Share

Skandal Cinta Pilot Angkuh
Skandal Cinta Pilot Angkuh
Penulis: Gallon

1. Kesedihan Joya

"Joya," panggil Szasza dengan suara yang bergetar.

Joya yang sedang asik membaca langsung mengalihkan pandangannya dari buku yang ada ditangannya, "Kenapa, Sza?"

"Joy, gue mau ngasih tau lo sesuatu."

"Apa? Ada apa sih?" tanya Joya bingung saat melihat wajah sahabatnya itu. Rasa-rasanya Joya tidak sedang dalam masalah apa pun hari ini, kenapa Szasza tampak seperti orang kebingungan.

Szasza mulai mengatur napasnya, Szasza tau bila dirinya memberikan informasi ini. Szasza yakin Joya akan histeris atau bahkan ambruk.

"Kenapa sih?" tanya Joya gemas. Saking gemasnya Joya menutup buku yang sedang dia baca dan berjalan ke arah Szasza.

"Apaan, kenapa ada apa sih?" tanya Joya bingung.

"Joy, gue mau ngomong sesuatu."

"Iya apa, lo kenapa sih?" tanya Joya bingung.

"Itu gue—"

"Sebuah tabrakan beruntun yang terjadi di Tol Jagorawi, telah memakan korban. Sepasang suami istri yang menggunakan mobil mini bus telah meregang nyawanya. Menurut data yang telah kami dapatkan kedua pasangan itu bernama Asep Dimitra dan Paula Dimitra."

Suara pembawa acara di televisi terdengar sangat jelas dikuping Joya dan Szasza. Ruangan perpustakaan yang sepi benar-benar membuat Joya mendengar informasi tersebut dengan jelas.

"Joy," panggil Szasza pelan.

Joya yang mendengarkan nama kedua orang tuanya hanya bisa mengerjapkan kedua matanya, perasaan Joya langsung campur aduk. Saking kagetnya Joya hanya bisa berdiri mematung.

"Joy," panggil Szasza sambil menepuk bahu Joya pelan.

"Sza, Papih sama Mamih, Sza," ucap Joya sambil menatap Szasza kebingungan.

"Iya, Joy. Gue mau bilang Om Asep sama Tante Paula meninggal. Gue baru liat beritanya di Ingsangram." Szasza menunjukkan layar ponsel miliknya ke arah Joya.

Seketika itu juga, Joya menangis. Air matanya mengalir dengan derasnya, sesak didadanya membuat Joya tidak mampu lagi menopang badannya. Seketika itu juga Joya ambruk, tangisan memilukan langsung terdengar jelas di kuping Szasza dan beberapa orang yang sedang berada di perpustakaan.

"Joy, Joy bangun Joy. Tolong," teriak Szasza saat melihat Joya ambruk dan tak sadarkan diri.

Beberapa orang di sana dan para guru langsung menolong Joya yang tak sadarkan diri. Mereka saling bahu membahu untuk menolong Joya yang tidak sadarkan diri.

•••

Dua minggu kemudian...

"Sza, lo nggak papa nginep di rumah gue terus?" tanya Joya pada Szasza yang sudah dua minggu menginap di rumah milik Joya.

"Nggak papa, santai aja Joy. Lo 'kan tau gue juga yatim piatu. Siapa yang bakal nanya keadaan hidup gue." Szasza tersenyum pada Joya.

Joya hanya bisa membalas senyuman Szasza, apa yang dikatakan Szasza ada benarnya juga. Szasza adalah sahabatnya semenjak sekolah dasar, selama mereka bersahabat Szasza memang sudah Joya kenal sebagai anak panti asuhan. Namun, Szasza selalu tersenyum dan entah bagaimana ceritanya dia selalu memiliki banyak uang.

Joya benar-benar sangat terbantu dengan kehadiran Szasza. Joya yang tidak memiliki sanak saudara sama sekali, benar-benar kewalahan mengurusi kedua orang tuanya. Dimulai dari pemakaman hingga acara doa setelah kepergian orang tuanya. Beruntung Joya memiliki Szasza yang mampu mengurusi semuanya, relasi Szasza yang tidak terbatas benar-benar membuat Joya tercengang. Dimulai dari tukang sampah sampai anak taipan Szasza mengenal semuanya. Entah dari mana.

