Share

Bab 8

last update Terakhir Diperbarui: 2022-05-19 11:03:01

Pov Yasmin

"Apa karena dia masih muda hingga membuat kamu memilih dia?"

"Apa sih Om, aku gak ngerti."

"Aww... Sakit Om." Seketika tangannya terlepas dari pundakku. 

"Maafkan aku sayang, aku khilaf. Aku cemburu melihat kamu makan dengan lelaki. Apa lagi dia lebih muda dariku. Aku takut kamu memilih dia."

Aku tersenyum melihat wajah sendunya. Om Bagas cemburu. Apa aku tak salah dengar? 

Tanpa rasa malu ku peluk tubuhnya. Aku bahkan tak perduli ada di muka umum. Rasa bahagia membuat aku lupa jika diri ini hanyalah selingan. 

"Nanti aku jelasin di apartemen!" ucapku seraya menggandeng tangan Om Bagas. 

Bagai kerbau di cucuk hidungnya, Om Bagas hanya menurut tanpa banyak bicara. 

"Mau bawa mobil sendiri-sendiri atau satu mobil?" tanyaku setelah kami tiba di basement. 

"Naik mobilku saja. Mobil kamu biar di bawa orang suruhanku. Aku takut kamu menghilang lagi." Aku tersenyum melihat sikap lucu Om Bagas saat cemburu. Sungguh menggemaskan. 

Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, tapi ini bukan arah apartemen. Aku tak tahu mau di bawa ke mana? 

"Kita mau ke mana,sayang?" tanyaku manja. Ku elus tangan kirinya. Sontak Om Bagas melirik ke arahku. 

"Liburan," jawabnya datar tanpa ekspresi. Rupanya dia masih marah padaku. 

"Terima kasih Om." Ku kecup pipi kirinya. 

"Kamu masih berhutang penjelasan, Yasmin."

"Oke, akan ku ceritakan...."

Aku mulai bercerita tentang awal bertemu dengan Gilang hingga tragedi ponsel hancur. Om Bagas mendengarkan dengan mata fokus ke depan. 

"Kenapa tidak bilang jika ponselnya rusak? Hem?"

"Malu Om, nanti Om kira aku matre." Ku tundukkan kepala. Pura-pura bersalah. 

Menjadi seorang simpanan harus pandai menarik ulur hati. Seperti aku ini. 

"Harusnya kamu bilang sayang. Aku juga senang kamu meminta padaku. Aku tak ingin kamu bergantung pada lelaki lain. Kamu milikku. Jadi semua kebutuhan kamu, hanya aku yang boleh memberikannya."

"Aku hanya menuntut tanggung jawab. Tidak lebih. Bukankah lelaki harus bertanggung jawab," ucapku sedikit menyindir dirinya. 

Om Bagus memilih diam hingga sampai di bandara. Apa susahnya tanggung jawab? Apa mungkin dia tak akan mau bertanggungjawab padaku? 

Sudahlah, ini bukan saat yang tepat untuk berpikir ke sana terlalu jauh. Justru momen ini sangat tepat ku gunakan untuk menarik hati Om Bagas. Ya, akan ku lakukan itu. 

Kami berjalan bergandengan, tak perduli beberapa pasang mata menatap tak suka. Ini hidupku, tak usah memikirkan apa yang mereka ucapkan. Asal aku bahagia semua tak masalah. Tak perduli jika yang ku lakukan hina. 

Aku duduk di samping Om Bagas, bergelayut manja di pundaknya. Om Bagas tersenyum melihat tingkah manjaku. 

***

"Kamu suka kamarnya, sayang?" tanyanya lalu menjatuhkan bobot di atas ranjang. 

"Suka Om." 

"Liburan masih beberapa hari lagi, Om. Tapi kenapa jadi hari ini?" tanyaku penasaran. 

