Joya mencampakkan telepon setengah frustasi. Lintah darat berengsek bernama Hasan Basrie meminjamkan uang dengan bunga yang benar-benar mencekik pada almarhum ayahnya.
Dia terduduk dan mencakari berkas yang sejak tadi terhampar. Tak ada hal yang bisa menepis atau setidaknya mengurangi jumlah hutang.
"Berengsek," desis Joya. Keringanan yang diberikan pun tak membawa pengaruh besar. Dia masih perlu lima ratus juta lagi untuk menutupinya.
Rumah, apartemen dan mobilnya sudah Joya jual. Besok rencananya Joya sudah harus angkat kaki dari rumah itu. Szasza menyarankan Joya mengekos bersama dengan dirinya di sebuah kostan. Joya bersyukur memiliki sahabat multitalenta seperti Szasza.
"Kenapa lo?" tanya Szasza.
"Ini gimana, gue masih butuh duit lima ratus juta buat bayar hutang-hutang bokap gue. Gue udah nggak sanggup lagi, dapat duit dari mana lima ratus juta dalam dua minggu?" tanya Joya sambil melempar pulpen dari tangannya.
"Lo butuh lebih dari lima ratus juta, Joy."
Mata Joya membulat sempurna saat mendengar perkataan Szasza. Lebih dari lima ratus juta, buat apa? Hutang mendiang ayahnya hanya lima ratus juta, tidak perlu ditambah hal lainnya.
"Buat apa?"
Tawa Szasza pecah saat mendengar pertanyaan Joya, yang menurut dirinya sangat-sangat naif. "Buat apa kata lo?"
Joya menatap Szasza sambil mengangkat kedua tangannya, "Gue nggak paham lagi kalau gue butuh duit lebih banyak lagi. Entah buat apa lagi itu duitnya?"
"Joy, duit buat lo hiduplah," kekeh Szasza sambil duduk di samping Joya yang masih kebingungan.
"Gue hidup, Sza. Emang lo pikir gue nggak idup."
"Oke, let's say. Lo punya duit berapa lagi di tabungan lo, kalau seandainya lo punya lima ratus juta, yang bakal gue yakini lo langsung bayar ke si Hasan."
Joya berpikir sebentar, menghitung berapa jumlah tabungan miliknya. Sebenarnya, tidak perlu waktu lama untuk menghitung berapa banyak uang miliknya. Karena sudah dapat di pastikan jumlahnya, nihil.
"None, nol, zero, nggak ada sama sekali," ucap Joya sambil menatap Szasza.
"Terus, kalau lo nggak punya apa-apa, terus elo mau mau makan dari mana?" tanya Szasza.
"Gue."
"Lo, beli kebutuhan hidup lo, bayar kostan, lo mau daftar kuliah, lo nanti urus ijazah dan lain-lain, mau duit dari mana, Joy?" Szasza berusaha menyadarkan Joya sambil tertawa pelan.
Joya terdiam, semua kata-kata Szasza seakan menamparnya. Apa yang dikatakan Szasza semuanya benar. Dia akan membutuhkan semua itu, astaga bagaimana ini?
"Bingung 'kan lo?" tanya Szasza pada Joya yang langsung menggigiti kuku tangannya.
"Mampus, gimana ini. Gue harus kerja tapi, gue kerja apaan?" tanya Joya bingung.
"Lo mau kerja apa Joy?" tanya Szasza. "Ijazah SMA lo aja belum keluar sama sekali."
"Gue bingung, astaga gue pusing."
Szasza hanya bisa tersenyum melihat kebingungan Joya. Sebenarnya dia ada solusinya. Namun, Szasza yakin Joya akan menolak solusi yang diberikan oleh dirinya, selain itu solusinya pasti akan menjerat Joya.
"Gue harus ngapain?!" teriak Joya sambil menahan tangisnya. Kebingungan langsung menyelimuti dirinya, rasanya semua hal buruk sedang membelenggunya dan memaksanya untuk mencari jalan keluar dengan cepat.
