Share

Kesakitan yang Sama

Nayla tersenyum cerah ketika berjalan mendekati rumah yang dulunya sering ia pijaki. Sudah lama sekali sejak kecelakaan maut yang menimpanya tiga tahun silam yang mengakibatkan dirinya koma hingga saat ini, tidak bertamu ke rumah Victor yang merupakan kekasih sekaligus calon tunangannya.

Nayla berencana bertunangan usai ia berhasil mendapatkam gelar doctor-nya yaitu setelah ia menyelesaikan Coas di sebuah rumah sakit milik keluarga besarnya.

Namun, karena kecelakaan maut yang hampir membuatnya tiada, dan mungkin bisa dibilang hidup, tetapi mati membuat Nayla kehilangan semuanya.

Nayla hampir putus asa dengan nasibnya, tetapi Victor yang selalu setia menemaninya di saat Nayla mengalami masa-masa sulit, membuat ia yakin suatu saat dia bisa hidup kembali dengan tubuh yang saat ini sedang terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit.

Selama tiga tahun terakhir, Victor tidak pernah terlupa untuk mengunjungi Byla dengan membawa buket bunga untuk diletakkan di atas lemari kecil di samping ranjang perawatan Nayla.

Dia bahkan tak lupa mengganti bunga hidup itu secara berkala seminggu sekali.

Hati Nayla selalu tersentuh melihat Victor tidak pernah melupakannya. Bagi Nayla, perhatian sekecil apa pun yang ia dapatkan dari Victor sangatlah berarti. Setidaknya ada seseorang yang menanti kesembuhan dan setia menunggunya.

Tubuh Nayla menembus ke kediaman Victor yang hanya dihuni oleh lelaki itu seorang. Victor merupakan pengusaha muda, memiliki rumah sendiri yang rencana ke depannya akan ia gunakan untuk hunian dia bersama Nayla ketika mereka menikah nanti.

Sampailah Nayla berada di ruang tamu. Kosong, tiada satu orang pun yang berada di ruangan itu. Mungkin Victor sedang berada di kamarnya karena biasanya jam segini lelaki itu baru pulang bekerja.

Tanpa rasa canggung Nayla memasuki kamar Victor. Tubuh Nayla menembus dengan mudahnya ke dinding yang langsung seketika berada di dalam kamar Victor.

Kosong, tidak ada seseorang di kamarnya. Mata Nayla mengernyit ketika menyadari ada suara di dalam kamar mandi. Ya, mungkin saat ini Victor sedang membersihkan diri. Nayla mengulum senyumnya lalu duduk di ranjang Victor sambil menunggu kekasihnya itu keluar dari kamar mandi.

Sudah hampir tiga puluh menit Nayla menunggu, tetapi tidak ada tanda-tanda Victor keluar dari kamar mandi. Perasaan Nayla semakin tidak enak. Apakah Victor sedang frustrasi dan memilih bunuh diri dengan menenggelamkan dirinya di bathup kamar mandi?

Nayla ingin menerobos dinding kamar mandi itu, tetapi ia ragu. Bagaimana jika Victor sedang mandi dan tentunya Nayla akan melihat tubuh Victor yang sedang telanjang. Ah, itu pasti sangat tidak sopan, bukan? Tetapi rasa cemas yang membelenggu pikiran Nayla lebih tinggi daripada rasa kesopanannya.

Ia ingin tahu apa yang dilakukan kekasihnya itu begitu lama berada di kamar mandi. Victor yang ia kenal bukanlah lelaki yang suka berlama-lama di kamar mandi. Dia pria yang efisien dalam melakukan segala aktivitas. Berlama-lama di kamar mandi hanyalah membuang-buang waktu saja. Bukannya waktunya begitu berharga jika harus disia-siakan begitu saja?

Nayla memantapkan hatinya. Mungkin ia akan buru-buru menutup mata jika ia mendapati Victor yang baik-baik saja dan segera keluar dari kamar mandi untuk menunggunya di kamar saja. Ia melangkah dengan ragu, bergeming beberapa saat di depan pintu kamar mandi, tetapi keputusannya sudah bulat. Tubuhnya dengan mudah menembus pintu kamar mandi dalam satu langkah saja.

Mata Nayla melebar dengan mulut ternganga yang tak sanggup ia tahan. Tubuhnya gemetar, tetapi masih berdiri kaku tak mampu bergerak.

Victor sedang bercumbu dengan seorang wanita di dalam kamar mandi, bahkan mereka berendam bersama dalam bak mandi dengan tubuh polos tanpa sehelai kain pun yang menutupi tubuh keduanya.

