LOGINJason mengepalkan tinjunya yang penuh luka. Rasa sakit di tubuhnya kini kalah oleh amarah yang membara di dadanya.
“Malang sekali nasibmu, kawan…” bisiknya lirih pada tubuh yang kini ia huni. Bibirnya berdarah, tapi tatapannya dingin. “Tenang saja. Aku akan membalas semua perbuatan mereka. Bibi, sepupu, para lintah darat itu… tidak akan dibiarkan hidup tenang.”
Jason menarik napas panjang, lalu menempelkan selembar kain putih lusuh di depan gubuk reyot yang kini jadi tempat tinggalnya. Tulisan yang ia coret dengan tinta hitam seadanya tampak jelas meski bergetar karena angin siang.
[TABIB SAKTI]
[MENGOBATI SEGALA MACAM PENYAKIT] [GRATIS]Ia menaruh sebuah meja reyot dan sebuah bangku kecil di depan gubuk itu, duduk dengan dada tegak pura-pura percaya diri, meski jantungnya sebenarnya berdetak gelisah. "Semoga ada yang lewat…," gumamnya sambil mengusap keringat di dahinya.
“Lihat tuh, sarjana gagal dari kota. Sekarang pura-pura jadi tabib,” sindir seorang pria tua sambil meludah ke tanah.
“Hah, mana ada orang waras mau diobati sama dia? Mendingan mati saja daripada percaya sama omong kosongnya,” celetuk wanita muda yang lewat sambil membawa keranjang sayur.“Aku bisa menyembuhkan penyakit kalian kalau kalian beri kesempatan!” seru Jason lantang, mencoba menutupi gemetar dalam suaranya. Senyum optimis menghiasi wajahnya yang kurus, meski di matanya masih tersisa bayang kelelahan.
Beberapa orang hanya melirik sekilas sebelum kembali pada urusan masing-masing. Anak-anak berlari sambil menunjuk-nunjuknya, sebagian tertawa, sebagian lagi berbisik dengan rasa ingin tahu.
“Mungkin… hari ini keberuntungan akan berpihak,” gumamnya pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh hiruk-pikuk para pedagang yang mulai membereskan dagangan.
Namun, yang datang bukan keberuntungan—melainkan malapetaka.
Langkah-langkah berat mendekat. Suara sepatu bot menghantam tanah berirama dengan nada mengancam. Jason menoleh, dan dadanya seketika mengencang. Tiga pria berperawakan besar dengan wajah keras dan mata seperti serigala kelaparan mendekati lapaknya yang sederhana.
Salah satunya, bertubuh paling tinggi dan berotot, memiliki janggut tebal serta bekas luka panjang di pipinya. Ia meludah ke tanah dan berkata dengan nada menghina, “Ada pedagang baru rupanya... beraninya kamu buka lapak tanpa izin kami?”
Jason berdiri kaku di balik meja dagangnya yang reyot. “I-Izin? Kenapa harus izin? Aku hanya jual barang di depan rumahku sendiri,” ucapnya bingung, suaranya gemetar namun berusaha terdengar tegas.
Pria berjanggut itu menyeringai, memperlihatkan gigi kuningnya. “Rumahmu memang di sini, tapi kau berdagang dekat pasar. Jadi, tetap harus bayar uang keamanan. Satu keping perak… setiap hari.”
Jason mengepalkan tangannya. “Aku… belum punya uang. Tunggu aku dapat hasil dulu, baru aku bayar.”
Belum sempat ia melanjutkan kalimatnya—
PLAAAK!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipinya. Dunia Jason berputar. Ia hampir terjatuh, rasa panas menjalar di sisi wajahnya.
“Kurang ajar! Kau pikir kami badan amal?” bentak pria itu. Ia menendang meja kecil Jason hingga terbalik, membuat buah-buahan yang dijual Jason berguling ke jalanan. “Bayar sekarang, atau lapakmu akan jadi puing-puing!”
Jason menatap mereka dengan mata berkaca, tapi sebelum ia bisa membalas, sebuah suara jernih dan tegas terdengar.
“Hanya pria pengecut yang berani menindas orang miskin!”
Semua kepala menoleh. Dari ujung jalan pasar, seorang gadis berjalan menghampiri. Langkahnya ringan tapi penuh wibawa. Gaun merahnya berkibar tertiup angin senja, menyalakan warna di antara bayangan gedung. Rambut hitam legamnya bergelombang lembut, berkilau diterpa cahaya sore. Sepasang matanya tajam dan berani—kontras dengan kelembutan wajahnya yang memesona.