Orang tua Joya hanya mewariskan satu buah rumah, satu buah apartemen kecil dan mobil untuk Joya. Semua aset dan harta lainnya Joya jual untuk membayar hutang-hutang orang tuanya yang banyak. Usaha orang tuanya bangkrut, sebelum kecelakaan itu terjadi.

Sebenarnya kepergian orang tua Joya adalah untuk melakukan lobi dengan pengusaha lainnya untuk menyelamatkan perusahaan mereka. Namun, nasib berkata lain, orang tua Joya mengalami kecelakaan yang merenggut nyawa mereka berdua.

"Lo pindah sini aja gimana?" tanya Joya pada Szasza.

Szasza yang sedang asik memakan kacang, menatap Joya kaget. "Gue tinggal sini maksudnya?"

"Iya, pindah kesini. Tinggal sama Gue, daripada lo tinggal di panti."

"Lo nggak salah?" tanya Szasza.

"Nggaklah, gue nggak salah. Malah enak, gue jadi ada temennya. Rumah ini juga gede, gue juga sepi tinggal di sini, Sza." ungkap Joya sambil menatap Szasza.

"Benaran?"

"Iyalah, benaran, masa bohongan. Kalau bohongan ngapain gue nawarin, Sza. Udah tinggal sini aja yah, please," pinta Joya sambil mengatupkan kedua tangannya di dada.

Szasza langsung tersenyum senang, rasanya perkataan Joya adalah tiketnya untuk keluar dari panti asuhan tempat mereka tinggal. Rasanya malas untuk tinggal di sana, dia juga sudah bosan dan muak bersama anak-anak panti yang membuat kepalanya pusing tujuh keliling, apalagi Ibu panti yang selalu melarangnya bepergian dimalam hari.

"Tapi.

"Apa, tapi apa?" tanya Joya pada Szasza.

"Gue bakal sering pergi-pergi saat malem, Joy. Gue 'kan kerjanya dimalam hari," ungkap Szasza sambil menatap Joya.

"Lo kerja apaan sih, sebenarnya?" tanya Joya penasaran.

"Pekerjaan, adalah lo anak kecil nggak usah tau," ucap Szasza sambil mencibirkan mulutnya.

"Hilih, mentang-mentang kagak naik kelas dua kali lo yah, jadi ngerasa lebih tua," olok Joya pada Szasza.

"Suka bener aja lo," ucap Szasza sambil melemparkan bantal kecil ke arah Joya.

Szasza memang tidak naik kelas sebanyak dua kali. Jadi, mau tidak mau umur Szasza lebih tua dua tahun dari Joya, Joya saat ini berumur tujuh belas tahun. Sedangkan, Szasza berumur sembilan belas tahun. Namun, mereka sama-sama bersekolah di sekolah menengah atas yang saat ini sedang libur. Karena, menunggu pengumuman kelulusan angkatan mereka.

"Udahlah lo tinggal di sini ajalah, Sza. Bantuin gue, beres-beres rumah juga," kekeh Joya sambil menunjuk ke sekeliling rumahnya.

"Lo nyari pembantu?" tanya Szasza kesal, "bangke emang lo tuh."

Tawa langsung terdengar jelas di ruangan itu, "Udah pokoknya lo disini aja. Temani gue"

"Iya gue di sini. Tapi, lo mau kerja apa?" tanya Szasza pada Joya.

Joya terdiam saat mendengar perkataan Szasza, seperti selepas SMA dia harus sesegera mungkin mencari pekerjaan. Tabungannya mungkin hanya cukup sampai tiga bulan ke depan.

"Nggak tau, gue bingung. Lo kerja apa, Sza?" tanya Joya sambil menatap Szasza.

"Nggak usah taulah gue kerja apa, nggak ada faedahnya," ucap Szasza santai.

