Se connecterMalam itu jalanan mulai dipenuhi lampu-lampu neon. Wisma kembali ramai. Musik dangdut samar terdengar dari kafe sebelah, bercampur dengan suara kendaraan yang lalu-lalang.
Ratri berdiri di sudut jalan dengan gaun merah menyala yang menempel di tubuhnya. Ia menghela napas panjang, mencoba menata hati. Senyumnya kembali terlukis, meski dalam hatinya ada hampa yang tak bisa ia sembuhkan. Dari kejauhan, sebuah mobil hitam mewah berhenti. Lampunya terang, bodinya mengkilap jelas bukan mobil pelanggan biasa. Pintu belakang terbuka, dan keluar seorang pria sekitar empat puluhan. Wajahnya bersih, rapi, dengan jas mahal yang tampak baru saja dipakai untuk sebuah jamuan penting. Langkahnya tenang, penuh percaya diri. Sesaat matanya menatap ke arah deretan perempuan malam, lalu berhenti tepat pada Ratri. “Selamat malam,” ujarnya singkat, dengan senyum tipis. Suaranya berat, penuh wibawa. Ratri terdiam sepersekian detik, lalu mengangguk pelan. “Malam.” Pria itu mengamati Ratri dari atas ke bawah, seakan menimbang sesuatu. “Berapa untuk semalam penuh?” tanyanya tanpa basa-basi. “Satu juta.” Ratri menjawab cepat, seperti biasa. Namun pria itu justru tersenyum samar. “Satu juta terlalu kecil untukmu.” Ia membuka dompet kulitnya, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang tebal. “Aku bayar sepuluh juta. Dengan syarat, kau hanya menemaniku malam ini. Tidak lebih.” Ratri terperangah. Tangannya sempat gemetar saat menerima uang itu. Jumlah sebesar itu… bahkan bisa mencukupi kebutuhan ibunya berbulan-bulan. Namun yang membuatnya heran: pria itu tidak menuntut apa-apa selain ditemani. “Sepuluh juta… hanya untuk ditemani?” gumam Ratri ragu. Pria itu mengangguk. “Aku butuh teman bicara, bukan tubuhmu.” Untuk pertama kalinya, Ratri merasa bingung. Hidupnya selama ini selalu diukur dengan tawar-menawar tubuh. Tapi malam itu, ada seseorang yang melihatnya bukan sekadar barang dagangan. Dengan langkah gugup, ia masuk ke mobil mewah itu. Hatinya berdebar-debar, tak tahu ke mana semua ini akan membawanya. Mobil hitam itu melaju tenang menembus jalan kota yang masih ramai. Aroma parfum mahal memenuhi kabin, berpadu dengan cahaya lampu kota yang berkelebat di kaca jendela. Ratri duduk di kursi belakang, masih agak kaku. Ia memegang tas kecilnya erat, sementara pria kaya di sampingnya tampak tenang sekali. Tak lama, pria itu membuka percakapan. “Aku heran… kenapa mudah sekali berbicara denganmu. Padahal ini pertama kali kita bertemu.” Ratri menoleh singkat, lalu tersenyum samar. “Mungkin karena aku sudah terbiasa mendengar cerita orang. Pekerjaan ini bukan cuma menjual tubuh, Pak… tapi juga jadi pendengar.” Pria itu menghela napas panjang, matanya menerawang ke luar jendela. “Sebenarnya… aku sudah lama jatuh cinta pada seorang perempuan. Dia perempuan baik-baik, sederhana, dan sangat menjaga dirinya. Aku ingin menikahinya. Tapi aku tidak pernah tahu bagaimana cara berbicara dengan bahasa perempuan. Aku takut salah langkah.” Ratri terdiam, lalu sedikit tertegun. Baru kali ini ada seorang pria yang membayar mahal, hanya untuk… belajar mencintai perempuan lain. “Kenapa memilihku untuk belajar?” tanya Ratri akhirnya. Pria itu menatapnya dengan tenang. “Karena aku percaya, perempuan yang sudah banyak melewati luka… pasti paling tahu apa yang sebenarnya diinginkan oleh perempuan.” Kalimat itu membuat dada Ratri terasa hangat sekaligus pedih. Ia tersenyum kecil, lalu menunduk. “Bahasa perempuan itu sederhana, Pak. Kami hanya ingin didengar. Bukan sekadar kata-kata manis… tapi perhatian kecil yang tulus. Itu sudah cukup membuat hati kami merasa dihargai.” Pria itu mengangguk pelan, memperhatikan setiap kata yang keluar dari bibir Ratri. “Jadi… bukan hadiah mahal, bukan janji-janji besar?” Ratri menggeleng sambil tersenyum. “Bukan. Kadang, satu pertanyaan ‘sudah makan atau belum’ bisa lebih berarti