Kalau aku pergi bagaimana nasibku? Bisa saja dia pulang ke Jakarta tanpa mengajakku. Oh, tidak! Aku tidak mau berlama-lama di pulau ini! "Oke!" Farel berjalan menuju kamarnya. Tak mau ketinggalan aku segera berlari mengekor di belakangnya. Pintu kamar di buka. Aku menerobos tanpa meminta izin pemiliknya. Kini terlihat jelas isi dalam kamar Farel. Memang tak semewah seperti kamar yang disewa Om Bagas. Namun ini lebih dari cukup untuk mengistirahatkan tubuh. Kujatuhkan bobot di atas ranjang. Meluruskan tubuh yang rasanya mau remuk. "Mandi dulu sana! Bau banget badan kamu!" Aku mendengus kesal mendengar ucapan lelaki itu. Siapa dia sesuka hati menghinaku! "Aku mau beli makan! Kamu buruan mandi!" Tak berapa lama Farel keluar dari kamar ini. Aku mengambil benda pipih yang ada di saku celana. Memencet dua belas digit nomor Om Bagas. Aku ingin menanyakan alasannya meninggalkan aku bersama Gilang. Memangnya dia pikir aku barang? Seenak jidatnya melempar aku ke sana ke mari. Biar h
Wajah Yasmin memang mirip dengan Shanum, adik kandungku. Kalau dia masih hidup pasti sudah sebesar Yasmin. Sayang, Allah lebih menyayanginya hingga Shanum dipanggil terlebih dahulu. Bulir bening kembali menetes kala mengingat adik kandungku itu. Rasanya masih saja tak percaya jika dia telah tiada. Saat bertemu dengan Yasmin,aku seperti menemukan adikku kembali. Ya, meski watak mereka jauh bertentangan. Bahkan seperti langit dan bumi. Suara ketukan pintu menyentakku dari lamunan. Segera aku berdiri dan membukanya. "Selamat malam, Mas. Ini makanan pesanan anda." Aku mengangguk lalu membuka pintu lebar, membiarkan lelaki itu masuk. "Letakkan di meja saja, Mas!" Lelaki itu mengangguk tapi tatapan matanya selalu tertuju pada Yasmin. "Ini Mas, terima kasih." Ku berikan uang tips agar lelaki itu cepat pergi. Setelah nasi goreng dan secangkir cappucino masuk ke dalam perut, rasa kantuk mulai menyerang. Ku rebahkan tubuh di atas sofa hingga akhirnya terlelap ke alam mimpi. ***Notifikas
"Mas! Kenapa diam saja? Itu istrinya muntah! Jadi suami kok tidak tanggung jawab! Istri sakit malah dibiarkan saja!" umpat wanita yang ada di sebelahku. Sesaat Farel terdiam.Ucapan ibu itu membuat lelaki yang baru kukenal kebingungan. Bagaimana tidak bingung baru kenal sudah dikira suami. Ada-ada saja ibu itu? Aku tak menghiraukan ucapan wanita di sebelahku. Merasakan perut mual saja sudah sangat menyiksa. Mana bisa berdebat dalam keadaanku yang seperti ini? Menyesal, kenapa aku harus ikut naik kapal? Aku jadi menderita seperti ini. "Kamu tak apa-apa Yas?" tanya Farel yang sudah berdiri tepat di sampingku. Tangannya mulai memijit tengkukku. "Pengen muntah. Howeek... Howeek...." Kututup mulut dengan kedua tangan. Tak ada lagi isi perut yang keluar. Hanya tinggal rasa pahit yang menempel di lidah. "Kamu hamil, Yas?""Aw... Sakit!" ucapnya seraya memegang paha yang kucubit. Enak saja aku dibilang hamil? Selama aku bersama Om Bagas, aku selalu mengonsumsi pil KB secara rutin. Dan
Dengan sikap masa bodoh aku kembali berjalan menuju lift. Kupaksa kaki ini melangkah dengan cepat. Saat ini bersembunyi dalam apartemen adalah solusi yang tepat. Mengamankan diri dari pandangan tidak mengenakkan dari mereka. Lambat laun semua akan baik-baik saja. Tak selamanya video itu akan menjadi buah bibir mereka. Kembali kuyakinkan diri sendiri. Bahwa semua akan baik-baik saja. Toh bukan aku saja yang mengalaminya. Artis papan atas juga sama. Justru mereka semakin terkenal. Bahkan job semakin lancar karena video viral mereka tersebar di dunia maya. "Itu penghuni apartemen sebelah kan? Berani dia ke sini lagi?" "Dia mencemarkan apartemen kita." "Dasar pelakor tidak tahu malu!" Hujatan demi hujatan terdengar olehku. Aku mencoba menutup telinga rapat. Ucapan mereka tak ku hiraukan. Menjadi wanita simpanan harus punya muka tembok. Biarlah mereka mau bicara apa. Toh, bukan mereka yang memenuhi semua kebutuhanku. Anggap saja angin lalu. Apartemenku tinggal beberapa langkah saj
