Mag-log inGaluh turun dari mobilnya dengan langkah tenang, wajahnya masih menyisakan sisa senyum lembut yang selalu membuat Ratri sedikit melunak. Ia tidak lama-lama di ruang tamu wisma begitu diberi tahu kamar Ratri, ia langsung naik dan mengetuk perlahan.
Pintu dibuka; Ratri berdiri kaku di ambang, wajahnya masih sembab bekas tangis yang belum mengering. Mata mereka bertemu. Galuh melihat bekas luka di mata itu, dan sesuatu seperti perih ikut terbaca di rautnya. Ia masuk tanpa basa-basi, menutup pintu di belakang, lalu menatap Ratri dengan sangat serius. “Aku dengar… tentang kampungmu,” suaranya datar tapi tegas. “Tentang yang orang-orang bilang.” Ratri menahan napas. Ibu yang menolak, adik yang menatap polos, kata-kata tajam yang menusuk semua terasa masih menempel di kulitnya. Ia ingin menjauh, ingin menghapus memori yang membuat dadanya sempit. Galuh melangkah mendekat, tapi tidak menyentuhnya. Ia mengambil kursi, menempatkannya berhadapan, seolah memberi jarak yang aman. “Ratri,” ia menarik napas, “aku sudah memikirkan ini lama. Aku tahu siapa kamu bukan dari gosip, bukan dari mulut orang yang merendahkanmu, tapi dari ceritamu sendiri yang kau bagi padaku. Aku tahu bagaimana kerasnya hidupmu.” Ratri menunduk, suaranya tercekat saat mencoba bicara: “Tuan… aku...” Galuh mengangkat satu tangan, menghentikan kata-katanya. Matanya lembut, penuh keyakinan. “Jangan panggil aku begitu malam ini. Panggil saja… Galuh.” Ia tersenyum kecil, lalu suaranya menjadi sangat tenang. “Ratri, aku ingin menikahimu.” Kata itu jatuh seperti kilat. Ratri terperangah; jantungnya seperti berhenti beberapa detik. Bibirnya kering, otaknya sibuk menolak dan menerima sekaligus. Ia ingat ibu yang menghalangi, adik yang masih polos, muka orang-orang kampung yang mungkin akan menunjuk, dan tentang dirinya yang merasa kotor, tak layak. “Apa! aku tidak pantas, Galuh. Aku… aku bukan untukmu. Bagaimana kalau mereka tahu? Bagaimana kalau mereka mencemoohmu? Bagaimana kalau aku hanya membawa malapetaka?” suaranya pecah, mata menatap lantai. Galuh bangkit, mendekat pelan. Kali ini ia menyentuh tangan Ratri, lembut bukan untuk menguasai, tapi untuk menahan. “Aku tahu semua itu,” katanya. “Aku tahu risikonya. Aku tahu kesulitan yang mungkin datang cemoohan, bisik-bisik, bahkan ancaman. Tapi aku juga tahu satu hal: melihatmu setiap kali kita bicara, aku melihat seseorang yang berani, yang berbagi, yang punya hati besar. Itu lebih berharga daripada semua penilaian orang lain.” Ratri menggenggam napas. Di dalam dadanya ada pertempuran: antara rasa percaya yang baru tumbuh dan rasa malu yang berakar lama. “Kalau aku terima, kau benar-benar akan bawa aku? Benarkah kau tidak akan lari ketika orang mulai menunjuk? Benarkah kau mau tanggung semua itu?” tanyanya, suaranya kecil tapi menantang. Galuh mengangguk tegas. “Aku tidak akan lari. Aku tidak ingin menyelamatkanmu dari siapa pun hanya karena kasihan aku ingin berdiri di sampingmu karena aku memilihmu. Kalau kau mau, aku akan datang ke kampungmu, berbicara pada ibumu meskipun mungkin ia tidak langsung menerima. Aku akan lakukan ini perlahan, dengan hormat, dan aku akan berjuang untuk keluargamu, bukan melarikan diri darimu ketika badai datang.” Di mata Galuh terbaca kesungguhan yang tak bisa dipalsukan. Ratri menatapnya lama; hatinya berdenyut kencang, rasa takut bergantian dengan hangat. Ia ingat uang yang selalu harus dikirim, rasa bersalah yang menempel setiap kali membuka dompet, wajah anak-anak yang menunggu, suara ibunya yang pernah memeluknya. Ia juga ingat kalimat Galuh yang dulu: “Kamu berharga.” Kata itu, yang dulu sempat terasa seperti mimpi, kini hadir lagi lebih nyata. Ia menggeleng, lalu tertawa sebuah tawa kecil yang bercampur dengan tangis. “Aku tak tahu harus bilang apa,” bisiknya. “Aku takut. Aku takut aku akan merusak hidupmu.” Galuh menarik kursi lebih dekat, menunduk sedikit, menatap Ratri dengan mata yang tak meninggalkannya satu detik pun. “Kalau kau takut, aku akan jadi tempatmu berteduh, bukan yang menambah ketakutan itu. Kita ambil langkah kecil. Kita buktikan perlahan. Aku bukan orang yang memberi janji kosong.” Suasana menjadi hening, hanya terdengar napas mereka berdua. Ratri merasakan sesuatu yang baru: bukan sekadar janji dari seorang pria kaya, melainkan tawaran untuk dibenahi perlahan untuk menjadi seseorang yang dipandang tidak karena masa lalunya, tapi karena siapa