Share

Tabib Sakti

Author: Zhu Phi
last update Last Updated: 2025-10-14 11:54:18

Jason mengepalkan tinjunya yang penuh luka. Rasa sakit di tubuhnya kini kalah oleh amarah yang membara di dadanya.

“Malang sekali nasibmu, kawan…” bisiknya lirih pada tubuh yang kini ia huni. Bibirnya berdarah, tapi tatapannya dingin. “Tenang saja. Aku akan membalas semua perbuatan mereka. Bibi, sepupu, para lintah darat itu… tidak akan dibiarkan hidup tenang.”

Jason menarik napas panjang, lalu menempelkan selembar kain putih lusuh di depan gubuk reyot yang kini jadi tempat tinggalnya. Tulisan yang ia coret dengan tinta hitam seadanya tampak jelas meski bergetar karena angin siang.

[TABIB SAKTI]

[MENGOBATI SEGALA MACAM PENYAKIT]

[GRATIS]

Ia menaruh sebuah meja reyot dan sebuah bangku kecil di depan gubuk itu, duduk dengan dada tegak pura-pura percaya diri, meski jantungnya sebenarnya berdetak gelisah. "Semoga ada yang lewat…," gumamnya sambil mengusap keringat di dahinya.

“Lihat tuh, sarjana gagal dari kota. Sekarang pura-pura jadi tabib,” sindir seorang pria tua sambil meludah ke tanah.

“Hah, mana ada orang waras mau diobati sama dia? Mendingan mati saja daripada percaya sama omong kosongnya,” celetuk wanita muda yang lewat sambil membawa keranjang sayur.

“Aku bisa menyembuhkan penyakit kalian kalau kalian beri kesempatan!” seru Jason lantang, mencoba menutupi gemetar dalam suaranya. Senyum optimis menghiasi wajahnya yang kurus, meski di matanya masih tersisa bayang kelelahan.

Beberapa orang hanya melirik sekilas sebelum kembali pada urusan masing-masing. Anak-anak berlari sambil menunjuk-nunjuknya, sebagian tertawa, sebagian lagi berbisik dengan rasa ingin tahu.

“Mungkin… hari ini keberuntungan akan berpihak,” gumamnya pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh hiruk-pikuk para pedagang yang mulai membereskan dagangan.

Namun, yang datang bukan keberuntungan—melainkan malapetaka.

Langkah-langkah berat mendekat. Suara sepatu bot menghantam tanah berirama dengan nada mengancam. Jason menoleh, dan dadanya seketika mengencang. Tiga pria berperawakan besar dengan wajah keras dan mata seperti serigala kelaparan mendekati lapaknya yang sederhana.

Salah satunya, bertubuh paling tinggi dan berotot, memiliki janggut tebal serta bekas luka panjang di pipinya. Ia meludah ke tanah dan berkata dengan nada menghina, “Ada pedagang baru rupanya... beraninya kamu buka lapak tanpa izin kami?”

Jason berdiri kaku di balik meja dagangnya yang reyot. “I-Izin? Kenapa harus izin? Aku hanya jual barang di depan rumahku sendiri,” ucapnya bingung, suaranya gemetar namun berusaha terdengar tegas.

Pria berjanggut itu menyeringai, memperlihatkan gigi kuningnya. “Rumahmu memang di sini, tapi kau berdagang dekat pasar. Jadi, tetap harus bayar uang keamanan. Satu keping perak… setiap hari.”

Jason mengepalkan tangannya. “Aku… belum punya uang. Tunggu aku dapat hasil dulu, baru aku bayar.”

Belum sempat ia melanjutkan kalimatnya—

PLAAAK!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipinya. Dunia Jason berputar. Ia hampir terjatuh, rasa panas menjalar di sisi wajahnya.

“Kurang ajar! Kau pikir kami badan amal?” bentak pria itu. Ia menendang meja kecil Jason hingga terbalik, membuat buah-buahan yang dijual Jason berguling ke jalanan. “Bayar sekarang, atau lapakmu akan jadi puing-puing!”

Jason menatap mereka dengan mata berkaca, tapi sebelum ia bisa membalas, sebuah suara jernih dan tegas terdengar.

“Hanya pria pengecut yang berani menindas orang miskin!”

Semua kepala menoleh. Dari ujung jalan pasar, seorang gadis berjalan menghampiri. Langkahnya ringan tapi penuh wibawa. Gaun merahnya berkibar tertiup angin senja, menyalakan warna di antara bayangan gedung. Rambut hitam legamnya bergelombang lembut, berkilau diterpa cahaya sore. Sepasang matanya tajam dan berani—kontras dengan kelembutan wajahnya yang memesona.

