Share

Bab 9

Author: ShenShen
last update Last Updated: 2025-08-17 14:13:56

Di rumah Eric, tiga orang bawahannya sibuk bergerak. Masing-masing punya tugas: melipat pakaian, mengamankan dokumen, memeriksa koper. Mereka memastikan keberangkatan mendadak Elise ke luar negeri berjalan tanpa hambatan. Waktu yang sempit dan kekacauan beberapa hari terakhir hampir tidak menyisakan ruang untuk persiapan, tapi berkat tiga profesional yang bergerak selaras, semua bisa terselesaikan dengan rapi.

“Akhirnya.” Elise tersenyum samar pada koper yang sudah tertata rapi, lengkap dengan dokumen identitasnya. Tidak semua barangnya ia bawa, hanya yang benar-benar penting. “Sisanya aku bisa beli di sana.”

“Bagus. Dan jangan menahan diri. Belilah semua yang kamu butuhkan, bahkan yang kamu inginkan sekalipun, entah penting atau tidak,” ucap Eric dengan suara tenang namun tegas, menepuk lembut lengan adiknya. “Lupakan soal uang. Lupakan aku. Jangan habiskan waktu untuk kerja sambilan. Fokus saja pada kuliahmu… dan hiduplah dengan baik.”

Bibir Elise bergetar, tapi tatapan Eric tetap teguh. Ia tidak membutuhkan air mata adiknya, yang ia butuhkan hanyalah keselamatan Elise. Gadis itu kemudian memeluknya erat, sama seperti ketika mereka masih kecil.

Eric masih mengingat hari-hari itu dengan jelas. Saat dirinya rapuh dan selalu jadi beban, Elise yang bahkan masih belia terpaksa mengambil peran sebagai pengasuh. Ia menanggung lebih banyak daripada yang seharusnya dipikul seorang anak seusianya. Sejak kepergian ibu mereka, Elise menjadi sosok yang lembut, protektif, dan tidak kenal lelah dalam merawatnya.

Kenangan lain terpatri kuat: dinginnya salju, tubuhnya sendiri menggigil sakit ketika mencari Elise, lalu menemukannya di jalan, bergetar menahan dingin, tangan mungilnya terulur meminta koin dari orang asing, sekadar untuk membeli obat bagi dirinya. Gambar itu membekas, bukan sebagai luka untuk dikasihani, tapi sebagai alasan agar hal itu tidak pernah terulang lagi.

“Kamu antar aku ke bandara, ya,” ujar Elise sambil menghapus air matanya.

Sebelum Eric sempat menjawab, suara mesin mobil dari luar memecah keheningan. Tatapan Eric langsung menyipit. Ia mengenali suara itu. Beberapa detik kemudian, terdengar ketukan keras dan mendesak di pintu depan.

“Eric! Buka pintunya!”

“Bibi Peyton?” Elise refleks bersuara, namun Eric cepat menutup mulutnya dengan telapak tangan.

Ekspresinya sudah cukup menjelaskan: diam. Dengan gerakan ringan, ia menyingkap tirai jendela dan memastikan dugaannya benar.

Bibi Peyton. Bersama dua bodyguard. Wajahnya menegang karena marah. Hanya bisa berarti satu hal. Kabar soal apa yang terjadi pada Jim sudah sampai padanya. Dan kini ia datang mencari Elise, juga balas dendam.

“Eric, aku tahu kau di dalam! Buka pintunya!” Bentakan Bibi Peyton semakin keras, diiringi pukulan pada pintu.

Kevin Anderson muncul di samping Eric, berbicara pelan. “Tuan, biarkan kami yang buka. Mereka tidak akan sempat melangkah masuk.”

Rahang Eric mengeras. “Tidak. Lewat pintu belakang. Antar dia ke bandara. Aku yang akan menahan mereka.”

Kevin tampak ragu, tapi nada Eric tak memberi ruang untuk bantahan.

Eric menoleh pada Elise, suaranya lebih rendah dan penuh penekanan. “Pergi. Mereka akan mengantarmu. Aku tidak bisa ikut. Aku tidak mau ada masalah di hari keberangkatanmu.”

Ia tidak akan pernah membiarkan paman dan bibinya tahu bahwa orang yang mereka buru dengan nama “James Smith” sebenarnya adalah dirinya. Dan mereka tidak akan pernah lagi melihat Elise.