"Ada waktu dua minggu lagi, Joy." Szasza mencoba menenangkan Joya, walau Szasza tau, hal itu sama sekali tidak berguna.
Joya hanya bisa menganggukkan kepalanya sambil mengacak-ngacak rambutnya dengan gemas sambil merutuki nasibnya.
Waktu benar-benar cepat berlalu, detik ini Joya sedang menjadi penjaga kasir di suatu minimarket. Bekerja part time, dengan gaji di bawah UMR harus Joya jalani untuk kehidupannya. Walau, Szasza sudah mengizinkan Joya tinggal di kostan-nya tanpa membayar. Namun, Joya masih bersikukuh untuk membayar setengahnya.
"Joya," panggil salah satu pegawai yang ada di minimarket tersebut.
"Apa?" tanya Joya pada rekan kerjanya itu.
"Ada yang nyariin, Joy. Bapak-bapak di belakang," ucap pegawai itu sambil menunjuk ke luar mini market.
"Siapa?" tanya Joya bingung, seingatnya Szasza masih di jalan. Mereka memang janjian akan pulang bareng.
"Nggak tau, bapak-bapak gitu. Coba lo ke sana deh."
Joya dengan rasa penasaran tinggi langsung berjala ke arah luar. Setelah di luar, Joya melihat Hasan ada di sana. Dengan susah payah Joya menelan salivanya.
"Mau apa, Pak?" tanya Joya pada Hasan, seingatnya batas akhir pembayaran hutangnya masih lama. Masih ada satu minggu lagi.
"Ikut saya," ucap Hasan sambil berjalan menjauhi minimarket.
Joya yang masih merasa kebingungan berjalan mengikuti Hasan. Akhirnya, mereka berada di depan sebuah mobil berwarna hitam keluaran Eropa.
"Masuk," perintah Hasan pada Joya sambil membukakan pintu mobilnya. Joya dengan patuh masuk ke dalam mobil Hasan, dengan cepat Hasan menutup pintu mobilnya dan berjalan ke pintu satunya lagi.
Perasaan Joya benar-benar tidak enak, saat melihat raut wajah Hasan yang masuk ke dalam mobil, makin membuat Joya tidak enak. "Mau apa, yah?"
"Kamu, udah punya uang lima ratus juta-nya?" tanya Hasan sambil menatap penuh dengan nafsu pada Joya.
Joya menelan salivanya dengan susah payah, "Belum, Pak."
"Inget waktunya," ucap Hasan sambil mengusap paha mulus Joya.
Sentuhan tangan Hasan benar-benar menyengat tubuh Joya, perasaan jijik langsung menyelimuti Joya. Rasa mual langsung Joya rasakan, dengan cepat Joya mendorong tangan Hasan, menjauhkan tangan hasan dari tubuhnya.
Tepisan tangan Joya ternyata menyulut Hasan. Pria dengan seringai menjijikkan itu perlahan kembali mendekati Joya.
Setengah membungkuk, Hasan berbisik di telinga Joya, "Kamu bisa melunasi utang ayah kamu yang miskin ... itu, dengan tidur sama saya. Puasin saya. Mau?" Hasan terkekeh.
Aroma napas dan parau suara laki-laki itu nyaris membuat Joya muntah.
