LOGINSekitar satu jam perjalanan berlalu sebelum kereta akhirnya berhenti di depan sebuah rumah megah yang berdiri di tengah kota Aryaloka. Bangunannya besar, bertingkat dua, dengan atap melengkung berlapis genteng merah bata dan ukiran naga di setiap pilar batu. Di gerbang depan, dua penjaga bersenjata tombak berdiri tegak, wajah mereka tanpa ekspresi.
Karina turun lebih dulu, gaunnya bergoyang diterpa angin sore. “Kita sudah sampai,” katanya singkat, tapi nadanya menyiratkan harapan dan tekanan sekaligus. “Aku harap kau bisa menyembuhkan Kakek.”
Jason melompat turun dari kereta, menepuk-nepuk debu di pakaiannya. “Apakah Nona memiliki jarum perak? Aku mungkin membutuhkannya nanti.”
Karina berbalik, menatap Jason dengan ekspresi antara kaget dan kesal. “Tabib macam apa kau ini? Jarum perak saja tak punya? Aku pernah lihat orang memberi hadiah satu kotak penuh jarum pengobatan pada kakek saat ulangtahun.” Ia mendengus kecil, lalu menambahkan dingin, “Masuk saja dulu. Aku akan mencarinya dulu.”
Sebelum Jason sempat menjawab, gadis itu sudah pergi ke arah lain, langkahnya cepat dan berwibawa.
Jason berdiri di depan halaman luas rumah itu, matanya menyapu sekeliling. Paviliun-paviliun kecil berdiri di tiap sisi taman, lengkap dengan kolam ikan dan pepohonan yang dipangkas rapi. “Rumah ini… memang besar dan indah pada zamannya tapi masih kalah dengan rumah mewahku di zaman modern,” batinnya. “Keluarga Wijaya ini jelas bukan orang sembarangan di Kota Aryaloka.”
“Silakan, Tuan Tabib,” ucap seorang pelayan pria berusia paruh baya dengan hormat. Ia mengenakan pakaian biru tua khas pelayan bangsawan. “Saya akan mengantarkan Anda ke kamar Tuan Wijaya.”
Jason mengangguk dan mengikutinya melewati lorong panjang berliku. Setiap langkah mereka diiringi gemerincing gelang logam dan wangi dupa yang menenangkan. Dinding-dindingnya dihiasi lukisan tinta naga, phoenix, dan peta langit kuno.
Mereka berhenti di depan sebuah pintu kayu besar dengan ukiran naga emas. Dua penjaga di depan pintu menunduk hormat sebelum membukanya.
Begitu pintu terbuka, hawa hangat bercampur bau ramuan obat langsung menyeruak. Di tengah ruangan, seorang pria berusia sekitar lima puluh tahun terbaring di tempat tidur besar berlapis kain putih. Wajahnya pucat, napasnya berat, namun dari garis rahangnya masih tampak sisa-sisa kekuatan seorang pria berpengaruh.
Di sekeliling tempat tidur berdiri empat orang tabib. Satu di antaranya—seorang pria tua berjenggot panjang dengan jubah hijau—tengah memeriksa denyut nadi pasien sambil menggeleng pelan.
Ding!
[Misi dimulai : Sembuhkan Kakek Karina. Waktu tersisa : 24 jam.]Jason menatap notifikasi itu sekilas di benaknya, matanya menyipit penuh tekad.
“Hmph!” Tabib tua itu mendengus keras. “Tubuh Perdana Menteri menolak semua makanan dan air yang masuk. Jika ini terus berlanjut, nyawanya hanya tinggal hitungan jam!”
Jason membeku. Kalimat itu langsung membuat pikirannya kembali berputar. Gejala yang disebutkan terlalu familiar—dehidrasi cepat, kejang perut, tubuh menolak cairan. Kolera. Penyakit mematikan yang pernah ia tangani di masa modern. Namun di zaman ini, belum ada yang mengenalnya… apalagi mampu mengobatinya.
“Anak muda!” seru tabib tua itu tiba-tiba, menatap Jason tajam. “Selain tabib istana, orang luar dilarang masuk! Pergi!”
Jason menegakkan tubuhnya. “Aku diminta Nona Karina untuk mengobati kakeknya.”