“Baiklah, dasar anak sakit-sakitan! Kalau kau terus sembunyi, anak buahku akan dobrak pintu ini!”

Elise menggeleng, enggan pergi. “Ikut aku,” pintanya dengan nada cemas.

Eric menatap wajah Elise yang penuh kegelisahan. “Tidak. Pergilah lewat belakang. Aku akan mengalihkan perhatian mereka.”

“Tuan…” Kevin masih bersuara ragu.

Eric mendekat, menatap Elise sekali lagi. “Pergi dengan selamat. Mereka akan mengantarmu ke bandara.” Suaranya tenang, meski dalam hati ia ingin sekali mengantar adiknya sendiri.

Ia tahu, anak buahnya bisa dengan mudah menyingkirkan Bibi Peyton beserta dua pengawalnya. Tapi ia tak mau mengambil risiko. Elise tak boleh terlibat, dan hari penting ini tak boleh ternodai keributan.

Suara hantaman keras mengguncang pintu. Bingkai mulai retak.

“Lebih keras lagi!” teriak Bibi Peyton.

Pada pukulan ketiga, pintu akhirnya jebol, menghantam dinding.

“Eric! Apa kau bisu?!” Bibi Peyton masuk bersama para pengawal.

Rumah terlihat sepi. Tapi matanya menangkap sosok di sofa.

Ia menyeringai puas. Di bawah selimut, keponakannya tampak sedang tertidur pulas.

“Pemalas! Bangun!” Bibi Peyton menepuk kakinya dengan tas.

Eric berpura-pura terkejut, duduk tegak dengan wajah bingung. “Bibi… kenapa Bibi ada di sini? Padahal aku yakin pintunya sudah terkunci.”

“Itu dia! Bodoh dan lemah.” Bibi Peyton mengira Eric masih sakit setelah dipukuli Jim dan anak buahnya beberapa hari lalu. “Kenapa tidak menjawab waktu aku memanggil?! Lihat ini, anak buahku bisa dobrak pintumu hanya dengan tiga kali tendangan. Kau sendiri juga gampang dihancurkan.”

“M-maaf, Bibi. Aku tidak tahu kalau Bibi datang. Aku… aku tidak dengar suara Bibi,” jawab Eric. “Apa Bibi datang untuk menjemput Elise?”

Bibi Peyton duduk di sofa, mengeluarkan rokok dari tas. Salah satu pengawal cepat menyalakannya untuknya. Ia mengisap dalam-dalam, lalu menghembuskan asap lewat hidung dan mulut sekaligus.

“Kau tahu, Eric, mood-ku hari ini sedang buruk. Jadi langsung saja. Elise pasti bersembunyi di sini, kan? Anak kecil itu kabur dari pekerjaannya, dan aku yakin dia lari pulang ke sini.”

Mata Eric melebar, ia mendekat dengan wajah panik. “Elise kabur? Bibi, apa yang terjadi? Di mana dia sekarang?”

Bibi Peyton mengabaikannya. “Cari seluruh rumah. Bongkar kalau perlu.”

“Baik, Nyonya.”

Eric hanya duduk, wajahnya datar, ketika dua pengawal menyebar. Beberapa menit kemudian mereka kembali dengan tangan kosong.

“Aku sudah bilang,” kata Eric tenang. “Dia tidak ada di sini. Bukankah Bibi yang membawanya kemarin?”

Bibi Peyton masih tampak ragu. Tapi di dalam hatinya, ia juga menyadari sesuatu. Jika Jim bisa dihancurkan dengan mudah, kecil kemungkinan Elise bisa kabur dari orang yang sudah menguras habis rekeningnya.

Ia mematikan rokok di meja. “Mana surat rumah ini? Termasuk tanahnya.”

Tatapan Eric menajam. “Untuk apa?”

“Aku akan menjualnya.”

“Kalau rumah ini dijual,” balas Eric, “menurut Bibi aku akan tinggal di mana?”

“Di liang kubur.” Bibi Peyton terkekeh, meletakkan kakinya di meja. “Kau sudah sekarat, kan? Elise bahkan rela menjual dirinya demi biaya operasi untukmu. Sekarang dia menghilang. Itu artinya kau tamat.”

Ekspresi Eric tidak berubah, tapi matanya menyala perlahan. Ada panas yang mulai tumbuh di sana.

“Apa? Tidak senang? Mau dipukuli lagi? Kalau begitu tutup mulutmu.”

