LOGINDalam waktu yang hampir bersamaan, Dania tak melepaskan ponselnya sejak pagi. Layarnya terus menyala—notifikasi datang silih berganti, sebagian berisi pesan simpati, sebagian lagi hinaan tanpa wajah. Tangannya gemetar setiap kali membaca satu per satu.
Sesekali ia meneguk air putih, lalu menangis lagi. Sejak Ryan pergi bekerja, Dania mengurung diri di kamar. Tirai tertutup rapat. Cahaya matahari hanya menyelinap tipis di sela-sela jendela, sama seperti harapannya hari itu—kecil dan rapuh.
Ia tak peduli berapa kali pintu diketuk.
Kadang suster Issa.
Kadang ART.
Semua diabaikan.
Dania tak ingin siapa pun melihat dirinya dalam keadaan hancur. Lukanya cukup ia tanggung sendiri. Dunia hanya berhak melihat senyum palsunya—bukan kepedihan yang menggerogoti dada.
Tak ada makanan yang masuk ke perutnya. Aneh, ia tak merasa lapar sama sekali. Yang ada hanya mual dan sesak, seolah tubuhnya ikut menolak semua yang terjadi hari i
Tara tak membuang waktu sejak pertemuannya dengan Dandy. Dari restoran itu, langkahnya langsung berbelok ke rumah sakit.Di depan kamar perawatan Dania, ia mendapati Ryan duduk dengan bahu merosot. Tatapannya kosong, menembus dinding kaca seolah pikirannya berada di tempat lain. Tara menghela napas sejenak, menenangkan diri, sebelum menghampiri.“Pak,” sapanya pelan. “Saya sudah selesai bertemu dengan Dandy.”Ryan sontak mendongak. Sorot matanya tajam, meski jelas lelah. “Apa hasilnya?”Tara menyerahkan map di tangannya—ragu, seolah sadar betul apa arti isi di dalamnya.Ryan menerima map itu. Jarinya terasa dingin saat membuka lembar demi lembar, namun raut wajahnya justru semakin tenang. Terlalu tenang. Seolah badai sedang dikurung rapat di balik ketenangan itu.Nama itu tercetak jelas.Ema — staf pribadi Pak Danny.Ryan menutup map perlahan, lalu menegakkan punggungnya. “Ini
Dunia Ryan seolah berhenti berputar. “Janin?” ulangnya pelan, nyaris tak bersuara.Dokter mengangguk pelan. “Masih sangat kecil. Perkiraan usia kandungan sekitar empat hingga lima minggu. Benturan dan stres berat memicu keguguran spontan.”Ryan terhuyung satu langkah ke belakang. Tangannya refleks menahan dinding lorong rumah sakit agar tidak jatuh. “Dania…” gumamnya. “Dia… hamil?” Kata itu terasa asing, sekaligus menghancurkan.Istrinya. Anaknya. Hilang—dalam satu hari yang sama.Bayangan Dania semalam terlintas jelas di kepalanya. Tawa kecilnya. Tatapan lembutnya. Candanya tentang “adik untuk Issa”.Dadanya sesak. Napasnya tercekat.Ryan menunduk, menekan wajahnya dengan kedua telapak tangan. Untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun, ia kehilangan kendali sepenuhnya.“Pak Ryan,” suara dokter kembali terdengar, “secara fisik, masih ada risiko perdarahan lanjutan. Kami juga mengkhawatirkan kondisi psikologis pasien saat sa
