Home / Lainnya / Sisa Cahaya di Jalan Gelap / DUDUK DI PINGGIR JALAN

Share

Sisa Cahaya di Jalan Gelap
Sisa Cahaya di Jalan Gelap
Author: JI_MIL

DUDUK DI PINGGIR JALAN

Author: JI_MIL
last update Last Updated: 2025-08-24 20:40:51

Malam itu, jalanan berderet lampu kuning redup, berpendar di antara asap knalpot dan bayangan bangunan tua. Di pinggir trotoar, Ratri duduk bersandar pada tiang lampu yang catnya sudah mengelupas. Gaun pendek berwarna merah menyala membalut tubuhnya, kontras dengan dingin angin malam yang menusuk kulit. Sepasang high heels murahan menahan berat tubuhnya yang lelah, tapi ia tetap tersenyum tipis senyum yang sudah terlatih, meski jauh dari tulus.

Wajah Ratri cantik, begitu cantik hingga orang asing takkan pernah menyangka ia hanyalah seorang perempuan yang setiap malam menjajakan diri. Bedak tipis menutupi letih yang bersembunyi di bawah matanya. Lipstik merah terang seolah ingin menutupi pahit yang tak pernah bisa ia ceritakan.

Ia menunduk, memandangi deretan kendaraan yang melintas. Beberapa pria melambatkan laju motor atau mobilnya, menoleh sekilas, lalu pergi. Ada yang kembali, menurunkan kaca jendela dan melemparkan lirikan yang sarat maksud. Ratri sudah hafal semua bahasa tubuh itu; ada yang menawar dengan pandangan, ada pula yang hanya melihatnya sebagai bayangan.

Di hatinya, perasaan getir kembali menyeruak. Beginikah caranya aku bertahan hidup? pikirnya. Tapi ia tak punya pilihan. Sejak ayahnya meninggal dan ibunya sakit-sakitan, beban rumah tangga jatuh di pundaknya. Pekerjaan di pabrik yang dulu ia harapkan hilang begitu saja, digantikan surat pemutusan kerja. Dan kini, jalan gelap inilah yang jadi tempat ia mencari sesuap nasi.

Seorang pria paruh baya dengan mobil hitam berhenti tak jauh darinya. Ratri menarik napas panjang, lalu berdiri, menegakkan tubuhnya. Ia merapikan gaun, menyiapkan senyum palsu, dan melangkah perlahan mendekat.

Mobil hitam itu berhenti tepat di depan Ratri. Kaca jendela perlahan diturunkan, memperlihatkan wajah seorang pria paruh baya berperut buncit, mengenakan kemeja licin yang masih menyisakan aroma parfum mahal. Tatapannya liar, menyapu tubuh Ratri dari ujung kaki hingga ke bibirnya.

“Hai, nona cantik,” sapanya dengan senyum miring. Suaranya berat, penuh nafsu terselubung. “Berapa permalam?”

Ratri menegakkan bahu, meski hatinya ingin lari jauh dari pandangan itu. Dengan suara datar yang sudah terbiasa ia ucapkan, ia menjawab,

“Satu juta.”

Pria itu terdiam sejenak, lalu menyeringai. “Mahal juga. Tapi… untuk wajah secantikmu, sepertinya sepadan.”

Ratri menarik sudut bibirnya, menampilkan senyum tipis senyum yang sebenarnya tak pernah lahir dari hatinya. Tangannya gemetar sedikit, tapi ia menyembunyikannya dengan merapikan rambut panjang yang tergerai di bahunya.

Dalam benaknya, ia mendengar bisikan kecil, Seandainya aku bisa berkata tidak… seandainya aku punya jalan lain. Namun lidahnya kelu, karena bayangan ibunya yang sakit dan hutang yang menumpuk kembali menjerat.

“Naiklah,” pria itu menepuk kursi kosong di sampingnya. Lampu mobil menyinari wajah Ratri, menampakkan kecantikan yang tak kalah dari model majalah, meski hatinya penuh luka.

