Share

BERTEMU IBU

Author: JI_MIL
last update Last Updated: 2025-08-24 21:05:42

Subuh hampir tiba ketika Ratri kembali ke wisma tempat para perempuan malam itu berkumpul. Lampu-lampu neon masih menyala, sebagian kursi kosong, hanya menyisakan beberapa PSK lain yang baru pulang dari “pekerjaan”. Di sudut ruangan, seorang perempuan berusia sekitar empat puluh tahun duduk dengan wajah tegas. Dialah Yuni, mucikari yang mengatur para gadis di bawah kendalinya.

Ratri melangkah mendekat dengan hati-hati. Di tangannya ada amplop kecil berisi sebagian uang hasil malam itu. Ia meletakkannya di meja di depan Yuni.

“Ini, Kak… bagian untuk malam tadi,” ucap Ratri lirih.

Yuni menghitung cepat, lalu menyelipkan uang itu ke dompet tanpa ekspresi. Tatapannya lalu beralih pada Ratri. “Bagus. Kau termasuk rajin, Ratri. Pelanggan juga banyak yang suka sama kamu. Kalau terus begini, kamu bisa cepat lunasi utangmu di sini.”

Ratri menunduk, menahan getir. Lalu, dengan suara hati-hati ia berkata,

“Kak Yuni… bolehkah aku pulang sebentar hari ini? Mamih lagi sakit. Aku sudah kumpulkan uang buat beli obat. Aku takut kalau Mamih tambah parah.”

Alis Yuni sedikit terangkat. Ia mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu menghembuskan asap tepat di hadapan Ratri. “Hmmm… kau tahu aturan, kan? Perempuan di sini gak bisa sembarangan keluar. Kalau semua minta izin tiap hari, siapa yang jaga pelanggan?”

Ratri menggenggam tangannya erat, mencoba menahan degup jantung yang makin kencang. “Aku janji, Kak, hanya sebentar. Sore nanti aku kembali lagi. Aku nggak akan kabur. Mamih benar-benar butuh aku sekarang.”

Yuni menatapnya lama. Ada ketegasan sekaligus kecurigaan dalam tatapan itu. Namun akhirnya ia menghela napas, lalu mengibaskan tangannya. “Baiklah. Tapi ingat, jangan macam-macam. Kalau sampai kau terlambat balik atau hilang, jangan salahkan aku kalau nanti kau kuperhitungkan. Paham?”

Ratri mengangguk cepat. “Iya, Kak. Terima kasih….”

Hatinya terasa sedikit lega. Ia tahu izin ini mahal, karena setiap langkah keluar dari dunia yang menjeratnya bisa dianggap ancaman bagi mucikari. Tapi demi Mamih, ia rela menanggung risiko apa pun.

Dengan langkah tergesa, ia meninggalkan wisma, membawa sisa cahaya harapan kecil untuk bisa menemui ibunya lagi.

Gang sempit itu masih sepi saat Ratri melangkah cepat. Jaket lusuh yang menutupi gaun malamnya membuatnya sedikit lebih tenang; setidaknya tetangga tak langsung curiga dengan pekerjaannya. Di tangannya, sebuah kantong plastik berisi obat dari apotek dan sekotak susu cair murah untuk ibunya.

Sesampainya di depan pintu kontrakan, Ratri mengetuk pelan. “Mih… ini Ratri,” panggilnya dengan suara lembut.

Dari dalam terdengar suara serak, “Masuk, Nak… pintunya gak dikunci.”

Ratri segera masuk. Ruangan itu kecil, dindingnya lembab, hanya ada ranjang kayu sederhana, meja kecil, dan tikar di lantai. Di atas ranjang, Mamih terbaring, tubuhnya kurus, wajah pucat, tapi matanya berbinar saat melihat putrinya datang.

“Alhamdulillah, Ratri pulang juga…” ujar Mamih, berusaha bangkit.

Ratri buru-buru menghampiri, memapah ibunya agar duduk bersandar. “Jangan bangun dulu, Mih. Istirahat aja. Ini Ratri bawain obat, sama susu. Semoga bisa bantu badan Mamih lebih kuat.”

Air mata hampir jatuh di pelupuk Ratri, tapi ia menahannya. Ia tersenyum seolah-olah semuanya baik-baik saja.

Mamih menggenggam tangan Ratri dengan erat. Jemarinya yang dingin membuat hati Ratri perih. “Kamu selalu mikirin Mamih, Nak… padahal kamu sendiri pasti capek kerja malam-malam begitu.”

