Tuuut ... tuuut ....
Sambungan telepon mereka terputus, setelah mendengar suara benturan yang sangat keras. Hal itu membuat Zara merasa sangat kaget ketika mendengar suara yang begitu keras, seperti sedang menghantam benda keras lainnya.
TES!
Seketika air mata Zara menetes dengan derasnya, walau tanpa ia sadari. Walaupun ia tidak mengetahui dengan jelas, tetapi firasatnya mengenai kedua orang tuanya sangatlah tajam.
BRUK!
Barang belanjaan yang sedang ia pegang, mendadak jatuh tercecer ke atas lantai. Barang-barang bermerk yang selalu ia beli ketika ada edisi terbaru, terasa tak berarti lagi saat ini.
Tak hanya barang-barang belanjaannya yang terjatuh, tetapi juga handphone dan dirinya yang ikut tertunduk lemas karenanya.
Semua orang memandang ke arahnya dengan bingung, tetapi sama sekali tidak ada yang berani mendekat ke arahnya yang terlihat sudah sangat hancur saat ini.
"Kenapa harus terjadi denganku?" gumam Zara, yang merasa sangat kesal dengan berita duka ini.
Bukan hanya bisnisnya dan hubungan asmaranya saja yang direnggut, tetapi nyawa kedua orang tuanya pun direnggut takdir.
Yang ada di pikiran Zara hanyalah kehancuran. Bisa saja mereka selamat dari maut yang terjadi.
Dengan sangat kencang, Zara meremas rambut blonde miliknya itu, sampai beberapa helai tercabut saking kencangnya ia meremas rambutnya sendiri. Ia sudah sangat hancur, dan tak bisa melakukan apa pun lagi.
Handphone-nya kembali berdering, dengan lemas Zara pun mengambilnya dan menerima panggilan tersebut.
"Halo," sapanya dengan nada yang lemas.
"Halo, kami dari kepolisian setempat. Apa benar ini Nona Zara Latulini?"
"Ya, saya sendiri."
"Kami menemukan kedua orang tua anda yang mengalami kecelakaan, tepat di pusat kota. Ketika lampu dalam keadaan merah, mereka menerobos lampu merah sehingga membuat adu banteng terjadi. Nyawa mereka ... sudah tidak terselamatkan, dan tewas di tempat dengan keadaan mobil terbakar."
Sakit hati Zara mendengar penjelasan dari polisi yang saat ini bertugas mengamankan lalu lintas.
"Gimana anda tahu nomor telepon saya?" tanya Zara penasaran, karena ia selalu mengganti nomor teleponnya secara berkala, demi menghindari orang yang selalu menerornya.
"Handphone Nyonya Latulini terlempar keluar, sebelum mobil meledak. Saya yang melihatnya, segera mengambilnya dan mengetahui kalau ini adalah Nyonya Latulini."
Zara berpikir sejenak, 'Tak heran juga.'
Tak mau banyak berbincang dengan orang lain, Zara pun mengambil sikap tegas.
"Baiklah, saya akan segera ke sana."
***
Usai mengurus pemakaman kedua orang tuanya, hari-hari Zara terasa sangat membosankan. Tak ada lagi hal yang bisa ia lakukan, selain melepaskan semua kekacauan di hatinya dengan menenggak beberapa botol alkohol.
Sudah satu minggu sejak kepergian mereka. Kini, sisa tabungan Zara pun sudah menipis, tetapi ia masih saja menghamburkan uangnya untuk melepaskan masalah yang ia derita.
Selama seminggu ini, Zain yang merupakan anak dari Yuki dan Ren, selalu mengganggu ketenangan hati Zara. Ia selalu menemui Zara, sampai Zara merasa sangat risih dengannya.
GLEK!
Zara menenggak habis dengan satu kali tenggak, segelas alkohol yang ia pegang. Saat ini, ia sedang berada di salah satu bar favorit tempat ia menghabiskan waktu bersama dengan salah seorang temannya yang bernama Azhar.
Azhar, lelaki yang sudah dianggap sebagai sahabat oleh Zara, yang selalu menemani Zara apa pun keadaannya. Tak jarang Zara juga memberikan bantuan kepadanya berupa uang, untuk menambah biaya pengobatan adiknya yang sedang sakit.
Azhar juga merupakan tempat pelampiasannya, ketika Zara sedang putus cinta dengan Zain. Zara mengaku sudah berpacaran dengan Azhar, sehingga membuat Zain murka dengannya.
