Share

Terpaksa

Zain menarik kasar tangan Zara, membuat Zara merasa sangat kesal karenanya. Azhar yang melihatnya pun merasa sangat kesal, karena Zain yang bisa-bisanya berlaku kasar terhadap Zara.

Dengan cepatnya, Azhar menahan tangan Zain sehingga membuat Zain tak bisa berkutik. Mereka saling melempar pandangan kebencian, tak membiarkan masing-masing dari mereka melakukan apa pun.

"Lepaskan tangan Zara!" bentak Azhar, yang tidak bisa melihat Zara diperlakukan kasar seperti itu.

Zain memandangnya dengan sinis, "Apa pedulimu?"

"Aku sangat peduli dengannya!"

"Tapi aku sama sekali tidak peduli denganmu!" bentak Zain, membuat Azhar tak bisa berkutik.

Dengan kasar, Zain melepaskan tangan Azhar yang menahannya, membuatnya terlepas dari genggaman tangannya.

Mereka saling melempar pandangan kebencian, karena masing-masing dari mereka ingin memberikan yang terbaik untuk Zara.

Zara yang melihat perseteruan antara mereka, menjadi sangat geram dengan sosok Zain.

"Aku tidak tahu apa yang kau inginkan! Jangan macam-macam dengan Azhar, atau aku akan membencimu!" bentak Zara, sontak membuat Zain mendelik kaget mendengarnya.

"Apa maksudmu, Zara? Kau menggertak aku, demi seseorang yang bernama Azhar? Siapa dia, sampai bisa membuat posisiku terancam?"

Merasa tertantang, Zara yang masih setengah sadar segera memeluk lengan kiri Azhar.

"Dia pacarku!"

DEG!

Mendengar Zara mengatakan hal itu, sontak membuat Zain merasa kesal sendiri dengan keadaan.

'Beraninya dia merebut posisiku!' batin Zain, yang posisinya sudah sangat terancam.

Zara menarik lengan tangan Azhar, untuk menjauh dari hadapan Zain. Mereka pergi, tanpa sepatah kata lagi.

Kejadian itu masih teringat jelas di benak Zara, bahkan ketika ia sudah menghabiskan beberapa botol alkohol sekalipun.

Hal itu yang masih membuatnya kesal, karena kejadian itu memaksanya mengatakan hal yang tidak perlu ia katakan tentang Azhar.

"Kenapa aku bilang Azhar itu pacarku? Aku dan dia hanya sebatas teman yang saling memerlukan!" gumam Zara, lalu kembali menenggak gelas ke sekian yang sudah ia minum.

GLEK ... GLEK ... GLEK ....

Alkohol itu mengalir ke tenggorokan Zara, sampai tak terasa lagi rasa pahit dari alkohol tersebut.

Dari ujung pintu masuk, terlihat Zain yang sudah memperhitungkan keberadaan Zara. Ia sudah tahu, kalau Zara pasti akan kembali lagi ke tempat ini. Dengan cepat, ia pun menghampirinya dan segera menarik lengannya.

Hal itu sontak membuat Zara terkejut.

"Ada apa, sih?!" bentak Zara, yang masih belum sadar kalau itu adalah Zain.

"Kembali denganku, sekarang!"

Samar-samar masih terdengar suara yang tak asing di telinganya, yang tak lain adalah suara Zain. Zara berusaha mendelikkan matanya di hadapan Zain, walau ia sudah tidak bisa melihat secara jelas.

"Apa masalahmu?" Zara menantang keras Zain, karena ketidaksukaannya pada Zain.

"Jangan siksa dirimu seperti ini, Zara! Aku sangat peduli denganmu!"

Zara memutar bola matanya searah jarum jam, "Aku saja tidak peduli dengan diriku sendiri. Untuk apa kau memedulikan aku?"

Ucapan Zara menjadi tamparan keras bagi Zain, yang sudah sangat tidak bisa berkutik lagi.

Di tengah perbincangan mereka, seseorang bernama Azhar pun kembali muncul memandangi mereka dari kejauhan.

'Apa aku harus melakukannya?' batinnya bimbang.

Walaupun bimbang, Azhar tetap melangkah untuk berhadapan dengan Zain. Lagi dan lagi, Zain merasa sangat terusik dengan kehadiran Azhar di antara dirinya dan juga Zara.

Wajah Zain seketika menjadi merah padam, ketika melihat sosok Azhar di hadapannya.