dia sebenarnya. Ia menutup mata, membiarkan air mata mengalir kembali bukan hanya karena sakit, tapi juga karena lega. Setelah beberapa saat, ia membuka mata, menatap Galuh. “Beri aku waktu,” ucapnya lembut. “Bukan karena aku meragukanmu. Tapi aku harus memastikan semuanya ibuku, adik-adikku… Aku tak mau membuat mereka lebih terluka.” Galuh tersenyum, wajahnya teduh. “Ambillah waktu sebanyak yang kau perlukan. Aku akan menunggu. Dan ketika kau siap, bawalah aku ke rumahmu. Kita hadapi bersama.” Ratri mengangguk, kepala masih bergetar. Di balik segala luka, sesuatu seperti benih harapan mulai menumbuhkan akar. Ia tidak bisa buru-buru percaya, tetapi untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia membayangkan kemungkinan lain: rumah yang menerima, adik yang tak lagi bertanya tentang “kupu-kupu malam”, malam tanpa harus menutupinya dengan topeng. Galuh berdiri, lalu sebelum pergi ia menempelkan selembar amplop tebal di meja—bukan karena ingin membeli hatinya, tetapi sebagai bentuk tanggung jawab praktis untuk urusan keluarga Ratri yang mendesak. “Untuk sekarang,” katanya singkat. “Dan kalau kau setuju nanti, aku ingin menikahimu dengan resmi. Aku siap.” Ratri menatap amplop itu; uangnya hangat dan berat di genggamannya, tetapi yang lebih berat lagi adalah keputusan yang menunggu di depan. Ia membiarkan pintu kamar tertutup kembali setelah Galuh pergi dengan hati yang riuh, terperangah, dan untuk pertama kali juga agak berharap.Siang itu, aroma kaldu memenuhi seluruh ruang makan. Ratri tengah menyiapkan makan siang, sup ayam dengan potongan wortel dan daun bawang yang harum. Uap panas naik dari panci, membentuk kabut tipis di udara. Ia mematikan kompor, lalu perlahan menuangkan sup itu ke dalam mangkuk besar.Namun, dalam ketergesaan kecilnya, ujung kain lap yang ia kenakan tersangkut gagang panci. Mangkuk itu pun tergelincir dari tangannya.“Ahh!” serunya tertahan. Cairan panas tumpah ke lantai, sebagian mengenai punggung tangannya.“Aww… panas,” ujarnya pelan, refleks menarik tangannya dan meniup bagian yang memerah.Galuh yang mendengar dari ruang tamu langsung menghampiri. Langkahnya cepat, matanya langsung tertuju pada tangan Ratri yang tampak kemerahan.“Apa yang kamu lakukan?” suaranya tegas, namun nada khawatir terselip di ujungnya.Ratri menunduk, takut tatapan itu berubah menjadi amarah.“Tadi… tidak sengaja, Mas. Supnya tumpah.”Galuh menarik napas dalam. Ia melihat lantai yang basah, lalu memegan
Pagi itu, cahaya matahari menembus lembut dari sela tirai. Udara di kamar masih hangat, seolah menyimpan sisa malam yang belum sepenuhnya pergi. Ratri membuka mata perlahan. Tubuhnya terasa berat, bukan hanya karena lelah, tapi juga karena beban yang mengendap di dalam dada.Galuh masih tertidur di sebelahnya. Wajahnya tampak tenang, seolah semalam tak terjadi apa pun. Ratri memandangi punggung suaminya, berusaha mencari sesuatu, mungkin penjelasan, atau sekadar rasa yang dulu pernah ada. Tapi yang ia temukan hanyalah keheningan yang menekan.Pelan-pelan, ia bangkit dari ranjang. Setiap langkahnya terasa hati-hati, seperti takut menimbulkan suara. Ia berjalan menuju jendela, membuka sedikit tirainya. Cahaya menimpa kulitnya, membuat matanya menyipit. Di luar, burung-burung terdengar bernyanyi, tapi baginya suara itu terasa jauh sekali, seperti berasal dari dunia lain.Ratri menyentuh dadanya. Ada denyut yang tak bisa ia pahami. Malam tadi, ia seperti berada di antara dua perasaan yang
Keesokan harinya, Galuh tidak berangkat ke kantor.“Mas, kenapa belum siap-siap ke kantor?” tanya Ratri dengan hati-hati.Galuh hanya menatapnya, tanpa sepatah kata pun. Tatapannya tajam, seolah menembus sampai ke dada Ratri. Ia memilih diam, takut kata-katanya justru menyalakan sesuatu yang lebih buruk.Beberapa menit kemudian, Galuh menggenggam tangan Ratri dan menariknya dengan paksa ke arah ruang bawah tanah, tempat yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Dingin, lembap, dan redup.“Mas… sakit,” lirihnya pelan.Galuh menatapnya tanpa ekspresi, lalu bersuara pelan tapi menusuk, “Aku hanya ingin bertanya sesuatu.”Ratri terdiam. Ia bisa merasakan udara menegang di antara mereka.“Siapa pria itu?” tanya Galuh, suaranya nyaris tak terdengar namun menimbulkan gemuruh di dada Ratri.Ratri berusaha bicara, tetapi lidahnya seolah kelu. Keheningan menggantung. Galuh menatap lebih dalam, membuat jantungnya berdegup semakin cepat.
