Share

Tak Bisa Sembuh

Author: Zhu Phi
last update Last Updated: 2025-10-14 11:55:49

Sekitar satu jam perjalanan berlalu sebelum kereta akhirnya berhenti di depan sebuah rumah megah yang berdiri di tengah kota Aryaloka. Bangunannya besar, bertingkat dua, dengan atap melengkung berlapis genteng merah bata dan ukiran naga di setiap pilar batu. Di gerbang depan, dua penjaga bersenjata tombak berdiri tegak, wajah mereka tanpa ekspresi.

Karina turun lebih dulu, gaunnya bergoyang diterpa angin sore. “Kita sudah sampai,” katanya singkat, tapi nadanya menyiratkan harapan dan tekanan sekaligus. “Aku harap kau bisa menyembuhkan Kakek.”

Jason melompat turun dari kereta, menepuk-nepuk debu di pakaiannya. “Apakah Nona memiliki jarum perak? Aku mungkin membutuhkannya nanti.”

Karina berbalik, menatap Jason dengan ekspresi antara kaget dan kesal. “Tabib macam apa kau ini? Jarum perak saja tak punya? Aku pernah lihat orang memberi hadiah satu kotak penuh jarum pengobatan pada kakek saat ulangtahun.” Ia mendengus kecil, lalu menambahkan dingin, “Masuk saja dulu. Aku akan mencarinya dulu.”

Sebelum Jason sempat menjawab, gadis itu sudah pergi ke arah lain, langkahnya cepat dan berwibawa.

Jason berdiri di depan halaman luas rumah itu, matanya menyapu sekeliling. Paviliun-paviliun kecil berdiri di tiap sisi taman, lengkap dengan kolam ikan dan pepohonan yang dipangkas rapi. “Rumah ini… memang besar dan indah pada zamannya tapi masih kalah dengan rumah mewahku di zaman modern,” batinnya. “Keluarga Wijaya ini jelas bukan orang sembarangan di Kota Aryaloka.”

“Silakan, Tuan Tabib,” ucap seorang pelayan pria berusia paruh baya dengan hormat. Ia mengenakan pakaian biru tua khas pelayan bangsawan. “Saya akan mengantarkan Anda ke kamar Tuan Wijaya.”

Jason mengangguk dan mengikutinya melewati lorong panjang berliku. Setiap langkah mereka diiringi gemerincing gelang logam dan wangi dupa yang menenangkan. Dinding-dindingnya dihiasi lukisan tinta naga, phoenix, dan peta langit kuno.

Mereka berhenti di depan sebuah pintu kayu besar dengan ukiran naga emas. Dua penjaga di depan pintu menunduk hormat sebelum membukanya.

Begitu pintu terbuka, hawa hangat bercampur bau ramuan obat langsung menyeruak. Di tengah ruangan, seorang pria berusia sekitar lima puluh tahun terbaring di tempat tidur besar berlapis kain putih. Wajahnya pucat, napasnya berat, namun dari garis rahangnya masih tampak sisa-sisa kekuatan seorang pria berpengaruh.

Di sekeliling tempat tidur berdiri empat orang tabib. Satu di antaranya—seorang pria tua berjenggot panjang dengan jubah hijau—tengah memeriksa denyut nadi pasien sambil menggeleng pelan.

Ding!

[Misi dimulai : Sembuhkan Kakek Karina. Waktu tersisa : 24 jam.]

Jason menatap notifikasi itu sekilas di benaknya, matanya menyipit penuh tekad.

“Hmph!” Tabib tua itu mendengus keras. “Tubuh Perdana Menteri menolak semua makanan dan air yang masuk. Jika ini terus berlanjut, nyawanya hanya tinggal hitungan jam!”

Jason membeku. Kalimat itu langsung membuat pikirannya kembali berputar. Gejala yang disebutkan terlalu familiar—dehidrasi cepat, kejang perut, tubuh menolak cairan. Kolera. Penyakit mematikan yang pernah ia tangani di masa modern. Namun di zaman ini, belum ada yang mengenalnya… apalagi mampu mengobatinya.

“Anak muda!” seru tabib tua itu tiba-tiba, menatap Jason tajam. “Selain tabib istana, orang luar dilarang masuk! Pergi!”

Jason menegakkan tubuhnya. “Aku diminta Nona Karina untuk mengobati kakeknya.”