Liburan ini terlalu mendadak. Aku bahkan tak membawa koper. Hanya baju yang melekat dan sepatu berbeda warna ini. 

Om Bagas menepuk ranjang di sebelahnya, mengisyaratkan agar aku tidur di sampingnya. Ku lepas sepatu kets berbeda warna lalu merebahkan tubuh di sampingnya. Lengan Om Bagas ku jadikan bantal. Ku tatap lekat manik hitam yang membuatku rindu. 

Mata ini selalu membuatku terhipnotis. Aroma tubuh ini yang selalu membuat tidurku semakin nyaman. 

"Besok Sandra akan mengusirmu dari apartemen. Namun sebelum dia bisa melakukannya, kita sudah terlebih dahulu liburan. Dia pasti kecewa. Bukankah itu menyenangkan?" Aku mengangguk mempererat pelukan. Rasa lelah membuatku terlelap di dalam dada bidangnya. 

Aku menggeliat, meregangkan otot-otot yang terasa kaku karena tidak bergerak di pelukan Om Bagas. Lelaki itu memang tak pernah melepas pelukannya dari tubuh ini. 

"Kamu sudah bangun, sayang?" Sebuah kecupan mendarat di keningku. 

Ini momen yang selalu aku rindukan. Bersama Om Bagas setiap waktu. Namun aku sadar ini hanya sesaat. Apa aku salah jika menginginkan ikatan yang jelas dengannya? 

"Kenapa lihatin seperti itu? Hem!" Om Bagas mencubit gemas hidung bangirku. 

"Aku bahagia dan ingin selamanya bersama Om, dari membuka mata hingga terlelap kembali."

"Sabar sayang. Tunggu sebentar lagi. Kita akan bersama."

Ku satukan bibir ini di tempat yang sama. Tubuhku menghangat seakan ada aliran listrik yang melewatinya. Kami terbuai, menyelami samudera dosa yang tidak ada habisnya. 

***

Pov Sandra

Hatiku terasa terbakar saat membaca runtutan pesan Mas Bagas dan wanita sial*n itu. Peringatan kedua tak dihiraukan. Dia justru semakin gencar mendekati Mas Bagas. 

Entah apa yang Yasmin berikan hingga Mas Bagas bertekuk lutut padanya. Kalau masalah cantik, aku tak kalah cantik darinya. Hanya umur saja yang berbeda. 

[Dandan yang cantik sayang. Aku akan ke apartemen jam lima.]

Mas Bagas kembali mengirimkan pesan ke nomor Yasmin. Mungkin ini saat yang tepat untuk menangkap basah mereka. Kalau peringatan pertama dan kedua tidak berhasil. Maka aku harus bersikap tegas. Mungkin sangsi sosial akan membuat wanita itu jera. 

Setelah azan dzuhur aku sengaja stand by di dekat apartemen  wanita itu. Apartemen yang di sewa menggunakan uang Mas Bagas. Sungguh aku tak rela sepersen uang Mas Bagas yang digunakan untuk wanita itu. 

Aku menunggu hingga rasa bosan hadir. Senyum di wajahku merekah saat melihat mobil merah keluar dari kawasan apartemen. Perlahan aku mengikutinya, memberi jarak agar keberadaanku tidak terendus olehnya. 

Sayang, di pertengahan jalan dia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Saat hendak mengejar justru sebuah truk menyalip kendaraanku. Sial. 

Wanita itu seperti belut, sangat licin dan tak mudah ditangkap. 

Beberapa kaki aku berputar-putar di jalan yang sama. Berharap menemukan mobil merah itu. Namun sial, dia lolos begitu saja. Ku putuskan kembali ke rumah. 

Rasa lelah membuat aku ingin tidur lelap. Ku rebahkan tubuh ini di atas ranjang. Aku merebahkan tubuh di atas ranjang. Ku pejamkan mata ini, berharap rasa kantuk datang menyapa. Namun nyatanya tidak bisa. Bayang Mas Bagas menari-nari di pelupuk mata. 

