LOGINDi rumah Eric, tiga orang bawahannya sibuk bergerak. Masing-masing punya tugas: melipat pakaian, mengamankan dokumen, memeriksa koper. Mereka memastikan keberangkatan mendadak Elise ke luar negeri berjalan tanpa hambatan. Waktu yang sempit dan kekacauan beberapa hari terakhir hampir tidak menyisakan ruang untuk persiapan, tapi berkat tiga profesional yang bergerak selaras, semua bisa terselesaikan dengan rapi.
“Akhirnya.” Elise tersenyum samar pada koper yang sudah tertata rapi, lengkap dengan dokumen identitasnya. Tidak semua barangnya ia bawa, hanya yang benar-benar penting. “Sisanya aku bisa beli di sana.”
“Bagus. Dan jangan menahan diri. Belilah semua yang kamu butuhkan, bahkan yang kamu inginkan sekalipun, entah penting atau tidak,” ucap Eric dengan suara tenang namun tegas, menepuk lembut lengan adiknya. “Lupakan soal uang. Lupakan aku. Jangan habiskan waktu untuk kerja sambilan. Fokus saja pada kuliahmu… dan hiduplah dengan baik.”
Bibir Elise bergetar, tapi tatapan Eric tetap teguh. Ia tidak membutuhkan air mata adiknya, yang ia butuhkan hanyalah keselamatan Elise. Gadis itu kemudian memeluknya erat, sama seperti ketika mereka masih kecil.
Eric masih mengingat hari-hari itu dengan jelas. Saat dirinya rapuh dan selalu jadi beban, Elise yang bahkan masih belia terpaksa mengambil peran sebagai pengasuh. Ia menanggung lebih banyak daripada yang seharusnya dipikul seorang anak seusianya. Sejak kepergian ibu mereka, Elise menjadi sosok yang lembut, protektif, dan tidak kenal lelah dalam merawatnya.
Kenangan lain terpatri kuat: dinginnya salju, tubuhnya sendiri menggigil sakit ketika mencari Elise, lalu menemukannya di jalan, bergetar menahan dingin, tangan mungilnya terulur meminta koin dari orang asing, sekadar untuk membeli obat bagi dirinya. Gambar itu membekas, bukan sebagai luka untuk dikasihani, tapi sebagai alasan agar hal itu tidak pernah terulang lagi.
“Kamu antar aku ke bandara, ya,” ujar Elise sambil menghapus air matanya.
Sebelum Eric sempat menjawab, suara mesin mobil dari luar memecah keheningan. Tatapan Eric langsung menyipit. Ia mengenali suara itu. Beberapa detik kemudian, terdengar ketukan keras dan mendesak di pintu depan.
“Eric! Buka pintunya!”
“Bibi Peyton?” Elise refleks bersuara, namun Eric cepat menutup mulutnya dengan telapak tangan.
Ekspresinya sudah cukup menjelaskan: diam. Dengan gerakan ringan, ia menyingkap tirai jendela dan memastikan dugaannya benar.
Bibi Peyton. Bersama dua bodyguard. Wajahnya menegang karena marah. Hanya bisa berarti satu hal. Kabar soal apa yang terjadi pada Jim sudah sampai padanya. Dan kini ia datang mencari Elise, juga balas dendam.
“Eric, aku tahu kau di dalam! Buka pintunya!” Bentakan Bibi Peyton semakin keras, diiringi pukulan pada pintu.
Kevin Anderson muncul di samping Eric, berbicara pelan. “Tuan, biarkan kami yang buka. Mereka tidak akan sempat melangkah masuk.”
Rahang Eric mengeras. “Tidak. Lewat pintu belakang. Antar dia ke bandara. Aku yang akan menahan mereka.”
Kevin tampak ragu, tapi nada Eric tak memberi ruang untuk bantahan.
Eric menoleh pada Elise, suaranya lebih rendah dan penuh penekanan. “Pergi. Mereka akan mengantarmu. Aku tidak bisa ikut. Aku tidak mau ada masalah di hari keberangkatanmu.”
Ia tidak akan pernah membiarkan paman dan bibinya tahu bahwa orang yang mereka buru dengan nama “James Smith” sebenarnya adalah dirinya. Dan mereka tidak akan pernah lagi melihat Elise.