Hal itu semata-mata hanya untuk membuat Zain membencinya. Karena campur tangan kedua orang tua Zain, membuat Zara merasa sangat tidak nyaman menjalani asmara bersama dengan Zain.
Zara memandang gelas yang sudah kosong, dengan pandangan yang hampir kabur. Sudah banyak botol kosong berserakan, dan kesadarannya sudah hampir hilang seiring berjalannya waktu.
"Kenapa ini semua terjadi padaku? Apa salahku?" gumam Zara, yang masih menangisi kepergian kedua orang tuanya dan juga hancurnya hidupnya saat ini.
Masih teringat jelas Zain yang datang menemuinya kemarin malam. Kata-katanya pun masih terngiang di pikiran Zara, hanya menambah rasa kesal dan kesengsaraan yang ia derita saja.
Malam itu, Zara sedang dituntun oleh Azhar dan berjalan menyusuri jalanan kota. Cuaca yang dingin, membuat Azhar merasa iba dengan Zara yang sama sekali tidak memakai baju hangat.
"Apa kau memerlukan baju hangat?" tanya Azhar, tetapi kondisi Zara yang setengah sadar tidak menghiraukan pertanyaan Azhar.
Mereka menyusuri jalan, karena Azhar yang sama sekali tidak bisa menyetir mobil milik Zara. Alhasil mereka meninggalkan mobil Zara di bar tersebut, dan berjalan pulang menuju ke rumah Zara.
Dari ujung jalan sana, datanglah sebuah mobil berwarna hitam, dengan merk BMW seri terbaru. Di dalamnya ada Zain yang sudah menatap sinis ke arah Azhar, membuat Azhar merasa sedikit terkejut karena kedatangannya.
Mobil itu berhenti tepat di hadapan Azhar yang sedang memapah Zara. Seorang lelaki bernama Zain keluar dari dalam mobil tersebut, dan berdiri sembari menatap Azhar dengan sinis.
"Lepaskan Zara!" bentak Zain, yang tak terima dengan apa yang ia lihat di hadapannya.
Zara yang masih setengah sadar, memandang sinis ke arah Zain yang tiba-tiba saja muncul di hadapannya.
"Kau mau apa lagi, hah? Bukankah hubungan kita sudah lama berakhir?" bentak Zara, Azhar hanya bisa memandang mereka saja.
"Zara, kembalilah padaku! Aku berjanji, aku tidak akan mempersulitmu lagi setelah ini!"
Zara hanya bisa tertawa dengan lepasnya, karena mendengar hal yang sama sekali tidak bisa ia terima.
Keningnya mengerut, "Aku berbicara serius, Zara! Jangan mempermainkanku!" bentak Zain, yang tak ingin dipermainkan oleh Zara.
Mendengar perkataan Zain, Zara lalu memandangnya dengan sinis.
"Bukankah kau yang telah mempermainkan aku? Kenapa sekarang kau yang menuduhku telah mempermainkanmu?"
Suasana memanas, dengan Azhar yang benar-benar tidak bisa berbuat apa pun di hadapan mereka yang sama-sama sedang tersulut emosi.
"Aku begini karena ibuku, Zara! Jangan membuatku kesal karena kesalahan yang bukan merupakan salahku!"
Zara mendelikkan matanya dengan tajam, "Apa katamu? Bukan salahmu? Lantas salah siapa? Apa ini semua salah dan kemauanku?"
"Bukan seperti itu Za--"
"Lantas seperti apa, Zain?!" pangkas Zara, yang sangat tidak senang mendengar yang Zain katakan padanya.
Seketika suasana menjadi hening, ketika Zara berhasil memangkas bantahan Zain. Keringat dingin sudah mulai mengucur dari kening Zain, karena di saat mabuk pun ia tidak bisa memenangkan hati Zara kembali.
'Mungkin memang tiada tempat bagiku lagi di hatinya,' batin Zain, yang merasa sudah berada di batasnya.
Namun, karena rasa cintanya terhadap Zara, Zain tentu saja tidak menyerah semudah itu.