Tawa bergema memenuhi ruangan, keras dan sumbang. Tabib tua itu menepuk meja kayu di sampingnya sampai cangkir teh di atasnya bergoyang. “Kau bilang apa barusan, Anak Muda?!” serunya, matanya menyipit, namun mulutnya tertarik ke dalam senyum mengejek. “Kau diminta Nona Karina untuk mengobati Perdana Menteri? Hahaha! Jangan bercanda! Bahkan kami, para tabib istana yang telah mempelajari ratusan naskah kuno, tak sanggup menolong beliau!”

Suasana ruangan itu terasa tegang namun hidup—bau obat-obatan tajam menyeruak dari rak-rak penuh botol kaca dan gulungan ramuan kering. Di tengah tawa yang bergemuruh, Jason berdiri tenang. Cahaya dari jendela menyorot wajah mudanya yang dipenuhi keyakinan.

“Itu kalian...” katanya datar, menatap langsung ke arah tabib tua yang kini berhenti tertawa. “...bukan aku.”

Keheningan menyergap. Tatapan para murid tabib istana yang semula menonton dengan senyum sinis kini berubah tajam, seperti siap menelan Jason hidup-hidup.

“Kurang ajar!” bentak sang tabib tua, urat di lehernya menegang. “Apa gelarmu, Anak Muda, hingga berani bicara seperti itu padaku?”

Jason menegakkan punggungnya. “Sarjana Medis,” jawabnya singkat, tanpa sedikit pun keraguan.

Beberapa murid di sudut ruangan menahan tawa, sementara yang lain berbisik-bisik mengejek. “Hanya Sarjana Medis? Berani menantang tabib istana? Gila, anak ini...”

Tabib tua itu mendengus kasar. “Baru Sarjana Medis saja sudah sombong! Kau pikir ilmu pengobatan istana ini mainan? Baiklah, kalau begitu—aku beri kau satu tantangan!” Ia bersandar di kursinya, menatap Jason tajam. “Jika kau benar-benar berhasil menyembuhkan Perdana Menteri, aku akan sembah kau tiga kali sambil memanggilmu Guru! Bagaimana?”

Jason menatap lurus, sudut bibirnya terangkat tipis. “Aku tidak butuh murid,” katanya pelan, namun nadanya menusuk seperti bilah halus. “Aku hanya ingin kau sembah aku tiga kali dan panggil aku Tuan Muda. Bagaimana? Kau berani?”

Ruangan itu kembali hening. Sekali lagi, tabib-tabib di sekitar mereka terdiam, tak percaya dengan keberanian Jason yang begitu terang-terangan menantang sosok sekuat tabib istana.

Tabib tua itu berdiri, jubahnya berkibar, menatap Jason dengan campuran amarah dan rasa tertantang. “Aku selalu menepati janjiku!” suaranya menggelegar. “Tapi jika kau gagal, Anak Muda, jangan pernah lagi mengaku sebagai tabib! Tinggalkan Kerajaan Sangkala untuk selamanya dan jangan kembali!”

Jason tidak mundur selangkah pun. Ia menatap langsung ke mata pria itu, tanpa ragu. “Setuju!” katanya dengan nada ringan tapi tajam seperti pisau. “Dan aku harap kau juga tidak mengingkari janjimu, Pak Tua.”

Seketika suara langkah cepat terdengar dari luar ruangan membuat keributan sedikit mereda. Pintu terbuka lebar, dan Karina masuk dengan wajah tegang, membawa sebuah kotak hitam berukir naga emas. Tatapannya menusuk setiap tabib di ruangan.

“Aku yang meminta Tuan Jason memeriksa kakek,” suaranya dingin tapi tegas. “Kalian semua sudah berhari-hari gagal menyembuhkan Kakek, tapi masih berani menertawakan tabib lain?!”

Ruangan langsung sunyi. Para tabib menunduk, sebagian terkejut dengan keberanian gadis itu.

Karina menatap tajam ke tabib tua yang tadi mengejek Jason. “Apa kalian sudah lupa siapa ayahku sebenarnya? Kalau kalian berani menolak perintahku, aku pastikan ayahku tahu semuanya dan meminta Raja untuk memenggal kalian semua!”

Tabib tua itu menelan ludah, tapi mencoba bertahan. “Nona… kami hanya khawatir. Penyakit Perdana Menteri ini bukan penyakit biasa. Tubuh beliau seperti terkena kutukan atau racun sihir. Kami tak bisa berbuat apa-apa kecuali membiarkan beliau beristirahat dengan tenang.”

Mata Karina berkilat marah. “Kalian memang tidak berguna! Mengaku tabib istana, tapi tak mampu mengenali penyakit kakekku! Tabib macam apa kalian ini?!”