“Baiklah, dasar anak sakit-sakitan! Kalau kau terus sembunyi, anak buahku akan dobrak pintu ini!”
Elise menggeleng, enggan pergi. “Ikut aku,” pintanya dengan nada cemas.
Eric menatap wajah Elise yang penuh kegelisahan. “Tidak. Pergilah lewat belakang. Aku akan mengalihkan perhatian mereka.”
“Tuan…” Kevin masih bersuara ragu.
Eric mendekat, menatap Elise sekali lagi. “Pergi dengan selamat. Mereka akan mengantarmu ke bandara.” Suaranya tenang, meski dalam hati ia ingin sekali mengantar adiknya sendiri.
Ia tahu, anak buahnya bisa dengan mudah menyingkirkan Bibi Peyton beserta dua pengawalnya. Tapi ia tak mau mengambil risiko. Elise tak boleh terlibat, dan hari penting ini tak boleh ternodai keributan.
Suara hantaman keras mengguncang pintu. Bingkai mulai retak.
“Lebih keras lagi!” teriak Bibi Peyton.
Pada pukulan ketiga, pintu akhirnya jebol, menghantam dinding.
“Eric! Apa kau bisu?!” Bibi Peyton masuk bersama para pengawal.
Rumah terlihat sepi. Tapi matanya menangkap sosok di sofa.
Ia menyeringai puas. Di bawah selimut, keponakannya tampak sedang tertidur pulas.
“Pemalas! Bangun!” Bibi Peyton menepuk kakinya dengan tas.
Eric berpura-pura terkejut, duduk tegak dengan wajah bingung. “Bibi… kenapa Bibi ada di sini? Padahal aku yakin pintunya sudah terkunci.”
“Itu dia! Bodoh dan lemah.” Bibi Peyton mengira Eric masih sakit setelah dipukuli Jim dan anak buahnya beberapa hari lalu. “Kenapa tidak menjawab waktu aku memanggil?! Lihat ini, anak buahku bisa dobrak pintumu hanya dengan tiga kali tendangan. Kau sendiri juga gampang dihancurkan.”
“M-maaf, Bibi. Aku tidak tahu kalau Bibi datang. Aku… aku tidak dengar suara Bibi,” jawab Eric. “Apa Bibi datang untuk menjemput Elise?”
Bibi Peyton duduk di sofa, mengeluarkan rokok dari tas. Salah satu pengawal cepat menyalakannya untuknya. Ia mengisap dalam-dalam, lalu menghembuskan asap lewat hidung dan mulut sekaligus.
“Kau tahu, Eric, mood-ku hari ini sedang buruk. Jadi langsung saja. Elise pasti bersembunyi di sini, kan? Anak kecil itu kabur dari pekerjaannya, dan aku yakin dia lari pulang ke sini.”
Mata Eric melebar, ia mendekat dengan wajah panik. “Elise kabur? Bibi, apa yang terjadi? Di mana dia sekarang?”
Bibi Peyton mengabaikannya. “Cari seluruh rumah. Bongkar kalau perlu.”
“Baik, Nyonya.”
Eric hanya duduk, wajahnya datar, ketika dua pengawal menyebar. Beberapa menit kemudian mereka kembali dengan tangan kosong.
“Aku sudah bilang,” kata Eric tenang. “Dia tidak ada di sini. Bukankah Bibi yang membawanya kemarin?”
Bibi Peyton masih tampak ragu. Tapi di dalam hatinya, ia juga menyadari sesuatu. Jika Jim bisa dihancurkan dengan mudah, kecil kemungkinan Elise bisa kabur dari orang yang sudah menguras habis rekeningnya.
Ia mematikan rokok di meja. “Mana surat rumah ini? Termasuk tanahnya.”
Tatapan Eric menajam. “Untuk apa?”
“Aku akan menjualnya.”
“Kalau rumah ini dijual,” balas Eric, “menurut Bibi aku akan tinggal di mana?”
“Di liang kubur.” Bibi Peyton terkekeh, meletakkan kakinya di meja. “Kau sudah sekarat, kan? Elise bahkan rela menjual dirinya demi biaya operasi untukmu. Sekarang dia menghilang. Itu artinya kau tamat.”