Ratri melangkah pelan. Setiap hentakan high heels di aspal terasa seperti palu yang memukul nuraninya. Tapi ia tahu, malam ini sama seperti malam-malam sebelumnya: ia harus menjual tubuhnya agar bisa bertahan hidup.

Ratri membuka pintu mobil perlahan, lalu duduk di kursi penumpang. Bau parfum bercampur dengan aroma rokok segera menyergap hidungnya. Pintu ditutup, dan seketika dunia luar terasa terputus—tinggal ada ia, pria itu, dan jalan gelap yang membentang.

Pria paruh baya itu menoleh, menatap wajah Ratri lekat-lekat. Jemarinya gemuk, sarat cincin emas, mengetuk-ngetuk setir.

“Namamu siapa?” tanyanya, nada suara separuh menggoda, separuh menguji.

“Ratri.” Suara itu keluar lirih, tapi cukup jelas.

“Ratri…” ia mengulang dengan senyum penuh arti. “Cantik, pas sekali dengan wajahmu. Malam ini aku ingin kau menemaniku lama. Bukan hanya… urusan ranjang, kau paham maksudku?”

Ratri menunduk, jantungnya berdebar. Ia sudah sering mendengar permintaan seperti itu. Lelaki bukan hanya mencari tubuh, tapi juga ilusi teman curhat, telinga yang mendengar, bahkan bayangan istri yang setia.

“Selama kau sanggup membayar, aku bisa jadi apa saja,” ujarnya datar, meski di dalam hatinya ia ingin muntah mendengar kalimat itu.

Pria itu terkekeh, lalu menyalakan mesin mobil. “Suka sekali aku dengan jawabanmu.”

Lampu jalan bergulir satu per satu di kaca depan, meninggalkan bayangan samar di wajah Ratri. Ia menempelkan kening ke jendela, memandangi malam yang semakin larut. Dalam hatinya, ia berbisik lirih, hampir tak terdengar bahkan untuk dirinya sendiri: Ya Allah, sampai kapan aku harus begini?

Mobil itu melaju, menembus kegelapan, membawa Ratri pada malam panjang yang sekali lagi harus ia jalani.

Mobil berhenti di depan sebuah hotel kelas menengah. Gedung itu berdiri di antara deretan ruko yang sudah tutup, dengan lampu neon yang menyala temaram. Pria paruh baya itu turun lebih dulu, lalu melirik Ratri sambil menepuk pundaknya.

“Ayo, cantik. Malam ini kita nikmati waktu.”

Ratri menarik napas dalam, lalu turun. High heels-nya mengetuk lantai marmer lobi hotel. Para resepsionis yang sudah terbiasa melihat pemandangan semacam itu hanya melirik sekilas, lalu kembali sibuk dengan layar komputer.

Sesampainya di kamar, pria itu menjatuhkan tubuhnya di ranjang. Dasi dan kemeja mewahnya ia lemparkan begitu saja ke kursi. Ia menyalakan rokok, menghembuskan asap ke udara, lalu menatap Ratri dengan pandangan merendahkan.

“Cantik wajahmu, Ratri… tapi sayang sekali. Seharusnya kau bisa jadi istri pejabat, atau model majalah. Bukan…,” ia terkekeh sinis, “bukan barang murahan yang bisa dibeli siapa saja.”

Kata-kata itu menusuk tajam, tapi Ratri hanya diam. Tangannya sibuk membuka tas kecil, mengeluarkan parfum tubuh, seolah tak mendengar hinaan itu.

Pria itu bangkit, berjalan mendekat, lalu mencengkeram dagu Ratri. “Kau tahu, aku selalu heran. Kenapa perempuan sepertimu rela menjual diri? Tidak malu?”

Ratri menatapnya, matanya jernih tapi dingin. “Malu itu sudah lama hilang, Pak. Yang tersisa hanya kebutuhan hidup. Kalau semua bisa ditukar dengan uang, maka aku hanya menjual apa yang aku punya.”