Zain menarik kasar tangan Zara, membuat Zara merasa sangat kesal karenanya. Azhar yang melihatnya pun merasa sangat kesal, karena Zain yang bisa-bisanya berlaku kasar terhadap Zara.Dengan cepatnya, Azhar menahan tangan Zain sehingga membuat Zain tak bisa berkutik. Mereka saling melempar pandangan kebencian, tak membiarkan masing-masing dari mereka melakukan apa pun."Lepaskan tangan Zara!" bentak Azhar, yang tidak bisa melihat Zara diperlakukan kasar seperti itu.Zain memandangnya dengan sinis, "Apa pedulimu?""Aku sangat peduli dengannya!""Tapi aku sama sekali tidak peduli denganmu!" bentak Zain, membuat Azhar tak bisa berkutik.Dengan kasar, Zain melepaskan tangan Azhar yang menahannya, membuatnya terlepas dari genggaman tangannya.Mereka saling melempar pandangan kebencian, karena masing-masing dari mereka ingin memberikan yang terbaik untuk Zara.Zara yang melihat perseteruan antara mereka, menjadi sangat geram dengan sosok Zain."Aku tidak tahu apa yang kau inginkan! Jangan mac
Rencana yang sampai melibatkan Zeo, sungguh merupakan rencana keji yang hanya akan dilakukan oleh seseorang.Ya! Siapa lagi kalau bukan pasangan Yuki dan juga Ren. Mereka adalah dalang di balik rencana yang lebih kejam lagi dari sebelumnya.Belum puas mereka melihat bisnis keluarga Latulini hancur, sampai membuat pemimpinnya kehilangan nyawanya. Belum cukup puas, mereka juga bermain api pada Zara yang merupakan pewaris satu-satunya dari Latulini Group.Ren menyunggingkan senyumannya, "Biar pemimpin Abraham Group tahu, kelakuan busuk dari Latulini Group! Bukan hanya orang tuanya saja yang melakukan korupsi, tetapi putrinya bahkan berani tidur dengan putra dari pemimpin Abraham Group!"Mendengar ucapan Ren, Azhar hanya bisa menelan salivanya. Ia tidak bisa melakukan apa pun untuk menolong temannya itu. Ia hanya bisa berpangku tangan dengan Ren dan juga Yuki, tentang biaya operasi untuk adiknya.Dengan tekad yang sudah bulat, Azhar memapah tubuh Zara ke tempat yang sudah disediakan oleh
Sinar matahari memaksa masuk ke dalam celah gorden, menyinari mata indah milik Zara. Perlahan Zara membuka matanya, kemudian tersadar dengan ruangan yang sama sekali berbeda dengan ruangan kamarnya.Pandangannya ia edarkan ke sekeliling ruangan, dan membulat seketika saat melihat Zeo yang bertelanjang dada di sebelah tempat ia tertidur.Pemandangan absurd ini membuatnya sangat terkejut, sampai pipinya memerah seketika."Ah!!" pekiknya yang sangat terkejut dengan pemandangan tersebut.Karena mendengar teriakan yang cukup keras, Zeo pun sampai terbangun dari tidurnya. Ia mengubah posisinya menjadi duduk, sembari berusaha menyanggah kepalanya yang masih berat efek obat perangsang yang sengaja diberikan Ren padanya.Zeo menoleh ke arah Zara yang berada di sebelahnya, dengan pandangan yang sinis."Jangan berteriak di telingaku!" bentak Zeo kesal, saking sakitnya telinganya karena mendengar teriakan yang absurd dari Zara.Zara mendelikkan matanya, karena ia tak percaya ada sosok Zeo di sebe
Kabar burung tentang penangkapan Zara merebak seketika. Para staf berbondong-bondong mendemo perusahaan Latulini Group, tempat mereka sebelumnya bernaung. Namun apa daya, tidak ada yang bisa menjawab semua keluh-kesah mereka tentang pembayaran upah yang belum tuntas.Kedua pemimpin Latulini Group sudah tiada, dan pewarisnya pun sudah masuk ke dalam jeruji besi. Sia-sia belaka mereka melakukan aksi demonstrasi di depan gedung Latulini Group. Tak ada yang bisa menampung aspirasi mereka, karena sudah tidak ada lagi cikal-bakal penerus Latulini Group.Zain yang melihat kerumunan aksi tersebut, hanya bisa menelan salivanya. Tak disangka, kehancuran Latulini Group akan menjadi separah ini."Untuk apa mereka melakukannya? Kenapa parah sekali yang mereka perbuat?" gumamnya, yang tak menyangka dengan apa yang para staf Latulini Group lakukan.Satu-satunya orang yang tidak terima penangkapan Zara, adalah Zain. Namun, pada saat hari di mana pengadilan itu berlangsung, Zain tidak tahu-menau dan b