Jason terpaku. Udara di sekitarnya seakan berhenti sejenak.
Para preman itu, sempat terkejut, lalu tertawa terbahak-bahak. “Hahaha! Aku kira siapa. Gadis cantik rupanya! Kau mau main-main dengan kami, manis?” ejek si brewokan dengan tatapan cabul.
PLAAAK!
Tamparan itu melayang cepat seperti kilat. Kepala pria itu terpelanting ke samping, meninggalkan bekas merah tebal di pipinya.
“Sebut aku manis sekali lagi, dan aku akan rontokkan semua gigimu,” ucap sang gadis datar, matanya berkilat dingin.
“Bangsat kau, jalang!” pria itu berteriak, darah menetes di ujung bibirnya. “Kalian semua! Tangkap dia dan bawa ke hadapanku!”
Anak buahnya bergerak serempak, mengepung gadis itu dari segala arah. Napas mereka memburu, dan tatapan mereka mengandung niat jahat yang tak bisa disembunyikan.
Gadis itu mendengus jijik. “Sampah masyarakat… enyahlah!”
Ia mengangkat tangannya perlahan. Udara di sekitarnya bergemuruh—seolah angin menolak diam. Dalam sekejap, semburan energi tak terlihat menghantam tubuh para preman. Suara tulang berderak terdengar. Mereka terpelanting jauh, menabrak tong-tong kayu dan dinding toko. Beberapa menjerit kesakitan, tak sanggup bangun lagi.
Pemimpin mereka terpaku, matanya membelalak. “I-ilmu apa itu? Kau iblis, ya?!”
Gadis itu tak menjawab. Ia melangkah maju dan—
PLAAAK!
Tamparan keduanya begitu keras hingga pria itu terjungkal. Wajahnya bengkak, dan dua giginya copot, berhamburan di tanah.
“Cih. Awas kau,” desisnya, lalu kabur terbirit-birit bersama anak buahnya, meninggalkan debu dan ketakutan di udara.
Jason berdiri terpaku. Dunia di sekitarnya terasa hening, hanya suara napasnya sendiri yang terdengar. Gadis itu berbalik, menatapnya dengan senyum lembut—berbeda jauh dari wajah garang yang baru saja ia tunjukkan.
“Kau baik-baik saja?” tanyanya pelan, suaranya seperti musik setelah badai.
Jason menunduk, mencoba menyembunyikan rasa malunya. “A-aku... baik. Terima kasih… karena sudah menolongku.”
“Apa… kau benar seorang tabib?” tanyanya lirih, nyaris tak terdengar. Sangat berbeda dengan ketegasannya tadi.
Jason tertegun, lalu buru-buru menegakkan tubuhnya dan menyeka wajahnya yang belepotan telur. “Aku tabib sejati. Kalau kau ragu, kau bisa mencobanya sendiri.”
Gadis itu menatapnya lama, seolah mencoba membaca niat di balik matanya. “Kau bersedia mengobati kakekku?” katanya kemudian, nada suaranya berubah serius.
Jason menghela napas, mencoba menegakkan wibawa yang sudah nyaris runtuh. “Mana kakekmu? Tapi aku tak melayani panggilan rumah, kalau itu maksudmu.”
Mendadak wajah gadis itu berubah masam. Ia melipat tangan di dada dan mengangkat dagu dengan angkuh. “Sombong sekali! Pelangganmu saja tidak ada, tapi sudah menolak panggilan. Aku...Karina Wijaya, akan membayarmu dua keping emas kalau kau berhasil menyembuhkan kakekku! Tapi kalau kau gagal… tetap akan kubayar seratus keping perak sebagai ganti waktumu.”
Jason membeku. Seratus keping perak? Jumlah itu lebih dari cukup untuk menutup hutang-hutangnya dan menyelamatkan nyawanya dari para penagih hutang.
Detik berikutnya, suara familiar bergema di dalam kepalanya:
[Ding! Misi Baru : Selamatkan Kakek Karina.]
[Hadiah : Alat Medis Modern + 10 Keping Emas]
[Bantuan : Tidak Ada]
Jason menelan ludah, jantungnya berdegup cepat. Harapan tiba-tiba terasa nyata di depan mata tapi sekaligus membuatnya kesal. “Dasar Sistem gila, sudah memberikan misi baru saja! Tidak ada bantuan pula!”