Aku menangis mengingat suamiku. Bohong jika aku baik-baik saja melihat pengkhianatan nya. Hati istri mana yang tidak terluka jika suami berbagi hati juga tubuh dengan wanita lain. 

Ku elus ranjang sebelah, rasa rindu menyeruak dalam kalbu. Sudah begitu lama Mas Bagas mengabaikan aku. Hampir satu bulan dia tak pernah menyentuhku. 

Apa aku begitu jelek di matanya? 

Apa aku tak menarik lagi? 

Berbagai pertanyaan memenuhi kepalaku. 

Ingin rasanya menyerah dan lari dari pernikahan ini. Namun rasa cinta dan kehadiran anak-anak membuatku bertahan dalam ikatan suci ini. Mungkin  semua orang mengatakan aku bodoh. Tetapi aku tak bisa menepis rasa ini.Bagiku Mas Bagas adalah nafas. Dan sampai kapan pun tak akan aku lepaskan. 

 Kriingg

Suara panggilan masuk terdengar nyaring di telinga. Aku ambil benda pipih yang ada di dalam tas.

"Pak Bagas dan Yasmin sedang berlibur ke Bali. Saat ini mereka berada di bandara."

Dadaku bergemuruh hebat mendengar berita itu. Rasa sesak dan nyeri merasuk di sanubari. Di sini aku terluka, menangisi nasib pernikahanku tapi mereka justru asyik memadu kasih. Ini tidak bisa dibiarkan. Mereka harus ku beri pelajaran. 

Dengan emosi membara ku sambar tas dan kunci mobil. Aku marah, benci dan kecewa,entah pada siapa? Aku hampir tak bisa bernafas kalah bayang Mas Bagas bergumal dengan Yasmin memenuhi isi kepala. 

"Mami mau ke mana?" tanya Brian menghentikan langkah kakiku. 

"Mami ada urusan, kamu tidak pergi kan?" Putra sulung ku menggelengkan kepala.

"Papi ke mana, mi?" 

Aku gelagapan, bingung harus menjawab apa? Tak mungkin ku katakan jika ayahnya tengah bersama wanita lain. Aku harus bisa menjaga perasaan kedua putraku. 

Di depan mereka kami adalah sepasang suami istri yang harmonis. Mereka tidak pernah tahu bagaimana hubungan kami di belakang mereka. 

Kedua putraku selalu membanggakan ayahnya. Ayah yang mereka anggap sebagai imam yang baik. Nyatanya tega menorehkan luka di hati ibunya. 

Ini alasanku memilih diam. Aku tak ingin hati mereka merasakan hal yang sama denganku. Biarlah mereka berpikir jika ayahnya lelaki sempurna. 

"Mi, kenapa diam?" 

"Em... Mami buru-buru. Titip adik kamu." Aku segera berjalan meninggalkan Brian yang menatapku dengan tatapan penuh selidik. 

Ku hirup udara dalam lalu menghembuskan nafas perlahan. Ya Tuhan, ujian ini terlalu berat untukku. Rasanya aku ingin menyerah saja. 

Aku masuk mobil lalu menguncinya dari dalam. Tanpa terasa bulir bening membasahi pipiku. Segera ku hapus air mata yang menempel di pipi. Aku harus kuat demi anak-anak. 

Ku ambil benda pipih di dalam tas. Tangan ini menari di atas layar mencari nomor kontak adikku. 

"Mbak mau ketemu! Ada yang ingin Mbak bicarakan."

