Share

Bab 6 : Gelagat Aneh

"Lu mau pinjam berapa?" tanya Nabila setelah beberapa detik terdiam. Sudah ia duga, Metta sedang ada masalah.

"Mmm ... dua puluh juta, Nab," jawab Metta terdengar ragu-ragu.

"Ehmm." Nabila berdeham. Uang dua puluh juta bukan sedikit, pikirnya. "Lu ada masalah apa?" tanyanya hati-hati.

"Nyo–nyokap gue sakit, gula darahnya tinggi banget," ungkap sang sahabat.

Nabil menyimak.

"Udah sepekan nyokap gue di rumah sakit, Nab. Waktu itu operasi, ada gumpalan darah kotor di pahanya. Ini alhamdulilah, kata dokter sudah baikan. Mungkin satu atau dua hari lagi udah boleh pulang. Tapi gue mesti bayar biaya rumah sakit dan obatnya, Nab," jelas Metta dengan suara bergetar seperti hendak menangis.

Metta jarang meminta tolong. Justru wanita itu yang sering menolong Nabila. Selama tiga bulan lebih Nabila tinggal bersamanya di satu ruangan, ia hanya sering memikirkan uang patungan untuk membayar kamar saja. Sementara Metta, hampir setiap hari membagi makanan kepadanya. Bahkan Metta-lah yang menolongnya ketika di malam hari ia diusir dulu.

"Oke, kirim nomor rekening kamu. Nanti aku transfer," jawab Nabila. Ia tidak tega mendengar sahabatnya kesusahan seperti ini. Lagi pula, toh ia sudah punya uang banyak.

Keluarga Veronica menjanjikan uang setengah milyar untuk ia menjadi ibu pengganti dan ia sudah dibayar sejumlah seratus juta rupiah. Sisanya akan diberikan ketika ia sudah selesai melahirkan nanti. Ditambah uang bulanan yang ia terima. Lebih dari cukup untuknya yang terbiasa kekurangan selama ini.

"Ma–makasih, Nab!" pekik tertahan Metta dari seberang sana.

"Oke, sama-sama. Salam buat nyokaplu ya. Moga lekas sembuh," ucap Nabila seraya tersenyum.

"Oke! Gue mau ke apotik dulu nebus obat."

"Kirim nomor rekening!" pesan Nabila lagi.

"Sip! Udah dulu. Sekali lagi makasih ya, Nab! Assalamualaikum!"

Nabila pun menjawab salam dari sahabatnya itu.

Setelah beberapa menit berbicara dengan sahabatnya, kemudian Nabila menutup telepon. Wanita muda itu lalu mentransfer uang yang ia janjikan seusai Metta mengirim nomor rekening.

Ting!

[Makasih banyak, Nab! In syaa Allah aku usahakan bisa balikin dengan segera ya!] Chat dari Metta.

[Iya. Yang penting nyokap sembuh dulu.]

[Emoticon love]

Kedua sudut bibir Nabila tertarik ke atas. Ia bahagia bisa membantu sahabatnya itu.

"Hmm, dari pada bengong lagi, bikin roti aaah ...!" seru Nabila pada diri sendiri. Ia pun melangkah ke luar kamar dan menuju ke arah dapur.

Nabila ingin menyiapkan perlengkapan dan bahan untuk membuat roti seperti telur, mentega, dan tepung. Ia pun mengambil benda-benda itu dari lemari kitchen set di atas meja kompor.

"Mau masak?"

Karena terkejut mendengar suara Zack yang tiba-tiba muncul, hampir saja Nabila menjatuhkan sebungkus tepung yang sudah robek bungkusnya. Alhasil wajahnya terkena tumpahan sebagian benda berbentuk bubuk tersebut.

"Eh, Nabila! Kamu nggak apa-apa?" Zack terlihat cemas ketika melihat wanita di depannya kelilipan bubuk tepung. Ia pun mencoba membantu ikut membersihkan tepung yang mengotori pakaian Nabila.

Wanita muda itu berusaha membersihkan mata dengan tangan. Namun, masih saja terasa ada sampah di sana.

"Sini!"

Nabila terdiam ketika tiba-tiba saja Zack menangkup wajah itu dengan kedua telapak tangannya yang lebar. Kemudian pria tampan tersebut meniupkan udara ke arah mata Nabila.

"Masih?" tanya Zack dengan telapak tangannya masih menangkup wajah yang belepotan tepung tersebut.

"I–iya ...," lirih Nabila bohong, padahal matanya sudah terasa nyaman, "di–di sini." Wanita muda itu menunjuk ke matanya yang sebelah kanan dan entah mengapa kakinya melangkah makin mendekat hingga jarak wajah pria di hadapannya itu tak lebih dari sejengkal saja.