Ekspresi Eric tidak berubah, tapi matanya menyala perlahan. Ada panas yang mulai tumbuh di sana.
“Apa? Tidak senang? Mau dipukuli lagi? Kalau begitu tutup mulutmu.”
Ia memberi isyarat agar anak buahnya melanjutkan penggeledahan. “Kalau kau ada gunanya, mungkin aku biarkan kau tinggal. Tapi kau tidak berguna. Sampah sakit-sakitan.”
Tidak lama kemudian dokumen yang dicari akhirnya ditemukan. Bibi Peyton mengambilnya dengan puas. “Jangan khawatir, keponakanku. Aku akan coba datang ke pemakamanmu.”
Tawanya menggema hingga keluar pintu. Ia melambaikan tangan seolah mengejek, meninggalkan Eric berdiri di ambang pintu dengan kusen yang sudah retak.
Begitu ia pergi, sudut bibir Eric perlahan terangkat. Bukan dengan tawa, melainkan dengan tekad.
“Bibi Peyton, semua yang kau ambil dariku itu ada harganya, kupastikan kau akan membayar lebih!”
Setelah resmi menjadi anggota baru klub dayung kampus, nama Eric semakin populer, tidak hanya di jurusannya, tetapi juga di jurusan lain, bahkan di fakultas yang berbeda. Ia memiliki lebih banyak penggemar, baik laki-laki maupun wanita, dari mahasiswa satu angkatan dengannya maupun mahasiswa senior. Bahkan, ada juga penggemar dari kalangan staf dan dosen.Di sela-sela kesibukannya dalam menjalani rutinitas perkuliahan dan juga latihan di klubnya, Eric selalu berusaha untuk menjaga hubungannya dengan Violet. Hanya saja, tidak dipungkiri, para fans yang terkadang datang menghampiri dan bergerombol, membuat Violet perlahan mundur untuk memberi mereka ruang.Meski begitu, Violet sepenuhnya mengerti. Ia tahu benar kalau pacarnya itu semakin bersinar, hingga membuat banyak orang mengidolakannya. Dan ia sendiri mengakui bahwa Eric memang lebih dari pantas untuk dikagumi, bahkan jauh sebelum pemuda itu tergabung dalam klub dayung.Seperti saat ini, ketika keduanya sedang makan bersama di kant
Namun, tampaknya musik itu masih belum cukup ampuh. Pada akhirnya, kekesalan Chloe mencapai puncaknya. Kesabarannya sudah habis.Dengan sengaja Chloe menyandarkan punggungnya ke kaca jendela bus, lantas meluruskan kakinya di atas kursi. Ia memenuhi dua kursi sendirian. Tidak hanya itu, Chloe juga memasang wajah malas dan memberikan tatapan mengintimidasi pada siapa saja yang melewati kursi itu.Sementara itu, Lily memang belum membuka percakapan lagi dengan Eric. Ia menunggu sampai semua orang masuk ke dalam bus dan mereka berangkat kembali ke kampus. Lily akan membicarakan hal penting itu setelah suasananya kondusif."Maaf aku terlambat," seru Richard dengan senyum segan. Ia baru keluar dari toilet.Melihat Richard yang baru muncul, sembuah napas keluar dari mulut Chloe. Ia tahu, Richard akan menjadi pria terakhir yang mencoba untuk duduk di sampingnya. Wajahnya menjadi sangat masam.Hal itu berbanding terbalik dengan Richard yang sangat bersemangat saat melihat kursi di sisi Chloe m
Sejak awal Eric memahami apa yang ditanyakan Lily. Hanya saja, ia merasa tidak perlu berkomentar. Namun, karena selama ini Lily bersikap baik padanya, bahkan ketika dulu dua sahabatnya begitu menyebalkan, Eric menjadi segan untuk langsung menolak."Eric, ini adalah foto tanteku. Namanya Grace Porter. Aku sangat menyayanginya, dan seluruh keluargaku juga. Tapi, sudah bertahun-tahun ia pergi, tanpa kembali pulang, tanpa memberi kabar apapun. Kami benar-benar kehilangan kontak dengannya. Aku sangat mencemaskannya. Apa di luar sana ia baik-baik saja, atau mengalami masalah. Ini membuatku gelisah setiap waktu saat mengingatnya.""Aku turut prihatin atas hal itu," ujar Eric."Eric, aku tidak tahu pasti mengapa tanteku pergi. Ibuku tidak mengatakan apapun, dan aku tidak peduli. Maksudku, mungkin masalah besar terjadi, dan waktu itu aku masih remaja, tidak ada yang menjelaskan padaku. Tapi, aku benar-benar sedih karena tidak bertemu tanteku lagi sesudahnya. Itu menyesakkan." Lily tidak bisa m