Ratri terdiam. Kata-kata itu menembus hatinya, membuat dadanya sesak. Ia ingin berkata jujur, ingin menangis di pangkuan Mamih, tapi lidahnya kelu. Ia hanya mampu tersenyum, lalu berkata pelan,

“Asal Mamih sehat, semua capek Ratri hilang.”

Mamih menatap putrinya lama, seolah mencoba membaca rahasia di balik mata jernih itu. Namun ia hanya mengangguk, lalu menyandarkan kepala lagi ke bantal. “Terima kasih, Nak… semoga Allah balas semua kebaikanmu.”

Ratri memeluk ibunya dengan hati-hati. Dalam pelukan itu, air mata akhirnya jatuh tanpa bisa ditahan. Ia menangis dalam diam, agar Mamih tak mendengar isaknya.

Di luar jendela, cahaya pagi menembus tirai tipis. Untuk sesaat, Ratri merasa ia masih punya alasan untuk terus bertahan demi satu-satunya orang yang paling ia cintai.

Langkah Ratri masih berat saat ia menyusuri trotoar menuju wisma. Matanya sembab, tapi ia berusaha menutupi dengan kacamata hitam murahan yang selalu ia bawa.

Di perempatan jalan, ia berhenti sejenak menunggu lampu merah. Saat itu matanya tertuju pada sepasang suami-istri muda yang berjalan beriringan di seberang jalan. Si perempuan mengenakan gamis sederhana dan cadar hitam, sementara suaminya menggandeng tangannya dengan penuh kelembutan. Mereka tampak bercakap pelan, lalu tertawa kecil, seolah dunia hanya milik mereka berdua.

Ratri terdiam. Jantungnya berdegup lebih cepat, tapi bukan karena iri semata—melainkan karena luka yang tiba-tiba terasa makin dalam.

Itu seharusnya aku… batinnya berbisik. Seharusnya aku bisa jadi istri yang dihormati, dicintai… bukan perempuan yang tubuhnya ditawar-tawar orang asing.

Ia menunduk cepat, takut pandangan suami-istri itu bertemu dengan matanya. Malu menyergap seluruh dirinya. Malu bukan karena ketahuan, tapi karena menyadari betapa jauh ia terseret dari jalan yang dulu ia impikan.

Air matanya kembali menggenang. Dalam hati, ia meronta. Ya Allah… kalau boleh memilih, aku ingin ada di posisi perempuan itu. Aku ingin berjalan di samping suamiku dengan kepala tegak, tanpa perlu menyembunyikan siapa aku sebenarnya.

Lampu hijau menyala, orang-orang mulai menyeberang. Pasangan suami-istri itu semakin jauh, meninggalkan Ratri dalam diam dan rasa hampa. Ia menghela napas panjang, lalu menguatkan diri melanjutkan langkah.

Namun bayangan perempuan bercadar tadi terus membekas di benaknya. Seperti cermin yang memantulkan apa yang selama ini ia rindukan: kehormatan, kasih sayang, dan rumah yang penuh dengan cinta.

Dengan hati yang kembali perih, Ratri berjalan menuju wisma. Malam nanti akan kembali datang, dan ia harus kembali menjadi “Ratri yang lain”. Tapi di dalam hatinya, doa itu semakin kencang: Semoga suatu hari aku bisa keluar dari jalan gelap ini… dan menemukan cahaya yang benar-benar milikku.

Ratri akhirnya tiba di wisma. Bangunan catnya kusam itu masih ramai meski siang sudah menjelang sore. Beberapa perempuan duduk di ruang tamu, sebagian berceloteh sambil merokok, sebagian lain sibuk merapikan kuku atau mencoba gaun baru untuk malam nanti.

Begitu Ratri masuk, salah satu temannya, Maya, langsung melambaikan tangan.

“Eh, Ratri! Dari mana aja? Kok baru nongol? Jangan-jangan tadi main sama pelanggan lama, ya?” candanya sambil terkekeh.

Ratri tersenyum tipis, menanggapi dengan ringan. “Ah, bisa aja. Aku cuma keluar sebentar kok, cari udara.”

Teman lain, Sinta, ikut nimbrung. “Halah, cari udara apaan. Pasti ketemu sugar daddy baru, ya? Wajahmu tuh kayak lagi dapat jackpot.”

Tawa pecah di antara mereka. Ratri ikut tersenyum, meski hatinya masih remuk karena kejadian tadi. Senyum itu palsu, tapi sudah ia latih bertahun-tahun senyum yang bisa membuat orang lain percaya bahwa dirinya baik-baik saja.