Sejenak pria itu terdiam, lalu tertawa terbahak-bahak. “Jawaban yang bagus. Kau memang sudah terbiasa.”

Ratri menahan perih yang menyelinap di dadanya. Ia tahu kata-kata lelaki itu benar—ia sudah terbiasa. Terbiasa dihina, terbiasa diremehkan, terbiasa dipandang rendah. Tapi setiap hinaan hanya ia telan bulat-bulat, karena bayangan ibunya yang sakit dan utang yang menumpuk selalu lebih besar dari rasa sakit hatinya.

Di dalam kamar hotel itu, Ratri tersenyum tipis, meski jiwanya retak sedikit demi sedikit. Ia belajar tegar, sebab tegar adalah satu-satunya cara untuk tetap hidup.

Ratri berdiri di depan ranjang, melepaskan satu per satu pakaiannya. Gerakannya cepat, dingin, tanpa ada sedikit pun gairah. Ia hanya ingin waktu berlalu lebih singkat. Baginya, tubuh bukan lagi milik pribadi, melainkan barang dagangan yang dipertukarkan dengan uang.

Pria itu tersenyum puas, ikut menanggalkan kemeja dan celananya. Matanya berbinar, seakan sedang memperoleh hadiah mewah.

“Begitu, cantik… ya, cepatlah. Kau memang tahu cara membuat pria tergila-gila,” ucapnya dengan nada merendahkan.

Ratri hanya diam. Matanya kosong, menatap titik acak di dinding kamar, berusaha melupakan kenyataan yang sedang ia jalani. Dalam kepalanya, ia menghitung: menit demi menit, detik demi detik, sampai semua selesai.

Ketika pria itu meraih tubuhnya, Ratri menahan napas. Ada rasa perih yang mengiris batinnya, tapi wajahnya tetap tanpa ekspresi. Ia belajar menjadi patung: tanpa suara, tanpa perasaan.

Secepatnya… aku hanya ingin semua ini segera selesai, batinnya berbisik.

Di luar jendela kamar, lampu jalan masih menyala remang. Dunia berjalan seperti biasa, seakan tak ada yang peduli pada seorang perempuan bernama Ratri—yang di balik kecantikannya, tengah berjuang menukar harga diri demi bisa bertahan hidup.

Waktu berjalan lambat. Setiap detik terasa seperti beban yang harus ditanggung. Ratri berusaha tidak memikirkan apa pun, hanya menunggu saat ketika semuanya usai.

Dan akhirnya, momen itu datang. Pria paruh baya itu terbaring lelah, sementara napasnya masih memburu. Ia meraih dompet dari saku celana, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu dan melemparnya begitu saja ke meja samping ranjang.

“Itu untukmu. Jangan minta lebih. Sudah cukup mahal aku membayar barang sepertimu,” ujarnya dengan nada angkuh.

Ratri duduk perlahan, lalu meraih gaunnya. Ia berpakaian dengan hati-hati, tidak menoleh sedikit pun pada pria itu. Tatapannya kosong, hanya sesekali melirik uang di meja. Uang itu bukan sekadar lembaran, melainkan tiket untuk bertahan satu hari lagi—untuk membeli obat ibunya, untuk sekedar menaruh beras di meja makan.

Setelah selesai merapikan diri, Ratri mengambil uang tersebut. Tangannya sedikit gemetar, bukan karena senang, melainkan karena getir. Setiap lembar yang ia genggam terasa seperti luka baru yang menempel di hatinya.

Tanpa banyak kata, ia berjalan menuju pintu. Sebelum keluar, ia menoleh sekilas pada pria itu yang kini sibuk menyalakan rokok. Lalu ia melangkah pergi, meninggalkan kamar yang penuh dengan sisa aroma rokok dan parfum murahan.

Malam di luar hotel masih sama: jalanan sunyi, lampu redup, dan dingin yang menusuk. Ratri berdiri sejenak di depan pintu masuk, menarik napas panjang. Ia menatap uang di tangannya, lalu berbisik lirih kepada diri sendiri,

“Ini bukan yang kuinginkan… tapi ini satu-satunya jalan agar aku bisa hidup.”