Jangan lupa tinggalkan jejak. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sisi Lain Pelakor   Bab 134

    "Makan ya, Rel," bujuk Mama seraya mendekatkan sendok ke arahku. Aku menoleh, kembali fokus menatap awan yang terlihat dari jendela kamar. Saat ini aku tengah terkulai lemas di atas ranjang khas rumah sakit. Beberapa hari yang lalu aku terpaksa dilarikan ke rumah sakit karena jatuh pingsan di kamar mandi. "Jangan dibiarkan kosong perutnya, Rel. Kamu tahu, kan harus bagaimana? Jangan hanya pandai menasihati pasien, sementara kamu sendiri tidak melalukan hal itu."Aku masih membisu. Netraku masih tertuju pada titik yang sama. Langit siang hari di Kota Jakarta. Bukan langit biru dengan burung yang menari di sana. Namun langit yang tertutup oleh awan putih akibatnya banyaknya pencemaran udara. "Rel, jangan seperti ini, Nak. Kamu harus sembuh demi ...""Demi siapa, Ma? Demi memenuhi obsesi Papa. Percuma aku sembuh jika hidupku terasa mati. Aku hidup tapi mati."Isak tangis kembali terdengar di telinga. Siapa lagi kalau buka Mama. Namun kali ini aku memilih bungkam. Tenggelam dalam ras

  • Sisi Lain Pelakor   Bab 133

    Yasmin luruh di lantai. Tangisnya pecah detik itu juga. Penyesalan pun hadir, bahkan menyesakkan dada. Maafkan aku, Rel. Aku salah mengira. Aku pikir kamu tega meninggalkan aku dan Naura hanya karena harta. Tapi justru kamu yang berkorban untuk Naura. Farel... Pulanglah. Butiran-butiran kristal telah membanjiri pipi. Bahkan surat pemberian Farel telah baca oleh air mata. Ya Allah, haruskah kami berpisah untuk kedua kalinya? Dipisahkan dengan orang kita sayangi itu memang berat. Apalagi jika perpisahan itu terjadi karena keadaan. Itu jauh lebih menyakitkan dari dikhianati. ***Hari demi hari Yasmin lewati dengan kesedihan. Tawanya memang terdengar, tapi hanya untuk menutupi sunyi dan luka dalam sanubari. Farel memang meninggalkan dirinya. Namun lelaki itu telah menyiapkan aset untuk Yasmin dan Naura. Tanggung jawab seorang ayah meski tak dapat terus bersama. "Owek... Oweek..."Tangis Naura menggema memenuhi setiap sudut ruangan. Semakin mendekati kamar, suara itu semakin keras.

  • Sisi Lain Pelakor   Bab 132

    "Dokter, ada yang ingin saya bicarakan.""Langsung saja, Dok!" jawab Harun dengan mata fokus menatap layar laptop. "Dokter Farel melakukan kesalahan lagi, Dok."Harun mengalihkan pandangannya. "Maksudnya?""Dokter Farel salah memberikan resep, Dok.""Apa!" pekik Harun. Seketika Harun menutup laptopnya. Dia bergegas menuju ruangan putranya. Sepanjang jalan dia mengumpat dalam hati. Lagi-lagi merutuki kecerobohan putranya. "Percuma kuliah tinggi-tinggi, ngasih resep saja gak becus!" BRAK! Pintu berwarna abu itu didorong kasar. Suara keras sontak membuat Farel tersentak, kaget. Lelaki yang tengah fokus itu membawa artikel seketika mengalihkan pandangan. "Bisa-bisanya kamu salah memberikan resep, Rel! Apa gunanya kuliah tinggi, obat asma saja gak ngerti!"Farel masih diam, dia enggan membalas makian Harun. Pikirannya sudah lelah karena terus memikirkan keadaan istri dan putri semata wayangnya. Berpisah dengan keluarga membuat hidupnya mati. Ya, dia hidup tapi mati. Harun terus mema