“Baiklah,” katanya mantap. “Aku terima tawaranmu. Tapi pastikan kau menepati janjimu, Nona Wijaya.”
“Siapa namamu?” tanya Karina.
“Jason Winata, Nona.”
Karina mendengus kecil, tapi matanya menatap lurus. “Keluarga Wijaya selalu menepati janji. Sekarang ikut aku ke Kota Aryaloka.”
Dengan satu gerakan tangannya, seorang kusir berpakaian hitam mendatangi mereka, membawa kereta kuda elegan berwarna gelap dengan ukiran naga di sisinya. Suara derap kaki kuda menggema, mengguncang tanah berdebu di bawah cahaya senja.
“Huh… Aku ini dulu dokter bedah terkenal di Kota Braxton, tapi di zaman kuno ini…” ia tersenyum miris, menatap tangan kasarnya yang kini gemetar, “…aku hanyalah pecundang yang harus bangkit dari bawah.”
Ia melangkah masuk ke kereta, dan roda besi itu pun berputar, meninggalkan desa miskin yang menjadi saksi awal kebangkitannya.
Kamar Perdana Menteri yang tadinya sunyi berubah menjadi ruangan yang tegang. Cahaya lentera memantul samar di dinding marmer, seolah ikut menahan napas. Aroma obat herbal masih menggantung di udara...pahit, menusuk, dan dingin.Tabib Istana itu—Markus—baru saja hendak melangkah keluar. Jubah hijaunya berkibar pelan, wajahnya pucat namun ia paksa untuk tersenyum seolah semuanya baik-baik saja.Namun suara tegas memotong keheningan.“Aku belum selesai denganmu, Pak Tua,” ucap Jason, suaranya datar tapi tajam seperti bilah pedang yang baru diasah.Langkah Markus terhenti. Ia menoleh, pura-pura anggun, seolah derajat seorang tabib istana membuatnya kebal dari rasa bersalah.“Apa lagi, Tabib Jason?” katanya dengan nada manis yang palsu. “Bukankah kau sudah berhasil menyelamatkan nyawa Perdana Menteri? Raja pasti akan memberimu hadiah besar. Sekarang... aku permisi.”Ia kembali berbalik dengan wajah angkuhnya.“Tunggu.”Suara Jason kali ini lebih dingin. “Apa kau lupa dengan janjimu?”Akhi
Jason tetap tenang di tengah kerumunan tabib istana yang memandangnya dengan tatapan mencemooh. Ia meneteskan cairan oralit buatan tangannya perlahan ke bibir pucat Perdana Menteri yang hingga kini bahkan tak mampu membuka mata.“Minum sedikit saja… ayo,” bisiknya lirih, nada suaranya begitu mantap seolah berbicara kepada tubuh yang nyaris kehilangan semangat hidup.Karina berdiri di sisi tempat tidur, tangan mungilnya menggenggam ujung tirai sutra dengan gemetar. Ia ingin percaya—tapi rasa takut masih mendominasi wajahnya.“Tabib Jason… kalau terjadi apa-apa dengan Kakek, aku tidak akan bisa menolongmu.”“Tenang.” Jason memotongnya lembut. “Perdana Menteri akan baik-baik saja. Tubuhnya hanya butuh waktu untuk menerima cairan ini.”Sementara itu, Tabib Istana menatap sinis.“Hmph! Kau pikir campuran air, gula, dan garam bisa menyelamatkan seseorang di ambang kematian? Dasar anak sombong!”Jason menatapnya dingin. “Kau tidak tahu apa-apa tentang cara kerja tubuh manusia. Air dan garam
Jason menarik napas dalam, lalu berkata datar tapi mantap, “Apa kalian punya air minum yang sudah dimasak, gula pasir, dan garam?”Beberapa tabib langsung berpandangan satu sama lain, sementara Karina memiringkan kepala, alisnya berkerut. “Air matang, gula, dan garam? Apa maksudmu?”Jason tak menoleh. Suaranya tegas, dingin, seolah tak ada waktu untuk penjelasan panjang. “Kau ingin kakekmu sembuh atau tidak?”Nada serius Jason membuat Karina terdiam sejenak. Wajahnya berubah dari bingung menjadi tegang. “Tentu saja aku ingin! Pelayan!” serunya lantang. “Cepat bawakan apa yang diminta Tabib Jason!”Para tabib istana saling berbisik pelan. Salah satu dari mereka—seorang pria tua berjanggut panjang dengan jubah hijau zamrud—tertawa kering, nada suaranya merendahkan.“Baru kali ini aku mendengar penyakit disembuhkan dengan bumbu dapur,” ejeknya. “Air, gula, garam—apa kau sedang membuat minuman pesta, anak muda? Kalau kau ingin mundur, lakukan sekarang sebelum mempermalukan dirimu sendiri.