Beberapa hari kemudian, siang itu rumah terasa sepi. Ratri sedang membersihkan ruang tamu ketika tiba-tiba terdengar suara bel berturut-turut. Suaranya tidak sabar, seperti seseorang yang sangat ingin segera masuk.Ratri berhenti, jantungnya berdegup lebih cepat. Ia menatap pintu beberapa detik sebelum akhirnya melangkah mendekat. Dari balik kaca buram di samping pintu, ia melihat sosok yang begitu dikenalnya, pria yang datang tempo hari.Ia menelan ludah, berusaha menenangkan diri. Tapi sebelum sempat berpikir, suara ketukan keras terdengar lagi.“Ratri, buka pintunya! Aku hanya ingin bicara!” suara itu memohon, tapi ada nada mendesak di dalamnya.“Pergi dari sini,” jawab Ratri, suaranya gemetar. “Suamiku tidak suka ada tamu tanpa izin.”Namun pria itu tidak menggubris. Ia menekan gagang pintu, dan tanpa diduga, pintu itu terbuka, Ratri lupa menguncinya. Pria itu melangkah masuk, wajahnya tegang dan panik.“Ratri, dengar aku dul
Beberapa hari berlalu. Suasana rumah tampak lebih tenang, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Ratri mencoba melupakan kejadian di mal, ia berusaha menata hatinya, meyakinkan diri bahwa mungkin Galuh sudah berubah.Pagi itu, aroma nasi goreng dan teh hangat memenuhi dapur. Ratri menyiapkan sarapan seperti biasanya, menata piring dan sendok dengan rapi di meja makan. Sesekali ia melirik ke arah jam dinding, memastikan waktu keberangkatan Galuh ke kantor.Galuh muncul dari kamar dengan kemeja biru muda yang rapi, dasinya terikat sempurna. Langkahnya tenang, matanya langsung tertuju pada Ratri.“Aku berangkat,” ujarnya pelan, namun tegas.Ratri tidak menjawab. Ia hanya menunduk, tangannya sibuk mengelap meja yang sudah bersih. Tatapan Galuh tak beralih darinya. Dalam diam itu, ada jarak yang aneh—antara takut dan rindu, antara luka dan kehangatan yang samar.Tiba-tiba, Galuh mendekat.Ia meraih dagu Ratri dengan ujung jarinya, lembut tapi penuh
Hari itu, Galuh dan Ratri pergi ke mal. Udara sejuk dari pendingin ruangan menyambut langkah mereka begitu memasuki gedung. Orang-orang berlalu-lalang dengan senyum ringan, sebagian membawa kantong belanjaan penuh warna. Bagi Ratri, suasana itu seolah jauh dari kehidupannya, sebuah dunia yang tak lagi miliknya.Galuh berjalan di depan, langkahnya tenang tapi berwibawa. Tatapannya lurus ke arah etalase toko elektronik. Ia memilih beberapa barang tanpa banyak bicara, hanya sesekali melirik ke arah Ratri untuk memastikan perempuan itu tetap mengikutinya.“Kalau mau beli stok makanan, sana sekalian. Jangan lama,” ucap Galuh datar, matanya masih sibuk menatap layar ponsel.“Iya, Mas.”Ratri menunduk dan segera berbalik. Ia melangkah cepat menuju area supermarket, mendorong troli dengan hati-hati. Dalam kepalanya, hanya ada satu keinginan: menyelesaikan semuanya secepat mungkin sebelum suasana hati Galuh berubah lagi, sebelum kata-kata dingin dan kemarahan tanpa alasan kembali mengunci napa







