Share

MENIKAH

Author: JI_MIL
last update Huling Na-update: 2025-09-22 09:37:04

Pagi itu, wisma tampak lebih lengang dari biasanya. Matahari baru saja naik, sinarnya menembus kaca jendela kamar Ratri. Suasana hening itu pecah ketika suara mesin mobil terdengar berhenti di depan. Galuh turun, berdiri tegak dengan sikap tenang, seolah sudah memutuskan segala resiko yang harus ia tanggung.

Ratri keluar dari kamarnya dengan langkah perlahan. Wajahnya masih pucat karena semalam tak banyak tidur. Di tangannya, hanya ada sebuah tas kecil berisi pakaian seperlunya. Di ruang tengah, teman-temannya sudah menunggu.

Dewi yang pertama kali memeluknya. Tubuhnya gemetar, air mata bercucuran. “Ratri… jangan lupakan aku, ya,” ucapnya dengan suara parau. “Aku takut nanti kamu benar-benar lupa siapa yang dulu ada di sisimu.”

Ratri memeluknya erat. “Aku tidak akan pernah lupa, Dewi. Kamu saudariku, tempat aku menangis, tempat aku tertawa. Aku akan selalu ingat.”

Hani ikut mendekat, matanya merah sembab. Ia tersenyum getir, mencoba tegar, namun suaranya pecah juga. “Doakan aku, Rat… semoga cepat ada yang menikahiku. Aku… aku sudah lelah.” Suaranya terhenti, lalu pecah dalam isakan.

Ratri terdiam, menatap wajah Hani dengan hati yang teriris. Ia mengusap air mata Hani dengan jemari yang bergetar. “Kamu pasti bisa keluar juga, Han. Aku percaya, akan ada seseorang yang mencintaimu tanpa syarat. Jangan berhenti berharap.”

Satu per satu, teman-temannya yang lain ikut mendekat. Suasana berubah menjadi lautan air mata. Ratri dikelilingi pelukan, seolah mereka semua tahu bahwa kepergian Ratri bukan hanya meninggalkan wisma, tapi juga meninggalkan bagian dari jiwa mereka yang telah bertahun-tahun berbagi suka duka.

Dewi kembali berkata, kali ini dengan nada lebih tegas, meski air matanya terus mengalir. “Semoga dirimu bahagia selalu, Ratri. Kami… kami sangat menyayangimu. Kamu adalah cahaya buat kami semua.”

Kata-kata itu menghantam hati Ratri. Ia tak kuasa lagi menahan tangis. Tubuhnya bergetar dalam pelukan mereka. “Aku juga menyayangi kalian… lebih dari yang kalian tahu. Kalian keluargaku, meski dunia menganggap kita rendah.”

Suasana pecah. Tangisan mereka bercampur, menjadi satu kesedihan yang tak bisa ditahan. Bahkan Galuh, yang menunggu di depan, hanya bisa berdiri terdiam. Ia melihat pemandangan itu dengan mata yang berkaca-kaca.

Akhirnya, dengan berat hati, Ratri melepaskan pelukan terakhir. Ia melangkah menuju pintu. Setiap langkahnya terasa seperti meninggalkan sebagian dirinya. Ia menoleh sekali lagi, melihat wajah-wajah yang begitu ia cintai, wajah-wajah yang masih terjebak dalam gelap yang sama pernah ia jalani.

“Doakan aku… semoga jalan ini benar-benar membawaku ke cahaya,” ucap Ratri lirih, sebelum akhirnya berjalan ke arah Galuh.

Teman-temannya hanya bisa berdiri di pintu, menangis, melambaikan tangan. Saat mobil itu melaju pergi, mereka tahu, salah satu dari mereka telah berhasil melangkah keluar. Namun, sekaligus, lubang kosong yang menyakitkan tertinggal di dalam hati mereka.

Hari itu menjadi hari yang tak pernah dibayangkan Ratri sebelumnya. Seorang perempuan yang bertahun-tahun dipandang hina, kini duduk anggun dengan kebaya putih sederhana, wajahnya berhias senyum dan air mata bahagia. Di sampingnya, Galuh berdiri tegap dengan jas hitam rapi, memandang Ratri dengan penuh keyakinan.