****
"Hah, maksud Bapak apa?" tanya Joya kaget, pelayanan yang seperti apa yang diharapkan oleh Hasan. Joya yakin pelayanan ini pasti ada hubungannya dengan kegiatan esek-esek. "Kamu jangan pura-pura polos lah." Hasan mendekati badan Joya dan mengelus paha Joya. Seperti tersengat listrik, Joya langsung mendorong tangan Hasan dari pahanya. Rasa jijik langsung Joya rasakan, "Maksudnya apa, yah?" "Astaga jangan pura-pura lugu lah, emang kamu nggak pernah apa?" "Pernah apaan?" tanya Joya berang. "Zaman kaya gini, nggak mungkin kamu masih perawan," ucap Hasan sambil mendekatkan bibirnya ke bibir Joya. Joya yang kaget sontak mendorong badan Hasan dengan keras, "Saya masih perawan, Pak." "Oh, yah. Coba sini saya cicip," ucap Hasan sambil menyentuh bagian dalam paha Joya. Jari jemari Hasan yang kasar langsung membuat Joya meremang, "Saya bilang lepas." Hasan langsung merasa tertantang dengan penolakan Joya, dengan kasar dice
Szasza kembali menarik Joya ke dalam pelukannya. Sesaat tadi ia tak tahu harus mengatakan apa. Soal keberuntungan bahwa Joya hanya disentuh saja, atau ungkapan penyesalan karena sekujur tubuh sahabatnya itu sudah dijelajahi pria tua. Dalam hati, ia diam-diam bersyukur. Joya belum sempat dinodai. "Diminum dulu," Szasza menyodorkan secangkir teh ke tangan Joya. Sahabatnya itu memegang cangkir dengan tangan yang masih sedikit bergetar. “Udah nangisnya?” tanya Szasza sambil memberikan secangkir teh ke tangan Joya. Joya hanya bisa mengambil teh dari tangan Szasza dan mengusap air matanya dengan menggunakan punggung tangannya. “Udah, gue kaget Sza. Seumur hidup baru tadi, gue kaya gitu,” isak Joya. Szasza hanya bisa menepuk bahu Joya, sahabatnya itu memang wanita baik-baik. Sepengetahuannya, Joya bukan wanita munafik yang tidak suka melakukan hal seperti itu. Tapi, Szasza yakin Joya masih melakukan sekitar wilayah dada. “Udah, u
Tak aneh kalau toilet mini market yang disinggahi puluhan orang setiap harinya selalu berpenampilan luar biasa, meski setiap hari dibersihkan dengan seksama. Walau sudah sering membersihkan toilet, Joya masih selalu mengernyit tiap berjongkok menyikat lantainya. Tepian WC selalu membuatnya mual. "Aww!" Kepala Joya tersentak ke belakang. Rambutnya yang diikat tinggi itu ditarik tiba-tiba oleh seseorang. "Nama lo Joya Dimitra?" tanya pria pelaku yang baru saja menarik rambut Joya. Sikat yang tadi dipegang Joya, terlepas. Tangannya seketika berpindah memegangi bagian kepalanya yang berdenyut karena tarikan pria itu. "Sakit, Pak. Tolong lepas," teriak Joya keras sambil berusaha mencakar tangan yang sedang menarik rambutnya. Rasa sakit langsung menjalar ke kepala Joya. "Gue tanya sekali lagi, nama lo Joya Dimitra?" "Iya, Nama gue Joya Dimitra," jerit Joya keras sambil berusaha mele
"O--Oya," cicit Joya. Suaranya hilang ditelan ketakutan. Belum lagi selesai mengatur napasnya. Sepasang bibir, melumat mulutnya membabi buta. Lidah laki-laki itu membelitnya, memaksa dirinya untuk membuka mulutnya dan memberikan aksen tak terbatas pada dirinya agar dapat menjelajah bibir Joya. Joya merasakan tangan lelaki itu mulai meremas payudaranya dengan sangat keras, Joya yakin setelah ini berakhir Joya akan mendapati banyak lebam di sekujur tubuhnya yang sangat sensitif. Lelaki itu menarik lagi telinga Joya ke bawah, entah kenapa lelaki ini selalu menarik-narik telinga Joya saat menciumnya. Sesaat Joya merasakan lelaki itu mengurai ciumannya. "Sebentar." Joya tersengal-sengal, Joya berjuang untuk bernapas. Ini bukan ciuman pertamanya. Tapi, lelaki yang saat ini sudah membelinya memiliki ciuman termabukkan dan terbaik yang pernah Joya rasakan. Terdengar kekehan pelan ditelinga Joya. "Kenapa saya harus berh
Tubuh lelaki itu ambruk menimpa Joya, Joya hanya bisa pasrah mendapati lelaki tersebut menimpanya. Rasa sesak, lengket dan deburan kenikmatan benar-benar Joya rasakan saat ini. Semuanya bersatu menjadi satu, ini adalah pertama kali Joya merasakan semuanya sekaligus.Joya merasakan pergerakkan di atas tubuhnya, lelaki tersebut sepertinya bergerak kesamping Joya. Joya diam pasrah, tubuhnya menggigil bukan main karena suhu udara yang dingin, sedangkan dirinya tidak mengenakan sehelaipun benang di tubuhnya.“Berapa berat badan kamu?”“Hah, gimana?” tanya Joya bingung, lelaki sinting itu malah bertanya berapa berat badannya? Buat apa?“Kamu budek? Saya tanya berapa berat badan kamu?” tanya lelaki itu sambil meremas salah satu dada Joya.