Ia duduk bersama mereka, pura-pura menikmati obrolan. Sinta bercerita tentang pelanggan yang aneh, Maya memamerkan lipstik baru dari seorang lelaki yang sedang tergila-gila padanya. Semua cerita berputar di seputar uang, tubuh, dan permainan malam.

Ratri menanggapi seperlunya, tertawa di waktu yang tepat, mengangguk ketika ditanya. Tidak ada yang menyadari matanya masih menyimpan bekas tangisan, karena ia pandai menyembunyikannya di balik bedak dan canda.

Sesekali, ketika mereka sibuk berceloteh, pandangan Ratri kosong menatap ke jendela. Hatinya berbisik lirih: Seandainya mereka tahu aku tadi menangis di jalan karena malu pada diriku sendiri… mungkin mereka akan tertawa. Atau… mungkin mereka justru merasakan hal yang sama, hanya saja tak pernah diucapkan.

“Rat, nanti malam kita bareng keluar, ya?” ujar Maya sambil menyenggolnya.

“Iya,” jawab Ratri dengan senyum singkat. “Nanti kita cari rezeki bareng.”

Dan sore itu berlalu seolah tidak ada apa-apa. Ratri kembali mengenakan topeng yang sama topeng seorang perempuan malam yang kuat, yang terbiasa tertawa, meski di dalam dadanya tersimpan tangisan yang tak pernah selesai.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   MANTAN SUAMI RATRI

    Siang itu, aroma kaldu memenuhi seluruh ruang makan. Ratri tengah menyiapkan makan siang, sup ayam dengan potongan wortel dan daun bawang yang harum. Uap panas naik dari panci, membentuk kabut tipis di udara. Ia mematikan kompor, lalu perlahan menuangkan sup itu ke dalam mangkuk besar.Namun, dalam ketergesaan kecilnya, ujung kain lap yang ia kenakan tersangkut gagang panci. Mangkuk itu pun tergelincir dari tangannya.“Ahh!” serunya tertahan. Cairan panas tumpah ke lantai, sebagian mengenai punggung tangannya.“Aww… panas,” ujarnya pelan, refleks menarik tangannya dan meniup bagian yang memerah.Galuh yang mendengar dari ruang tamu langsung menghampiri. Langkahnya cepat, matanya langsung tertuju pada tangan Ratri yang tampak kemerahan.“Apa yang kamu lakukan?” suaranya tegas, namun nada khawatir terselip di ujungnya.Ratri menunduk, takut tatapan itu berubah menjadi amarah.“Tadi… tidak sengaja, Mas. Supnya tumpah.”Galuh menarik napas dalam. Ia melihat lantai yang basah, lalu memegan

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   MOMEN HANGAT

    Pagi itu, cahaya matahari menembus lembut dari sela tirai. Udara di kamar masih hangat, seolah menyimpan sisa malam yang belum sepenuhnya pergi. Ratri membuka mata perlahan. Tubuhnya terasa berat, bukan hanya karena lelah, tapi juga karena beban yang mengendap di dalam dada.Galuh masih tertidur di sebelahnya. Wajahnya tampak tenang, seolah semalam tak terjadi apa pun. Ratri memandangi punggung suaminya, berusaha mencari sesuatu, mungkin penjelasan, atau sekadar rasa yang dulu pernah ada. Tapi yang ia temukan hanyalah keheningan yang menekan.Pelan-pelan, ia bangkit dari ranjang. Setiap langkahnya terasa hati-hati, seperti takut menimbulkan suara. Ia berjalan menuju jendela, membuka sedikit tirainya. Cahaya menimpa kulitnya, membuat matanya menyipit. Di luar, burung-burung terdengar bernyanyi, tapi baginya suara itu terasa jauh sekali, seperti berasal dari dunia lain.Ratri menyentuh dadanya. Ada denyut yang tak bisa ia pahami. Malam tadi, ia seperti berada di antara dua perasaan yang

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   SIAPA PRIA ITU?