  • Sisi Lain Pelakor   Bab 131

    "Sayang, titip Naura ya," ucap Farel sebelum mobil yang membawa Yasmin dan Naura pergi dari hadapannya. "Doakan Naura sembuh agar kita dapat berkumpul kembali."Farel mengangguk dan tersenyum datar. Sebisa mungkin ia tutupi kemelut dalam rongga dadanya. Lelaki itu tak ingin istrinya curiga dan membatalkan keberangkatannya ke Singapura. * Flashback *Satu bulan yang lalu. "Yas," panggil Farel lirih. Saat ini mereka berada di ruang rawat inap. Suasana sunyi membuat suara lirih terdengar begitu jelas. Yasmin pun menoleh, menatap lelaki yang duduk di kursi, tepat di hadapannya. "Aku sudah mencari donasi untuk pengobatan Naura.""Sudah dapat, Rel?"Farel mengangguk pelan. Detik itu mulutnya begitu kelu. Kalimat yang sedari tadi menari di kepalanya mendadak hilang, meninggalkan mulut yang tertutup, membisu. "Secepat ini, Rel? Yakin ini bantuan dari yayasan?""Iya. Aku dapat dari teman lama. Kamu tahu, kan. Aku mantan dokter, jadi tahu akses untuk mendapatkan bantuan dari yayasan." Fa

  • Sisi Lain Pelakor   Bab 130

    Satu minggu kemudian"Rel, gendongnya gimana?" Yasmin melirikku, dia nampak bingung bagaimana cara menggendong Naura. "Kamu bawa tasnya saja, Yas."Aku meletakkan tas berisi keperluan Naura selama di rumah sakit. Dengan hati-hati, aku gendong bayi mungil ini. Yasmin hanya diam, memperhatikan caraku menggendong bayi yang baru berusia 12 hari. "Kamu pinter banget, Rel.""Hem!""Iya lupa, kamu lebih jago dari aku." Yasmin tersenyum samar. Setelah semua urusan selesai, kami pun segera meninggal rumah sakit. Sepanjang jalan tak henti-hentinya Yasmin menatap wajah mungil yang ada di dalam pangkuanku. Senyum tergambar jelas di wajah ayunya. Yasmin bahagia, begitu pula diriku. "Dia cantik ya, Pa."Aku tersenyum mendengar kata itu. Papa... entah kenapa aku tergelitik kala Yasmin memanggilku dengan sebutan itu. Ternyata aku sudah benar-benar tua. Sudah ada ekor ke mana pun aku pergi. "Kenapa mesem begitu? Aku salah ngomong ya?""Enggak.""Lalu kenapa kamu tertawa? Aku tersenyum lebar. "

  • Sisi Lain Pelakor   Bab 129

    "Boleh, tapi ada syaratnya, Rel.""Papa.""Iya ini Papa.""Tolong bantu Farel, Pa."Aku mengiba, dengan sengaja menurunkan harga diri yang sempat kujunjung tinggi. Aku menyerah, mengalah demi Yasmin dan putri kecil kami. "Ada syaratnya, Farel.""Syarat... Maksud Papa?""Farel... Farel, kamu lupa... di dunia ini tidak ada yang gratis! Semua hal harus ada timbal baliknya, bukan?"Aku diam, kepala mencoba mencerna setiap kata yang terucap dari mulut Papa. Entah setan apa yang kini mendiami kepala Papa. Pola pikirnya tak seperti dulu. Papa telah berubah. "Apa yang Papa mau?""Papa akan kirimkan sejumlah uang. Kamu kirimkan no rekening sekarang!""Lalu apa yang Papa mau dariku?""Nanti Papa beritahu.""Tapi, Pa.""Pikirkan dulu kesehatan anak dan istrimu, Farel."Sambungan dimatikan sepihak. Meski belum puas dengan penjelasan Papa, aku memilih diam dan menerima penawarannya. Karena hanya itu satu-satunya harapan yang aku punya. Setelah mengirimkan nomor rekening yang baru. Aku segera m

