Oke, kita lanjutkan ya. Kali ini Ratri akan bertemu pelanggan baru—seorang pria super kaya. Adegan ini bisa jadi titik awal perubahan hidupnya, sekaligus menambah lapisan konflik (antara uang besar, martabat, dan jalan hidup yang ia jalani).
Bab 3 Malam itu jalanan mulai dipenuhi lampu-lampu neon. Wisma kembali ramai. Musik dangdut samar terdengar dari kafe sebelah, bercampur dengan suara kendaraan yang lalu-lalang. Ratri berdiri di sudut jalan dengan gaun merah menyala yang menempel di tubuhnya. Ia menghela napas panjang, mencoba menata hati. Senyumnya kembali terlukis, meski dalam hatinya ada hampa yang tak bisa ia sembuhkan. Dari kejauhan, sebuah mobil hitam mewah berhenti. Lampunya terang, bodinya mengkilap—jelas bukan mobil pelanggan biasa. Pintu belakang terbuka, dan keluar seorang pria sekitar empat puluhan. Wajahnya bersih, rapi, dengan jas mahal yang tampak baru saja dipakai untuk sebuah jamuan penting. Langkahnya tenang, penuh percaya diri. Sesaat matanya menatap ke arah deretan perempuan malam, lalu berhenti tepat pada Ratri. “Selamat malam,” ujarnya singkat, dengan senyum tipis. Suaranya berat, penuh wibawa. Ratri terdiam sepersekian detik, lalu mengangguk pelan. “Malam.” Pria itu mengamati Ratri dari atas ke bawah, seakan menimbang sesuatu. “Berapa untuk semalam penuh?” tanyanya tanpa basa-basi. “Satu juta.” Ratri menjawab cepat, seperti biasa. Namun pria itu justru tersenyum samar. “Satu juta terlalu kecil untukmu.” Ia membuka dompet kulitnya, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang tebal. “Aku bayar sepuluh juta. Dengan syarat, kau hanya menemaniku malam ini. Tidak lebih.” Ratri terperangah. Tangannya sempat gemetar saat menerima uang itu. Jumlah sebesar itu… bahkan bisa mencukupi kebutuhan ibunya berbulan-bulan. Namun yang membuatnya heran: pria itu tidak menuntut apa-apa selain ditemani. “Sepuluh juta… hanya untuk ditemani?” gumam Ratri ragu. Pria itu mengangguk. “Aku butuh teman bicara, bukan tubuhmu.” Untuk pertama kalinya, Ratri merasa bingung. Hidupnya selama ini selalu diukur dengan tawar-menawar tubuh. Tapi malam itu, ada seseorang yang melihatnya bukan sekadar barang dagangan. Dengan langkah gugup, ia masuk ke mobil mewah itu. Hatinya berdebar-debar, tak tahu ke mana semua ini akan membawanya. Mobil hitam itu melaju tenang menembus jalan kota yang masih ramai. Aroma parfum mahal memenuhi kabin, berpadu dengan cahaya lampu kota yang berkelebat di kaca jendela. Ratri duduk di kursi belakang, masih agak kaku. Ia memegang tas kecilnya erat, sementara pria kaya di sampingnya tampak tenang sekali. Tak lama, pria itu membuka percakapan. “Aku heran… kenapa mudah sekali berbicara denganmu. Padahal ini pertama kali kita bertemu.” Ratri menoleh singkat, lalu tersenyum samar. “Mungkin karena aku sudah terbiasa mendengar cerita orang. Pekerjaan ini bukan cuma menjual tubuh, Pak… tapi juga jadi pendengar.” Pria itu menghela napas panjang, matanya menerawang ke luar jendela. “Sebenarnya… aku sudah lama jatuh cinta pada seorang perempuan. Dia perempuan baik-baik, sederhana, dan sangat menjaga dirinya. Aku ingin menikahinya. Tapi aku tidak pernah tahu bagaimana cara berbicara dengan bahasa perempuan. Aku takut salah langkah.” Ratri terdiam, lalu sedikit tertegun. Baru kali ini ada seorang pria yang membayar mahal, hanya untuk… belajar mencintai perempuan lain. “Kenapa memilihku untuk belajar?” tanya Ratri akhirnya. Pria itu menatapnya dengan tenang. “Karena aku percaya, perempuan yang sudah banyak melewati luka… pasti paling tahu apa yang sebenarnya diinginkan oleh perempuan.” Kalimat itu membuat dada Ratri terasa hangat sekaligus pedih. Ia tersenyum kecil, lalu menunduk. “Bahasa perempuan itu sederhana, Pak. Kami hanya