Ijab kabul berlangsung dengan khidmat. Suara penghulu menggema, dan jawaban Galuh yang lantang membuat dada Ratri bergetar. Tamu yang hadir bersorak lirih, beberapa mengucap syukur, beberapa lain hanya bisa terdiam menyaksikan perubahan hidup yang tak pernah mereka kira.

Di antara kerumunan, ibunya hadir. Wajahnya masih menyimpan sisa luka, namun kali ini tatapannya lebih lembut. Ia memang sempat menolak, sempat menghardik, namun ketika melihat putrinya berusaha sungguh-sungguh keluar dari jalan gelap, hatinya mulai melunak.

Usai acara, Ratri memberanikan diri menghampiri ibunya. Dengan mata berkaca-kaca, ia berlutut di hadapan perempuan yang telah melahirkannya. “Ibu… maafkan aku. Aku tahu aku telah membuat Ibu malu. Tapi mulai hari ini, aku ingin Ibu melihat aku bukan sebagai orang hina, melainkan sebagai anakmu yang berusaha menebus kesalahan.”

Ibunya menggenggam tangan Ratri erat-erat, lalu memeluknya. “Nak, Ibu juga minta maaf… Ibu terlalu keras. Ibu hanya takut kehilanganmu. Kalau ini jalanmu, Ibu hanya bisa berdoa semoga kau bahagia.”

Pelukan itu menjadi penghapus duka bertahun-tahun. Air mata Ratri tumpah, bukan lagi karena pedih, melainkan karena haru yang meluap-luap.

Acara berlangsung lancar, meski sederhana. Teman-teman Ratri di wisma ikut hadir, berdandan rapi, menahan tangis bahagia. Mereka melihat Ratri berdiri di pelaminan, seperti mimpi yang tiba-tiba jadi nyata. Dewi berbisik pada Hani, “Lihat dia… akhirnya ada juga yang membuktikan kalau kita pantas dicintai.”

Setelah resepsi usai, Ratri dan Galuh langsung menempati rumah Galuh. Rumah itu tidak megah, namun nyaman: dindingnya kokoh, halaman kecil dipenuhi bunga, dan yang paling penting, suasananya penuh rasa aman.

Malam pertama mereka di rumah itu, Ratri berdiri lama di teras, menatap bintang. Ia menghela napas panjang. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa benar-benar punya tempat pulang.

Galuh mendekat, menyampirkan selendang di bahu Ratri. “Mulai sekarang, rumah ini milikmu. Aku ingin kau tak lagi menangis sendirian. Semua luka masa lalu… biar kita sembuhkan bersama.”

Ratri menoleh, tersenyum, dan memeluk suaminya erat-erat. Dalam hatinya, ia berdoa agar jalan baru ini menjadi awal dari cahaya yang ia rindukan seumur hidupnya.

Malam itu, rumah Galuh terasa begitu hening. Angin dari jendela masuk perlahan, membawa aroma bunga dari halaman kecil. Ratri duduk di tepi ranjang dengan gaun tidur sederhana, tangannya menggenggam ujung kain, jantungnya berdegup kencang. Malam itu bukan lagi sekadar malam biasa, melainkan awal dari kehidupan barunya sebagai seorang istri.

Galuh masuk ke kamar dengan langkah tenang, membawa segelas air putih. Ia meletakkannya di meja kecil, lalu duduk di samping Ratri. Tidak ada kata-kata berlebihan, hanya tatapan lembut yang membuat Ratri merasa dihargai.

“Kamu terlihat tegang,” ucap Galuh sambil tersenyum.

Ratri menunduk, bibirnya gemetar. “Aku… aku takut, Galuh. Bukan takut padamu, tapi… aku hanya merasa, apakah aku pantas? Aku datang padamu dengan masa lalu yang kotor.”

Galuh terdiam sebentar, lalu meraih tangan Ratri dan menggenggamnya erat. “Dengarkan aku,” katanya lirih. “Malam ini bukan tentang masa lalumu. Malam ini tentang kita berdua, tentang awal baru. Kau bukan perempuan yang hina di mataku. Kau adalah istriku—dan itu lebih dari cukup.”

Air mata Ratri jatuh pelan, membasahi pipinya. Ia menatap Galuh, dan untuk pertama kalinya ia merasa dirinya sungguh-sungguh diterima tanpa syarat.