Ia menoleh cepat ke Jason, matanya penuh keyakinan sekaligus kecemasan. “Buktikan pada mereka, Tabib Jason. Buktikan kalau kau berbeda.”

Jason mengangguk pelan, menatap ke arah tempat tidur di mana tubuh tua itu berbaring lemah. Jari-jarinya mengepal. “Baiklah,” ucapnya mantap. “Aku akan tunjukkan caraku.”

Jason berdiri di samping ranjang besar tempat sang Perdana Menteri terbaring lemah, napasnya tersengal dengan wajah pucat pasi. Tapi sebelum ia sempat mengulurkan tangan untuk memeriksa nadi, sebuah sensasi aneh melanda kepalanya. Dunia di sekitarnya berputar, pandangannya buram.

Lalu... semua berubah.

Ingatan tentang ruang operasi modern, mesin MRI, aroma antiseptik, hingga nama-nama obat dan teknik medis yang selama ini ia kuasai... menguap begitu saja, lenyap seperti pasir tertiup badai.

Jason terengah, matanya membelalak.

“Apa ini?!” serunya dalam hati. “Kenapa kemampuan dokterku... hilang?! Apa yang terjadi padaku?!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sistem Medis Dokter Jenius Masa Depan    Liciknya Tabib Istana

    Kamar Perdana Menteri yang tadinya sunyi berubah menjadi ruangan yang tegang. Cahaya lentera memantul samar di dinding marmer, seolah ikut menahan napas. Aroma obat herbal masih menggantung di udara...pahit, menusuk, dan dingin.Tabib Istana itu—Markus—baru saja hendak melangkah keluar. Jubah hijaunya berkibar pelan, wajahnya pucat namun ia paksa untuk tersenyum seolah semuanya baik-baik saja.Namun suara tegas memotong keheningan.“Aku belum selesai denganmu, Pak Tua,” ucap Jason, suaranya datar tapi tajam seperti bilah pedang yang baru diasah.Langkah Markus terhenti. Ia menoleh, pura-pura anggun, seolah derajat seorang tabib istana membuatnya kebal dari rasa bersalah.“Apa lagi, Tabib Jason?” katanya dengan nada manis yang palsu. “Bukankah kau sudah berhasil menyelamatkan nyawa Perdana Menteri? Raja pasti akan memberimu hadiah besar. Sekarang... aku permisi.”Ia kembali berbalik dengan wajah angkuhnya.“Tunggu.”Suara Jason kali ini lebih dingin. “Apa kau lupa dengan janjimu?”Akhi

  • Sistem Medis Dokter Jenius Masa Depan    Keajaiban Dunia Medis

    Jason tetap tenang di tengah kerumunan tabib istana yang memandangnya dengan tatapan mencemooh. Ia meneteskan cairan oralit buatan tangannya perlahan ke bibir pucat Perdana Menteri yang hingga kini bahkan tak mampu membuka mata.“Minum sedikit saja… ayo,” bisiknya lirih, nada suaranya begitu mantap seolah berbicara kepada tubuh yang nyaris kehilangan semangat hidup.Karina berdiri di sisi tempat tidur, tangan mungilnya menggenggam ujung tirai sutra dengan gemetar. Ia ingin percaya—tapi rasa takut masih mendominasi wajahnya.“Tabib Jason… kalau terjadi apa-apa dengan Kakek, aku tidak akan bisa menolongmu.”“Tenang.” Jason memotongnya lembut. “Perdana Menteri akan baik-baik saja. Tubuhnya hanya butuh waktu untuk menerima cairan ini.”Sementara itu, Tabib Istana menatap sinis.“Hmph! Kau pikir campuran air, gula, dan garam bisa menyelamatkan seseorang di ambang kematian? Dasar anak sombong!”Jason menatapnya dingin. “Kau tidak tahu apa-apa tentang cara kerja tubuh manusia. Air dan garam

  • Sistem Medis Dokter Jenius Masa Depan    Obat Ajaib

    Jason menarik napas dalam, lalu berkata datar tapi mantap, “Apa kalian punya air minum yang sudah dimasak, gula pasir, dan garam?”Beberapa tabib langsung berpandangan satu sama lain, sementara Karina memiringkan kepala, alisnya berkerut. “Air matang, gula, dan garam? Apa maksudmu?”Jason tak menoleh. Suaranya tegas, dingin, seolah tak ada waktu untuk penjelasan panjang. “Kau ingin kakekmu sembuh atau tidak?”Nada serius Jason membuat Karina terdiam sejenak. Wajahnya berubah dari bingung menjadi tegang. “Tentu saja aku ingin! Pelayan!” serunya lantang. “Cepat bawakan apa yang diminta Tabib Jason!”Para tabib istana saling berbisik pelan. Salah satu dari mereka—seorang pria tua berjanggut panjang dengan jubah hijau zamrud—tertawa kering, nada suaranya merendahkan.“Baru kali ini aku mendengar penyakit disembuhkan dengan bumbu dapur,” ejeknya. “Air, gula, garam—apa kau sedang membuat minuman pesta, anak muda? Kalau kau ingin mundur, lakukan sekarang sebelum mempermalukan dirimu sendiri.

