Share

Dokter Andreas

Sudah, jangan mikir itu dulu. Katanya Bu Ratna gampang, nanti-nanti juga enggak apa-apa. Sekarang, kita siap-siap pulang.” ucap Laras.

Laras kalang kabut mendengar Elena akan menelepon ayahnya, dia mencoba membuat Elena yakin bahwa hutangnya pada Bu Ratna tidak akan menjadi masalah bagi Bu Ratna.

“Oya, ini obat dan surat kontrolnya. Tiga hari lagi lu harus kontrol ke Dokter Andreas. Entar gue yang antar,” ujar Laras mencoba mengalihkan pikiran Elena yang sedang dilanda kebingungan.

Akhirnya, ruangan itu kembali kosong dan menunggu kedatangan pasien baru lagi. Elena dan Laras pulang meninggalkan rumah sakit menuju asrama, dengan diantar taksi online. Di dalam taksi, Elena hanya diam dan termenung memikirkan bagaimana caranya melunasi hutangnya pada Bu Ratna. Bagi sebagian orang, mungkin ini sepele, tapi tidak dengan Elena. Memecahkan piring milik orang lain satu saja membuat pikirannya stres berhari-hari, inilah salah satu pemicu sakit yang dialami Elena.

Melihat sahabatnya itu terdiam, Laras pun mencoba membaca isi pikiran Elena.

“Lu lagi mikirin uang itu, ya, El? Sudah gue bilang santai aja, enggak usah dipikirkan.” Laras mencoba menenangkan Elena.

Elena hanya terdiam sembari memejamkan matanya. Tak berselang lama, taksi sudah sampai di depan asrama.

“Yes, sampai!” sorak Laras. 

Di depan pagar asrama, sudah ada Bu Ratna dan beberapa temannya menyambut kedatangan Elena dan Laras dengan suka cita.

“Alhamdulillah, akhirnya pulang juga. Ayo, masuk! Kalian bawa tas-tas itu, ya!” suruh Bu Ratna pada anak-anak di situ.

Mereka lalu masuk, Elena langsung menuju kamarnya dan beristirahat, dia benar-benar merasa lelah. Sedang Laras segera mengajak Bu Ratna ke kamarnya, lalu menceritakan perihal uang 10 juta itu, agar nanti tak terjadi salah paham jika Elena menanyakannya kepada Bu Ratna.

***

Di tempat yang terpisah, ada sosok lain yang punya andil dalam hidupnya Elena. Dia adalah Dokter Andreas, sang psikiater yang telah menyelamatkan nyawa Elena dengan menyumbangkan sekantung darahnya. 

Profesinya sebagai psikiater, ternyata tidak menjamin kehidupan pribadinya baik-baik saja. Pernikahannya tidak semulus kariernya sebagai seorang dokter. Pernikahan yang sudah berjalan sepuluh tahun itu, terlihat hanya seperti sebuah hubungan asing di atas kertas.

Tidak hanya karena belum adanya keturunan, tapi juga karena pernikahan mereka adalah hasil dari perjodohan.

Hanya satu alasan yang membuat Dokter Andreas bertahan saat ini, yaitu karena Emi-istrinya sedang mengalami sakit keras, tumor otak stadium dua. Dokter Andreas tidak tega membiarkan Emi berjuang sendiri menghadapi sakitnya.

“Kenapa kamu enggak menceraikan aku saja, Ndre?” tanya Emi di saat melihat suaminya itu pulang dalam keadaan mabuk.

“Aku tahu kamu seperti ini karena stres menghadapi pernikahan kita, kenapa enggak kamu ceraikan saja aku, hah!” Emi berteriak sambil membanting foto pernikahan mereka ke lantai. Air matanya tak terbendung lagi, sepuluh tahun adalah waktu yang sangat panjang untuknya bertahan dalam rasa sakit. Pengharapan yang besar akan cinta seorang suami, namun semua terasa sia-sia ketika rasa itu bertepuk sebelah tangan. Ketika yang berjuang hanya satu orang saja, sedang yang satunya hanya berusaha bertahan atas dasar rasa kasihan.