"Mau apa lagi kau di sini?" tanya Zain dengan nada sinis menukik.

Azhar berusaha untuk tenang, "Seharusnya aku yang bertanya seperti itu. Mau apa kau di sini bersama pacarku?" tanya balik Azhar, sontak membuat Zain semakin geram saja padanya.

"Jangan mengada-ada! Zara bukanlah pacarmu!"

"Kau sudah mendengarnya langsung dari Zara kemarin, bukan?"

Mata Zain semakin mendelik, "Aku tidak percaya dengan omong kosong kalian! Jangan membuat cerita yang tidak benar!"

"Aku tidak membuat cerita! Aku dan Zara memang berpacaran! Jangan pernah kau usik Zara lagi, atau kau akan mengetahui akibat dari perbuatanmu!" gertak Azhar, membuat Zain semakin geram saja mendengarnya.

Karena sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa, Zain pun hanya bisa menunjuk kasar ke arah Azhar, lalu pergi dari hadapan mereka.

Situasi kembali kondusif, dengan Azhar yang sudah berhasil mengusir Zain dari sana.

Azhar memandang dalam ke arah Zara yang sudah hampir kehilangan kesadarannya, "Kau tidak apa-apa?" tanyanya.

"Ya, tidak ada yang dia lakukan padaku."

Mendengar hal itu, Azhar menjadi sangat tenang. Namun, seketika perasaan tenang itu berubah menjadi keresahan. Airbud yang ia pakai pada telinganya, berbunyi dengan sangat jelas.

"Buat dia menjadi semabuk mungkin!"

Terdengar suara dari airbud yang ia gunakan, membuatnya merasa sangat bimbang dengan keadaan. Dalam lubuk hati yang terdalam, ia sama sekali tidak ingin melakukannya. Namun, keadaan memaksanya untuk melakukan hal yang diperintahkan oleh orang tersebut.

Rasa bersalah terus muncul dalam hatinya, tetapi keadaan yang sudah memaksanya untuk melakukan hal seperti ini.

'Maafkan aku, Zara. Kau sudah tidak bisa membantuku untuk membayar tagihan rumah sakit adikku lagi. Sekarang, aku jadi berbalik menyerang kamu, karena aku sangat membutuhkan uang. Percayalah, ini adalah perintah seseorang dan bukan keinginanku!' batin Azhar, yang sangat tidak tega melakukan hal yang akan ia lakukan pada Zara sesaat lagi.

"Azhar, temani aku minum! Aku ingin melampiaskan semuanya!" pinta Zara, yang memang menjadikan Azhar sebagai tempat ia menumpahkan perasaannya.

"Baiklah."

Karena sudah sesuai dengan apa yang menjadi rencananya, Azhar pun menurut dengan permintaan Zara. Ia menemani Zara untuk menenggak habis alkohol yang ada, dengan bertujuan untuk membuat Zara menjadi sangat mabuk.

Hal itu ia lakukan, agar bisa menjalankan rencana yang dibuat orang yang menyuruhnya melakukannya.

Ketika suasana sudah mulai tak terkendali, Azhar memeriksa dengan benar keadaan Zara. Ia memerhatikan sorot mata Zara, yang sepertinya sudah mulai kehilangan cahayanya. Sekarang, dapat dipastikan bahwa Zara sudah kehilangan kesadarannya.

"Zara," panggilnya, tetapi Zara sama sekali tidak meresponnya.

Zara sudah tertidur di atas meja bar, karena sudah kehilangan kesadarannya. Suatu hal yang sudah sangat sesuai dengan apa yang direncanakan mereka.

"Aku sudah menyiapkan sebuah ruangan. Kau bawalah dia ke sana!"

Suara itu terdengar lagi di telinga Azhar. Perintah selanjutnya yang akan Azhar jalani dari orang yang memonitor di belakang layar.

Mendadak hati Azhar menjadi goyah, saking tak bisanya ia berkhianat pada sahabatnya sendiri.

'Sudah banyak pertolongan yang kau berikan, tetapi aku sangat terdesak! Kalau bukan seperti ini, aku pasti tidak akan bisa membayar tagihan rumah sakit adikku! Maafkan aku, Zara!' batin Azhar yang sudah tidak bisa mengelak lagi dari takdir yang harus ia jalani.

"Cepat! Obat itu sudah bereaksi pada Zeo!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status