Share

FLASHBACK

Auteur: JI_MIL
last update Dernière mise à jour: 2025-08-24 21:46:44

Keesokan harinya, matahari baru saja naik, tapi wisma sudah mulai riuh. Suara musik, langkah kaki, dan percakapan antar penghuni bercampur menjadi satu.

Ratri bangun dengan wajah lelah, sisa tangis semalam masih meninggalkan sembap di matanya. Ia menatap cermin kecil di sudut kamar. Sejenak ia terpaku—melihat seorang perempuan dengan riasan pudar, senyum yang dipaksakan, dan mata yang tampak lebih tua dari usianya.

Ia menarik napas panjang, lalu mulai merias wajahnya lagi. Lipstik merah, bedak tipis, eyeliner. Topeng yang sama yang selalu ia kenakan.

Saat keluar kamar, ia tersenyum seperti biasa kepada teman-temannya. “Pagi, Rat,” sapa seorang PSK lain sambil menyalakan rokok.

“Pagi…” jawab Ratri ringan, seolah tidak ada yang salah.

Mereka bercanda, tertawa, dan membicarakan pelanggan malam sebelumnya. Ratri ikut tertawa, meski hatinya kosong.

Ketika malam tiba, ia sudah kembali duduk di pinggir jalan, mengenakan gaun ketat berwarna hitam, menunggu pelanggan yang lewat. Angin malam menyapu wajahnya, membawa kembali perasaan hampa.

Namun, jauh di dalam dirinya, kata-kata pria semalam masih bergetar: “Suatu saat nanti, kamu akan keluar dari dunia prostitusi. Yakinlah dengan hal itu.”

Dan entah mengapa, kata-kata itu membuatnya bertahan.

Keesokan harinya, jalanan kembali dipenuhi lampu kota dan hiruk-pikuk kendaraan. Ratri berdiri di pinggir jalan dengan gaun hitam ketat, rambut panjangnya diikat rapi, wajahnya dirias tipis. Dari luar, ia tampak seperti perempuan malam biasa yang menunggu pelanggan.

Namun di dalam hatinya, Ratri melamun. Ia teringat masa lalu yang pahit. Ia dinikahkan pada usia 13 tahun, namun suaminya entah ke mana kini—hilang begitu saja tanpa kabar. Ayahnya sudah lama meninggal, meninggalkannya dalam keadaan harus bertahan hidup sendirian.

Di usia 17 tahun, Ratri terpaksa menjadi tulang punggung keluarga. Ia harus menafkahi ibunya yang sakit-sakitan, serta kedua adiknya yang masih sekolah. Semua beban itu menumpuk di pundaknya yang masih muda.

Saat ia tersenyum dan melayani pelanggan, hatinya sebenarnya remuk. Setiap rupiah yang diterima adalah hasil dari pengorbanan tubuh dan kehormatannya. Tapi ia menelan semua rasa malu dan lelah itu, karena tidak ada pilihan lain.

Di tengah hiruk-pikuk malam, Ratri menarik napas dalam. Ia menatap lampu-lampu kota yang berkelap-kelip dan bisik dalam hati,

Aku harus bertahan… demi Mamih, demi adik-adikku… suatu hari nanti, pasti ada jalan keluar dari semua ini.

Meski langkahnya berat, ia tetap tersenyum di hadapan dunia—seolah semua luka dan tanggung jawab itu tidak terlihat.

Ratri sedang duduk di pinggir jalan, menatap lampu kota yang berkelap-kelip. Hatinya masih melayang pada kenangan pahit dan tanggung jawab yang menumpuk.

“Heii, Ratri! Kenapa kamu melamun terus?” suara ceria Dewi memecah lamunannya.

Ratri tersentak, lalu menoleh. “Ah… nggak apa-apa, Dewi,” jawabnya sambil tersenyum tipis, berusaha terlihat biasa.

Dewi menepuk bahu Ratri, lalu mencondongkan tubuh. “Apakah kamu belum dapat pelanggan? Kalau belum, jangan sampai aku harus bawa pelangganku buatmu, lho!”

Ratri menelan ludah, setengah tersenyum, setengah merasa perih di hati. “Hahaha… nggak usah, Dew. Aku… aku bisa atur sendiri.”

Dewi mengangkat alis, sedikit bercanda tapi juga serius. “Awas, Rat. Di sini, kalau kamu melamun terus, pelanggan bisa lari. Kita harus cepat tanggap, jangan sampai kehilangan kesempatan. Ingat, tiap malam itu penting buat kita.”