Jason terpaku. Udara di sekitarnya seakan berhenti sejenak.

Para preman itu, sempat terkejut, lalu tertawa terbahak-bahak. “Hahaha! Aku kira siapa. Gadis cantik rupanya! Kau mau main-main dengan kami, manis?” ejek si brewokan dengan tatapan cabul.

PLAAAK!

Tamparan itu melayang cepat seperti kilat. Kepala pria itu terpelanting ke samping, meninggalkan bekas merah tebal di pipinya.

“Sebut aku manis sekali lagi, dan aku akan rontokkan semua gigimu,” ucap sang gadis datar, matanya berkilat dingin.

“Bangsat kau, jalang!” pria itu berteriak, darah menetes di ujung bibirnya. “Kalian semua! Tangkap dia dan bawa ke hadapanku!”

Anak buahnya bergerak serempak, mengepung gadis itu dari segala arah. Napas mereka memburu, dan tatapan mereka mengandung niat jahat yang tak bisa disembunyikan.

Gadis itu mendengus jijik. “Sampah masyarakat… enyahlah!”

Ia mengangkat tangannya perlahan. Udara di sekitarnya bergemuruh—seolah angin menolak diam. Dalam sekejap, semburan energi tak terlihat menghantam tubuh para preman. Suara tulang berderak terdengar. Mereka terpelanting jauh, menabrak tong-tong kayu dan dinding toko. Beberapa menjerit kesakitan, tak sanggup bangun lagi.

Pemimpin mereka terpaku, matanya membelalak. “I-ilmu apa itu? Kau iblis, ya?!”

Gadis itu tak menjawab. Ia melangkah maju dan—

PLAAAK!

Tamparan keduanya begitu keras hingga pria itu terjungkal. Wajahnya bengkak, dan dua giginya copot, berhamburan di tanah.

“Cih. Awas kau,” desisnya, lalu kabur terbirit-birit bersama anak buahnya, meninggalkan debu dan ketakutan di udara.

Jason berdiri terpaku. Dunia di sekitarnya terasa hening, hanya suara napasnya sendiri yang terdengar. Gadis itu berbalik, menatapnya dengan senyum lembut—berbeda jauh dari wajah garang yang baru saja ia tunjukkan.

“Kau baik-baik saja?” tanyanya pelan, suaranya seperti musik setelah badai.

Jason menunduk, mencoba menyembunyikan rasa malunya. “A-aku... baik. Terima kasih… karena sudah menolongku.”

 “Apa… kau benar seorang tabib?” tanyanya lirih, nyaris tak terdengar. Sangat berbeda dengan ketegasannya tadi.

Jason tertegun, lalu buru-buru menegakkan tubuhnya dan menyeka wajahnya yang belepotan telur. “Aku tabib sejati. Kalau kau ragu, kau bisa mencobanya sendiri.”

Gadis itu menatapnya lama, seolah mencoba membaca niat di balik matanya. “Kau bersedia mengobati kakekku?” katanya kemudian, nada suaranya berubah serius.

Jason menghela napas, mencoba menegakkan wibawa yang sudah nyaris runtuh. “Mana kakekmu? Tapi aku tak melayani panggilan rumah, kalau itu maksudmu.”

Mendadak wajah gadis itu berubah masam. Ia melipat tangan di dada dan mengangkat dagu dengan angkuh. “Sombong sekali! Pelangganmu saja tidak ada, tapi sudah menolak panggilan. Aku...Karina Wijaya, akan membayarmu dua keping emas kalau kau berhasil menyembuhkan kakekku! Tapi kalau kau gagal… tetap akan kubayar seratus keping perak sebagai ganti waktumu.”

Jason membeku. Seratus keping perak? Jumlah itu lebih dari cukup untuk menutup hutang-hutangnya dan menyelamatkan nyawanya dari para penagih hutang.

Detik berikutnya, suara familiar bergema di dalam kepalanya:

[Ding! Misi Baru : Selamatkan Kakek Karina.]

[Hadiah : Alat Medis Modern + 10 Keping Emas]

[Bantuan : Tidak Ada]

Jason menelan ludah, jantungnya berdegup cepat. Harapan tiba-tiba terasa nyata di depan mata tapi sekaligus membuatnya kesal. “Dasar Sistem gila, sudah memberikan misi baru saja! Tidak ada bantuan pula!”