Mendengar tangisan istrinya, Dokter Andreas hanya terdiam dan tersungkur di antara pecahan kaca pigura foto pernikahannya.

“Aku minta maaf karena aku mabuk lagi. Aku mau mandi.” Dokter Andreas berdiri lalu pergi ke kamarnya dengan sempoyongan, tanpa menghiraukan istrinya lagi.

Emi hanya mampu menangis pilu, meratapi nasib pernikahannya yang sangat menyedihkan.

***

Keesokan harinya, Dokter Andreas terbangun tanpa ada Emi di sampingnya. Dilihatnya jam menunjukkan pukul 10 pagi, sinar matahari pun terlihat jelas menembus jendela kaca yang masih tertutup rapat itu. Diraihnya ponsel dan dilihat ada sepuluh panggilan tak terjawab dari Romi, adik sepupu Emi. Segera Dokter Andreas menelepon balik Romi.

[Halo, Rom, ada apa tadi kamu telepon?] 

[Emi dirawat di rumah sakit, Ndre. Tadi dia pingsan di rumah Oma Risa.]

[Iya, aku langsung ke sana.]

 Dokter Andreas segera beranjak dari tempat tidurnya dan bersiap untuk ke rumah sakit menemui istrinya. Di jalan, ada rasa penyesalan yang dalam atas kejadian tadi malam. Perlakuan buruk yang selalu berulang terhadap Emi. Namun, itu hanya rasa kasihan, bukan belas kasih yang biasanya bertahan lama. Rasa kasihan hanya sementara, setelah semua baik-baik saja, maka rasa itu secepat kilat perginya. Dia benar-benar tidak bisa mencintai istrinya, walau hanya sekedar mencoba dan belajar.

Sesampai di rumah sakit, Dokter Andreas langsung menuju kamar Emi dirawat, terlihat selang oksigen terpasang di hidung mungilnya. Keadaannya kurang baik, mungkin tekanan-tekanan yang ada di rumah tangganya membuat penyakit Emi semakin memburuk.

“Gimana keadaan Emi, Rom?” tanya Dokter Andreas dengan nada khawatir.

“Emi masih dalam pantauan tim dokter. Kamu ‘kan dokter, Ndre, coba nanti kamu tanyakan lagi ke mereka.”

Andreas hanya menganggukkan kepalanya. Dipandangnya wajah Emi yang tidur dalam keadaan pucat. Di sana juga ada sosok seorang nenek yang mereka sebut Oma Risa, yang selalu setia menemani dan mendengar curahan hatinya Emi. 

Oma Risa memandang Andreas dengan tatapan dingin, seakan mengerti dengan kejadian tadi malam. 

“Ndre, Oma mau bicara sebentar sama kamu,” pinta Oma Risa sambil beranjak dari tempat duduknya.

“Iya, Oma, dimana kita bicara?” tanya Andreas.

“Di luar saja, tidak perlu jauh-jauh dari Emi,” jawab Oma Risa sambil berjalan meninggalkan ruangan.

“Rom, aku titip Emi sebentar, ya,” titah Andreas sambil mengikuti Oma Risa di belakangnya.

“Ada apa, Oma?” tanya Andreas sambil mengambil tempat duduk di samping Oma Risa.

“Ndre, Oma tau kalau rumah tangga kalian ini sedang tidak baik-baik saja. Bahkan, Oma tau sudah sejak lama.” ucap Oma Risa sambil menatap tajam ke arah Andreas.

Oma Risa merasa kecewa dengan Andreas. Laki-laki yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri. Laki-laki yang selalu diharapkan dapat menjaga cucu perempuan satu-satunya itu. 

“Oma tidak menyangka, Ndre, kamu bisa setega ini kepada Emi,” ucap Oma dengan helaan nafas yang berat.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
ila Rizky
Andre, jangan jahat2 donk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status