Share

Bab 8

Pov Yasmin

"Apa karena dia masih muda hingga membuat kamu memilih dia?"

"Apa sih Om, aku gak ngerti."

"Aww... Sakit Om." Seketika tangannya terlepas dari pundakku. 

"Maafkan aku sayang, aku khilaf. Aku cemburu melihat kamu makan dengan lelaki. Apa lagi dia lebih muda dariku. Aku takut kamu memilih dia."

Aku tersenyum melihat wajah sendunya. Om Bagas cemburu. Apa aku tak salah dengar? 

Tanpa rasa malu ku peluk tubuhnya. Aku bahkan tak perduli ada di muka umum. Rasa bahagia membuat aku lupa jika diri ini hanyalah selingan. 

"Nanti aku jelasin di apartemen!" ucapku seraya menggandeng tangan Om Bagas. 

Bagai kerbau di cucuk hidungnya, Om Bagas hanya menurut tanpa banyak bicara. 

"Mau bawa mobil sendiri-sendiri atau satu mobil?" tanyaku setelah kami tiba di basement. 

"Naik mobilku saja. Mobil kamu biar di bawa orang suruhanku. Aku takut kamu menghilang lagi." Aku tersenyum melihat sikap lucu Om Bagas saat cemburu. Sungguh menggemaskan. 

Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, tapi ini bukan arah apartemen. Aku tak tahu mau di bawa ke mana? 

"Kita mau ke mana,sayang?" tanyaku manja. Ku elus tangan kirinya. Sontak Om Bagas melirik ke arahku. 

"Liburan," jawabnya datar tanpa ekspresi. Rupanya dia masih marah padaku. 

"Terima kasih Om." Ku kecup pipi kirinya. 

"Kamu masih berhutang penjelasan, Yasmin."

"Oke, akan ku ceritakan...."

Aku mulai bercerita tentang awal bertemu dengan Gilang hingga tragedi ponsel hancur. Om Bagas mendengarkan dengan mata fokus ke depan. 

"Kenapa tidak bilang jika ponselnya rusak? Hem?"

"Malu Om, nanti Om kira aku matre." Ku tundukkan kepala. Pura-pura bersalah. 

Menjadi seorang simpanan harus pandai menarik ulur hati. Seperti aku ini. 

"Harusnya kamu bilang sayang. Aku juga senang kamu meminta padaku. Aku tak ingin kamu bergantung pada lelaki lain. Kamu milikku. Jadi semua kebutuhan kamu, hanya aku yang boleh memberikannya."

"Aku hanya menuntut tanggung jawab. Tidak lebih. Bukankah lelaki harus bertanggung jawab," ucapku sedikit menyindir dirinya. 

Om Bagus memilih diam hingga sampai di bandara. Apa susahnya tanggung jawab? Apa mungkin dia tak akan mau bertanggungjawab padaku? 

Sudahlah, ini bukan saat yang tepat untuk berpikir ke sana terlalu jauh. Justru momen ini sangat tepat ku gunakan untuk menarik hati Om Bagas. Ya, akan ku lakukan itu. 

Kami berjalan bergandengan, tak perduli beberapa pasang mata menatap tak suka. Ini hidupku, tak usah memikirkan apa yang mereka ucapkan. Asal aku bahagia semua tak masalah. Tak perduli jika yang ku lakukan hina. 

Aku duduk di samping Om Bagas, bergelayut manja di pundaknya. Om Bagas tersenyum melihat tingkah manjaku. 

***

"Kamu suka kamarnya, sayang?" tanyanya lalu menjatuhkan bobot di atas ranjang. 

"Suka Om." 

"Liburan masih beberapa hari lagi, Om. Tapi kenapa jadi hari ini?" tanyaku penasaran. 

Liburan ini terlalu mendadak. Aku bahkan tak membawa koper. Hanya baju yang melekat dan sepatu berbeda warna ini. 

Om Bagas menepuk ranjang di sebelahnya, mengisyaratkan agar aku tidur di sampingnya. Ku lepas sepatu kets berbeda warna lalu merebahkan tubuh di sampingnya. Lengan Om Bagas ku jadikan bantal. Ku tatap lekat manik hitam yang membuatku rindu. 

Mata ini selalu membuatku terhipnotis. Aroma tubuh ini yang selalu membuat tidurku semakin nyaman. 

"Besok Sandra akan mengusirmu dari apartemen. Namun sebelum dia bisa melakukannya, kita sudah terlebih dahulu liburan. Dia pasti kecewa. Bukankah itu menyenangkan?" Aku mengangguk mempererat pelukan. Rasa lelah membuatku terlelap di dalam dada bidangnya. 

Aku menggeliat, meregangkan otot-otot yang terasa kaku karena tidak bergerak di pelukan Om Bagas. Lelaki itu memang tak pernah melepas pelukannya dari tubuh ini. 

"Kamu sudah bangun, sayang?" Sebuah kecupan mendarat di keningku. 

Ini momen yang selalu aku rindukan. Bersama Om Bagas setiap waktu. Namun aku sadar ini hanya sesaat. Apa aku salah jika menginginkan ikatan yang jelas dengannya? 

"Kenapa lihatin seperti itu? Hem!" Om Bagas mencubit gemas hidung bangirku. 

"Aku bahagia dan ingin selamanya bersama Om, dari membuka mata hingga terlelap kembali."

"Sabar sayang. Tunggu sebentar lagi. Kita akan bersama."

Ku satukan bibir ini di tempat yang sama. Tubuhku menghangat seakan ada aliran listrik yang melewatinya. Kami terbuai, menyelami samudera dosa yang tidak ada habisnya. 