ingin didengar. Bukan sekadar kata-kata manis… tapi perhatian kecil yang tulus. Itu sudah cukup membuat hati kami merasa dihargai.” Pria itu mengangguk pelan, memperhatikan setiap kata yang keluar dari bibir Ratri. “Jadi… bukan hadiah mahal, bukan janji-janji besar?” Ratri menggeleng sambil tersenyum. “Bukan. Kadang, satu pertanyaan ‘sudah makan atau belum’ bisa lebih berarti daripada perhiasan yang berkilau. Perempuan itu butuh rasa aman. Butuh diyakinkan bahwa ia satu-satunya di hati seorang laki-laki.” Pria itu terdiam, lalu tersenyum tulus. “Terima kasih… kau membuatku mengerti sesuatu yang tak pernah bisa diajarkan buku atau seminar bisnis.” Ratri merasakan sesuatu yang berbeda malam itu. Untuk pertama kalinya, ia merasa dirinya berguna bukan karena tubuh, tapi karena hati dan pengalamannya. Setelah lama berbincang di kamar hotel, pria itu tiba-tiba mengajak Ratri keluar. “Aku ingin melanjutkan obrolan, tapi… bukan di sini. Mau ikut aku ke café?” Ratri sempat bingung, karena biasanya tamu hanya ingin selesai dengan jasadnya, bukan pikirannya. Tapi rasa penasaran membuatnya mengangguk. Malam itu mereka duduk di sebuah café kecil di sudut kota, jauh dari hiruk pikuk. Lampu kuning temaram memantul di meja kayu, menambah suasana hangat. Pria itu membuka percakapan dengan nada serius. “Ratri, aku ingin menikahi perempuan yang sangat aku cintai. Tapi aku merasa bodoh… aku tidak pernah tahu apa yang sebenarnya diinginkan seorang perempuan. Apa yang membuatnya bahagia? Apa yang membuatnya kecewa?” Ratri terdiam. Hatinya berdesir. Pertanyaan itu begitu jujur, sesuatu yang tidak pernah ia dengar dari para pria lain. Ia menegakkan tubuhnya, senyum samar mengembang. “Bahasa perempuan ya, Pak? Kalau menurutku… perempuan hanya ingin dipahami. Kami bukan sekadar butuh hadiah atau uang, tapi perhatian kecil. Saat kau menanyakan bagaimana harinya, atau sekadar menggenggam tangannya ketika ia sedih, itu sudah lebih dari cukup.” Pria itu mengangguk pelan, menatap penuh minat. “Jadi, aku tak perlu selalu memberi janji besar?” “Betul.” Ratri menyesap kopi hangatnya sebelum melanjutkan. “Janji besar tanpa bukti itu menyakitkan. Perempuan lebih percaya pada konsistensi. Kalau kau bilang akan menemani, temani. Kalau bilang akan setia, buktikan dengan sikap.” Pria itu termenung, lalu menghela napas. “Aku benar-benar tidak pernah memikirkannya seperti itu. Aku kira perempuan rumit… ternyata aku yang tidak pernah berusaha memahami.” Ratri tersenyum, matanya berbinar. Ada kebanggaan kecil dalam dirinya, karena untuk pertama kalinya ia dihargai bukan karena tubuh, tapi karena pikirannya. Mobil meluncur pelan melewati jalanan malam yang lengang. Dari kaca jendela, lampu kota berkelebatan seperti bintang jatuh. Ratri bersandar, masih mengingat percakapan hangat mereka di café tadi. Rasanya aneh untuk pertama kali ia merasa dihargai bukan karena tubuhnya, melainkan karena dirinya sebagai manusia. Sesampainya di depan wisma, mobil berhenti. Hening sejenak. Pria itu menoleh, menatap Ratri dalam-dalam. “Ratri…” suaranya tenang, tapi sarat makna. “Jaga dirimu baik-baik. Kamu berharga. Kamu punya pendirian. Jangan biarkan dunia membuatmu lupa akan itu.” Ratri tertegun. Matanya berkaca-kaca, tapi ia menahan agar tidak jatuh. Pria itu melanjutkan, dengan keyakinan yang bulat, “Suatu saat nanti, kamu akan keluar dari dunia prostitusi. Yakinlah dengan hal itu.” Seperti ada sesuatu yang bergetar di dada Ratri. Kata-kata itu begitu asing, tapi juga menyalakan secercah harapan. Ia menunduk, tersenyum samar, berusaha menyembunyikan air mata yang nyaris tumpah. “Terima kasih…” bisiknya lirih, hampir tak terdengar. Pria itu tersenyum, lalu membuka pintu mobil. Ratri turun, langkahnya