Pov Sandra "Ini kan yang kamu cari, Yasmin?" Yasmin menoleh ke belakang, matanya membulat sempurna melihat aku dan Mas Bagas yang bergandengan tangan. Senam jantung kan? Memang enak? Kukira wanita jal*ng itu akan menjadi gelandangan di pulau orang. Tapi dugaanku salah. Dia bisa juga kembali ke Jakarta. Heran juga, semua orang bisa iba dengannya. Apa jangan-jangan dia menggunakan pelet? Ah, entahlah! Yang terpenting adalah melempar Yasmin dari hidup Mas Bagas. "Ayo kita pulang, Mi!" Mas Bagas menarik tangan ini. Namun secepat kilat kutepis. Permainan baru di mulai tapi kenapa harus tergesa-gesa pulang? Apa Mas Bagas takut aku berbuat nekad? Atau takut gundik kesayangannya menangis? "Aku mau di sini sebentar, kalau papi mau pulang. Silakan!" Seketika Mas Bagas berhenti. "Maaf Mbak, apartemen atas nama Yasmin memang sengaja dikosongkan. Itu perintah dari Pak Bagas selaku penyewa apartemen ini." Aku tersenyum puas mendengar ucapan resepsionis itu. Namun tidak dengan Yasmi
Sebenarnya ada rasa tak tega melihat Mas Bagas di hajar papa.Namun ku tepis jauh perasaan itu. Biarlah Mas Bagas menuai apa yang ia tanam. Dan semoga saja Mas Bagas bisa sadar dan tahu rasa sakit hati ini. "Kamu sudah mencoreng nama keluarga kita. Apa yang ada di ot*k kamu hingga menyakiti hati Sandra dan anak-anak?" ujar papa Aryo lantang. Dada beliau naik turun, emosi sudah ada di ubun-ubun. "Bagas khilaf, Pa. Itu semua aku lakukan karena Sandra sudah tak bisa melayaniku dengan baik." DEG Nyeri di ulu hati saat Mas Bagas mencari pembenaran dari sikapnya itu. Pelayanan yang bagaimana lagi agar bisa membuatnya tetap setia? Dada naik turun menahan emosi yang siap meledak. Namun sebisa mungkin ku tahan. Ku lihat sejauh mana Mas Bagas memutar balikkan kenyataan. Sebagai seorang suami dia harus menjadi imam yang baik. Menutup aib istri di hadapan orang lain. Termasuk keluarganya sendiri. Apa ini balasan atas penggrebekan yang ku lakukan? Aku hanya ingin memberi mereka pelaja
Melepaskan? Apa kah aku harus berpisah dengan Mas Bagas? Entahlah, rasa cinta itu memang masih ada tapi sudah terkikis. Aku bahkan tak tahu masih banyak atau justru terkikis habis. Namun berpisah bukan pilihan yang tepat. Selain tak ingin kedua putraku hidup terpisah dengan ayahnya. Aku juga tak ingin Yasmin bahagia di atas penderitaanku. Yasmin akan menguasai harta kami jika aku bercerai. Dan itu tidak bisa dibiarkan. "Brian bisa pindah tempat sebentar?" tanya Mas Bagas. "Aku tidak mau, pi!" "Brian." Kuanggukan kepala saat Brian menatap ke arahku. Seketika dia berpindah tempat dan duduk tempat di belakang Mas Bagas. "Sandra maafkan aku. Aku memang salah telah menduakan cintanya kita. Aku khilaf, tolong maafkan aku." Aku mencebik mendengar kata khilaf yang keluar dari mulut Mas Bagas. Khilaf tidak akan berjalan hingga satu tahun. "Tolong maafkan aku, San. Aku janji itu yang terakhir. Mari kita jalani semua dari awal. Aku akan membahagiakanmu hingga maut menjemput." Mungkin d
"Bangun Woy!" teriak Cindy seraya menggedor-gedor pintu kamar Yasmin. Jarum jam masih berada diangkat tujuh kalau Cindy berusaha membangunkan sahabatnya, Yasmin. Wanita dengan pakaian kurang bahan itu tak suka jika Yasmin masih tidur pulas. Dia akan meminta Yasmin mencari pekerjaan. Menumpang lama di rumah akan menguras uang miliknya. Itu yang ada di pikiran Cindy. Bagi Cindy, kedatangan Yasmin adalah masalah besar baginya. Dulu kehadiran Yasmin begitu diharapkan Cindy. Namun tidak sekarang. Cindy hanya mau uang Yasmin. Bukan orang saja. Lingkungan memang mempengaruhi pola pikir seseorang. Begitu pun Cindy. Bergaul dengan orang-orang salah membuat pola pikirnya pun mulai berubah. Dia tak lagi memikirkan persahabatan. Yang ada di kepalanya hanya uang, uang dan uang. Yasmin menggeliat, gedoran pintu ia biarkan begitu saja. Yasmin sudah tahu karakter sahabatnya. Dekat saat Yasmin ada uang dan menghilang ketika tak memiliki apa-apa. Ingin rasanya Yasmin pergi. Namun lagi dan lagi, i