Nayla ingin segera kabur, tidak sanggup melihat adegan mesum nan menyakitkan di depan matanya. Namun, ia tertarik dengan satu hal yang membuatnya masih betah berlama-lama di ruangan itu.

"Apakah kau masih menemui gadis itu?" Perempuan itu menanyai Victor setelah selesai dengan kegiatannya di bak mandi. Ia mengambil jubah handuk untuk menutupi tubuhnya yang basah.

"Mayat hidup itu?" ucap Victor ringan tanpa rasa bersalah.

Mayat hidup? Apakah yang dimaksud adalah Nayla.

Victor beranjak untuk berdiri di atas bathup lalu menyalakan shower, membasuh tubuhnya sekali lagi dengan guyuran air yang lebih dingin. Tanpa rasa malu, ia melangkah mengambil jubah handuknya kemudian ia kenakan dengan mengikat talinya asal.

"Aku tetap menemuinya, ayahku bisa menghapuskan namaku dari daftar ahli waris jika aku tidak menuruti keinginannya."

Tangan Victor bertumpu pada marmer wastafel dengan menatap pantulan dirinya di cermin panjang yang menempel di dinding.

"Apakah kau masih menunggunya, mengharapkan dia hidup kembali?"

Victor tersenyum ke samping, seolah sedang mengejek perkataan yang terlontar dari bibir perempuan itu.

"Melihatnya saja aku sangat muak, dia hanya tinggal kulit dan tulang saja. Sama sekali tidak menarik bahkan aku selalu ingin muntah ketika mengunjunginya. Jika saja ada pilihan lain, mungkin aku akan mengambilnya. Hanya saja ayah mengharuskanku untuk selalu menemuinya sebagai janjinya kepada tua bangka itu."

"Tua bangka? Tua bangka itu mempunyai rumah sakit terbesar di kota ini, apartemen dan beberapa tambang batu bara, belum juga bisnis property yang nilainya milyaran. Kau sebaiknya lebih berhati-hati mengatakannya, Sayang!"

Victor terkekeh, lalu memeluk perempuan itu dan menciuminya tanpa henti.

Nayla memalingkan muka, tidak sanggup melihat kemesraan yang terpampang di depan matanya.

Sakit? Tentu, ia merasakan rasa sakit yang luar biasa. Bukan hanya sakit karena dikhianati, tetapi rasa sakit dibohongi dan dihina serendah-rendahnya oleh seseorang yang sangat ia cintai.

Semua perhatian Victor selama ini hanyalah pura-pura atau kebohongan belaka. Victor sama sekali tidak mencintainya, bahkan lelaki itu menyebutnya sebagi mayat hidup. Sungguh sebutan yang sangat menyakitkan bagi Nayla.

Harapan membina rumah tangga bersama Victor kandaslah sudah. Rasa sakit, kecewa dan marah bercampur menjadi satu. Siapa yang salah di sini? Victor ataukah dirinya yang terlalu bodoh, sehingga Victor dengan mudahnya mempermainkan hatinya.

Victor, begitu hebatnya lelaki itu. Mampu menjunjung tinggi hati dan harapan Nayla dengan segala perhatian dan sikapya,  bersamaan dengan itu ia jatuhkan dengan serendah-rendahnya harga diri Nayla tanpa bisa ditolong lagi.

Nayla berlari menembus dinding rumah Victor sambil menutup mulutnya menggunakan satu tangannya. Ia berlari dan terus berlari tidak peduli apa saja dan siapa saja yang sudah ia tabrak. Lagi pula hal itu tidak akan mencelakai dirinya maupun orang lain karena dia hanyalah sebuah roh.

Melihatnya saja aku sangat muak, dia hanya tinggal kulit dan tulang saja. Sama sekali tidak menarik bahkan aku selalu ingin muntah ketika mengunjunginya. Jika saja ada pilihan lain, mungkin aku akan mengambilnya. Hanya saja ayah mengharuskanku  selalu menemuinya untuk memenuhi janjinya kepada tua bangka itu.

Hati Nayla sakit mengingat kembali kata-kata Victor yang tajam bagai belati yang baru terasah. Ia bersimpuh dengan duduk di atas trotoar, lalu menekuk kedua kakinya yang kemudian ia benamkan wajahnya di antara lutut dan tubuhnnya.

Nayla menangis dengan memeluk lututnya sendiri. Sudah tidak ada lagi alasan ia terus bertahan. Ia sudah lama berpisah dengan jasadnya. Mungkin memang lebih baik jika tetap berpisah untuk selamanya.