“Baiklah,” katanya mantap. “Aku terima tawaranmu. Tapi pastikan kau menepati janjimu, Nona Wijaya.”

“Siapa namamu?” tanya Karina.

“Jason Winata, Nona.”

Karina mendengus kecil, tapi matanya menatap lurus. “Keluarga Wijaya selalu menepati janji. Sekarang ikut aku ke Kota Aryaloka.”

Dengan satu gerakan tangannya, seorang kusir berpakaian hitam mendatangi mereka, membawa kereta kuda elegan berwarna gelap dengan ukiran naga di sisinya. Suara derap kaki kuda menggema, mengguncang tanah berdebu di bawah cahaya senja.

 “Huh… Aku ini dulu dokter bedah terkenal di Kota Braxton, tapi di zaman kuno ini…” ia tersenyum miris, menatap tangan kasarnya yang kini gemetar, “…aku hanyalah pecundang yang harus bangkit dari bawah.”

Ia melangkah masuk ke kereta, dan roda besi itu pun berputar, meninggalkan desa miskin yang menjadi saksi awal kebangkitannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Milaaaaa
semangat Abang Thor .........
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Sistem Medis Dokter Jenius Masa Depan    Keputusan Ratu Safira

    Ratu Safira melangkah turun dari singgasananya.Bukan langkah angkuh—tetapi langkah seorang penguasa yang tahu bahwa setiap gerakannya mampu menentukan hidup dan mati ribuan orang. Gaun ungu berbahan sutra naga menyapu lantai marmer, mengeluarkan suara lembut seperti desir angin malam.Jason menelan ludah.Semakin dekat sang Ratu, semakin kuat tekanan yang menusuk tulang. Seolah udara di sekelilingnya dipadatkan, membuat Jason merasa jiwanya sedang diukur, ditimbang… lalu diputuskan apakah layak atau tidak.Ratu berhenti tepat di depannya.Jarak mereka hanya beberapa langkah.Tangan Safira terangkat, membelai udara di antara mereka—gerakan ringan seperti membaca aura seseorang.“Jason.”Suaranya lembut… tapi berat seperti beban kerajaan itu sendiri.Tatapannya menusuk.Bening, tajam, dan terlalu jernih untuk ditantang.“Kau melakukan perjalanan panjang. Kau terluka. Otakmu pasti kelelahan. Kau bilang melihat kamp besar?” Bibirnya melengkung sedikit. “Empat puluh laporan penjaga perbat

  • Sistem Medis Dokter Jenius Masa Depan    Tidak Sesuai Harapan

    Udara di lorong terdalam istana terasa berbeda—lebih pekat, lebih berat, seolah setiap helai debu menyimpan rahasia yang tidak mau terbongkar. Jason dan Karina berjalan di belakang Jenderal Alexander, mengikuti langkah mantap sang panglima yang bergema di dinding batu hitam. Cahaya obor redup menari liar, membuat bayangan mereka memanjang, menggeliat di lantai.Dan di ujung lorong itu…Dua pintu emas setinggi lima meter berdiri menjulang. Ukirannya berbentuk naga kembar dengan mata permata ungu yang memantulkan cahaya seperti dua makhluk hidup yang siap menelan siapa pun yang lewat.Alexander berhenti tepat di depan pintu itu.“Ratu Safira ada di dalam,” katanya, suaranya rendah namun mantap. “Kalian harus menjelaskan semuanya dengan jelas. Ini menyangkut nasib satu kerajaan.”Jason mengusap keningnya, jantungnya berdetak seperti genderang perang yang dipukul tak beraturan. Karina menggenggam pergelangan tangan Jason begitu kuat hingga ia bisa merasakan dinginnya telapak tangan gadis

  • Sistem Medis Dokter Jenius Masa Depan    Menemui Jenderal

    Hari sudah sore menjelang malam saat Jason dan Karina tiba di kediaman Keluarga Wikaya, tapi Jenderal Alexander dan perdana Menteri Nathan tidak ada di tempat.“Kita harus ke istana!” ucap Jason disertai anggukan kepala Karina.Langkah Jason dan Karina membelah hiruk-pikuk Kota Aryaloka. Pasar mulai tutup, pedagang menurunkan tirai, sementara lampu-lampu minyak di sepanjang jalan menyala satu per satu. Namun tidak ada waktu menikmati pemandangan itu—Jason berjalan cepat, hampir berlari, napasnya berat setelah insiden dengan Vardos yang membuat waktunya semakin sempit.Karina menyusul dari belakang. “Jason… pelan sedikit! Kau jalan seperti dikejar hantu!”“Aku memang sedang dikejar sesuatu yang jauh lebih buruk,” jawab Jason tanpa menoleh. “Kalau laporan ini terlambat lima menit saja, Kerajaan Sangkala bisa jatuh sebelum sempat mengangkat pedang untuk melawan.”Karina merinding. Ia sudah melihat mata Jason berkali-kali—namun baru kali ini tatapan itu menunjukkan bahaya sebesar ini.Is