Joya merasakan rasa hangat menyelimutinya. Bukan, bukan selimut hotel yang menghangatkan tubuhnya yang kelelahan atas semua kegiatan yang telah dirinya lakukan. Joya merasakan dada yang bidang dihadapannya, lengan yang kekar dan kaki yang keras juga liat merengkuhnya.Wangi maskulin dari lelaki itu langsung menggelitik hidungnya, wanginya benar-benar membuat dirinya nyaman. Tanpa sadar Joya menelusupkan wajahnya diatara ceruk leher lelaki itu.Merasakan pergerakkan dari Joya, lelaki itu mengecup pucuk rambut Joya, terdengar gumanan dari lelaki itu, "Kamu wangi bayi, aku suka Oya."Tubuh Joya meremang saat merasakan jari jemari lelaki itu bergerak di belakang punggungnya. Menggelitiknya, memberikan sensasi yang tidak mampu Joya ungkapkan dengan kata-kata."
Delapan tahun kemudian....Kring ... Kring ...Terdengar suara handphone di atas nakas, tiba-tiba keluar sebuah tangan dari balik selimut. Selimutnya sedikit tersibak, dengan cekatan tangan itu berusaha meraih handphone di atas nakas.“Mamah,” jerit seseorang dari balik selimut.“Siapa? Mamah siapa?” tanya Szasza bingung sambil bangkit dari tidurnya dan melihat ke sekeliling kamar.“Szasza gue telat,” jerit Joya sambil berlari ke kamar mandi.“Telat apaan?” tanya Szasza bingung. “Lo telat datang bulan? Emang lo punya pacar atau one night stand sama siapa?”Brang ... Prang ...Terdengar suara barang-barang berjatuha
"Joya, kamu tolong kasih ini semua ke kokpit," pinta Diana sambil menyerahkan sebotol air mineral satu liter, tissue dan plastik sampah."Harus saya?" tanya Joya pada Diana dengan suara memelas. Joya sedang malas berurusan dengan sektor kopilot.Lebih tepatnya Joya sedang tidak mau berurusan dengan seorang Fajar Larsson. Pilot tampan berusia 38 tahun, yang memiliki gelar Captain America-nya maskapai penerbangan mereka. Dari pertama mereka berkenalan hingga detik ini Joya dan Fajar tidak pernah akur. tapi, entah kenapa schedulle mereka selalu sama dan untungnya Fajar tidak pernah menurunkan Joya dengan alasan tidak bisa diajak bekerja sama, padahal Fajar bisa melakukan hal tersebut pada dirinya."Mau siapa lagi?" tanya Diana sambil menatap Joya. "Ada orang lain di sini?"Argh ... rasanya Joya ingin melemparkan kettle yang ada di tangannya kearah Diana, andai Joya tidak ingat siapa Diana mungkin sudah Joya lakukan. "Baik, Mbak."Joya dengan patuh men