Tangan Jason mendadak gemetar. Ia mencoba memanggil kembali potongan ingatannya... tentang bagaimana cara menjahit luka, melakukan resusitasi, atau sekadar mendiagnosis gejala, namun yang muncul hanyalah kekosongan.Ruangan itu terasa membeku. Para pelayan dan tabib kerajaan yang menatap Jason dengan penuh harapan kini mulai berbisik-bisik, menatap heran melihat perubahan ekspresinya.Tabib Istana yang berdiri di belakangnya menyilangkan tangan dengan senyum sinis di wajah tuanya. “Kenapa, Anak Muda?” tanyanya dengan nada mengejek. “Kau... lupa cara pengobatan, ya?”Jason menatapnya dengan rahang mengeras, tapi dalam dadanya, jantungnya berdetak kacau.Ding!Sebuah suara mekanis bergema di dalam kepalanya, seperti bunyi lonceng dari dunia lain.[Ilmu Pengobatan Zaman Modern : Terkunci!][Misi untuk membuka segel ingatan : Buat Nona Karina tertarik dan memberikan satu kecupan!][Hadiah : Ingatan tentang Penyembuhan Penyakit Zaman Kuno]Jason membeku. Matanya membulat tidak percaya.“Ap
Sekitar satu jam perjalanan berlalu sebelum kereta akhirnya berhenti di depan sebuah rumah megah yang berdiri di tengah kota Aryaloka. Bangunannya besar, bertingkat dua, dengan atap melengkung berlapis genteng merah bata dan ukiran naga di setiap pilar batu. Di gerbang depan, dua penjaga bersenjata tombak berdiri tegak, wajah mereka tanpa ekspresi.Karina turun lebih dulu, gaunnya bergoyang diterpa angin sore. “Kita sudah sampai,” katanya singkat, tapi nadanya menyiratkan harapan dan tekanan sekaligus. “Aku harap kau bisa menyembuhkan Kakek.”Jason melompat turun dari kereta, menepuk-nepuk debu di pakaiannya. “Apakah Nona memiliki jarum perak? Aku mungkin membutuhkannya nanti.”Karina berbalik, menatap Jason dengan ekspresi antara kaget dan kesal. “Tabib macam apa kau ini? Jarum perak saja tak punya? Aku pernah lihat orang memberi hadiah satu kotak penuh jarum pengobatan pada kakek saat ulangtahun.” Ia mendengus kecil, lalu menambahkan dingin, “Masuk saja dulu. Aku akan mencarinya dul
Jason mengepalkan tinjunya yang penuh luka. Rasa sakit di tubuhnya kini kalah oleh amarah yang membara di dadanya.“Malang sekali nasibmu, kawan…” bisiknya lirih pada tubuh yang kini ia huni. Bibirnya berdarah, tapi tatapannya dingin. “Tenang saja. Aku akan membalas semua perbuatan mereka. Bibi, sepupu, para lintah darat itu… tidak akan dibiarkan hidup tenang.”Jason menarik napas panjang, lalu menempelkan selembar kain putih lusuh di depan gubuk reyot yang kini jadi tempat tinggalnya. Tulisan yang ia coret dengan tinta hitam seadanya tampak jelas meski bergetar karena angin siang.[TABIB SAKTI][MENGOBATI SEGALA MACAM PENYAKIT][GRATIS]Ia menaruh sebuah meja reyot dan sebuah bangku kecil di depan gubuk itu, duduk dengan dada tegak pura-pura percaya diri, meski jantungnya sebenarnya berdetak gelisah. "Semoga ada yang lewat…," gumamnya sambil mengusap keringat di dahinya.“Lihat tuh, sarjana gagal dari kota. Sekarang pura-pura jadi tabib,” sindir seorang pria tua sambil meludah ke tan