daripada perhiasan yang berkilau. Perempuan itu butuh rasa aman. Butuh diyakinkan bahwa ia satu-satunya di hati seorang laki-laki.” Pria itu terdiam, lalu tersenyum tulus. “Terima kasih… kau membuatku mengerti sesuatu yang tak pernah bisa diajarkan buku atau seminar bisnis.” Ratri merasakan sesuatu yang berbeda malam itu. Untuk pertama kalinya, ia merasa dirinya berguna bukan karena tubuh, tapi karena hati dan pengalamannya. Setelah lama berbincang di kamar hotel, pria itu tiba-tiba mengajak Ratri keluar. “Aku ingin melanjutkan obrolan, tapi… bukan di sini. Mau ikut aku ke café?” Ratri sempat bingung, karena biasanya tamu hanya ingin selesai dengan jasadnya, bukan pikirannya. Tapi rasa penasaran membuatnya mengangguk. Malam itu mereka duduk di sebuah café kecil di sudut kota, jauh dari hiruk pikuk. Lampu kuning temaram memantul di meja kayu, menambah suasana hangat. Pria itu membuka percakapan dengan nada serius. “Ratri, aku ingin menikahi perempuan yang sangat aku cintai. Tapi aku merasa bodoh… aku tidak pernah tahu apa yang sebenarnya diinginkan seorang perempuan. Apa yang membuatnya bahagia? Apa yang membuatnya kecewa?” Ratri terdiam. Hatinya berdesir. Pertanyaan itu begitu jujur, sesuatu yang tidak pernah ia dengar dari para pria lain. Ia menegakkan tubuhnya, senyum samar mengembang. “Bahasa perempuan ya, Pak? Kalau menurutku… perempuan hanya ingin dipahami. Kami bukan sekadar butuh hadiah atau uang, tapi perhatian kecil. Saat kau menanyakan bagaimana harinya, atau sekadar menggenggam tangannya ketika ia sedih, itu sudah lebih dari cukup.” Pria itu mengangguk pelan, menatap penuh minat. “Jadi, aku tak perlu selalu memberi janji besar?” “Betul.” Ratri menyesap kopi hangatnya sebelum melanjutkan. “Janji besar tanpa bukti itu menyakitkan. Perempuan lebih percaya pada konsistensi. Kalau kau bilang akan menemani, temani. Kalau bilang akan setia, buktikan dengan sikap.” Pria itu termenung, lalu menghela napas. “Aku benar-benar tidak pernah memikirkannya seperti itu. Aku kira perempuan rumit… ternyata aku yang tidak pernah berusaha memahami.” Ratri tersenyum, matanya berbinar. Ada kebanggaan kecil dalam dirinya, karena untuk pertama kalinya ia dihargai bukan karena tubuh, tapi karena pikirannya. Mobil meluncur pelan melewati jalanan malam yang lengang. Dari kaca jendela, lampu kota berkelebatan seperti bintang jatuh. Ratri bersandar, masih mengingat percakapan hangat mereka di café tadi. Rasanya aneh untuk pertama kali ia merasa dihargai bukan karena tubuhnya, melainkan karena dirinya sebagai manusia. Sesampainya di depan wisma, mobil berhenti. Hening sejenak. Pria itu menoleh, menatap Ratri dalam-dalam. “Ratri…” suaranya tenang, tapi sarat makna. “Jaga dirimu baik-baik. Kamu berharga. Kamu punya pendirian. Jangan biarkan dunia membuatmu lupa akan itu.” Ratri tertegun. Matanya berkaca-kaca, tapi ia menahan agar tidak jatuh. Pria itu melanjutkan, dengan keyakinan yang bulat, “Suatu saat nanti, kamu akan keluar dari dunia prostitusi. Yakinlah dengan hal itu.” Seperti ada sesuatu yang bergetar di dada Ratri. Kata-kata itu begitu asing, tapi juga menyalakan secercah harapan. Ia menunduk, tersenyum samar, berusaha menyembunyikan air mata yang nyaris tumpah. “Terima kasih…” bisiknya lirih, hampir tak terdengar. Pria itu tersenyum, lalu membuka pintu mobil. Ratri turun, langkahnya pelan menuju wisma. Ia tidak berani menoleh, takut melihat mobil itu menjauh akan membuat dadanya semakin sesak. Namun dalam hati kecilnya, Ratri tahu: malam ini ia pulang dengan sesuatu yang lebih berharga dari uang sebuah keyakinan bahwa masih ada cahaya di jalan gelapnya. Ratri menutup pintu kamarnya perlahan. Suara gaduh dari ruang depan gelak tawa, musik dangdut yang samar terdengar semakin redup, tenggelam oleh sepi dalam ruang sempit itu. Ia melemparkan tas ke sudut ranjang, lalu tubuhnya ambruk di kasur tipis. Sejenak ia menatap langit-langit, menahan napas, namun akhirnya air matanya pecah juga. Tangisnya pelan, seperti bisikan luka yang selama ini dipaksa diam. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, bahunya terguncang. Di antara kabut air mata, bayangan wajah ibunya muncul wajah renta yang penuh keriput, dengan senyum lembut meski tubuhnya sakit-sakitan. Mamih… demi obatmu aku begini. Demi hidupmu aku rela kehilangan hidupku sendiri… Ratri menangis semakin keras. Ada sesal, ada marah, ada cinta yang terhimpit keadaan. Kata-kata pria tadi bergaung kembali dalam kepalanya: “Kamu berharga. Suatu saat nanti, kamu akan keluar dari dunia prostitusi.” Ia meremas bantal, berusaha percaya. “Apa benar aku masih berharga, Mih? Apa benar aku bisa keluar dari semua ini?” bisiknya lirih, hampir seperti doa. Tangis itu terus bergulir, hingga akhirnya ia terlelap dengan sisa-sisa air mata di pipinya.Siang itu, aroma kaldu memenuhi seluruh ruang makan. Ratri tengah menyiapkan makan siang, sup ayam dengan potongan wortel dan daun bawang yang harum. Uap panas naik dari panci, membentuk kabut tipis di udara. Ia mematikan kompor, lalu perlahan menuangkan sup itu ke dalam mangkuk besar.Namun, dalam ketergesaan kecilnya, ujung kain lap yang ia kenakan tersangkut gagang panci. Mangkuk itu pun tergelincir dari tangannya.“Ahh!” serunya tertahan. Cairan panas tumpah ke lantai, sebagian mengenai punggung tangannya.“Aww… panas,” ujarnya pelan, refleks menarik tangannya dan meniup bagian yang memerah.Galuh yang mendengar dari ruang tamu langsung menghampiri. Langkahnya cepat, matanya langsung tertuju pada tangan Ratri yang tampak kemerahan.“Apa yang kamu lakukan?” suaranya tegas, namun nada khawatir terselip di ujungnya.Ratri menunduk, takut tatapan itu berubah menjadi amarah.“Tadi… tidak sengaja, Mas. Supnya tumpah.”Galuh menarik napas dalam. Ia melihat lantai yang basah, lalu memegan
Pagi itu, cahaya matahari menembus lembut dari sela tirai. Udara di kamar masih hangat, seolah menyimpan sisa malam yang belum sepenuhnya pergi. Ratri membuka mata perlahan. Tubuhnya terasa berat, bukan hanya karena lelah, tapi juga karena beban yang mengendap di dalam dada.Galuh masih tertidur di sebelahnya. Wajahnya tampak tenang, seolah semalam tak terjadi apa pun. Ratri memandangi punggung suaminya, berusaha mencari sesuatu, mungkin penjelasan, atau sekadar rasa yang dulu pernah ada. Tapi yang ia temukan hanyalah keheningan yang menekan.Pelan-pelan, ia bangkit dari ranjang. Setiap langkahnya terasa hati-hati, seperti takut menimbulkan suara. Ia berjalan menuju jendela, membuka sedikit tirainya. Cahaya menimpa kulitnya, membuat matanya menyipit. Di luar, burung-burung terdengar bernyanyi, tapi baginya suara itu terasa jauh sekali, seperti berasal dari dunia lain.Ratri menyentuh dadanya. Ada denyut yang tak bisa ia pahami. Malam tadi, ia seperti berada di antara dua perasaan yang
Keesokan harinya, Galuh tidak berangkat ke kantor.“Mas, kenapa belum siap-siap ke kantor?” tanya Ratri dengan hati-hati.Galuh hanya menatapnya, tanpa sepatah kata pun. Tatapannya tajam, seolah menembus sampai ke dada Ratri. Ia memilih diam, takut kata-katanya justru menyalakan sesuatu yang lebih buruk.Beberapa menit kemudian, Galuh menggenggam tangan Ratri dan menariknya dengan paksa ke arah ruang bawah tanah, tempat yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Dingin, lembap, dan redup.“Mas… sakit,” lirihnya pelan.Galuh menatapnya tanpa ekspresi, lalu bersuara pelan tapi menusuk, “Aku hanya ingin bertanya sesuatu.”Ratri terdiam. Ia bisa merasakan udara menegang di antara mereka.“Siapa pria itu?” tanya Galuh, suaranya nyaris tak terdengar namun menimbulkan gemuruh di dada Ratri.Ratri berusaha bicara, tetapi lidahnya seolah kelu. Keheningan menggantung. Galuh menatap lebih dalam, membuat jantungnya berdegup semakin cepat.