Tawa bergema memenuhi ruangan, keras dan sumbang. Tabib tua itu menepuk meja kayu di sampingnya sampai cangkir teh di atasnya bergoyang. “Kau bilang apa barusan, Anak Muda?!” serunya, matanya menyipit, namun mulutnya tertarik ke dalam senyum mengejek. “Kau diminta Nona Karina untuk mengobati Perdana Menteri? Hahaha! Jangan bercanda! Bahkan kami, para tabib istana yang telah mempelajari ratusan naskah kuno, tak sanggup menolong beliau!”
Suasana ruangan itu terasa tegang namun hidup—bau obat-obatan tajam menyeruak dari rak-rak penuh botol kaca dan gulungan ramuan kering. Di tengah tawa yang bergemuruh, Jason berdiri tenang. Cahaya dari jendela menyorot wajah mudanya yang dipenuhi keyakinan.
“Itu kalian...” katanya datar, menatap langsung ke arah tabib tua yang kini berhenti tertawa. “...bukan aku.”
Keheningan menyergap. Tatapan para murid tabib istana yang semula menonton dengan senyum sinis kini berubah tajam, seperti siap menelan Jason hidup-hidup.
“Kurang ajar!” bentak sang tabib tua, urat di lehernya menegang. “Apa gelarmu, Anak Muda, hingga berani bicara seperti itu padaku?”
Jason menegakkan punggungnya. “Sarjana Medis,” jawabnya singkat, tanpa sedikit pun keraguan.
Beberapa murid di sudut ruangan menahan tawa, sementara yang lain berbisik-bisik mengejek. “Hanya Sarjana Medis? Berani menantang tabib istana? Gila, anak ini...”
Tabib tua itu mendengus kasar. “Baru Sarjana Medis saja sudah sombong! Kau pikir ilmu pengobatan istana ini mainan? Baiklah, kalau begitu—aku beri kau satu tantangan!” Ia bersandar di kursinya, menatap Jason tajam. “Jika kau benar-benar berhasil menyembuhkan Perdana Menteri, aku akan sembah kau tiga kali sambil memanggilmu Guru! Bagaimana?”
Jason menatap lurus, sudut bibirnya terangkat tipis. “Aku tidak butuh murid,” katanya pelan, namun nadanya menusuk seperti bilah halus. “Aku hanya ingin kau sembah aku tiga kali dan panggil aku Tuan Muda. Bagaimana? Kau berani?”
Ruangan itu kembali hening. Sekali lagi, tabib-tabib di sekitar mereka terdiam, tak percaya dengan keberanian Jason yang begitu terang-terangan menantang sosok sekuat tabib istana.
Tabib tua itu berdiri, jubahnya berkibar, menatap Jason dengan campuran amarah dan rasa tertantang. “Aku selalu menepati janjiku!” suaranya menggelegar. “Tapi jika kau gagal, Anak Muda, jangan pernah lagi mengaku sebagai tabib! Tinggalkan Kerajaan Sangkala untuk selamanya dan jangan kembali!”
Jason tidak mundur selangkah pun. Ia menatap langsung ke mata pria itu, tanpa ragu. “Setuju!” katanya dengan nada ringan tapi tajam seperti pisau. “Dan aku harap kau juga tidak mengingkari janjimu, Pak Tua.”
Seketika suara langkah cepat terdengar dari luar ruangan membuat keributan sedikit mereda. Pintu terbuka lebar, dan Karina masuk dengan wajah tegang, membawa sebuah kotak hitam berukir naga emas. Tatapannya menusuk setiap tabib di ruangan.
“Aku yang meminta Tuan Jason memeriksa kakek,” suaranya dingin tapi tegas. “Kalian semua sudah berhari-hari gagal menyembuhkan Kakek, tapi masih berani menertawakan tabib lain?!”
Ruangan langsung sunyi. Para tabib menunduk, sebagian terkejut dengan keberanian gadis itu.
Karina menatap tajam ke tabib tua yang tadi mengejek Jason. “Apa kalian sudah lupa siapa ayahku sebenarnya? Kalau kalian berani menolak perintahku, aku pastikan ayahku tahu semuanya dan meminta Raja untuk memenggal kalian semua!”
Tabib tua itu menelan ludah, tapi mencoba bertahan. “Nona… kami hanya khawatir. Penyakit Perdana Menteri ini bukan penyakit biasa. Tubuh beliau seperti terkena kutukan atau racun sihir. Kami tak bisa berbuat apa-apa kecuali membiarkan beliau beristirahat dengan tenang.”