pelan menuju wisma. Ia tidak berani menoleh, takut melihat mobil itu menjauh akan membuat dadanya semakin sesak. Namun dalam hati kecilnya, Ratri tahu: malam ini ia pulang dengan sesuatu yang lebih berharga dari uang sebuah keyakinan bahwa masih ada cahaya di jalan gelapnya. Ratri menutup pintu kamarnya perlahan. Suara gaduh dari ruang depan gelak tawa, musik dangdut yang samar terdengar semakin redup, tenggelam oleh sepi dalam ruang sempit itu. Ia melemparkan tas ke sudut ranjang, lalu tubuhnya ambruk di kasur tipis. Sejenak ia menatap langit-langit, menahan napas, namun akhirnya air matanya pecah juga. Tangisnya pelan, seperti bisikan luka yang selama ini dipaksa diam. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, bahunya terguncang. Di antara kabut air mata, bayangan wajah ibunya muncul—wajah renta yang penuh keriput, dengan senyum lembut meski tubuhnya sakit-sakitan. Mamih… demi obatmu aku begini. Demi hidupmu aku rela kehilangan hidupku sendiri… Ratri menangis semakin keras. Ada sesal, ada marah, ada cinta yang terhimpit keadaan. Kata-kata pria tadi bergaung kembali dalam kepalanya: “Kamu berharga. Suatu saat nanti, kamu akan keluar dari dunia prostitusi.” Ia meremas bantal, berusaha percaya. “Apa benar aku masih berharga, Mih? Apa benar aku bisa keluar dari semua ini?” bisiknya lirih, hampir seperti doa. Tangis itu terus bergulir, hingga akhirnya ia terlelap dengan sisa-sisa air mata di pipinya.Hari-hari berikutnya, Ratri merasa hidupnya berbeda. Biasanya ia menganggap malam hanya rutinitas: berdiri di jalan, menunggu mobil berhenti, lalu berpura-pura tersenyum pada wajah asing. Namun kini ada sesuatu yang ditunggu: pertemuannya dengan pria itu.Mereka mulai sering bertemu, bukan di hotel atau kamar remang, melainkan di café, taman kota, bahkan kadang hanya duduk di dalam mobil sambil mendengarkan musik pelan. Obrolan mereka tidak pernah habis.Pria itu bercerita tentang masa mudanya bagaimana ia dulu pernah jatuh cinta pada seorang gadis sederhana, tapi kehilangan karena perbedaan restu keluarga. Tentang kerja keras membangun bisnisnya dari nol. Tentang kesepian yang sering menghampiri meski kini hidupnya serba berkecukupan.Ratri mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Ia kagum, sekaligus merasa aneh, karena seorang pria berkelas sepertinya mau berbagi luka dengan dirinya, seorang perempuan yang tiap malam menjual tubuh demi uang.“Kadang aku iri pada kamu,” ucap Ratri suatu
Malam itu, jalanan masih ramai. Lampu neon dari warung-warung menyinari tubuh Ratri yang berdiri di pinggir jalan dengan pakaian seksi yang membentuk lekuk tubuhnya. Ia berdiri anggun, dengan senyum tipis yang lebih mirip topeng.Tak lama kemudian, seorang laki-laki paruh baya menghampirinya. Tubuhnya tegap, wajahnya tampan, dan pakaiannya rapi.“Hai nona! Untuk semalam saja aku harus membayar berapa?” ucapnya dengan nada santai.“Satu juta saja, Tuan,” jawab Ratri cepat, senyum tipis terpasang di wajahnya.Pria itu mengangkat alis, tersenyum singkat. “Kecil.”Tanpa banyak bicara lagi, Ratri menggandeng pria itu menuju kamar. Sesampainya di sana, ia menyalakan lampu redup, lalu perlahan melepaskan tasnya. Dengan gerakan tenang, Ratri mulai membuka kancing kemeja pria tersebut.Namun pria itu hanya duduk diam di tepi ranjang, tidak melakukan apa-apa. Ia menatap Ratri, membiarkan perempuan itu membuka satu per satu kancing bajunya. Senyum samar terlukis di wajahnya, seakan lebih menikma