Nayla merasa tidak ada lagi yang menginginkannya tetap ada. Bahkan keluarganya pun tidak ada yang mau menengoknya. Mereka hanya menyerahkan perawatan Nayla kepada tenaga medis tanpa pernah melihat kondisinya secara langsung. Victorlah yang selama ini secara rutin mengunjunginya sehingga membuat Nayla yakin bahwa hanya lelaki itu yang masih menginginkannya tetap hidup.

Bisa dibilang, Nayla masih bertahan dengan semangat hidup yang tinggi karena ingin segera bertemu lagi dengan Victor. Namun, ketika ia menyadari semua hanya kepalsuan dan kebohongan, Nayla sudah tidak bergairah untuk hidup kembali.

Mata Nayla teralihkan ketika sebuah motor berhenti tepat di depannya. Nayla mengangkat wajahnya menatap siapa yang telah memarkirkan motornya sembarangan di depannya.

Turunlah seorang laki-laki dengan membuka helmnya lalu meletakkannya di atas motor tersebut. Laki-laki itu berdiri di depan Nayla yang masih duduk dengan mata sembab.

"Zack!"

Nayla segera berdiri, entah apa yang ia rasakan. Kehadiran Zack membuat hatinya begitu senang. Nayla tidak bisa menahan diri untuk tidak memeluk lelaki di depannya itu.

"Zack," ucapnya lagi dengan menenggelamkan wajahnya di kemeja Zack yang berbalut dengan jaket kulitnya. Nayla menangis, menangis di dada Zack. Menumpahkan segala kekesalan, amarah dan kekecewaan dalam hatinya. Tanpa ia sadari Zack membalas pelukannya meskipun hanya dengan satu tangan.

Wajah lelaki itu nampak jauh lebih dingin dari biasanya. Tatapan matanya lurus namun kosong seolah kehilangan harapan masa depannya.

"Ayo kita pergi!" ucap Zack kemudian.

Nayla mengangguk, lalu menghapus air matanya meskipun itu tidak perlu ia lakukan. Karena air matanya sama sekali tidak bisa membasahi apapun.

Zack menaiki motor itu lalu memasang helm di kepalanya. Tangannya terulur kepada Nayla, yang kemudian disambut oleh Nayla dengan genggaman erat. Nayla ikut naik ke atas motor Zack, duduk di belakang lelaki itu dan memeluknya erat.

Zack melajukan motornya dengan sangat cepat menembus keramaian jalanan malam yang sedikit legang. Namun, ketika ia sudah berada di jalan besar yang malam ini tampak sepi, Zack memelankan laju motornya. Nayla berdiri sambil memejamkan mata, merentangkan kedua tangannya di udara. Melepaskan semua kekesalan, marah dan rasa kecewa akan takdir yang mempermainkan kehidupannya.

Cukup lama mereka berada di jalan raya, entah kemana Zack membawa Nayla pergi. Nayla sama sekali tidak memikirkan hal itu. Hingga sampailah mereka di sebuah pantai dengan suasana malam yang gelap hanya temaram cahaya bulan yang menerangi lautan.

Zack menghentikan motornya, membuka helm lalu menoleh ke arah Nayla.

"Maaf, aku membawamu ke sini," ucap Zack kepada Nayla yang sepertinya ia terlupa bahwa sedari tadi Nayla bersamanya.

Nayla mengangguk, "Aku menyukainya," ucapnya kemudian.

Kembali Zack mengulurkan tangannya, membantu Nayla turun dari motor. Dengan saling menggenggam mereka berlari di atas pasir pantai yang terasa dingin oleh hembusan angin malam yang bertiup kencang.

Keduanya berhenti ketika kaki mereka berada di bibir pantai dengan kaki yang sudah tercelup air laut yang sedang digulung ombak.

Zack berteriak dengan keras sambil menangkup mulutnya dengan kedua tangannya.

"AAAAAAAHHHHHHHHHH...."

Suaranya tertelan angin dan ombak pantai yang saling beradu. Zack kembali berteriak dan terus berteriak menumpahkan rasa sakit hatinya, kecewa dan marah. Pun sama dengan Nayla, perempuan itu ikut berteriak dengan kencang meskipun ia yakin tidak akan ada yang bisa mendengarnya.

Kedua orang itu, Nayla dan Zack yang berbeda alam tetapi memiliki rasa sakit yang sama, berlomba-lomba berteriak di udara berharap rasa yang menyakitkan di hati mereka ikut terbawa oleh angin dan gulungan ombak air laut yang menghempas karang.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rindu
jadi drakor ini pasti keren
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status