Mata Karina berkilat marah. “Kalian memang tidak berguna! Mengaku tabib istana, tapi tak mampu mengenali penyakit kakekku! Tabib macam apa kalian ini?!”
Ia menoleh cepat ke Jason, matanya penuh keyakinan sekaligus kecemasan. “Buktikan pada mereka, Tabib Jason. Buktikan kalau kau berbeda.”
Jason mengangguk pelan, menatap ke arah tempat tidur di mana tubuh tua itu berbaring lemah. Jari-jarinya mengepal. “Baiklah,” ucapnya mantap. “Aku akan tunjukkan caraku.”
Jason berdiri di samping ranjang besar tempat sang Perdana Menteri terbaring lemah, napasnya tersengal dengan wajah pucat pasi. Tapi sebelum ia sempat mengulurkan tangan untuk memeriksa nadi, sebuah sensasi aneh melanda kepalanya. Dunia di sekitarnya berputar, pandangannya buram.
Lalu... semua berubah.
Ingatan tentang ruang operasi modern, mesin MRI, aroma antiseptik, hingga nama-nama obat dan teknik medis yang selama ini ia kuasai... menguap begitu saja, lenyap seperti pasir tertiup badai.
Jason terengah, matanya membelalak.
“Apa ini?!” serunya dalam hati. “Kenapa kemampuan dokterku... hilang?! Apa yang terjadi padaku?!”Ratu Safira melangkah turun dari singgasananya.Bukan langkah angkuh—tetapi langkah seorang penguasa yang tahu bahwa setiap gerakannya mampu menentukan hidup dan mati ribuan orang. Gaun ungu berbahan sutra naga menyapu lantai marmer, mengeluarkan suara lembut seperti desir angin malam.Jason menelan ludah.Semakin dekat sang Ratu, semakin kuat tekanan yang menusuk tulang. Seolah udara di sekelilingnya dipadatkan, membuat Jason merasa jiwanya sedang diukur, ditimbang… lalu diputuskan apakah layak atau tidak.Ratu berhenti tepat di depannya.Jarak mereka hanya beberapa langkah.Tangan Safira terangkat, membelai udara di antara mereka—gerakan ringan seperti membaca aura seseorang.“Jason.”Suaranya lembut… tapi berat seperti beban kerajaan itu sendiri.Tatapannya menusuk.Bening, tajam, dan terlalu jernih untuk ditantang.“Kau melakukan perjalanan panjang. Kau terluka. Otakmu pasti kelelahan. Kau bilang melihat kamp besar?” Bibirnya melengkung sedikit. “Empat puluh laporan penjaga perbat
Udara di lorong terdalam istana terasa berbeda—lebih pekat, lebih berat, seolah setiap helai debu menyimpan rahasia yang tidak mau terbongkar. Jason dan Karina berjalan di belakang Jenderal Alexander, mengikuti langkah mantap sang panglima yang bergema di dinding batu hitam. Cahaya obor redup menari liar, membuat bayangan mereka memanjang, menggeliat di lantai.Dan di ujung lorong itu…Dua pintu emas setinggi lima meter berdiri menjulang. Ukirannya berbentuk naga kembar dengan mata permata ungu yang memantulkan cahaya seperti dua makhluk hidup yang siap menelan siapa pun yang lewat.Alexander berhenti tepat di depan pintu itu.“Ratu Safira ada di dalam,” katanya, suaranya rendah namun mantap. “Kalian harus menjelaskan semuanya dengan jelas. Ini menyangkut nasib satu kerajaan.”Jason mengusap keningnya, jantungnya berdetak seperti genderang perang yang dipukul tak beraturan. Karina menggenggam pergelangan tangan Jason begitu kuat hingga ia bisa merasakan dinginnya telapak tangan gadis
