LOGINRyan masih menahan wajah Dania, napasnya berat, hatinya berkecamuk. Setelah beberapa detik yang terasa seperti keheningan panjang, ia perlahan menjauhkan wajahnya—namun tangannya tetap berada di pinggang Dania, seolah enggan melepas.
“Aku akan buka semuanya,” gumam Ryan lirih namun tegas. “Penyelewengan dana, keterlibatan perusahaan Bram, semuanya. Aku tidak peduli konsekuensinya.”
Dania menatapnya lama. “Tapi kamu tahu Papa tidak akan setuju, kan?” Kata Papa meluncur seperti alarm yang membangunkan Ryan dari luapan emosinya.
Ryan mengusap wajah, menegang. “Papa selalu takut pada satu hal: citra. Baginya, lebih baik diam daripada jujur.” Nada Ryan getir, seolah luka lama ikut terbuka.
“Kalau kamu mengumumkan penyelewengan ini,” lanjut Dania pelan, “Papa akan menganggapmu membahayakan posisi keluarga.”
Ryan menatap lantai, rahangnya mengeras. “Bukan cuma kel
“Bagaimana kalau kita bercerai?” lanjut Dania lirih. Kata itu terasa asing di lidahnya, tapi juga melegakan. “Terlalu berat mempertahankan rumah tangga tanpa kepercayaan.”Air matanya jatuh. Ia menyekanya cepat, meski tahu itu sia-sia.Ryan berbalik. Senyum miring terukir di bibirnya, dingin dan merendahkan. “Bercerai?” Ia terkekeh, lalu melangkah mendekat. “Kau mau balikan sama dia?”Dania menggeleng cepat. “Tidak. Aku tidak ingin dengan siapa pun,” suaranya melemah. “Aku hanya tidak sanggup tinggal di tempat di mana aku diperlakukan seperti orang asing.”“Hentikan kebodohanmu, Dania!” Bentakan itu memotong kalimatnya. Ryan menarik tali pinggangnya dan sekali cambukan menghantam lantai, menimbulkan suara keras yang menggema di kamar.Dania memejamkan mata. Tangannya bergetar hebat. Ingatannya melompat mundur—beberapa bulan lalu, rasa sakit yang sama, suara yang sama, dan ketakutan yang masih menempel di tubuhnya sampai hari ini.“Kau mau ku
Begitu mobil memasuki pekarangan rumah, langkah Ryan terhenti sejenak. Matanya menangkap sosok Dania yang sedang mengantar dua orang tamu hingga ke halaman—Mega dan Siska.Rahang Ryan mengeras. Tangan kanannya mengepal tanpa sadar. “Apa dia sudah sejauh ini?” ucapnya mendidih. “Berani membawa pria ke rumahku?”“Pak…” Tara melongo melihat perubahan ekspresi Ryan. “Itu ada Bu Siska juga. Tidak mungkin—”Belum sempat kalimat itu selesai, pintu mobil sudah terbuka.Ryan turun tanpa menunggu, langkahnya cepat dan berat. Setiap tapakan kakinya memantul seperti amarah yang ditahan terlalu lama.Dania yang baru saja tersenyum sopan pada Mega sontak terkejut ketika merasakan aura dingin menyergap dari samping. Sebelum sempat bereaksi, lengannya diremas kuat.“Ryan—” napas Dania tertahan. Rasa nyeri menjalar.Ryan berdiri di sisinya, bahunya tegang, sorot matan
