Sindiran pedas istri kedua (POV Obi) Perihal jatuh cinta, sungguh hal terumit dalam hidupku. Ketertarikan pada lawan jenis tidak begitu sering menyambangi. Dua atau tiga kali, begitulah seingatku. Itu pun ketika aku telah berada di bangku perkuliahan. Rasa itu juga tak terlalu menggebu-gebu sehingga hanya bertahan beberapa waktu. Belumlah kutemukan sosok wanita yang benar-benar bertahta di hati dan mampu mengalihkan duniaku. Bukan karena aku terlalu selektif atau pun karena tidak tertarik pada lawan jenis seperti gurauan kasar yang kerap terlontar dari beberapa teman yang kurang adab. Meskipun seorang lelaki, pertanyaan bahkan desakan untuk segera menikah sudah kerap kali ditujukan padaku semenjak umur seperempat abad telah kulalui. Aku anak tunggal dan hanya berdua saja dengan ibu semenjak usia balita. Tidak ada sosok ayah yang menjadi panutan sehingga kadang muncul rasa pesimis dalam diriku. Jika kelak aku menikah dan mempunyai anak, bisakan aku menjadi seorang ayah yang baik
Sindiran Pedas Istri Kedua "Kenapa harus Obi?" Kalimat pertama yang keluar dari mulut Hendi begitu dia berada di hadapanku, tanpa ada basa-basi. Aku cukup terkejut atas kedatangannya. Memang, dua jam yang lalu dia menanyakan keberadaanku. Aku kira dia hanya ingin memastikan anak-anak ada di mana karena dia ingin bertemu dengan mereka.Aku meletakkan telepon genggam yang tengah menjadi pusat perhatianku. Lalu beranjak dari meja kerja ke sofa tempat biasa menerima tamu. Hendi mengikuti pergerakanku. Ekspresi wajahnya terlihat sangat tidak bersahabat. "Kamu ngapain ke sini? Tadi kan sudah aku bilang anak-anak ada di rumah," jawabku santai. "Aku mau bicara sama kamu," balas Hendi setelah mendengkus kesal. "Aku ngerasa nggak ada hal penting yang perlu dibicarakan. Anak-anak baik-baik saja. Semua hal yang berkaitan dengan anak-anak lancar-lancar aja." "Jangan berpura-pura tidak tahu, Tiara! Kamu sangat paham, kan, arah pertanyaan aku?" Hendi terlihat sangat kesal. Sebenarnya aku jauh
Sindiran Pedas Istri Kedua "Ada apa?" tanya Obi padaku begitu Hendi telah berada di luar. "Biasa, beda pendapat," jawabku. "Kalau yang nggak penting-penting amat, hindari aja. Dari pada merusak hubungan baik," timpal Obi lagi. Aku mengiyakan diiringi senyum tipis. Agar tidak menjadi pembahasan panjang, kucoba untuk mengalihkan pembicaraan. "Bu Mai gimana keadaannya?" "Makin membaik." "Kata Mbak, kamu lagi nyari orang buat di rumah. Bukannya udah ada?" "Cari yang bisa nginap. Lusa aku mau ke Singapura. Kasian Ibu kalau sendirian." "Ada acara apa?" "Ada undangan dari Mas Adrian. Dia kan netap di sana. Mau ikut?" Obi mendelik padaku. Aku menggeleng pelan. "Nggaklah." "Cuma dua sampai tiga hari aja. Anak-anak udah jadi dibikinin pasport belum? " "Baru Khalif aja yang udah jadi." "Kalau semuanya udah punya, jadinya kan enak. Kapan aja dibutuhin udah siap." "Masih ada kerjaan apa udahan?" lanjut Obi lagi. "Cuma tinggal ngecek hasil rekapan yang lagi dikerjakan Nisa. Kenapa?