Beberapa hari kemudian, siang itu rumah terasa sepi. Ratri sedang membersihkan ruang tamu ketika tiba-tiba terdengar suara bel berturut-turut. Suaranya tidak sabar, seperti seseorang yang sangat ingin segera masuk.Ratri berhenti, jantungnya berdegup lebih cepat. Ia menatap pintu beberapa detik sebelum akhirnya melangkah mendekat. Dari balik kaca buram di samping pintu, ia melihat sosok yang begitu dikenalnya, pria yang datang tempo hari.Ia menelan ludah, berusaha menenangkan diri. Tapi sebelum sempat berpikir, suara ketukan keras terdengar lagi.“Ratri, buka pintunya! Aku hanya ingin bicara!” suara itu memohon, tapi ada nada mendesak di dalamnya.“Pergi dari sini,” jawab Ratri, suaranya gemetar. “Suamiku tidak suka ada tamu tanpa izin.”Namun pria itu tidak menggubris. Ia menekan gagang pintu, dan tanpa diduga, pintu itu terbuka, Ratri lupa menguncinya. Pria itu melangkah masuk, wajahnya tegang dan panik.“Ratri, dengar aku dul
Beberapa hari berlalu. Suasana rumah tampak lebih tenang, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Ratri mencoba melupakan kejadian di mal, ia berusaha menata hatinya, meyakinkan diri bahwa mungkin Galuh sudah berubah.Pagi itu, aroma nasi goreng dan teh hangat memenuhi dapur. Ratri menyiapkan sarapan seperti biasanya, menata piring dan sendok dengan rapi di meja makan. Sesekali ia melirik ke arah jam dinding, memastikan waktu keberangkatan Galuh ke kantor.Galuh muncul dari kamar dengan kemeja biru muda yang rapi, dasinya terikat sempurna. Langkahnya tenang, matanya langsung tertuju pada Ratri.“Aku berangkat,” ujarnya pelan, namun tegas.Ratri tidak menjawab. Ia hanya menunduk, tangannya sibuk mengelap meja yang sudah bersih. Tatapan Galuh tak beralih darinya. Dalam diam itu, ada jarak yang aneh—antara takut dan rindu, antara luka dan kehangatan yang samar.Tiba-tiba, Galuh mendekat.Ia meraih dagu Ratri dengan ujung jarinya, lembut tapi penuh
Hari itu, Galuh dan Ratri pergi ke mal. Udara sejuk dari pendingin ruangan menyambut langkah mereka begitu memasuki gedung. Orang-orang berlalu-lalang dengan senyum ringan, sebagian membawa kantong belanjaan penuh warna. Bagi Ratri, suasana itu seolah jauh dari kehidupannya, sebuah dunia yang tak lagi miliknya.Galuh berjalan di depan, langkahnya tenang tapi berwibawa. Tatapannya lurus ke arah etalase toko elektronik. Ia memilih beberapa barang tanpa banyak bicara, hanya sesekali melirik ke arah Ratri untuk memastikan perempuan itu tetap mengikutinya.“Kalau mau beli stok makanan, sana sekalian. Jangan lama,” ucap Galuh datar, matanya masih sibuk menatap layar ponsel.“Iya, Mas.”Ratri menunduk dan segera berbalik. Ia melangkah cepat menuju area supermarket, mendorong troli dengan hati-hati. Dalam kepalanya, hanya ada satu keinginan: menyelesaikan semuanya secepat mungkin sebelum suasana hati Galuh berubah lagi, sebelum kata-kata dingin dan kemarahan tanpa alasan kembali mengunci napa