Ratri mengangguk, menarik napas dalam, lalu memfokuskan diri. Meski hatinya berat, ia harus kembali memainkan “peran”nya—seorang perempuan malam yang siap melayani pelanggan, menyembunyikan semua luka dan tangis di balik senyum dan tatapan menggoda.

Malam itu, setelah beberapa lama menunggu, seorang pria paruh baya menepi ke arah Ratri. Wajahnya biasa, tapi pakaiannya rapi dan terlihat mampu. Ratri tersenyum, menyambutnya dengan sopan.

“Selamat malam, Pak,” sapa Ratri sambil menuntun pria itu ke sebuah hotel dekat situ. Ia sudah terbiasa dengan ritme ini, gerakannya luwes dan tenang, meski hatinya sedikit berat.

Sesampainya di kamar, Ratri meletakkan tas dan mengeluarkan beberapa rokok. “Mau minum bir dulu, Pak? Biar santai sebentar,” tawarnya. Pria itu mengangguk, tersenyum, lalu Ratri menuangkan bir ke gelas kecil.

Mereka duduk bersebelahan, ngobrol ringan sambil menyeruput minuman. Sesekali pria itu tertawa kecil, Ratri menimpali dengan senyum dan canda yang sudah dilatih bertahun-tahun.

Setelah beberapa menit, Ratri mencondongkan tubuh sedikit, suaranya lembut tapi tegas. “Pak… kalau bisa, kita cepat-cepat selesai, ya. Teman-teman di luar selalu bilang, kita harus bagus servis. Jangan sampai pelanggan nunggu lama.”

Pria itu menatapnya sekejap, lalu tersenyum samar. Ratri tersenyum balik, menenangkan diri. Di balik tutur kata dan rayuan yang ia lakukan, hatinya tetap tegar. Setiap malam adalah rutinitas, setiap senyum adalah topeng, dan setiap sentuhan hanyalah bagian dari pekerjaan yang harus ia jalani demi bertahan hidup.

Ratri tahu, meski berat, ia harus tetap profesional—karena di dunia ini, sedikit kelengahan bisa berakibat fatal. Ia menegaskan dalam hati: Ini bukan tentang aku… ini tentang keluargaku, tentang Mamih, tentang adik-adikku.

Ratri menutup pintu kamar setelah pria itu pergi. Uang masih ada di genggamannya, lembaran yang baru saja berpindah tangan. Ia duduk di tepi ranjang, tubuhnya lelah, tapi bukan hanya karena fisik lebih karena batin yang terus digerus.

Ia menunduk, menatap lantai hotel yang dingin. Cepat selesai, selesai… semua hanya supaya cepat berakhir, gumamnya dalam hati.

Di kaca besar di sudut kamar, Ratri melihat pantulan dirinya. Wajahnya tetap cantik, lipstiknya masih menempel meski sedikit pudar. Tapi matanya… kosong. Kosong dan letih.

Ia menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya pelan. Tangannya menggenggam uang itu semakin erat, sampai kusut. Air mata menetes tanpa bisa ia tahan.

Demi Mamih… demi adik-adikku. Kalau bukan aku, siapa lagi?

Ratri membasuh wajahnya, mencoba menghapus jejak kesedihan. Ia berdiri, merapikan pakaian, lalu mengambil tasnya. Dari luar, ia harus tampak biasa saja. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Namun, di dalam dirinya, ada luka yang makin menganga setiap kali malam berganti. Luka yang ia simpan rapat, hanya bisa ia tangisi dalam diam, tanpa seorang pun tahu betapa berat beban yang ia pikul.

Keesokan paginya, cahaya matahari menembus jendela wisma yang kusam. Suara musik dari radio tua bercampur dengan aroma kopi dan rokok. Ratri duduk di meja panjang bersama teman-temannya, sambil merapikan rambut dan lipstiknya yang masih sedikit pudar.

“Eh, kalian dengar nggak pelanggan kemarin yang bawa mobil mewah itu?” tanya Maya sambil menahan tawa.

“Yang kayak bos itu? Iya, aku lihat juga. Hidungnya mancung, jasnya rapi… tapi ngomongnya aneh banget,” celetuk Sinta.

Ratri tersenyum tipis, hanya menanggapi seperlunya. Ia mendengar obrolan mereka, tapi pikirannya masih melayang. Malam kemarin ia cepat menyelesaikan pekerjaannya, dan rasanya semua yang terjadi begitu berat untuk diceritakan.