Zain melangkah cepat menemui staf kepolisian yang ada di ruangannya. Butuh usaha besar untuk bisa sampai ke tempat staf tersebut, karena jarak lapas dan kantor staf yang cukup jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki.Zain sudah berhadapan dengan staf yang mengantarkannya menuju lapas Zara, dan ia memandangnya dengan sinis.Menyadari kedatangan Zain, staf tersebut pun segera bangkit dari tempatnya untuk menyamai tinggi Zain."Sudah selesai berkunjung, Tuan Muda? Cepat sekali? Padahal, masih ada sisa waktu 2 menit."Tak mau berbasa-basi, Zain menggebrak meja yang berada di antara mereka."Berikan aku catatan jaminan untuk kebebasan Latulini! Aku ingin dia bebas secepatnya!" ujarnya, sontak membuat para staf yang mendengar ucapannya mendelik terkejut karenanya."A-apa yang anda maksud, Tuan Muda?" tanya staf yang tak mengerti dengan maksud Zain.Mata Zain semakin menajam, "Aku ingin membayar jaminan kebebasan Zara Latulini! Kau tidak tuli, bukan?" bentaknya, sontak membuat para staf sema
Bayangan Zain terlihat dengan jelas, memantul pada kaca jendela mobilnya. Zara hanya bisa memandangnya dari pantulan kaca, karena ia tidak sanggup untuk melihat Zain yang begitu baik padanya.'Zain sudah begitu baik padaku, tetapi kenapa aku malah merasa tidak enak padanya?' batin Zara, yang tidak ingin merasa cuma-cuma menerima uluran tangan dari Zain."Zara, bisa kita bicara sebentar?" panggil Zain, Zara terkejut lalu berusaha mempersiapkan dirinya untuk berbicara dengan Zain.Zara membalikkan tubuhnya ke arah Zain dan memandangnya, "Kau ingin kita membahas tentang apa?" tantang Zara, yang merasa hanya ini yang bisa ia lakukan untuk membalas perlakuan baik Zain terhadapnya sekarang."Tentang kabar burung itu, apakah benar kau menjebak Zeo untuk melakukan hal yang tidak baik?" tanyanya.Zara sudah menduga, pertanyaan semacam ini pasti akan terlontar dari mulut Zain."Tidak, semua itu tidak benar."Zain mendelik bingung, "Walau tidak benar, apakah kau dan Zeo sudah ...." Ia tak sanggu
Hari sudah semakin sore, Zain sudah selesai melakukan tugasnya dengan baik dan benar.Zara mengantarkannya sampai depan pintu rumah. Melihat Zain yang ada di hadapannya, ternyata cukup membuat hati Zara menjadi tidak keruan.'Dia sebenarnya baik, tetapi aku tidak bisa terus berada di sisinya. Aku harus pergi, aku tidak bisa bersama dengan orang sebaik dirinya,' batin Zara yang sudah tidak mau memikirkan tentang perasaannya lagi terhadap Zain.Walaupun berat, Zara pasti akan melakukannya sebisa yang ia mampu.Pandangan mereka saling bertemu, membuat Zain merasa tidak ingin meninggalkan Zara sendiri di sini."Apa kau butuh sesuatu?" tanya Zain sebelum pergi dari hadapan Zara.Zara menggeleng kecil, "Tidak. Pulanglah sebelum malam tiba."Karena sudah merasa terusir, Zain pun memakai jas hitamnya dan langsung berbalik dari hadapan Zara."Gunakan telepon genggam yang ada di atas meja kamar. Aku sudah persiapkan khusus untukmu, jika kau memerlukan sesuatu, kau bisa hubungi aku," ucapnya tan
Zain sudah sampai di kota tempat kediamannya. Karena sudah terlanjur tersulut dengan apa yang dikatakan Zara tentang Azhar, Zain pun bergegas mencari keberadaan Azhar.Belum sempat beristirahat dan belum sempat kembali ke rumah, Zain langsung pergi mencari apartemen yang Azhar tempati. Dengan berbekal informasi dari orang yang ia percaya, ia bergegas menuju ke lokasi yang sudah diinformasikan rekannya itu.'Mau macam-macam dengan Zara? Kekasih macam apa dia?' batin Zain, yang tak terima dengan apa yang Zain lakukan pada Zara.Mobilnya sudah terparkir rapi di basement apartemen, tempat Azhar tinggal. Ia bergegas melangkah menuju ruangan kamar pada lantai yang sudah diinformasikan, dengan langkah yang jenjang.Zain dengan cepat mencapai lift, kemudian menekan angka 10 pada tombol yang berada di sebelah kiri pintu masuk lift. Pintu tertutup, Zain pun menunggu lift sampai pada tempat tujuannya.Amarahnya sudah meledak-ledak, ia bahkan tidak sanggup jika harus menahannya lagi kali ini.'Ji