Galuh mengusap air matanya dengan ibu jari, lalu mendekat perlahan. “Aku tidak akan memaksa apa pun, Ratri. Malam ini, kita hanya perlu saling percaya. Biarkan waktu berjalan, biarkan cinta yang memimpin.”

Ratri tersenyum kecil di tengah tangisnya. Perlahan, ia menyandarkan kepala di bahu Galuh, merasakan ketenangan yang sudah lama hilang dari hidupnya. Detak jantung Galuh yang stabil membuat rasa cemasnya mereda.

Mereka duduk begitu lama, hanya saling memeluk dalam diam. Hanya kehangatan tubuh, kejujuran hati, dan doa yang terucap dalam bisikan lirih.

Malam itu bukan malam penebusan dosa, bukan pula malam penyerahan tubuh semata. Itu adalah malam pengikatan jiwa, saat Ratri akhirnya berani percaya bahwa dirinya berharga, bahwa cinta bisa tumbuh bahkan dari reruntuhan hidup yang kelam.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   MANTAN SUAMI RATRI

    Siang itu, aroma kaldu memenuhi seluruh ruang makan. Ratri tengah menyiapkan makan siang, sup ayam dengan potongan wortel dan daun bawang yang harum. Uap panas naik dari panci, membentuk kabut tipis di udara. Ia mematikan kompor, lalu perlahan menuangkan sup itu ke dalam mangkuk besar.Namun, dalam ketergesaan kecilnya, ujung kain lap yang ia kenakan tersangkut gagang panci. Mangkuk itu pun tergelincir dari tangannya.“Ahh!” serunya tertahan. Cairan panas tumpah ke lantai, sebagian mengenai punggung tangannya.“Aww… panas,” ujarnya pelan, refleks menarik tangannya dan meniup bagian yang memerah.Galuh yang mendengar dari ruang tamu langsung menghampiri. Langkahnya cepat, matanya langsung tertuju pada tangan Ratri yang tampak kemerahan.“Apa yang kamu lakukan?” suaranya tegas, namun nada khawatir terselip di ujungnya.Ratri menunduk, takut tatapan itu berubah menjadi amarah.“Tadi… tidak sengaja, Mas. Supnya tumpah.”Galuh menarik napas dalam. Ia melihat lantai yang basah, lalu memegan

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   MOMEN HANGAT

    Pagi itu, cahaya matahari menembus lembut dari sela tirai. Udara di kamar masih hangat, seolah menyimpan sisa malam yang belum sepenuhnya pergi. Ratri membuka mata perlahan. Tubuhnya terasa berat, bukan hanya karena lelah, tapi juga karena beban yang mengendap di dalam dada.Galuh masih tertidur di sebelahnya. Wajahnya tampak tenang, seolah semalam tak terjadi apa pun. Ratri memandangi punggung suaminya, berusaha mencari sesuatu, mungkin penjelasan, atau sekadar rasa yang dulu pernah ada. Tapi yang ia temukan hanyalah keheningan yang menekan.Pelan-pelan, ia bangkit dari ranjang. Setiap langkahnya terasa hati-hati, seperti takut menimbulkan suara. Ia berjalan menuju jendela, membuka sedikit tirainya. Cahaya menimpa kulitnya, membuat matanya menyipit. Di luar, burung-burung terdengar bernyanyi, tapi baginya suara itu terasa jauh sekali, seperti berasal dari dunia lain.Ratri menyentuh dadanya. Ada denyut yang tak bisa ia pahami. Malam tadi, ia seperti berada di antara dua perasaan yang

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   SIAPA PRIA ITU?

    Keesokan harinya, Galuh tidak berangkat ke kantor.“Mas, kenapa belum siap-siap ke kantor?” tanya Ratri dengan hati-hati.Galuh hanya menatapnya, tanpa sepatah kata pun. Tatapannya tajam, seolah menembus sampai ke dada Ratri. Ia memilih diam, takut kata-katanya justru menyalakan sesuatu yang lebih buruk.Beberapa menit kemudian, Galuh menggenggam tangan Ratri dan menariknya dengan paksa ke arah ruang bawah tanah, tempat yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Dingin, lembap, dan redup.“Mas… sakit,” lirihnya pelan.Galuh menatapnya tanpa ekspresi, lalu bersuara pelan tapi menusuk, “Aku hanya ingin bertanya sesuatu.”Ratri terdiam. Ia bisa merasakan udara menegang di antara mereka.“Siapa pria itu?” tanya Galuh, suaranya nyaris tak terdengar namun menimbulkan gemuruh di dada Ratri.Ratri berusaha bicara, tetapi lidahnya seolah kelu. Keheningan menggantung. Galuh menatap lebih dalam, membuat jantungnya berdegup semakin cepat.

