LOGINTiga tahun lalu – Perbatasan Kerajaan Zeraphir dan Kekaisaran BeelzebubMalam itu langit Nethrazel tampak seperti luka terbuka. Merah pekat menyelimuti cakrawala, dan dari arah barat kobaran api membumbung tinggi — menyala-nyala seperti lidah neraka yang menjilat langit. Aroma besi dan belerang menebal di udara. Angin malam membawa jeritan prajurit, dentingan logam, dan bau daging terbakar.Aku berdiri di puncak tebing, jubah hitam berlumur darah berkibar tertiup badai. Di bawah sana, ribuan pasukan Zeraphir dan Beelzebub masih bertarung sengit meski matahari sudah lama tenggelam. Tanah basah oleh darah, dan bumi sendiri seolah menangis menahan beban perang ini.Semua ini… hanya karena satu penghinaan.Satu bulan lalu, seorang pangeran dari Kekaisaran Beelzebub — sombong, angkuh, dan buta akan perbedaan — datang ke istanaku membawa proposal pernikahan. Ia berkata ingin “menyelamatkan darah Zeraphir dari kesia-siaan” dengan menikahiku.Aku tidak marah karena ia melamarku — aku marah ka
Namaku Monica, salah satu pelayan di Istana Velgrath — istana megah yang menjadi tempat tinggal Ratu Karina, penguasa tertinggi Kerajaan Zeraphir.Aku baru berusia delapan belas tahun, dan meskipun statusku hanyalah pelayan biasa, bekerja di istana ini jauh berbeda dari menjadi pelayan di tempat lain. Setiap langkah di koridor istana penuh keagungan ini membawa beban sejarah… dan ketakutan.Tiga tahun telah berlalu sejak hari itu — hari yang tak pernah bisa kulupakan. Saat itu, Ratu Karina kembali ke istana setelah perjalanan panjangnya ke luar kerajaan. Namun kali ini ia tidak datang sendiri. Di sisinya, berjalan seorang anak laki-laki berambut hitam legam, tampak berusia sekitar dua belas tahun.Meskipun masih muda, sorot matanya tajam dan wajahnya menunjukkan keteguhan luar biasa. Aku bahkan sempat berpikir, jika ia dewasa nanti, ia akan tumbuh menjadi sosok yang sangat tampan dan karismatik.Hanya berselang tujuh hari setelah kedatangannya, Ratu Karina membuat pengumuman yang meng
Rasa sakit itu datang tanpa peringatan.Tubuh Arthur seperti terbakar dari dalam. Urat-uratnya berdenyut hebat, seolah ada sesuatu yang merangkak liar di bawah kulitnya. Napasnya tersengal, pandangannya kabur. Lantai marmer yang dingin di bawah kakinya terasa jauh, seolah ia jatuh ke dalam jurang tak berdasar.“Aaaarghhh!”Teriakan itu pecah tanpa kendali, memecah kesunyian ruangan. Darah segar mengalir deras dari hidungnya. Tubuhnya terhempas ke lantai. Rasa sakit itu terlalu menyiksa — jauh melampaui apa pun yang pernah ia alami sebelumnya.Lalu, seolah semuanya hanyalah mimpi buruk, perlahan rasa sakit itu mereda.Arthur terengah-engah. Punggungnya bersandar pada dinding, napasnya memburu seperti habis berlari bermil-mil. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Saat kesadarannya mulai kembali sedikit demi sedikit, matanya terbuka… dan tubuhnya membeku.“...Hah?”Ini… ruang tamu? Tidak. Bukan kamarnya. Bukan tempat yang ia ingat.Arthur tidak mengenali gaya arsitektur ruangan in
Setelah malam itu — malam ketika bibit Ordre De L’Ombre pertama kali ditanam, Arthur menyadari satu hal: semua ini baru permulaan. Ia harus kembali sebelum matahari terbit. Ia tak ingin ibu maupun neneknya tahu bahwa ia menyelinap keluar mansion pada malam hari. Maka, dengan langkah cepat dan hati-hati, Arthur menyusuri jalan setapak yang membawanya kembali ke mansion keluarga Pendragon. Sebelum berpisah, ia meminta Neria, gadis yang baru saja dibebaskannya dari Kutukan Abaddon, untuk sementara tinggal di sebuah penginapan kecil tak jauh dari mansion, sekitar dua kilometer jauhnya. Itu adalah tempat aman, setidaknya sampai mereka merencanakan langkah selanjutnya. Namun apa yang tidak Arthur ketahui… adalah bahwa ia tidak pernah benar-benar sendirian malam itu. Dari kejauhan, di balik kabut malam yang dingin, sepasang mata tajam telah mengawasinya sejak awal. Irene Pendragon, neneknya
Pertempuran telah usai. Di tengah malam yang pekat, Arthur berdiri di depan reruntuhan kuil tua yang kini sunyi dan mencekam. Angin dingin berembus pelan, menyapu dedaunan kering dan membawa aroma besi yang pekat dari darah segar yang baru saja tertumpah. Ia menyarungkan pedangnya, langkahnya perlahan menembus keheningan yang hanya dipecahkan oleh suara desir angin. Kuil itu dulunya adalah sarang para bandit — pusat dari segala kekacauan di hutan utara. Kini, setelah pertarungan berdarah yang mengakhiri nyawa pemimpin mereka, tempat itu hanya menyisakan puing-puing, sisa peralatan, dan hasil jarahan yang berserakan di mana-mana. Tumpukan emas, koin perak, peti artefak terlarang, hingga bahan makanan memenuhi setiap sudut ruangan. Jelas kelompok ini sudah lama beroperasi, terorganisir, dan berbahaya. Namun bukan harta yang menarik perhatian Arthur. Di sisi terdalam kuil, matanya menangkap sebuah lorong sempit yang nyaris tersembunyi di balik reruntuhan. Rasa ingin tahu menuntunn
Teriakan “Serang!” memecah sunyi malam.Api unggun bergoyang liar, bayangan para bandit bergerak ke segala arah. Dua orang menyerbu lebih dulu, langkah mereka kasar, seperti orang yang terbiasa bertarung di jalanan. Golok pertama menyambar pundakku dari sisi kanan, aku menepisnya dengan sisi datar pedang, getarannya menyusup sampai ke pergelangan tanganku. Golok kedua meluncur rendah, membidik lutut. Aku melompat kecil ke samping, memutar pinggang, lalu menghantam rusuk penyerangnya dengan gagang pedang.“Ugh!”Napasnya terhenti, tubuhnya limbung, lalu jatuh tak bergerak.“Bocah sialan!” maki bandit bertubuh kekar dengan tongkat besi besar. Ia menyerbu tanpa ragu, ayunan tongkatnya berat dan brutal. Aku tidak mundur. Satu langkah maju, pinggangku memutar, dan dengan teknik Cakar Naga yang baru kupelajari dari latihan sore tadi, bilah pedangku menyayat diagonal — cukup dalam untuk membelah udara dan merobek perutnya.“Arrrggghhh!!”Jeritannya menembus langit malam. Darah memercik memba