Dengan hasil tes dayung yang sangat memuaskan, jelas mampu mengantarkan Eric untuk lolos menjadi anggota baru klub tersebut. Tidak hanya lolos, tapi ia juga berhasil menjadi peserta terbaik, diikuti Richard Brown di posisi kedua.Para peserta yang gagal di tes terakhir ini tentu merasa kecewa. Namun, mereka akan mencoba lagi tahun depan. Belajar dari Richard yang gagal di tahun lalu, dan lolos di tahun ini.Dengan sopan Eric meminta izin kepada pelatih dan panitia untuk menemui para pendukungnya. Meski hanya memiliki waktu lima menit, Eric sangat berterima kasih.Chloe mengamati Eric yang berlari menuju belakang rumahnya dengan wajah cemberut. Tentu akan sangat menyenangkan jika wanita yang hendak ditemui Eric adalah dirinya, kenyataannya yang menjadi pacar pemuda itu adalah Violet. Dan kini dalam hatinya Chloe mengumpat karena harus melihat kedekatan Eric dan Violet."Hai cantik, apa kamu tidak ingin memberikan ucapan selamat padaku?" Richard datang mendekat pada Chloe dengan senyum
Penampilan Eric dalam tes terakhir itu sungguh membuat semua orang terkesima. Banyak di antara mereka yang terbelalak, mengusap-usap mata untuk memastikan tidak salah lihat, dan banyak pula yang sampai mengungkapkan kekagumannya.Apa yang ditunjukkan Eric benar-benar terlihat profesional. Kemampuannya dalam mendayung sudah seperti para atlet olimpiade. Para pelatih yang menilai penampilan para peserta bahkan juga tidak bisa menahan rahang mereka untuk tidak jatuh."Wow, apa yang baru saja aku saksikan!" "Ini benar-benar sejarah!""Aku bisa melihat masa depan klub dayung yang cerah!"Eric mengungguli semua peserta. Baik dari segi kecepatan, teknik, maupun kekuatan, ia memperoleh nilai tertinggi.Para panitia ataupun peserta yang telah tampil sebelumnya berdiri dan bersorak, bertepuk tangan atas penampilan Eric.Di antara mereka yang terkagum-kagum itu, jelas ada Chloe yang merasa semakin sulit untuk mengabaikan Eric."Katakan, bagaimana aku bisa pura-pura tidak terpesona melihatnya?"
Tes mendayung dilakukan secara bergantian. Jarak tempuh tidak terlalu jauh, hanya sekitar 500 meter. Para peserta mendayung dengan menaiki perahu dayung tunggal.Penilaian tes mendayung ini dilihat dari segi kecepatan, kekuatan, dan teknik yang digunakan sejak garis start hingga finish. Peserta dengan nilai tertinggi pertama hingga kesepuluh akan otomatis lolos menjadi anggota baru klub dayung, sementara yang lainnya akan gugur. Itu artinya, dari 20 peserta seluruhnya yang lolos dari tes fisik kemarin, hanya separuhnya saja yang akan mendapat kartu anggota klub dayung University of Grand Houston.Eric mendapat giliran di kloter terakhir. Ia merasa sedikit gugup, meski yakin akan mampu menjalani tes dengan baik, sebab sebelumnya ia sudah rajin latihan mendayung. Selain perihal hasil tesnya nanti, satu hal yang membuat Eric was-was juga adalah terkait pesan System semalam, bahwa ia akan segera mendapatkan hadiah dari misi yang berhasil ia jalankan sebelumnya."Kloter terakhir akan se