Dengan langkah pelan, ia berjalan kembali ke arah jalan tempat ia biasa berdiri. Malam masih panjang, dan mungkin masih ada pria lain yang akan datang.

Namun di lubuk hati terdalam, Ratri masih menyimpan satu harapan kecil—sisa cahaya yang tak pernah benar-benar padam di tengah jalan gelap yang ia lalui.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   MANTAN SUAMI RATRI

    Siang itu, aroma kaldu memenuhi seluruh ruang makan. Ratri tengah menyiapkan makan siang, sup ayam dengan potongan wortel dan daun bawang yang harum. Uap panas naik dari panci, membentuk kabut tipis di udara. Ia mematikan kompor, lalu perlahan menuangkan sup itu ke dalam mangkuk besar.Namun, dalam ketergesaan kecilnya, ujung kain lap yang ia kenakan tersangkut gagang panci. Mangkuk itu pun tergelincir dari tangannya.“Ahh!” serunya tertahan. Cairan panas tumpah ke lantai, sebagian mengenai punggung tangannya.“Aww… panas,” ujarnya pelan, refleks menarik tangannya dan meniup bagian yang memerah.Galuh yang mendengar dari ruang tamu langsung menghampiri. Langkahnya cepat, matanya langsung tertuju pada tangan Ratri yang tampak kemerahan.“Apa yang kamu lakukan?” suaranya tegas, namun nada khawatir terselip di ujungnya.Ratri menunduk, takut tatapan itu berubah menjadi amarah.“Tadi… tidak sengaja, Mas. Supnya tumpah.”Galuh menarik napas dalam. Ia melihat lantai yang basah, lalu memegan

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   MOMEN HANGAT

    Pagi itu, cahaya matahari menembus lembut dari sela tirai. Udara di kamar masih hangat, seolah menyimpan sisa malam yang belum sepenuhnya pergi. Ratri membuka mata perlahan. Tubuhnya terasa berat, bukan hanya karena lelah, tapi juga karena beban yang mengendap di dalam dada.Galuh masih tertidur di sebelahnya. Wajahnya tampak tenang, seolah semalam tak terjadi apa pun. Ratri memandangi punggung suaminya, berusaha mencari sesuatu, mungkin penjelasan, atau sekadar rasa yang dulu pernah ada. Tapi yang ia temukan hanyalah keheningan yang menekan.Pelan-pelan, ia bangkit dari ranjang. Setiap langkahnya terasa hati-hati, seperti takut menimbulkan suara. Ia berjalan menuju jendela, membuka sedikit tirainya. Cahaya menimpa kulitnya, membuat matanya menyipit. Di luar, burung-burung terdengar bernyanyi, tapi baginya suara itu terasa jauh sekali, seperti berasal dari dunia lain.Ratri menyentuh dadanya. Ada denyut yang tak bisa ia pahami. Malam tadi, ia seperti berada di antara dua perasaan yang

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   SIAPA PRIA ITU?

    Keesokan harinya, Galuh tidak berangkat ke kantor.“Mas, kenapa belum siap-siap ke kantor?” tanya Ratri dengan hati-hati.Galuh hanya menatapnya, tanpa sepatah kata pun. Tatapannya tajam, seolah menembus sampai ke dada Ratri. Ia memilih diam, takut kata-katanya justru menyalakan sesuatu yang lebih buruk.Beberapa menit kemudian, Galuh menggenggam tangan Ratri dan menariknya dengan paksa ke arah ruang bawah tanah, tempat yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Dingin, lembap, dan redup.“Mas… sakit,” lirihnya pelan.Galuh menatapnya tanpa ekspresi, lalu bersuara pelan tapi menusuk, “Aku hanya ingin bertanya sesuatu.”Ratri terdiam. Ia bisa merasakan udara menegang di antara mereka.“Siapa pria itu?” tanya Galuh, suaranya nyaris tak terdengar namun menimbulkan gemuruh di dada Ratri.Ratri berusaha bicara, tetapi lidahnya seolah kelu. Keheningan menggantung. Galuh menatap lebih dalam, membuat jantungnya berdegup semakin cepat.