“Kalau aku sih,” lanjut Dewi sambil menyeruput kopi, “ada pelanggan yang terlalu cerewet. Aku sampai capek banget, tapi ya mau gimana… namanya juga kerja.”

Ratri ikut tersenyum, mencoba ikut bercanda. “Hahaha… iya, tiap malam memang nggak sama. Kadang bikin senang, kadang bikin pusing kepala.”

Mereka semua tertawa kecil, saling berbagi cerita tentang pelanggan yang lucu, aneh, atau aneh-aneh. Bagi teman-temannya, itu sekadar bagian dari pekerjaan. Tapi bagi Ratri, setiap cerita itu mengingatkannya pada kenyataan yang ia hadapi—harga tubuhnya, tanggung jawab yang menumpuk, dan luka batin yang tak pernah hilang.

Meski ikut tertawa, matanya sesekali melirik ke jendela. Cahaya pagi yang masuk mengingatkannya pada kata-kata pria kaya malam sebelumnya:

“Kamu berharga… suatu saat nanti, kamu akan keluar dari dunia ini.”

Rasa harapan itu muncul di tengah hiruk-pikuk pagi. Terselip di antara tawa teman-temannya, Ratri menegaskan dalam hati: Aku harus bertahan. Aku harus bisa keluar dari semua ini suatu hari nanti.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   MANTAN SUAMI RATRI

    Siang itu, aroma kaldu memenuhi seluruh ruang makan. Ratri tengah menyiapkan makan siang, sup ayam dengan potongan wortel dan daun bawang yang harum. Uap panas naik dari panci, membentuk kabut tipis di udara. Ia mematikan kompor, lalu perlahan menuangkan sup itu ke dalam mangkuk besar.Namun, dalam ketergesaan kecilnya, ujung kain lap yang ia kenakan tersangkut gagang panci. Mangkuk itu pun tergelincir dari tangannya.“Ahh!” serunya tertahan. Cairan panas tumpah ke lantai, sebagian mengenai punggung tangannya.“Aww… panas,” ujarnya pelan, refleks menarik tangannya dan meniup bagian yang memerah.Galuh yang mendengar dari ruang tamu langsung menghampiri. Langkahnya cepat, matanya langsung tertuju pada tangan Ratri yang tampak kemerahan.“Apa yang kamu lakukan?” suaranya tegas, namun nada khawatir terselip di ujungnya.Ratri menunduk, takut tatapan itu berubah menjadi amarah.“Tadi… tidak sengaja, Mas. Supnya tumpah.”Galuh menarik napas dalam. Ia melihat lantai yang basah, lalu memegan

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   MOMEN HANGAT

    Pagi itu, cahaya matahari menembus lembut dari sela tirai. Udara di kamar masih hangat, seolah menyimpan sisa malam yang belum sepenuhnya pergi. Ratri membuka mata perlahan. Tubuhnya terasa berat, bukan hanya karena lelah, tapi juga karena beban yang mengendap di dalam dada.Galuh masih tertidur di sebelahnya. Wajahnya tampak tenang, seolah semalam tak terjadi apa pun. Ratri memandangi punggung suaminya, berusaha mencari sesuatu, mungkin penjelasan, atau sekadar rasa yang dulu pernah ada. Tapi yang ia temukan hanyalah keheningan yang menekan.Pelan-pelan, ia bangkit dari ranjang. Setiap langkahnya terasa hati-hati, seperti takut menimbulkan suara. Ia berjalan menuju jendela, membuka sedikit tirainya. Cahaya menimpa kulitnya, membuat matanya menyipit. Di luar, burung-burung terdengar bernyanyi, tapi baginya suara itu terasa jauh sekali, seperti berasal dari dunia lain.Ratri menyentuh dadanya. Ada denyut yang tak bisa ia pahami. Malam tadi, ia seperti berada di antara dua perasaan yang

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   SIAPA PRIA ITU?