Zack tertegun melihat gelagat yang tidak biasa dari Nabila. Ia heran dengan sikap wanita muda itu yang semakin lama semakin mendekat ke arahnya. Ia kembali meniup ke arah yang ditunjukkan Nabila.

"Hmm ... maaf, aku sudah mengagetkan kamu," tutur pria tampan tersebut seraya melangkah mundur. Ketika kedua mata Zack melihat ada sapu di dekatnya, ia refleks mengambil benda itu untuk menghindar sebentar dari Nabila. 'Ada apa dengan Nabila?' tanyanya membatin.

Nabila merasa tidak enak hati. Ia sadar jika Zack telah menangkap tingkah lakunya yang aneh barusan. Wanita muda itu tersenyum getir. "Nggak apa-apa," jawabnya dengan wajah yang terasa menghangat. Ia sedikit kesal dengan dirinya sendiri. Mengapa bertindak ofensif seperti tadi. "Hmm ... kamu kok, balik lagi?" tanya Nabila kepada Zack. Ia meraih sebuah lap bersih, lalu mengelap tangannya yang juga sedikit terkena tepung.

Pria itu tadi sudah berangkat ke kantor. Baru setengah perjalanan, tetapi ia teringat sesuatu, lalu memutuskan untuk kembali lagi.

"Ada file yang ketinggalan," jawab Zack tanpa menoleh ke arah Nabila. Setelah ia menyapu lantai yang terkena bubuk tepung, pria tampan itu langsung meletakkan sapunya ke tempat semula. "Aku ambil dulu file-nya. Oh, iya! Aku akan langsung pergi lagi ya!" Zack berbicara sambil berjalan menjauh menaiki tangga menuju ke kamarnya.

Nabila hanya bisa mengembuskan napas dan melipat bibirnya. Tidak lama kemudian ia melihat Zack turun dari lantai atas, dan pria itu langsung melangkah pergi ke luar. Entah mengapa Nabila merasa Zack menghindari mereka bertatap mata.

Berusaha menepis suasana hati yang mulai tidak nyaman, Nabila lantas melanjutkan aktivitasnya untuk membuat kue.

***

"Gimana kabar nyokaplu?" tanya Nabila kepada Metta yang berada di seberang benua sana melalui saluran telepon.

"Alhamdulillah, semenjak keluar rumah sakit nyokap gue makin baik, Nab. Makasih banyak lu udah bantuin buat biaya perawatannya ya," ucap Metta tulus, "eh, gimana kabar si om-om ganteng, Zack?" lanjutnya bertanya.

Dari awal Nabila ke rumah itu, memang ia sering menceritakan kepada Metta perihal suami dari Veronica itu.

Mulanya Nabila hanya mengagumi ketampanan pria tersebut. Sama sekali ia tidak akan berpikir akan punya perasaan lebih. Apalagi mengingat usia mereka yang terpaut cukup jauh. Ia tadinya hanya menganggap Zack seperti kakak laki-laki atau bahkan seorang paman. Namun, apa daya ... ternyata pesona pria itu tak mampu ia tolak begitu saja.

Nabila menyadari, semakin bertambah waktu, semakin bertambah pula kekaguman dirinya kepada lelaki bule itu.

Metta sudah mengira kalau Nabila kini memiliki perasaan berbeda kepada Zack. Gadis itu jadi mengkhawatirkan sahabatnya.

"Makin hari dia makin ganteng aja, Met," bisik Nabila dengan wajah menghangat.

"Lu jangan bilang kalo lu jatuh cinta sama dia ya ...," ujar Metta dengan nada mengancam, tetapi ia sambil tertawa. Gadis itu berusaha menafikan, ia anggap tidak mungkin kalau Nabila sampai jatuh cinta pada pria berumur itu.

Nabila terdiam. Dulu Metta juga bilang seperti itu. Akan tetapi, pada saat itu, perkataan tersebut memang hanyalah sebuah candaan yang mengundang tawa di antara mereka berdua. Nabila pun dulu yakin, tidak mungkin ia menaruh hati dengan pria yang jauh di atas usianya. Apalagi seorang pria yang berkebangsaan asing. Tentu saja sama sekali bukan type-nya. Ia dulu suka dengan pria lokal dengan warna kulit eksotis yang tampak macho. Rupanya dia salah, ternyata walau berkulit putih pun ... Zack terlihat sangat macho di matanya.

"Nab!" panggil Metta membuyarkan lamunan sahabatnya.

Nabila tersentak. "Eh, i–ya kenapa, Met?" tanya Nabila tergagap.

Metta menariknya kembali ke dunia nyata setelah melamun membayangkan wajah rupawan pria yang bernama Zack. "Nab, lu sudah jatuh cinta sama si Zack itu, 'kan?" tebak Metta tanpa basa-basi.

Kembali Nabila terdiam.

Hening ....

.

Next

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status