    Keesokan harinya, Galuh tidak berangkat ke kantor.“Mas, kenapa belum siap-siap ke kantor?” tanya Ratri dengan hati-hati.Galuh hanya menatapnya, tanpa sepatah kata pun. Tatapannya tajam, seolah menembus sampai ke dada Ratri. Ia memilih diam, takut kata-katanya justru menyalakan sesuatu yang lebih buruk.Beberapa menit kemudian, Galuh menggenggam tangan Ratri dan menariknya dengan paksa ke arah ruang bawah tanah, tempat yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Dingin, lembap, dan redup.“Mas… sakit,” lirihnya pelan.Galuh menatapnya tanpa ekspresi, lalu bersuara pelan tapi menusuk, “Aku hanya ingin bertanya sesuatu.”Ratri terdiam. Ia bisa merasakan udara menegang di antara mereka.“Siapa pria itu?” tanya Galuh, suaranya nyaris tak terdengar namun menimbulkan gemuruh di dada Ratri.Ratri berusaha bicara, tetapi lidahnya seolah kelu. Keheningan menggantung. Galuh menatap lebih dalam, membuat jantungnya berdegup semakin cepat.

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   RATRI TERTEKAN

    Beberapa hari kemudian, siang itu rumah terasa sepi. Ratri sedang membersihkan ruang tamu ketika tiba-tiba terdengar suara bel berturut-turut. Suaranya tidak sabar, seperti seseorang yang sangat ingin segera masuk.Ratri berhenti, jantungnya berdegup lebih cepat. Ia menatap pintu beberapa detik sebelum akhirnya melangkah mendekat. Dari balik kaca buram di samping pintu, ia melihat sosok yang begitu dikenalnya, pria yang datang tempo hari.Ia menelan ludah, berusaha menenangkan diri. Tapi sebelum sempat berpikir, suara ketukan keras terdengar lagi.“Ratri, buka pintunya! Aku hanya ingin bicara!” suara itu memohon, tapi ada nada mendesak di dalamnya.“Pergi dari sini,” jawab Ratri, suaranya gemetar. “Suamiku tidak suka ada tamu tanpa izin.”Namun pria itu tidak menggubris. Ia menekan gagang pintu, dan tanpa diduga, pintu itu terbuka, Ratri lupa menguncinya. Pria itu melangkah masuk, wajahnya tegang dan panik.“Ratri, dengar aku dul

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   TAMU TAK DI UNDANG

    Beberapa hari berlalu. Suasana rumah tampak lebih tenang, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Ratri mencoba melupakan kejadian di mal, ia berusaha menata hatinya, meyakinkan diri bahwa mungkin Galuh sudah berubah.Pagi itu, aroma nasi goreng dan teh hangat memenuhi dapur. Ratri menyiapkan sarapan seperti biasanya, menata piring dan sendok dengan rapi di meja makan. Sesekali ia melirik ke arah jam dinding, memastikan waktu keberangkatan Galuh ke kantor.Galuh muncul dari kamar dengan kemeja biru muda yang rapi, dasinya terikat sempurna. Langkahnya tenang, matanya langsung tertuju pada Ratri.“Aku berangkat,” ujarnya pelan, namun tegas.Ratri tidak menjawab. Ia hanya menunduk, tangannya sibuk mengelap meja yang sudah bersih. Tatapan Galuh tak beralih darinya. Dalam diam itu, ada jarak yang aneh—antara takut dan rindu, antara luka dan kehangatan yang samar.Tiba-tiba, Galuh mendekat.Ia meraih dagu Ratri dengan ujung jarinya, lembut tapi penuh

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   BERTEMU SESEORANG

    Hari itu, Galuh dan Ratri pergi ke mal. Udara sejuk dari pendingin ruangan menyambut langkah mereka begitu memasuki gedung. Orang-orang berlalu-lalang dengan senyum ringan, sebagian membawa kantong belanjaan penuh warna. Bagi Ratri, suasana itu seolah jauh dari kehidupannya, sebuah dunia yang tak lagi miliknya.Galuh berjalan di depan, langkahnya tenang tapi berwibawa. Tatapannya lurus ke arah etalase toko elektronik. Ia memilih beberapa barang tanpa banyak bicara, hanya sesekali melirik ke arah Ratri untuk memastikan perempuan itu tetap mengikutinya.“Kalau mau beli stok makanan, sana sekalian. Jangan lama,” ucap Galuh datar, matanya masih sibuk menatap layar ponsel.“Iya, Mas.”Ratri menunduk dan segera berbalik. Ia melangkah cepat menuju area supermarket, mendorong troli dengan hati-hati. Dalam kepalanya, hanya ada satu keinginan: menyelesaikan semuanya secepat mungkin sebelum suasana hati Galuh berubah lagi, sebelum kata-kata dingin dan kemarahan tanpa alasan kembali mengunci napa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status