  • Sisi Lain Pelakor   Bab 128

    "Yasmin!"Farel segera berlari mendekati istrinya yang tergeletak di lantai tepat di depan kamar mandi. Yasmin pingsan beberapa saat yang lalu. "Yasmin, kamu kenapa?" Farel kebingungan melihat Yasmin tak bergerak. Farel menyentuh pipi istrinya, tapi Yasmin masih diam saja. Refleks Farel mengangkat tubuh Yasmin. Tertatih ia membopong tubuh Yasmin ke dalam kamar. Farel berusaha menguasai diri. Dia tepis rasa khawatir yang bersemayam dalam dadanya. Suami mana yang tak khawatir dan panik melihat istrinya tak sadarkan diri. Apalagi dalam kondisi mengandung. Dengan cekatan Farel memeriksa denyut nadi perempuan di hadapannya. Seketika wajah lelaki menegang kala melihat cairan merah yang mengalir di kaki istrinya. Tanpa pikir panjang, Farel berlari ke luar. Dia berusaha meminta bantuan tetangganya. Tidak lama sebuah mobil berhenti di jalan depan rumah Farel. Farel dan seorang lelaki dengan hati-hati membopong tubuh Yasmin. Mereka merebahkan Yasmin di jok bagian tengah."Tolong cepat ya,

  • Sisi Lain Pelakor   Bab 127

    "Papa."Mataku melotot melihat lelaki yang kini berdiri di hadapanku. Lelaki yang sejak semalam kupikirkan kini berdiri di depan mata. Namun dengan wajah merah padam. "Siapa tamunya, Rel?"Aku masih diam, pertanyaan Yasmin bagi angin lalu. Hanya lewat tanpa singgah apalagi menetap. "Mama dan Hazna mana?" tanyanya dengan netra menelisik setiap sudut ruangan ini. "Ada di dalam, Pa. Papa masuk dulu!""Gak sudi! Suruh mama dan Hazna keluar, sekarang!" pekiknya. "Kok lama, siapa tamunya, Mas?"Aku menoleh ke belakang. Yasmin sudah berdiri dengan wajah menunduk, ketakutan. "Papa," ucap Mama dan Mbak Hazna serempak. Hening menyelimuti ruangan ini beberapa saat. Ada takut dan tegang yang membuat suasana tidak lagi kondusif. Tatapan papa mampu membuat semua orang menciut, terutama Yasmin. "Ayo pulang, Ma, Hazna!""Dari mana Papa tahu aku dan mama berada di sini?" tanya Mbak Hazna ketika berada di sampingku. "Tak penting, pulang sekarang!""Sabar, Pa! Semua bisa dibicarakan dengan baik-

  • Sisi Lain Pelakor   Bab 126

    "Mama... Mbak Hazna."Aku tak mampu lagi berkata-kata, hanya sebuah pelukan yang mampu melukiskan betapa rindu hatiku ini. "Lepas, Rel!" Mbak Hazna mendorong tubuhku hingga menjauh. "Kamu mau Mbakmu ini mati kehabisan napas?"Aku tersenyum sambil menggaruk kepala yang tak gatal. Aku terlalu bahagia hingga mengapresiasikan rasa itu secara berlebihan. Mbak Hazna tak tahu, betapa aku sangat merindukan dia dan mama. "Ma, Mbak," panggil Yasmin seraya mencium penggung kedua wanitaku dengan khitmad. Sempat kulihat keraguan yang nampak di wajah istriku. Namun seketika berubah kala mama dan Mbak Hazna menyambut dengan pelukan hangat. Ini adalah momen yang selalu aku nantikan. Kami berkumpul tanpa rasa benci dan amarah. Kami hidup menjadi keluarga yang utuh dan bahagia. Namun perjuangan kami belumlah selesai. Aku dan Yasmin harus berusaha keras melunakkan hati papa yang sekeras baja. "Disuruh diem di situ, Rel? Tante sama Mbak Hazna capek berdiri begitu."Seketika aku terkesiap kemudian se

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status