Ia memberi isyarat agar anak buahnya melanjutkan penggeledahan. “Kalau kau ada gunanya, mungkin aku biarkan kau tinggal. Tapi kau tidak berguna. Sampah sakit-sakitan.”

Tidak lama kemudian dokumen yang dicari akhirnya ditemukan. Bibi Peyton mengambilnya dengan puas. “Jangan khawatir, keponakanku. Aku akan coba datang ke pemakamanmu.”

Tawanya menggema hingga keluar pintu. Ia melambaikan tangan seolah mengejek, meninggalkan Eric berdiri di ambang pintu dengan kusen yang sudah retak.

Begitu ia pergi, sudut bibir Eric perlahan terangkat. Bukan dengan tawa, melainkan dengan tekad.

“Bibi Peyton, semua yang kau ambil dariku itu ada harganya, kupastikan kau akan membayar lebih!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sistem Keberuntungan Tanpa Batas   Bab 90

    Violet menggigit bibirnya, jelas masih bimbang, apakah mesti menemani Eric atau melanjutkan latihannya. Apa ia perlu menyarankan Eric untuk berhenti dan tidak memaksakan diri, atau malah mendukungnya hingga selesai. Tapi Grace menepuk pundaknya pelan, menyadarkannya kembali. “Jangan khawatir. Tuan Eric terlihat kuat, ia tahu batasnya. Dan lagi, waktu kita juga terbatas, Nona. Jika nanti Tuan Eric selesai, dan tahu bahwa anda sudah bisa bermain golf dengan baik, tentu itu akan menjadi kabar baik untuknya."Violet mengangguk, "Kamu benar. Aku harus lebih fokus juga pada latihan golf ini."Violet melanjutkan latihannya bersama Grace. Ia berusaha lebih sungguh-sungguh agar tidak mengecewakan Eric yang telah mengusahakan dirinya agar bisa bermain golf.Ketika Violet mengayunkan stik golfnya lagi, kali ini ia hampir membuat bolanya masuk ke lubang tujuan. Dengan gemas ia bergumam, "Ah, sedikit lagi!" "Tidak apa-apa, Nona. Itu sangat bagus. Saya yakin, jika anda terus mencoba dan lebih fok

  • Sistem Keberuntungan Tanpa Batas   Bab 89

    Eric menunjukkan barisan giginya. Ia juga tertawa kecil untuk menghilangkan kegugupannya sendiri. "Itu benar. Tapi, um, sebenarnya aku terbiasa membuat target pribadi. Ya, supaya aku tetap terpacu untuk melakukan lebih. Begitulah..." Eric kembali menutup jawabannya dengan senyum meringis, berharap Violet cukup puas dan tidak memberikan pertanyaan lainnya.Dan sesuai harapan, Violet menyunggingkan senyum, tanpa mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain, tetapi malah memberikan pujian. "Bagus sekali! Aku harus melakukanya juga untuk memacu diri sendiri. Kamu keren, Eric." Eric mengusap lehernya, dengan hati senang ia membalas, "Um, bukan apa-apa." Dan dalam batin ia menambahkan bahwa ia terpaksa 'menyiksa' diri sendiri karena itu adalah misi dengan risiko kegagalan yang super menakutkan.Lantas, agar Violet mendapat kesan baik, dan tidak merasa jenuh dengan kencan pertama mereka, sebuah ide cemerlang muncul di kepala Eric."Violet, apa kamu suka bermain golf?" "Golf?" Violet membuat Eric

  • Sistem Keberuntungan Tanpa Batas   Bab 88

    Setibanya di kamar Eric, Violet terkesima oleh interiornya yang menawan. Ia tidak bisa menyembunyikan kekagumannya. Kamar itu sangat luas dan nyaman.“Um, Violet, mungkin aku akan menghitung sendiri saja.”Violet yang duduk di sofa segera bertanya, “Kenapa?”“Sebenarnya, aku sudah melakukan latihan fisik ini kemarin. Jadi, tidak masalah jika mesti menghitungnya sendiri.” Ia tidak ingin merepotkan kekasihnya.“Lalu, apa yang harus aku lakukan saat kamu pull up?”Eric duduk di samping Violet. “Kamu bisa bersantai, membaca novel atau buku lainnya di sudut baca itu, atau mungkin mau menonton film, memutar musik. Atau, kalau kamu lelah, jangan sungkan untuk berbaring di ranjang. Anggap saja itu sebagai ranjangmu sendiri.”Pipi Violet seketika memerah. Pasalnya ucapan Eric itu multitafsir.“Ah, maksudku, ka-kamu tidur saja jika ingin. Jangan sungkan. Mau membaca sambil berbaring di sana juga tidak apa-apa. Sungguh, aku… tidak memiliki maksud lain.” Eric meringis lagi setelah menjelaskan.Er