Hari sudah sore menjelang malam saat Jason dan Karina tiba di kediaman Keluarga Wikaya, tapi Jenderal Alexander dan perdana Menteri Nathan tidak ada di tempat.“Kita harus ke istana!” ucap Jason disertai anggukan kepala Karina.Langkah Jason dan Karina membelah hiruk-pikuk Kota Aryaloka. Pasar mulai tutup, pedagang menurunkan tirai, sementara lampu-lampu minyak di sepanjang jalan menyala satu per satu. Namun tidak ada waktu menikmati pemandangan itu—Jason berjalan cepat, hampir berlari, napasnya berat setelah insiden dengan Vardos yang membuat waktunya semakin sempit.Karina menyusul dari belakang. “Jason… pelan sedikit! Kau jalan seperti dikejar hantu!”“Aku memang sedang dikejar sesuatu yang jauh lebih buruk,” jawab Jason tanpa menoleh. “Kalau laporan ini terlambat lima menit saja, Kerajaan Sangkala bisa jatuh sebelum sempat mengangkat pedang untuk melawan.”Karina merinding. Ia sudah melihat mata Jason berkali-kali—namun baru kali ini tatapan itu menunjukkan bahaya sebesar ini.Is
Vardos berdiri menghadang jalan Jason, kedua tangannya terlipat di depan dada, dagu terangkat seperti seorang bangsawan yang baru menang perang.“Kau menyembuhkan seluruh warga Desa Satyaloka?” Vardos menyeringai, suaranya menampar udara. “Mana buktinya? Setahuku… semua penduduk desa itu sudah mati. Tidak ada satu pun yang hidup.”Nada congkaknya membuat darah Jason mendidih. Ia sudah kelelahan dari perjalanan panjang, dan sekarang orang yang ditemuinya di ibu kota adalah tabib arogan yang selalu mencari celah menjatuhkannya.“Terserah apa yang kau percaya,” kata Jason, suaranya tajam seperti pisau bedah. “Aku tidak punya waktu bermain denganmu, Vardos. Ada urusan yang jauh lebih penting.”Vardos mengangkat satu alis. “Kau sudah kalah taruhan. Pergi dari Aryaloka sekarang juga!”Asher, yang berdiri sedikit di belakang, ikut maju. “Vardos benar. Lebih baik kau pergi, Jason. Atau…”Jason mendengus. “Atau apa, Asher? Kau mau membunuhku?”Ia menatap keduanya bergantian, aura kelelahan ber
Setelah berhari-hari menangani pasien satu demi satu, Jason akhirnya memastikan seluruh warga Desa Satyaloka berada pada jalur kesembuhan. Obat-obatan modern dari Kotak Obat Medis—tablet antibakteri, salep regeneratif, dan cairan steril—telah bekerja seperti keajaiban yang tak pernah dikenal oleh zaman ini.Ia menutup kotak itu perlahan, napasnya melembut.“Pergilah dari sini sementara,” ucap Jason kepada para tetua desa. “Cari desa lain yang jauh dari perbatasan Widyaloka. Jika mereka tahu kalian sembuh… kalian bisa dianggap ancaman.”Warga hanya bisa mengangguk, sebagian dengan mata berkaca-kaca.Jason memandangi mereka terakhir kali sebelum berbalik. Ia harus pulang dengan membawa kabar yang lebih berbahaya daripada penyakit apa pun.Kebetulan ia menemukan kuda yang masih sehat di desa yang bisa mempercepat dirinya kembali ke ibukota.Perjalanan pulang Jason berlangsung tenang—terlalu tenang. Tidak ada pasukan Widyaloka yang mengepung, tidak ada anggota Sekte Iblis Medis yang beru
Seluruh desa bersorak, berlutut, dan menangis ketika Jason akhirnya berhasil menyembuhkan seluruh warga desa Satyaloka sekaligus melenyapkan wabah penyakit kusta di desa ini. Tapi ada satu orang yang tidak ikut bersyukur.Kepala desa.Ia berdiri di belakang, wajahnya tegang, pupilnya menyempit—bukan karena takjub, tapi panik.Jason menangkap tatapan itu sekilas.Tatapan seperti orang yang rencananya baru saja hancur berkeping-keping.Malam hari pertama setelah seluruh pasien sembuh, Jason berjalan sendirian menuju sungai, mencuci tangan dari sisa obat dan darah. Udara dingin menggigit kulit. Tepat ketika ia membungkuk…Kraaak!Suara ranting patah terdengar jelas, tapi Jason tidak menoleh.“Keluar kalian! Jangan seperti pengecut!”Dari balik kegelapan, tiga sosok berjubah hitam muncul, membawa kotak jarum beracun dan pisau bedah kuno berkilauan.Simbol tengkorak dan ular tergambar di dada jubah mereka.Jason menarik nafas panjang.“Sekte Iblis Medis…” gumamnya. Ia sudah membaca catata