Keesokan harinya, suasana di wisma agak berbeda. Mucikari memberi kebebasan untuk anak buahnya sejenak “healing”—memberi waktu mereka beristirahat dari rutinitas malam yang melelahkan.“Besok malam kita kembali bekerja seperti biasa,” ujar mucikari sambil menepuk meja. “Tapi hari ini, kalian bebas. Gunakan waktu untuk diri sendiri.”Ratri menatap sejenak teman-temannya yang mulai merencanakan jalan-jalan, belanja, atau sekadar tidur. Ia tersenyum tipis, tapi dalam hati sudah ada keputusan.Aku harus pulang… menemui Mamih dan adik-adikku, bisiknya lirih.Tanpa banyak berpikir, Ratri merapikan barang-barangnya. Perjalanan ke kampung halaman tidak dekat; butuh berjam-jam naik bus dan menempuh jalan berliku. Tapi hatinya menolak untuk menunda lagi. Ia ingin melihat ibu dan adik-adiknya, merasakan sedikit kehangatan keluarga yang jarang ia nikmati.Di dalam bus, Ratri duduk menatap jendela. Hujan gerimis membuat kaca buram, dan cahaya lampu jalan berpendar di permukaan air. Setiap tetes ya
Keesokan harinya, matahari baru saja naik, tapi wisma sudah mulai riuh. Suara musik, langkah kaki, dan percakapan antar penghuni bercampur menjadi satu.Ratri bangun dengan wajah lelah, sisa tangis semalam masih meninggalkan sembap di matanya. Ia menatap cermin kecil di sudut kamar. Sejenak ia terpaku—melihat seorang perempuan dengan riasan pudar, senyum yang dipaksakan, dan mata yang tampak lebih tua dari usianya.Ia menarik napas panjang, lalu mulai merias wajahnya lagi. Lipstik merah, bedak tipis, eyeliner. Topeng yang sama yang selalu ia kenakan.Saat keluar kamar, ia tersenyum seperti biasa kepada teman-temannya. “Pagi, Rat,” sapa seorang PSK lain sambil menyalakan rokok.“Pagi…” jawab Ratri ringan, seolah tidak ada yang salah.Mereka bercanda, tertawa, dan membicarakan pelanggan malam sebelumnya. Ratri ikut tertawa, meski hatinya kosong.Ketika malam tiba, ia sudah kembali duduk di pinggir jalan, mengenakan gaun ketat berwarna hitam, menunggu pelanggan yang lewat. Angin malam me
Oke, kita lanjutkan ya. Kali ini Ratri akan bertemu pelanggan baru—seorang pria super kaya. Adegan ini bisa jadi titik awal perubahan hidupnya, sekaligus menambah lapisan konflik (antara uang besar, martabat, dan jalan hidup yang ia jalani).Bab 3Malam itu jalanan mulai dipenuhi lampu-lampu neon. Wisma kembali ramai. Musik dangdut samar terdengar dari kafe sebelah, bercampur dengan suara kendaraan yang lalu-lalang.Ratri berdiri di sudut jalan dengan gaun merah menyala yang menempel di tubuhnya. Ia menghela napas panjang, mencoba menata hati. Senyumnya kembali terlukis, meski dalam hatinya ada hampa yang tak bisa ia sembuhkan.Dari kejauhan, sebuah mobil hitam mewah berhenti. Lampunya terang, bodinya mengkilap—jelas bukan mobil pelanggan biasa. Pintu belakang terbuka, dan keluar seorang pria sekitar empat puluhan. Wajahnya bersih, rapi, dengan jas mahal yang tampak baru saja dipakai untuk sebuah jamuan penting.Langkahnya tenang, penuh percaya diri. Sesaat matanya menatap ke arah der
Subuh hampir tiba ketika Ratri kembali ke wisma tempat para perempuan malam itu berkumpul. Lampu-lampu neon masih menyala, sebagian kursi kosong, hanya menyisakan beberapa PSK lain yang baru pulang dari “pekerjaan”. Di sudut ruangan, seorang perempuan berusia sekitar empat puluh tahun duduk dengan wajah tegas. Dialah Yuni, mucikari yang mengatur para gadis di bawah kendalinya.Ratri melangkah mendekat dengan hati-hati. Di tangannya ada amplop kecil berisi sebagian uang hasil malam itu. Ia meletakkannya di meja di depan Yuni.“Ini, Kak… bagian untuk malam tadi,” ucap Ratri lirih.Yuni menghitung cepat, lalu menyelipkan uang itu ke dompet tanpa ekspresi. Tatapannya lalu beralih pada Ratri. “Bagus. Kau termasuk rajin, Ratri. Pelanggan juga banyak yang suka sama kamu. Kalau terus begini, kamu bisa cepat lunasi utangmu di sini.”Ratri menunduk, menahan getir. Lalu, dengan suara hati-hati ia berkata,“Kak Yuni… bolehkah aku pulang sebentar hari ini? Mamih lagi sakit. Aku sudah kumpulkan uan