  • Sistem Keberuntungan Tanpa Batas   Bab 87

    Eric mengangguk-angguk pelan sambil mengupas sebuah jeruk. “Oh, soal itu,” ucapnya dengan suara pelan, tanpa ada perubahan ekspresi di wajahnya.Violet mengerutkan kening melihat Eric yang tampak santai. Ia lalu bertanya, “Kamu tidak kaget?”Eric mengulurkan jeruk yang telah terpisah dari kulitnya kepada Violet yang segera menerimanya. “Tidak, sejak awal mereka memang pantas dipenjara.”Mata Violet terbuka lebar. Ia menelan ludah saat menyadari sesuatu. “Jangan-jangan, kamu yang membuat mereka dipenjara?”Eric tersenyum, tanpa menjawab atau sekadar mengangguk. Akan tetapi, reaksinya itu justru membuat Violet semakin terbelalak karena mengartikannya sebagai suatu pembenaran. Sungguh, Violet tidak menyangka jika Eric akan bertindak demikian serius.“I-itu jelas bukan hal yang mudah. M-mereka bukan orang sembarangan. Tapi kamu…” Violet menyunggingkan senyum haru. Ia yakin Eric melakukannya demi melindunginya. “Katakan, bagaimana kamu melakukannya?”Eric meneguk air putih yang segar. “Seb

  • Sistem Keberuntungan Tanpa Batas   Bab 86

    Suasana mendadak hening. Violet menunduk cepat, seakan berusaha menyembunyikan ekspresinya, sementara Eric sibuk mengeringkan tubuhnya dengan wajah canggung.Udara di sekitar terasa kaku. Violet mengangkat wajahnya, menatapnya cepat lalu menoleh lagi ke arah lain. Ada senyum tipis yang berusaha ia sembunyikan. “Maaf sudah membuatmu kaget.""Tidak, tidak. Itu bagus. Maksudku, aku senang kamu sudah di sini. Tapi keadaanku sedikit memalukan.""Sama sekali tidak. Kamu hanya terlihat berbeda. Maksudku, sehat, kuat. Ya, begitu..." Violet tersenyum kikuk.Suasana canggung itu terjeda ketika sebuah panggilan membuat ponsel Eric berdering. Rupanya itu dari Chelsea, salah satu anak buahnya yang bertugas menyiapkan hidangan. Chelsea memberitahu bahwa apa yang diminta oleh sang tuan telah siap. Ia juga mengatakan bahwa untuk makan malam nanti, seorang chef profesional yang berpengalaman bekerja di restoran bintang lima akan menjadi juru masaknya.Tentu saja laporan itu membuat hati Eric bungah.

  • Sistem Keberuntungan Tanpa Batas   Bab 85

    Jantung Eric berdetak begitu cepat hingga seolah hendak melompat keluar dari dadanya. Keringat dingin merembes di pelipis, mengalir turun tanpa henti. Begitu mendengar hukuman mematikan yang bisa menimpanya, pikirannya langsung kosong. Eric bahkan tidak bisa benar-benar membayangkan bagaimana rasanya jika otaknya dihancurkan.Bibir Eric gemetar ketika akhirnya ia memastikan, “Maksudmu, jika aku gagal, kamu akan membuatku terlindas truk? Atau kendaraan berat lainnya? Atau mungkin sebongkah batu besar akan menimpaku? Atau batu meteor akan jatuh mengenai kepalaku?” Ia mengatakan dengan detail segala kemungkinan yang muncul di kepalanya, yang bisa menyebabkan isi kepalanya hancur lebur.[Tidak diperlukan cara sesusah itu untuk menghancurkan otak Host.][System hanya perlu mengalirkan data miliaran bit per detik ke otak Tuan, sampai syaraf Anda terbakar.]System mengatakannya dengan begitu mudah, tanpa beban, tapi Eric yang mendengarnya sampai menelan ludah dengan susah payah. Suara “klik

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status