Dalam waktu yang hampir bersamaan, Dania tak melepaskan ponselnya sejak pagi. Layarnya terus menyala—notifikasi datang silih berganti, sebagian berisi pesan simpati, sebagian lagi hinaan tanpa wajah. Tangannya gemetar setiap kali membaca satu per satu.Sesekali ia meneguk air putih, lalu menangis lagi. Sejak Ryan pergi bekerja, Dania mengurung diri di kamar. Tirai tertutup rapat. Cahaya matahari hanya menyelinap tipis di sela-sela jendela, sama seperti harapannya hari itu—kecil dan rapuh.Ia tak peduli berapa kali pintu diketuk.Kadang suster Issa.Kadang ART.Semua diabaikan.Dania tak ingin siapa pun melihat dirinya dalam keadaan hancur. Lukanya cukup ia tanggung sendiri. Dunia hanya berhak melihat senyum palsunya—bukan kepedihan yang menggerogoti dada.Tak ada makanan yang masuk ke perutnya. Aneh, ia tak merasa lapar sama sekali. Yang ada hanya mual dan sesak, seolah tubuhnya ikut menolak semua yang terjadi hari i
“Pak Ryan…” Suara Tara terdengar pelan namun tegas saat ia masuk ke ruang kerja Ryan. Ia menutup pintu dengan hati-hati, lalu menunduk sopan.Ryan mengangkat kepalanya dari tumpukan berkas di meja. Pena di tangannya berhenti bergerak. Sorot matanya tajam—kebiasaan lama setiap kali ada interupsi di tengah pekerjaannya. “Ada apa, Tara?”“Pak Suryo mengundang Bapak makan siang di salah satu restoran,” lapor Tara singkat, tapi nada suaranya mengisyaratkan ada sesuatu yang tak biasa.Ryan menyandarkan punggung ke kursinya. Alisnya sedikit berkerut. “Dalam agenda apa?”Tara ragu sesaat, menimbang kata-kata sebelum menjawab. “Ajudannya hanya menyampaikan bahwa Pak Suryo ingin membahas beberapa hal secara privat dengan Bapak. Tidak dijelaskan detailnya.”Ryan melirik jam di pergelangan tangannya, lalu menatap kembali layar laptop. Berita pagi ini, isu yang menyeret nama Dania dan Issa
Dania terbangun dari tidurnya ketika merasa seperti ada yang memperhatikan. Begitu perlahan ia membuka mata, wajah Ryan yang tersenyum sudah menatapnya dari jarak dekat.“Morning,” bisik Ryan, lalu mengecup keningnya singkat namun penuh rasa.“Morning, Ryan,” balas Dania hangat. Ia tersenyum, lalu mencium telapak tangan Ryan yang sejak tadi menyentuh pipinya.Ryan terkekeh kecil. “Kamu lelah?”“Sangat,” jawab Dania dengan tatapan sayu. “Kamu menggempurku berkali-kali.” Ia menggembungkan pipinya seperti anak kecil yang sedang mengeluh.Ryan mencubit pipinya gemas. “Mau lagi…” godanya.Sontak Dania melompat turun dari ranjang dan berlari ke kamar mandi. “Tidakk!” teriaknya sambil tertawa.Ryan ikut tertawa keras. “Ayolah, Sayang. Mumpung masih jam enam!”Bruk.Pintu kamar mandi ditutup cukup keras sebagai jawaban.Ryan tertawa semakin lepas, sampai sudut matanya berair. Sudah sangat lama—terlalu lama—ia tidak merasa
Ryan menggeleng mantap. Perlahan, ia berlutut di hadapan Dania. Dari saku jasnya, ia mengeluarkan sebuah cincin yang berkilau sederhana namun bermakna.“Dania,” ucapnya dengan suara penuh keyakinan, “meski ini terlambat, aku akhirnya sadar sepenuhnya. Aku mencintaimu. Bukan karena kewajiban, bukan karena keadaan—tapi karena kamu.”Ia menelan napas. “Maukah kamu menjadi istriku… selamanya?”Air mata Dania jatuh lebih deras, kali ini tanpa ia tahan. “Ya,” jawabnya sambil terisak. “Aku mau.”Ryan bangkit dan langsung memeluk Dania erat—namun lembut, seolah takut perasaan itu akan pecah jika terlalu kuat. Di pelukan itu, Dania merasa lega. Untuk pertama kalinya, cintanya tak lagi berjalan sendirian.Sementara Ryan… ia baru menyadari satu hal yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Bahkan bersama Anna, ia tak pernah jatuh sedalam ini.Ryan merenggangkan pelukan mer







