, ada orang yang sudah dipasrahkan untuk mengurusnya. Mereka juga pekerja lama dan sangat bisa di percaya," dalihnya.

"Lagi pula Ayu sangat membutuhkan uang itu. Masa kamu tidak mau membantu adikmu sendiri. Lagi pula tak selamanya Mama tinggal di rumah besar ini seorang diri. Dari pada rumah ini rusak karena tak di huni. Bagaimana di jual saja, ya, Nak!" lanjutnya mulai merayuku.

Dia pikir aku akan mudah melepas apa yang sudah menjadi milikku.

"Tidak Ma. Sampai kapan pun Intan tidak akan menjual rumah ini. Begitu banyak kenangan yang tersimpan di sini. Jika Mama butuh uang, jual saja kebun Mama satu hektar, maka Mama masih memiliki income pasif setiap bulannya! Dari beberapa hektar lagi yang belum di jual. Sedangkan rumah ini satu-satunya kenangan aku dan kedua orang tuaku," dalihku. Tentu saja aku menolak keinginan Ibu tiriku ini.

Enak saja, bagian dia utuh. Bagianku yang mau dihabiskan sedikit demi sedikit. Lagi pula, rumah ini menyimpan banyak kenangan untukku, baik kenangan manis maupun kenangan pahit.

"Tapi Intan, rumah ini kalau tidak ditempati akan rusak. Lagi pula kamu juga tak mungkin menempatinya kan, sedangkan Mama berencana ikut Ayu. Mama bosan tinggal di sini sendiri. Kalau kebun yang dijual, pendapat bulanan Mama berkurang. Kamu tahu sendiri, selama ini yang di dapat dari kebun itu setiap bulannya saja tak cukup. Apa lagi kalau sampai dijual satu hektar lagi," ujarnya.

"Loh ... Ayu yang buat masalah, ya Mama dong yang tanggung jawab. Kok malah mengorbankan bagianku," sahutku. Raut wajah Mama Astrid mulai berubah tak suka.

"Walau bagaimanapun, Ayu itu adikmu Intan. Kamu wajib membantunya!"

"Sampai kapan Mama akan menekanku dengan kata-kata itu. Sejak dulu aku mengalah karena aku pikir Mama bisa adil terhadap aku dan Ayu. Tapi makin kesini, semakin nampak kalau Mama timpang tindih antara aku dan Ayu," jawabku tegas. Mama mulai salah tingkah.

Mungkin ia sadar aku bukanlah Intan yang dulu lagi, yang bisa ia tekan emosinya hanya dengan kata-kata seperti itu. Seolah semua kesalahan Ayu harus dilimpahkan padaku, karena aku seorang kakak. Lagi pula, Ayu cuma adik tiri saja pun.

"Bukan ... bukan begitu maksud Mama,"

"Tidak! Sekali aku bilang tidak, tetap tidak! Sampai kapan pun aku tak mengizinkan rumah ini dijual. Titik!" Aku beranjak dari dudukku. Pergi ke taman belakang menghentikan perdebatan ini yang membuatku kesal. Aku menghirup udara segar mengumpulkannya begitu banyak ke dalam paru-paru agar terasa segar.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Simpanan!   121. Akhir yang Indah.

    Lagi-lagi aku dibuat tercengang dengan ide gila pria ini. Setelah aku menyetujui untuk menikah dengannya. Pernikahan kami di gelar dalam waktu tiga hari. Terdengar sangat tiba-tiba memang. Namun semuanya tampak siap, seolah sudah di persiapkan sebelumnya. Hanya tinggal mulutku berkata ia. Maka semuanya terlaksana bagai sulap.Bahkan sempat beredar rumor tak sedap yang mengatakan aku hamil duluan. Hanya karena pernikahanku yang di gelar begitu mendadak. Aku juga tak tahu dari mana rumor itu berasal. Namanya juga hidup bertetangga. Ada saja komentar yang terdengar. Aku menatap pantulan diriku di dalam cermin. Kebaya putih yang indah dengan hijab berwarna senada. Make up yang bagus membuat wajahku cantik sempurna. "Kamu cantik sekali, Nak!" puji Mama padaku. Aku menatap dan tersenyum padanya dari balik pantulan cermin. Aku gengam erat tangannya yang memegang pundakku. Ini memang pernikahan keduaku. Tapi gugupnya hampir sama dengan pernikahanku dulu. Bahkan lebih kentara lagi. Pintu

  • Simpanan!   120. Hutang yang harus dibayar.

    Aku tersentak kaget saat tangan Nini menggoyang tubuhku. Membuyarkan pikiran yang sejak tadi melayang entah kemana. "Mbak ... Mbak Intan! Mbak mikirin apa sih, Mbak?!" serunya padaku. Aku menoleh, menarik napasku yang terasa berat. "Nggak ada," jawabku singkat. Aku yang duduk di meja makan ini hanya menatapi makanan yang sudah Nini siapkan untukku. Tak ada yang aku sentuh. Selera makanku hilang entah kemana. "Mbak pasti mikirin Mas Langit, ya? Udah Mbak, kalau rindu bilang saja. Dari pada bengong gitu. Ayam tetanggaku di kampung, gara-gara bengong gitu selama tiga hari. Besoknya mati loh, Mbak. Kalau cinta bilang aja ok. Gitu aja kok susah Mbak," komentarnya padaku. Mataku melebar. "Kamu ngomong apa sih, Ni? Mbak nggak ngerti," elakku. Aku mengalihkan pandanganku darinya. Aku lagi malas beradu argumen dengan asisten rumah tanggaku ini. "Udah Mbak jangan malu sama Nini. Nini tu sebenarnya tahu. Sebenarnya Mbak tu cinta kan sama Mas Langit. Cuma Mbak Intan tu takut aja kalau Mas La

  • Simpanan!   119. Pasrah dengan Takdir.