***

Pov Sandra

Hatiku terasa terbakar saat membaca runtutan pesan Mas Bagas dan wanita sial*n itu. Peringatan kedua tak dihiraukan. Dia justru semakin gencar mendekati Mas Bagas. 

Entah apa yang Yasmin berikan hingga Mas Bagas bertekuk lutut padanya. Kalau masalah cantik, aku tak kalah cantik darinya. Hanya umur saja yang berbeda. 

[Dandan yang cantik sayang. Aku akan ke apartemen jam lima.]

Mas Bagas kembali mengirimkan pesan ke nomor Yasmin. Mungkin ini saat yang tepat untuk menangkap basah mereka. Kalau peringatan pertama dan kedua tidak berhasil. Maka aku harus bersikap tegas. Mungkin sangsi sosial akan membuat wanita itu jera. 

Setelah azan dzuhur aku sengaja stand by di dekat apartemen  wanita itu. Apartemen yang di sewa menggunakan uang Mas Bagas. Sungguh aku tak rela sepersen uang Mas Bagas yang digunakan untuk wanita itu. 

Aku menunggu hingga rasa bosan hadir. Senyum di wajahku merekah saat melihat mobil merah keluar dari kawasan apartemen. Perlahan aku mengikutinya, memberi jarak agar keberadaanku tidak terendus olehnya. 

Sayang, di pertengahan jalan dia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Saat hendak mengejar justru sebuah truk menyalip kendaraanku. Sial. 

Wanita itu seperti belut, sangat licin dan tak mudah ditangkap. 

Beberapa kaki aku berputar-putar di jalan yang sama. Berharap menemukan mobil merah itu. Namun sial, dia lolos begitu saja. Ku putuskan kembali ke rumah. 

Rasa lelah membuat aku ingin tidur lelap. Ku rebahkan tubuh ini di atas ranjang. Aku merebahkan tubuh di atas ranjang. Ku pejamkan mata ini, berharap rasa kantuk datang menyapa. Namun nyatanya tidak bisa. Bayang Mas Bagas menari-nari di pelupuk mata. 

Aku menangis mengingat suamiku. Bohong jika aku baik-baik saja melihat pengkhianatan nya. Hati istri mana yang tidak terluka jika suami berbagi hati juga tubuh dengan wanita lain. 

Ku elus ranjang sebelah, rasa rindu menyeruak dalam kalbu. Sudah begitu lama Mas Bagas mengabaikan aku. Hampir satu bulan dia tak pernah menyentuhku. 

Apa aku begitu jelek di matanya? 

Apa aku tak menarik lagi? 

Berbagai pertanyaan memenuhi kepalaku. 

Ingin rasanya menyerah dan lari dari pernikahan ini. Namun rasa cinta dan kehadiran anak-anak membuatku bertahan dalam ikatan suci ini. Mungkin  semua orang mengatakan aku bodoh. Tetapi aku tak bisa menepis rasa ini.Bagiku Mas Bagas adalah nafas. Dan sampai kapan pun tak akan aku lepaskan. 

 Kriingg

Suara panggilan masuk terdengar nyaring di telinga. Aku ambil benda pipih yang ada di dalam tas.

"Pak Bagas dan Yasmin sedang berlibur ke Bali. Saat ini mereka berada di bandara."

Dadaku bergemuruh hebat mendengar berita itu. Rasa sesak dan nyeri merasuk di sanubari. Di sini aku terluka, menangisi nasib pernikahanku tapi mereka justru asyik memadu kasih. Ini tidak bisa dibiarkan. Mereka harus ku beri pelajaran. 

Dengan emosi membara ku sambar tas dan kunci mobil. Aku marah, benci dan kecewa,entah pada siapa? Aku hampir tak bisa bernafas kalah bayang Mas Bagas bergumal dengan Yasmin memenuhi isi kepala. 

"Mami mau ke mana?" tanya Brian menghentikan langkah kakiku. 

"Mami ada urusan, kamu tidak pergi kan?" Putra sulung ku menggelengkan kepala.

"Papi ke mana, mi?" 

Aku gelagapan, bingung harus menjawab apa? Tak mungkin ku katakan jika ayahnya tengah bersama wanita lain. Aku harus bisa menjaga perasaan kedua putraku. 

Di depan mereka kami adalah sepasang suami istri yang harmonis. Mereka tidak pernah tahu bagaimana hubungan kami di belakang mereka. 

Kedua putraku selalu membanggakan ayahnya. Ayah yang mereka anggap sebagai imam yang baik. Nyatanya tega menorehkan luka di hati ibunya. 

Ini alasanku memilih diam. Aku tak ingin hati mereka merasakan hal yang sama denganku. Biarlah mereka berpikir jika ayahnya lelaki sempurna. 

"Mi, kenapa diam?" 

"Em... Mami buru-buru. Titip adik kamu." Aku segera berjalan meninggalkan Brian yang menatapku dengan tatapan penuh selidik. 

Ku hirup udara dalam lalu menghembuskan nafas perlahan. Ya Tuhan, ujian ini terlalu berat untukku. Rasanya aku ingin menyerah saja. 

Aku masuk mobil lalu menguncinya dari dalam. Tanpa terasa bulir bening membasahi pipiku. Segera ku hapus air mata yang menempel di pipi. Aku harus kuat demi anak-anak. 

Ku ambil benda pipih di dalam tas. Tangan ini menari di atas layar mencari nomor kontak adikku. 

"Mbak mau ketemu! Ada yang ingin Mbak bicarakan."

Jangan lupa tinggalkan jejak. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status