Share

5. Penolakan.

Ada apa, Ma? Kenapa wajah Mama tampak ragu gitu. Memangnya ada masalah berat apa?" desakku.

"Gini Intan, Ayu bilang sama Mama. Ia terkena masalah di sana. Mobil yang ia kendarai menabrak orang, jadi dia harus ganti rugi yang cukup besar. Belum lagi adikmu itu kini terancam kena PHK. Mama bingung dapat uang dari mana untuk mengirimi Ayu. Kamu tahu sendiri kan biaya hidup Mama semenjak Papamu meninggal, hanya ngandalin kebun sawit yang tinggal beberapa jerat itu saja. Mana sekarang buahnya juga sudah mulai sedikit," keluhnya membuat aku memutar bola mata jengah.

Gimana mau banyak buahnya, jika kebun itu hanya dipanen tanpa perawatan. Almarhum Papaku memang seorang pedagang hasil bumi. Ia juga memiliki puluhan hektar kebun sawit yang menghasilkan pundi-pundi masuk ke dalam rekening setiap bulan. Maka tak salah jika dulu Papa disebut juragan kebun sawit.

Namun, semenjak bertemu dengan Astrid. Bisnis yang Papa bangun dengan susah payah justru habis tak bersisa. Kebun sawit yang puluhan hektar habis terjual dan tersisa beberapa hektar saja. Namun satu hal yang tidak satu orang pun tahu, termasuk Mama.

Sebelum meninggal Papa menyembunyikan beberapa hektar kebun sawit dengan kualitas buah gred A atas namaku. Setiap bulan uang yang masuk ke dalam rekeningku mengalir deras tak henti, semua itu terjadi sudah sejak lima tahun kepergian Papa.

"Jadi Maksud Mama bagaimana?" tanyaku berbasa-basi. Aku mulai membuka tutup toples itu kembali. Mengambil segenggam kecil isi yang ada di dalam sana. Aku emang sangat menyukai cemilan satu ini. Jadi terkadang suka tak sadar saat makan. Istilahnya, belum berhenti kalau belum habis.

"Mama ingin menjual rumah ini," ujar Mama membuatku sedikit tersedak. Mama mengambilkan Aqua gelas yang ada di sampingnya. Aku langsung meminumnya hingga tandas, selain tercekik, tenggorokanku pun mulai kering.

"Menjual rumah ini?! Kenapa rumah ini. Kenapa tidak kebun Mama saja?" protesku.

"Kalau Mama jual kebun. Lalu untuk biaya hidup Mama bagaimana? Kamu kan tahu sendiri Mama nggak punya penghasilan selain kebun itu," dalihnya.

"Terus kalau Mama jual rumah ini. Mama mau tinggal di mana?!" tanyaku. Tak paham dengan pola pikirnya, atau jangan-jangan?

Rumah ini sudah berpindah atas namaku, sedangkan kebun yang ia miliki atas nama dirinya. Itu sebabnya ia ingin menjual tempat yang menjadi bagianku. Dasar licik.

"Mama akan ikut Ayu. Soal kebun kamu nggak usah khawatir, ada orang yang sudah dipasrahkan untuk mengurusnya. Mereka juga pekerja lama dan sangat bisa di percaya," dalihnya.

"Lagi pula Ayu sangat membutuhkan uang itu. Masa kamu tidak mau membantu adikmu sendiri. Lagi pula tak selamanya Mama tinggal di rumah besar ini seorang diri. Dari pada rumah ini rusak karena tak di huni. Bagaimana di jual saja, ya, Nak!" lanjutnya mulai merayuku.

Dia pikir aku akan mudah melepas apa yang sudah menjadi milikku.

"Tidak Ma. Sampai kapan pun Intan tidak akan menjual rumah ini. Begitu banyak kenangan yang tersimpan di sini. Jika Mama butuh uang, jual saja kebun Mama satu hektar, maka Mama masih memiliki income pasif setiap bulannya! Dari beberapa hektar lagi yang belum di jual. Sedangkan rumah ini satu-satunya kenangan aku dan kedua orang tuaku," dalihku. Tentu saja aku menolak keinginan Ibu tiriku ini.

Enak saja, bagian dia utuh. Bagianku yang mau dihabiskan sedikit demi sedikit. Lagi pula, rumah ini menyimpan banyak kenangan untukku, baik kenangan manis maupun kenangan pahit.

"Tapi Intan, rumah ini kalau tidak ditempati akan rusak. Lagi pula kamu juga tak mungkin menempatinya kan, sedangkan Mama berencana ikut Ayu. Mama bosan tinggal di sini sendiri. Kalau kebun yang dijual, pendapat bulanan Mama berkurang. Kamu tahu sendiri, selama ini yang di dapat dari kebun itu setiap bulannya saja tak cukup. Apa lagi kalau sampai dijual satu hektar lagi," ujarnya.

"Loh ... Ayu yang buat masalah, ya Mama dong yang tanggung jawab. Kok malah mengorbankan bagianku," sahutku. Raut wajah Mama Astrid mulai berubah tak suka.

"Walau bagaimanapun, Ayu itu adikmu Intan. Kamu wajib membantunya!"

"Sampai kapan Mama akan menekanku dengan kata-kata itu. Sejak dulu aku mengalah karena aku pikir Mama bisa adil terhadap aku dan Ayu. Tapi makin kesini, semakin nampak kalau Mama timpang tindih antara aku dan Ayu," jawabku tegas. Mama mulai salah tingkah.

Mungkin ia sadar aku bukanlah Intan yang dulu lagi, yang bisa ia tekan emosinya hanya dengan kata-kata seperti itu. Seolah semua kesalahan Ayu harus dilimpahkan padaku, karena aku seorang kakak. Lagi pula, Ayu cuma adik tiri saja pun.

"Bukan ... bukan begitu maksud Mama,"

"Tidak! Sekali aku bilang tidak, tetap tidak! Sampai kapan pun aku tak mengizinkan rumah ini dijual. Titik!" Aku beranjak dari dudukku. Pergi ke taman belakang menghentikan perdebatan ini yang membuatku kesal. Aku menghirup udara segar mengumpulkannya begitu banyak ke dalam paru-paru agar terasa segar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status