    Hingga pagi menjelang, aku memaksa untuk pulang ke rumah. Demamku sudah turun. Sesampainya di rumah Mama menemaniku hingga ke kamar."Terima kasih, Ma," ucapku tulus. Aku duduk di pinggir ranjang menatapnya sayang. Tak ada amarah ataupun sakit hati. Semuanya sirna dengan kasih sayangnya. Mama menghela napas. Ia duduk di sampingku dan mengusap wajahku lembut. "Tak ada kata terima kasih untuk cinta seorang Ibu untuk anaknya. Sekarang istirahatlah ... jangan lagi menangis seperti itu Intan. Apalagi di makam Papamu sendirian seperti itu. Jika terjadi sesuatu padamu bagaimana?" "Bagaimana Mama bisa tahu aku ada di makam Papa?" tanyaku mulai mengingat kejadian itu. "Penjaga makam menelpon Mama dan memberitahukan keberadaanmu yang tergeletak pingsan di makam," jelas Mama. Ya, penjaga makam memang selalu aku bayar setiap bulan untuk menjaga Makam Papa. Itu sebabnya makam Papa bersih dan terawat. "Intan ... Mama dengar dari Nini, kamu akan pindah dalam minggu ini?" "Iya," jawabku singka

  • Simpanan!   118. Ziarah makam.

    Pukul dua siang, langkah kakiku terhenti di sebuah gapura tinggi. Berdiri kokoh dan bersanding dengan sebatang pohon beringin yang berdiri menantang memamerkan tubuhnya yang tinggi serta rimbun. Daun kering tertiup angin jatuh berguguran. Beberapa lembar jatuh di hadapanku. Lembarannya yang rapuh terinjak di kakiku meninggalkan bunyi patah.Bisikan nyanyian rindu menuntun langkah kakiku untuk terus melangkah maju. Menyusuri setiap jengkal tanah pemakaman melati. Rintik hujan yang mulai turun membasahi pipi bagai iring-iringan yang menyambut kedatanganku. Langit mendung seakan ikut merasakan kehampaan hati ini.Sebuah batu nisan yang di kelilingi keramik berwarna biru menjadi ujung tujuan langkah kakiku. Aku terdiam dengan mata yang berkaca-kaca. Kutekukkan kakiku, duduk di sudut pusara yang terawat ini. Setelah sekian lama, aku datang menemui cinta pertama yang selalu ada untukku di masa hidupnya. Dulu aku rutin datang kesini, minimal tiga bulan atau enam bulan sekali. Namun sejak d

  • Simpanan!   117. Jika tidak denganmu, maka tidak dengan yang lain.

    Dari rumah sakit aku mampir sejenak ke perusahaan. Menyelesaikan sebagian pekerjaanku. Sebagai pemilik sebuah perusahaan, aku masih memiliki tanggung jawab yang tak bisa aku tinggalkan. Pukul tujuh malam, mobilku terparkir cantik di halaman rumah. Aku turun dari mobil dan masuk ke rumah besar dengan bangunan arsitektur klasik. Rumah yang aku tempati selama puluhan tahun. Tak ada yang berubah dari rumah ini. Semuanya sama, dari dinding cat yang mendominasi warna-warna pastel dan putih. Kecuali bunga-bunga yang ditanam Mama yang berganti sesuai trend yang sedang hits saat ini.Aku memasuki rumah dan berjalan cepat ke ruang makan. Aku yakin semua sudah berkumpul di meja makan. "Selamat malam?" sapaku. "Kamu terlambat lagi, Kak?" ujar Elia padaku. Semuanya sedang makan dan menatap ke arahku yang baru saja tiba. Di samping Elia ada Emil–suaminya. Lelaki itu kerja sebagai pegawai bank swasta. Lalu di hadapan mereka, duduk seorang gadis kecil cantik yang tampak merenggut padaku. Aku mem

  • Simpanan!   116. Mengejar Cinta.

    Pov. Langit"Langit lepaskan!" ujarnya saat tautan bibir kami terlepas. Dekapan tangan ini masih sangat erat dan tak ingin terlepas. Deru nafas yang naik turun begitu memburu. Seakan berlomba-lomba meraup pasokan oksigen sebanyak-banyaknya. Aku tahu ini salah, aku tahu tak sepantasnya kau melakukan ini padanya. Tapi aku tak bisa mengalihkan pandanganku dari wajah cantiknya. Tak bertemu dengannya beberapa hari belakangan ini membuatku kehilangan nalarku saat ini. Apa pun yang berhubungan dengannya membuatku gila. Hanya ada namanya dan wajahnya yang memenuhi kepalaku saat ini. Detak jantungku dan dirinya kian berpacu berirama saling sahut-sahutan, membangkitkan gejolak rasa yang selama ini aku pendam dan kujaga dengan sangat hati-hati. Getaran itu masih sama, iramanya juga masih sama. Kubiarkan kupu-kupu menggelitikku. Membuatku terbuai dalam romansa indah, terbuai dengan irama asmara.Aku dekatkan keningnya dan keningku. Membiarkan punggungnya bersandar dengan pintu mobil. Bulu mat

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status