"Gue mau tau, lo kayanya hidup santai banget. Nggak ribet, duit ada aja. Gawe apaan sih lo?" tanya Joya penasaran.

"Bukan urusan lo, lah." Szasza mengambil makanan yang ada di depannya.

"Ah lo mah pelit, ya udahlah nanti setelah ijasah SMA gue keluar. Gue mau coba deh kerja di mana gitu. Moga-moga gue bisa kuliah juga," ucap Joya.

"Aamiin, kalau ada apa-apa lo kabarin aja yah, mungkin gue bisa bantu-bantu," ucap Szasza.

"Iya, gue pasti bakal bilang ke lo. Gue udah nggak punya siapa-siapa lagi, kali." Joya berkata sambil memeluk sahabatnya tersebut.

Kring... kring...

Joya langsung berdiri dan berjalan ke arah telepon di hadapannya. Dengan cepat Joya mengangkat telepon tersebut.

"Halo."

"Bisa saya bicara dengan ahli waris Bapak Asep Dimitra?"

"Iya, saya sendiri. Ada apa, yah?" tanya Joya bingung, jantungnya berdebar keras saat mendengar suara di sambungan telepon lainnya.

"Ini berarti mbak Joya?" tanya lelaki itu.

"Iya, saya Joya. Ini siapa yah?"

"Bu Joya, saya Hasan Basrie. Ayah Anda punya hutang pada saya, hutangnya saat ini sudah tujuh Milyar rupiah."

"Maksudnya?"

"Ayah Anda punya hutang tujuh milyar rupiah dan saya minta kamu bayar paling lambat dua minggu lagi."

"Hah, yang bener aja. Gimana cara Ayah saya punya hutang sebesar itu. Nggak masuk akal." bentak Joya kesal bukan main.

"Ayah kamu meminjam uang pada kami dengan jaminan rumah yang kamu tinggali. Rumah itu dijual pun paling laku tiga milyar. Masih kurang empat milyar lagi." ucap Hasan dengan nada membentak keras.

"Hah, enak aja harga pasaran rumah ini lima milyar."

"Okelah kalau lima milyar, berarti masih kurang dua milyar. Kamu punya sisanya?" tanya Hasan.

Joya terdiam, mana punya Joya uang sebesar itu. "Saya mau ketemu Bapak, saya mau liat bukti-buktinya. Saya mau tau benar atau tidak Bapak saya hutang sama Bapak."

Terdengar suara mendengus yang sangat merendahkan di telinga Joya. "Kamu mau bukti, boleh. Kapan kita bisa bertemu. Saya kasih semua bukti-buktinya. Tapi...."

"Tapi, apa?" tanya Joya takut-takut.

"Kamu harus bayar hutang-hutang Ayah kamu. Ini bukan main-main, saya bisa melakukan dengan cara kasar," teriak Hasan.

Joya gentar, tubuhnya tiba-tiba bergetar. Rasa takut langsung menyelusup di tubuhnya. "Bapak nggak bisa gitu. Saya bisa laporkan Bapak ke kantor polisi, Pak. Ini namanya pemerasan."

"Silakan, saya punya surat perjanjian hutang piutangnya," ucap Hasan.

"Tapi, Ayah saya sudah meninggal, Pak."

"Saya tidak peduli, karena salah satu dari butir pasal surat perjanjian tersebut dituliskan—"

"Apa?" tanya Joya penasaran.

"Kalau apa pun yang terjadi hutang itu harus dibayar. Walau pihak debitur mati sekalipun." Hasan berkata sambil tertawa penuh kemenangan.

"Apa!?"

"Ingat Nona Joya, waktu kamu cuman dua minggu. Jadi, jangan coba-coba kabur. Saya bisa cari kamu hingga keliang lahat sekalipun. Camkan itu baik-baik, Nona Joya."

***

Komen (11)
goodnovel comment avatar
Ozzy Ken
Sangat menarik
goodnovel comment avatar
margaretta putri tirani
Menarik bikin baper
goodnovel comment avatar
Neng Ade
kngen klian
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status