  • Sistem Medis Dokter Jenius Masa Depan    Kerusakan Sistem Medis

    Tangan Jason mendadak gemetar. Ia mencoba memanggil kembali potongan ingatannya... tentang bagaimana cara menjahit luka, melakukan resusitasi, atau sekadar mendiagnosis gejala, namun yang muncul hanyalah kekosongan.Ruangan itu terasa membeku. Para pelayan dan tabib kerajaan yang menatap Jason dengan penuh harapan kini mulai berbisik-bisik, menatap heran melihat perubahan ekspresinya.Tabib Istana yang berdiri di belakangnya menyilangkan tangan dengan senyum sinis di wajah tuanya. “Kenapa, Anak Muda?” tanyanya dengan nada mengejek. “Kau... lupa cara pengobatan, ya?”Jason menatapnya dengan rahang mengeras, tapi dalam dadanya, jantungnya berdetak kacau.Ding!Sebuah suara mekanis bergema di dalam kepalanya, seperti bunyi lonceng dari dunia lain.[Ilmu Pengobatan Zaman Modern : Terkunci!][Misi untuk membuka segel ingatan : Buat Nona Karina tertarik dan memberikan satu kecupan!][Hadiah : Ingatan tentang Penyembuhan Penyakit Zaman Kuno]Jason membeku. Matanya membulat tidak percaya.“Ap

  • Sistem Medis Dokter Jenius Masa Depan    Tak Bisa Sembuh

    Sekitar satu jam perjalanan berlalu sebelum kereta akhirnya berhenti di depan sebuah rumah megah yang berdiri di tengah kota Aryaloka. Bangunannya besar, bertingkat dua, dengan atap melengkung berlapis genteng merah bata dan ukiran naga di setiap pilar batu. Di gerbang depan, dua penjaga bersenjata tombak berdiri tegak, wajah mereka tanpa ekspresi.Karina turun lebih dulu, gaunnya bergoyang diterpa angin sore. “Kita sudah sampai,” katanya singkat, tapi nadanya menyiratkan harapan dan tekanan sekaligus. “Aku harap kau bisa menyembuhkan Kakek.”Jason melompat turun dari kereta, menepuk-nepuk debu di pakaiannya. “Apakah Nona memiliki jarum perak? Aku mungkin membutuhkannya nanti.”Karina berbalik, menatap Jason dengan ekspresi antara kaget dan kesal. “Tabib macam apa kau ini? Jarum perak saja tak punya? Aku pernah lihat orang memberi hadiah satu kotak penuh jarum pengobatan pada kakek saat ulangtahun.” Ia mendengus kecil, lalu menambahkan dingin, “Masuk saja dulu. Aku akan mencarinya dul

  • Sistem Medis Dokter Jenius Masa Depan    Tabib Sakti

    Jason mengepalkan tinjunya yang penuh luka. Rasa sakit di tubuhnya kini kalah oleh amarah yang membara di dadanya.“Malang sekali nasibmu, kawan…” bisiknya lirih pada tubuh yang kini ia huni. Bibirnya berdarah, tapi tatapannya dingin. “Tenang saja. Aku akan membalas semua perbuatan mereka. Bibi, sepupu, para lintah darat itu… tidak akan dibiarkan hidup tenang.”Jason menarik napas panjang, lalu menempelkan selembar kain putih lusuh di depan gubuk reyot yang kini jadi tempat tinggalnya. Tulisan yang ia coret dengan tinta hitam seadanya tampak jelas meski bergetar karena angin siang.[TABIB SAKTI][MENGOBATI SEGALA MACAM PENYAKIT][GRATIS]Ia menaruh sebuah meja reyot dan sebuah bangku kecil di depan gubuk itu, duduk dengan dada tegak pura-pura percaya diri, meski jantungnya sebenarnya berdetak gelisah. "Semoga ada yang lewat…," gumamnya sambil mengusap keringat di dahinya.“Lihat tuh, sarjana gagal dari kota. Sekarang pura-pura jadi tabib,” sindir seorang pria tua sambil meludah ke tan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status