    Keesokan harinya, Galuh tidak berangkat ke kantor.“Mas, kenapa belum siap-siap ke kantor?” tanya Ratri dengan hati-hati.Galuh hanya menatapnya, tanpa sepatah kata pun. Tatapannya tajam, seolah menembus sampai ke dada Ratri. Ia memilih diam, takut kata-katanya justru menyalakan sesuatu yang lebih buruk.Beberapa menit kemudian, Galuh menggenggam tangan Ratri dan menariknya dengan paksa ke arah ruang bawah tanah, tempat yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Dingin, lembap, dan redup.“Mas… sakit,” lirihnya pelan.Galuh menatapnya tanpa ekspresi, lalu bersuara pelan tapi menusuk, “Aku hanya ingin bertanya sesuatu.”Ratri terdiam. Ia bisa merasakan udara menegang di antara mereka.“Siapa pria itu?” tanya Galuh, suaranya nyaris tak terdengar namun menimbulkan gemuruh di dada Ratri.Ratri berusaha bicara, tetapi lidahnya seolah kelu. Keheningan menggantung. Galuh menatap lebih dalam, membuat jantungnya berdegup semakin cepat.

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   RATRI TERTEKAN

    Beberapa hari kemudian, siang itu rumah terasa sepi. Ratri sedang membersihkan ruang tamu ketika tiba-tiba terdengar suara bel berturut-turut. Suaranya tidak sabar, seperti seseorang yang sangat ingin segera masuk.Ratri berhenti, jantungnya berdegup lebih cepat. Ia menatap pintu beberapa detik sebelum akhirnya melangkah mendekat. Dari balik kaca buram di samping pintu, ia melihat sosok yang begitu dikenalnya, pria yang datang tempo hari.Ia menelan ludah, berusaha menenangkan diri. Tapi sebelum sempat berpikir, suara ketukan keras terdengar lagi.“Ratri, buka pintunya! Aku hanya ingin bicara!” suara itu memohon, tapi ada nada mendesak di dalamnya.“Pergi dari sini,” jawab Ratri, suaranya gemetar. “Suamiku tidak suka ada tamu tanpa izin.”Namun pria itu tidak menggubris. Ia menekan gagang pintu, dan tanpa diduga, pintu itu terbuka, Ratri lupa menguncinya. Pria itu melangkah masuk, wajahnya tegang dan panik.“Ratri, dengar aku dul

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   TAMU TAK DI UNDANG

    Beberapa hari berlalu. Suasana rumah tampak lebih tenang, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Ratri mencoba melupakan kejadian di mal, ia berusaha menata hatinya, meyakinkan diri bahwa mungkin Galuh sudah berubah.Pagi itu, aroma nasi goreng dan teh hangat memenuhi dapur. Ratri menyiapkan sarapan seperti biasanya, menata piring dan sendok dengan rapi di meja makan. Sesekali ia melirik ke arah jam dinding, memastikan waktu keberangkatan Galuh ke kantor.Galuh muncul dari kamar dengan kemeja biru muda yang rapi, dasinya terikat sempurna. Langkahnya tenang, matanya langsung tertuju pada Ratri.“Aku berangkat,” ujarnya pelan, namun tegas.Ratri tidak menjawab. Ia hanya menunduk, tangannya sibuk mengelap meja yang sudah bersih. Tatapan Galuh tak beralih darinya. Dalam diam itu, ada jarak yang aneh—antara takut dan rindu, antara luka dan kehangatan yang samar.Tiba-tiba, Galuh mendekat.Ia meraih dagu Ratri dengan ujung jarinya, lembut tapi penuh

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   BERTEMU SESEORANG

    Hari itu, Galuh dan Ratri pergi ke mal. Udara sejuk dari pendingin ruangan menyambut langkah mereka begitu memasuki gedung. Orang-orang berlalu-lalang dengan senyum ringan, sebagian membawa kantong belanjaan penuh warna. Bagi Ratri, suasana itu seolah jauh dari kehidupannya, sebuah dunia yang tak lagi miliknya.Galuh berjalan di depan, langkahnya tenang tapi berwibawa. Tatapannya lurus ke arah etalase toko elektronik. Ia memilih beberapa barang tanpa banyak bicara, hanya sesekali melirik ke arah Ratri untuk memastikan perempuan itu tetap mengikutinya.“Kalau mau beli stok makanan, sana sekalian. Jangan lama,” ucap Galuh datar, matanya masih sibuk menatap layar ponsel.“Iya, Mas.”Ratri menunduk dan segera berbalik. Ia melangkah cepat menuju area supermarket, mendorong troli dengan hati-hati. Dalam kepalanya, hanya ada satu keinginan: menyelesaikan semuanya secepat mungkin sebelum suasana hati Galuh berubah lagi, sebelum kata-kata dingin dan kemarahan tanpa alasan kembali mengunci napa

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status