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   RATRI TERTEKAN

    Beberapa hari kemudian, siang itu rumah terasa sepi. Ratri sedang membersihkan ruang tamu ketika tiba-tiba terdengar suara bel berturut-turut. Suaranya tidak sabar, seperti seseorang yang sangat ingin segera masuk.Ratri berhenti, jantungnya berdegup lebih cepat. Ia menatap pintu beberapa detik sebelum akhirnya melangkah mendekat. Dari balik kaca buram di samping pintu, ia melihat sosok yang begitu dikenalnya, pria yang datang tempo hari.Ia menelan ludah, berusaha menenangkan diri. Tapi sebelum sempat berpikir, suara ketukan keras terdengar lagi.“Ratri, buka pintunya! Aku hanya ingin bicara!” suara itu memohon, tapi ada nada mendesak di dalamnya.“Pergi dari sini,” jawab Ratri, suaranya gemetar. “Suamiku tidak suka ada tamu tanpa izin.”Namun pria itu tidak menggubris. Ia menekan gagang pintu, dan tanpa diduga, pintu itu terbuka, Ratri lupa menguncinya. Pria itu melangkah masuk, wajahnya tegang dan panik.“Ratri, dengar aku dul

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   TAMU TAK DI UNDANG

    Beberapa hari berlalu. Suasana rumah tampak lebih tenang, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Ratri mencoba melupakan kejadian di mal, ia berusaha menata hatinya, meyakinkan diri bahwa mungkin Galuh sudah berubah.Pagi itu, aroma nasi goreng dan teh hangat memenuhi dapur. Ratri menyiapkan sarapan seperti biasanya, menata piring dan sendok dengan rapi di meja makan. Sesekali ia melirik ke arah jam dinding, memastikan waktu keberangkatan Galuh ke kantor.Galuh muncul dari kamar dengan kemeja biru muda yang rapi, dasinya terikat sempurna. Langkahnya tenang, matanya langsung tertuju pada Ratri.“Aku berangkat,” ujarnya pelan, namun tegas.Ratri tidak menjawab. Ia hanya menunduk, tangannya sibuk mengelap meja yang sudah bersih. Tatapan Galuh tak beralih darinya. Dalam diam itu, ada jarak yang aneh—antara takut dan rindu, antara luka dan kehangatan yang samar.Tiba-tiba, Galuh mendekat.Ia meraih dagu Ratri dengan ujung jarinya, lembut tapi penuh

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   BERTEMU SESEORANG

    Hari itu, Galuh dan Ratri pergi ke mal. Udara sejuk dari pendingin ruangan menyambut langkah mereka begitu memasuki gedung. Orang-orang berlalu-lalang dengan senyum ringan, sebagian membawa kantong belanjaan penuh warna. Bagi Ratri, suasana itu seolah jauh dari kehidupannya, sebuah dunia yang tak lagi miliknya.Galuh berjalan di depan, langkahnya tenang tapi berwibawa. Tatapannya lurus ke arah etalase toko elektronik. Ia memilih beberapa barang tanpa banyak bicara, hanya sesekali melirik ke arah Ratri untuk memastikan perempuan itu tetap mengikutinya.“Kalau mau beli stok makanan, sana sekalian. Jangan lama,” ucap Galuh datar, matanya masih sibuk menatap layar ponsel.“Iya, Mas.”Ratri menunduk dan segera berbalik. Ia melangkah cepat menuju area supermarket, mendorong troli dengan hati-hati. Dalam kepalanya, hanya ada satu keinginan: menyelesaikan semuanya secepat mungkin sebelum suasana hati Galuh berubah lagi, sebelum kata-kata dingin dan kemarahan tanpa alasan kembali mengunci napa

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status