Kantor WalikotaRyan memijit pelipisnya, merasakan denyut yang tak kunjung reda. Tangannya meraih dasi, mengulurnya dengan gerakan kasar seolah kain itu adalah sumber segala tekanan yang menghimpit dadanya. Napas berat lolos dari bibirnya—panjang, tertahan, lalu terlepas begitu saja.“Pak,” suara Tara memecah keheningan, nadanya penuh kehati-hatian. “Bagaimana kalau kita meminta bantuan Pak Abri?”Ryan mendongak cepat. Tatapannya tajam, menusuk, seakan ingin memastikan kata-kata itu benar-benar keluar dari mulut asistennya—orang yang sudah bertahun-tahun berdiri di sisinya, mengenal setiap kebiasaan dan amarahnya.“Orang tua itu?” Ryan mendengus sinis. “Bisa apa dia?”Ia beranjak berdiri, membuang muka ke arah jendela besar yang menghadap kota. Lampu-lampu mulai menyala di kejauhan, berkilau seperti janji-janji politik yang terlalu sering dikhianati.“Sejak dia menjadi wakilku
Begitu sampai di rumah, Dania mendapati Pak Mega dan Siska telah menunggunya di ruang tamu.“Maaf, Pak, Bu, sudah menunggu,” ucap Dania ramah sambil melangkah masuk.Sontak keduanya tersenyum, bahkan tertawa kecil. “Jangan begitu, Bu,” jawab Pak Mega santai. “Kami juga baru sampai.”“Terima kasih,” balas Dania, lalu mempersilakan mereka duduk kembali. “Silakan, Pak, Bu.”Ia kemudian menyerahkan beberapa kantong belanja di tangannya pada Kiki. “Kiki, tolong letakkan ini di kamar Issa dan bantu rapikan, ya.” Nada Dania terdengar lembut—namun tegas.Kiki mengerjap sekilas. Ada sesuatu yang berdenyut di dadanya. Namun ia tetap mengangguk patuh. “Baik, Bu.”Saat kakinya melangkah menaiki anak tangga, hatinya menggerutu tajam. Bisa-bisanya… Di hadapan Pak Mega dan Siska—orang-orang yang selama ini menunduk padanya di klinik—Dania m
“Ki… temani saya mampir ke supermarket dulu, ya,” ucap Dania ketika mobil baru saja melaju meninggalkan area rumah sakit. Nada suaranya terdengar tenang, meski pikirannya masih penuh. “Ada beberapa kebutuhan Issa yang harus dibeli,” sambungnya.Kiki yang duduk di kursi depan hanya mengangguk pelan. Wajahnya datar, tapi matanya tampak waspada—seperti sedang menyimpan sesuatu.“Nanti suster dan Issa pulang duluan saja,” lanjut Dania sambil menatap ke depan. “Tolong diantarkan, ya, Pak. Setelah itu jemput saya dan Kiki kembali.”“Baik, Bu,” jawab sopir sopan. Ia melirik sekilas ke kaca spion, memastikan arah pandang Dania sebelum bertanya, “Mau drop di supermarket mana, Bu?”“Supermarket Raya saja,” jawab Dania singkat tanpa ragu.Sopir kembali mengangguk, lalu membelokkan setir. Mobil melaju mulus membelah jalanan siang yang mulai ramai.Dania meny
“Bu Dania, maaf,” ucap Dokter Ayu tiba-tiba, nadanya menurun, seolah ragu apakah topik ini pantas dibicarakan sekarang. “Apakah Ibu sudah mengetahui keputusan yang dibuat Bu Ratih terkait klinik ini?”Dania menautkan kedua alisnya. “Keputusan apa yang Dokter maksud?” tanyanya pelan, ada keheranan yang sulit disembunyikan.Dokter Ayu menelan ludah, jemarinya saling memainkan satu sama lain—gestur kecil yang menunjukkan kegelisahan. “Bu Ratih memutuskan bahwa gaji bulan ini akan dibayarkan bulan depan.”“Apa?” Dania refleks berdiri sedikit dari duduknya. Wajahnya jelas menunjukkan keterkejutan. “Saya sama sekali tidak tahu soal itu, Dok.”Benaknya langsung dipenuhi tanda tanya. Klinik sedang ramai, pasien tidak pernah sepi, bahkan beberapa hari terakhir antrean mengular. Keputusan seperti itu seharusnya melalui rapat atau setidaknya pemberitahuan resmi.“Apa Bu Ratih