Sindiran Pedas Istri Kedua "Sudah move on?" tanyaku pada Hakim ketika kami sedang berada di laboraturium komputer. "Udah, dong! Ngapain juga galau lama-lama," jawabnya enteng. Sebagai teman, tentu aku sangat prihatin atas apa yang tengah dialami Hakim. Belumlah lama dia bertunangan, tetapi sudah bubar. Namun, aku juga tidak berani banyak bertanya tentang sebab musababnya. Khawatir dia tidak berkenan untuk berbagi cerita. Konon katanya, Sandra yang memutuskan pertunangan mereka. Hakim juga tidak berusaha mempertahankan karena merasa perbedaan di antara mereka sangat mencolok. Begitulah yang terdengar olehku ketika teman-teman sedang merumpi. Kebetulan salah seorang teman di sekolah juga berteman baik dengan sepupu Hakim sehingga tingkat kevalidan cerita itu lumayan tinggi. Sandra sangat posesif, selalu curigaan, dan manja. Sedangkan Hakim adalah orang yang supel, gesit, dan banyak aktivitas. Sangat bertolak belakang memang. Memang seperti itulah kesan yang kuperoleh tatkala perte
Sindiran Pedas Istri Kedua Queen Jewellery, itulah tempat yang kutuju. Sesuai dengan inisial yang ada di kotak perhiasan tanpa nama pengirim yang menjadi sumber rasa penasaranku. Satu di antara jejeran ruko di pusat keramaian kota. Bisa dibilang di sinilah pusat perhiasan emas di kota ini. di kiri kanan jalan berjejer toko emas baik yang besar maupun sedang. Bahkan ada yang sudah puluhan tahun juga.Pernah beberapa kali aku mengunjungi toko ini. Terakhir, waktu memesan kalung untuk Rara dan Syira. Mereka menginginkan kalung kembaran. Memang, toko ini terkenal dengan model-model perhiasan yang sangat artistik serta pelayanan yang sangat ramah. Kualitas emasnya juga bagus. Tak heran jika pengunjungnya selalu ramai, sehingga harus lebih bersabar menunggu dilayani. Aku mendelik pergelangan tangan. Penunjuk waktu yang kupakai menampilkan angka empat menit menuju pukul empat sore. Aku dan pemilik toko membuat kesepakatan untuk bertemu pukul empat tepat. Untung perkiraan perjalananku tida
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUA Part 47 Aku berdiri di dekat pagar balkon. Menikmati malam yang disertai bulan yang malu-malu di balik awan. Anak-anak sudah tidur selepas Isya. Meskipun besok adalah hari libur, tetapi sudah menjadi kebiasaan dari dahulu, paling lama hanya setengah jam setelah menunaikan salat mereka akan segera tidur. Di teras bawah ada Mbak Nana --pengasuh Syira-- sedang duduk selonjoran sambil menelepon. Dia memang rutin menelepon kedua orang tuanya setiap hari. Entah itu di saat anak-anak telah tidur siang atau pun tidur malam. Bapak dan Ibu sedang di rumah lama. Ada kerabat dari Bapak yang berkunjung. Rumah mendadak terasa sepi. Kembali aku memperhatikan dengan saksama gelang yang ada dalam genggamanku. Aku gagal mengembalikan benda itu kepada Hakim. Nanti akan kucoba lagi. Kalau terang-terangan tidak berhasil, aku juga akan mengikuti jejaknya. Memberikannya lewat perantara atau pun dengan cara memaksa. Sungkan untuk tetap memilikinya, terlebih setelah kutahu ada
Sindiran Pedas Istri Kedua "Emangnya kenapa dengan Om Obi? Bukankah selama ini Om Obi baik banget dan sayang sama Rara? Sayang sama Syira, Kak Khalif dan sering bantuin Mama juga."Rara masih diam dan mempertahankan wajah cemberutnya. "Eh, tapi Rara kok bisa bilang Om Obi bakal jadi Papa Rara? Siapa yang bilang?" "Katanya tadi Rara mau ngobrol sekarang. Tapi kok masih diam aja?" Aku terus mencoba memancing Rara karena dia masih belum juga angkat bicara. Menghadapi Rara memang kadang susah-susah gampang."Rara nggak sengaja dengar Kakek dan Om Obi ngobrol." Akhirnya ada jawaban juga dari Rara walaupun dengan suara pelan. "Okey, memangnya Rara nggak sayang sama Om Obi?" "Rara sayang, tapi Rara maunya Om Obi tetap jadi Omnya Rara aja. Nggak mau jadi Papa. Nanti galak kayak papa barunya Kania." Aku ingat, salah seorang orang tua teman sekelas Rara pernah mengundang ke acara resepsinya. Namun, aku tidak bisa hadir. Mungkin itu yang dimaksud Rara yang punya papa baru. "Memangnya Ka
Sindiran Pedas Istri Kedua "Hakim, maaf, aku tidak bisa menerima ini." Aku meletakkan kotak perhiasan itu di atas meja yang berada di antara aku dan Hakim. "Ada yang keberatan?" Tatapan Hakim lurus tertuju padaku. Wajah teduhnya persis berada di hadapanku. "Kenapa pemberianku kali ini ditolak? Apa yang salah? Tidak ada, kan?" Hakim berbicara dengan intonasi yang sangat tertata. Dia manampakkan ekspresi yang sangat tenang. "Apa karena nilai barangnya atau karena aku memberinya dengan rasa? Atau ... ada alasan yang lainnya?" Aku mengalihkan pandangan. Mencoba menenangkan pikiran agar bisa merangkai kata dengan baik. "Aku berharap tidak akan pernah berada pada situasi seperti ini, Hakim. Ini ... ini teramat rumit." "Tidak akan rumit dan tidak perlu dibikin rumit," jawab Hakim tanpa menjeda terlalu lama. "Aku mengungkapkan apa yang ada di hatiku. Aku mengekspresikannya lewat tindakan. Tak ada yang salah, kan?" Lagi-lagi pernyataan Hakim berujung pembenaran. "Benar, tidak ada y