  • Sistem Medis Dokter Jenius Masa Depan    Kecurangan Vardos

    Vardos berdiri menghadang jalan Jason, kedua tangannya terlipat di depan dada, dagu terangkat seperti seorang bangsawan yang baru menang perang.“Kau menyembuhkan seluruh warga Desa Satyaloka?” Vardos menyeringai, suaranya menampar udara. “Mana buktinya? Setahuku… semua penduduk desa itu sudah mati. Tidak ada satu pun yang hidup.”Nada congkaknya membuat darah Jason mendidih. Ia sudah kelelahan dari perjalanan panjang, dan sekarang orang yang ditemuinya di ibu kota adalah tabib arogan yang selalu mencari celah menjatuhkannya.“Terserah apa yang kau percaya,” kata Jason, suaranya tajam seperti pisau bedah. “Aku tidak punya waktu bermain denganmu, Vardos. Ada urusan yang jauh lebih penting.”Vardos mengangkat satu alis. “Kau sudah kalah taruhan. Pergi dari Aryaloka sekarang juga!”Asher, yang berdiri sedikit di belakang, ikut maju. “Vardos benar. Lebih baik kau pergi, Jason. Atau…”Jason mendengus. “Atau apa, Asher? Kau mau membunuhku?”Ia menatap keduanya bergantian, aura kelelahan ber

  • Sistem Medis Dokter Jenius Masa Depan    Kembali Ke Ibukota

    Setelah berhari-hari menangani pasien satu demi satu, Jason akhirnya memastikan seluruh warga Desa Satyaloka berada pada jalur kesembuhan. Obat-obatan modern dari Kotak Obat Medis—tablet antibakteri, salep regeneratif, dan cairan steril—telah bekerja seperti keajaiban yang tak pernah dikenal oleh zaman ini.Ia menutup kotak itu perlahan, napasnya melembut.“Pergilah dari sini sementara,” ucap Jason kepada para tetua desa. “Cari desa lain yang jauh dari perbatasan Widyaloka. Jika mereka tahu kalian sembuh… kalian bisa dianggap ancaman.”Warga hanya bisa mengangguk, sebagian dengan mata berkaca-kaca.Jason memandangi mereka terakhir kali sebelum berbalik. Ia harus pulang dengan membawa kabar yang lebih berbahaya daripada penyakit apa pun.Kebetulan ia menemukan kuda yang masih sehat di desa yang bisa mempercepat dirinya kembali ke ibukota.Perjalanan pulang Jason berlangsung tenang—terlalu tenang. Tidak ada pasukan Widyaloka yang mengepung, tidak ada anggota Sekte Iblis Medis yang beru

  • Sistem Medis Dokter Jenius Masa Depan    Serangan Sekte Iblis Medis

    Seluruh desa bersorak, berlutut, dan menangis ketika Jason akhirnya berhasil menyembuhkan seluruh warga desa Satyaloka sekaligus melenyapkan wabah penyakit kusta di desa ini. Tapi ada satu orang yang tidak ikut bersyukur.Kepala desa.Ia berdiri di belakang, wajahnya tegang, pupilnya menyempit—bukan karena takjub, tapi panik.Jason menangkap tatapan itu sekilas.Tatapan seperti orang yang rencananya baru saja hancur berkeping-keping.Malam hari pertama setelah seluruh pasien sembuh, Jason berjalan sendirian menuju sungai, mencuci tangan dari sisa obat dan darah. Udara dingin menggigit kulit. Tepat ketika ia membungkuk…Kraaak!Suara ranting patah terdengar jelas, tapi Jason tidak menoleh.“Keluar kalian! Jangan seperti pengecut!”Dari balik kegelapan, tiga sosok berjubah hitam muncul, membawa kotak jarum beracun dan pisau bedah kuno berkilauan.Simbol tengkorak dan ular tergambar di dada jubah mereka.Jason menarik nafas panjang.“Sekte Iblis Medis…” gumamnya. Ia sudah membaca catata

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status