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   RATRI TERTEKAN

    Beberapa hari kemudian, siang itu rumah terasa sepi. Ratri sedang membersihkan ruang tamu ketika tiba-tiba terdengar suara bel berturut-turut. Suaranya tidak sabar, seperti seseorang yang sangat ingin segera masuk.Ratri berhenti, jantungnya berdegup lebih cepat. Ia menatap pintu beberapa detik sebelum akhirnya melangkah mendekat. Dari balik kaca buram di samping pintu, ia melihat sosok yang begitu dikenalnya, pria yang datang tempo hari.Ia menelan ludah, berusaha menenangkan diri. Tapi sebelum sempat berpikir, suara ketukan keras terdengar lagi.“Ratri, buka pintunya! Aku hanya ingin bicara!” suara itu memohon, tapi ada nada mendesak di dalamnya.“Pergi dari sini,” jawab Ratri, suaranya gemetar. “Suamiku tidak suka ada tamu tanpa izin.”Namun pria itu tidak menggubris. Ia menekan gagang pintu, dan tanpa diduga, pintu itu terbuka, Ratri lupa menguncinya. Pria itu melangkah masuk, wajahnya tegang dan panik.“Ratri, dengar aku dul

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   TAMU TAK DI UNDANG

    Beberapa hari berlalu. Suasana rumah tampak lebih tenang, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Ratri mencoba melupakan kejadian di mal, ia berusaha menata hatinya, meyakinkan diri bahwa mungkin Galuh sudah berubah.Pagi itu, aroma nasi goreng dan teh hangat memenuhi dapur. Ratri menyiapkan sarapan seperti biasanya, menata piring dan sendok dengan rapi di meja makan. Sesekali ia melirik ke arah jam dinding, memastikan waktu keberangkatan Galuh ke kantor.Galuh muncul dari kamar dengan kemeja biru muda yang rapi, dasinya terikat sempurna. Langkahnya tenang, matanya langsung tertuju pada Ratri.“Aku berangkat,” ujarnya pelan, namun tegas.Ratri tidak menjawab. Ia hanya menunduk, tangannya sibuk mengelap meja yang sudah bersih. Tatapan Galuh tak beralih darinya. Dalam diam itu, ada jarak yang aneh—antara takut dan rindu, antara luka dan kehangatan yang samar.Tiba-tiba, Galuh mendekat.Ia meraih dagu Ratri dengan ujung jarinya, lembut tapi penuh

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   BERTEMU SESEORANG

    Hari itu, Galuh dan Ratri pergi ke mal. Udara sejuk dari pendingin ruangan menyambut langkah mereka begitu memasuki gedung. Orang-orang berlalu-lalang dengan senyum ringan, sebagian membawa kantong belanjaan penuh warna. Bagi Ratri, suasana itu seolah jauh dari kehidupannya, sebuah dunia yang tak lagi miliknya.Galuh berjalan di depan, langkahnya tenang tapi berwibawa. Tatapannya lurus ke arah etalase toko elektronik. Ia memilih beberapa barang tanpa banyak bicara, hanya sesekali melirik ke arah Ratri untuk memastikan perempuan itu tetap mengikutinya.“Kalau mau beli stok makanan, sana sekalian. Jangan lama,” ucap Galuh datar, matanya masih sibuk menatap layar ponsel.“Iya, Mas.”Ratri menunduk dan segera berbalik. Ia melangkah cepat menuju area supermarket, mendorong troli dengan hati-hati. Dalam kepalanya, hanya ada satu keinginan: menyelesaikan semuanya secepat mungkin sebelum suasana hati Galuh berubah lagi, sebelum kata-kata dingin dan kemarahan tanpa alasan kembali mengunci napa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status